dear Papa,
selalu kudoakan semoga di sana kubur Papa dilapangkan oleh Allah swt. dan juga diberikan kemudahan jalan Papa menuju surga nanti.
mama, mbak teta, gita dan aku alhamdulillah sehat dan Insya Allah bahagia.
hari ini tanggal 21 Maret 2013,
tentunya aku masih bersyukur masih bisa bertemu tanggal ini,
meskipun tiap ketemu tanggal itu, aku pasti sedikit merasa sedih.
hari ini tepat 17 tahun sejak Papa pergi.
17 tahun yang lalu aku belum genap 4 tahun dan tidak mengerti apa yang terjadi pada tanggal 21 Maret,
kenapa ada mayat di rumahku,
kenapa rumahku ramai didatangi orang,
kenapa banyak orang yang menangis,
kenapa ada karangan bunga,
kenapa ada tenda di halaman rumah,
tapi sekarang aku sudah 21 tahun,
aku sudah mengerti semuanya,
tidak hanya apa yang terjadi pada 21 Maret 17 tahun yang lalu, tapi semua tentang apa yang dikatakan sebagi 'HIDUP'
Papa,
tidak tahu sampai kapan kami akan mengenang tanggal ini dalam kesedihan,
bukan, bukan karena kami belum mengikhlaskan kepergian Papa,
kami sudah betul-betul ikhlas..
hanya saja kami sedih karena rasa rindu yang besar dalam hati ini tidak akan ada ujungnya..
tujuh belas tahun tanpa Papa sudah kami lewati dengan jalan yang tidak bisa dikatakan mudah..
dan Alhamdulillah, sekarang jalan itu perlahan dipermudah oleh Allah..
Papa,
mungkin aku pernah mengatakan ini, tapi aku ingin berterima kasih..
karena telah memilih Mama sebagai Ibu kami,
karena telah menurunkan kepada kami sifat-sifat yang baik,
karena telah menurunkan kepada kami kecerdasan,
karena telah menjadikan kami anak Papa yang dikenang orang dalam kebaikan
aku tahu semua skenario hidup adalah Allah yang membuatnya,
tidak ada yang perlu aku sesali dari perginya Papa tujuh belas tahun yang lalu,
mungkin kalau peristiwa itu tidak ada, aku tidak akan tahu apa itu mandiri, apa itu tanggung jawab, apa itu tegar dan sabar..
dan tentunya aku tidak akan menjadi Mayzar Listya Wardani yang sekarang.
Papa,
semoga Papa disana dilapangkan kuburnya,
dibebaskan dari siksa kubur yang keji,
diterangkan alam kubur Papa,
diampuni segala dosa yang mungkin ada,
diterima segala amal ibadah Papa,
dan diberi kemudahan menuju Firdaus
amin.
semoga pertemuan kita di dunia yang amat singkat ini, akan diganti Allah dengan pertemuan yang abadi, sebagai keluarga yang bahagia di surga nanti.
amin, allahuma amin.
Very Much Love,
mama-teta-tya-gita
P.S bagi teman-teman yang membaca, dengan segala kerendahan hati saya mohon kirim Al-Fathihah untuk Papa saya Alm. Juwarso. semoga Allah membalas kebaikan kalian. terima kasih.
Dari 21 Maret 1996 Sampai 17 Tahun Kemudian..
Comments(0)
BAGIAN DELAPAN | Inikah rasanya...dilupakan?
KAIRO’S VIEW
Beberapa hari terakhir ini benar-benar buruk. Masalah seperti datang
bertubi-tubi dalam kehidupanku. Aku sudah molor setahun dari jadwalku
seharusnya lulus, paper terus menerus ditolak, sahabatku berubah dan pacarku
yang sepertinya tidak pengertian. Ya, meskipun aku dengan malu dan kemaluan
terpaksa mengakui bahwa sesungguhnya masalahku yang terakhir ini sungguh amat
sangat SEPELE.
Awal masuk kuliah, aku begitu excited
belajar teknik pertambangan yang awalnya tidak disetujui Ayahku. Aku pria yang
amat menyukai tantangan, alam, dan pecandu adrenalin. Juga kopi sih. Bekerja di
pertambangan bagiku adalah suatu ‘tantangan’ dan pekerjaan yang menarik bagiku.
Aku sama sekali tidak berminat jadi yang duduk di belakang meja, menghadapi PC,
dengan ponsel di tangan, dan bolpoin yang selalu siaga untuk kugunakan dalam
hal ‘tanda tangan’. Dengan kata lain, meneruskan tongkat estafet bisnis Ayahku.
Itu bukan jiwaku.
Belum separoh jalan, aku keburu kecantol dengan segala macam tetek
bengek pecinta alam. Libur yang diberikan bagiku tidak cukup untuk menjamah
sudut-sudut negeri. Aku jadi sering bolos. Berkeliling Indonesia, mendaki satu
demi satu gunung yang ingin kudaki, menjamah pantai-pantai ‘perawan’ di pelosok
Indonesia, dan tentunya melupakan tugas muliaku sebagai mahasiswa. Untuk itu
aku jadi sering juga menghadiahkan IP minim kepada orang tuaku. Kalau tidak diancam
Ayah bahwa uang bulananku akan dipotong, mungkin sekarang aku masih tidak
bergerak dari semester dua.
Belum lagi masalah wanita jauh lebih menarik bagiku ketimbang tampang killer dosen di kelas. Bolos kuliah
untuk sekedar nonton, jalan, dan makan dengan pacar-pacarku sudah jadi hal yang
lumrah. Seperti kampus ini milik nenek buyutku saja. Semester ini mengulang
lalu ikut semester pendek, lalu mengulang lagi dan ikut SP lagi sudah jadi
kebiasaan. Kalau Kanaya kemungkinan butuh dua semester lagi untuk memenuhi
SKS-nya lalu KKN, skripsi, sidang dan lulus, aku mungkin masih butuh empat
semester lagi, kalau saja niat muliaku ini tidak digoda ‘setan’. Salah siapa? Salah
aku, otakku dan kemaluanku.
Nah, sekarang mari bahas masalah kedua dan ketiga yang lumayan
berkaitan. Entah kenapa Kanaya jadi berubah. Dia jadi suka mengomentariku
seperti emak-emak. Iya, seperti emak-emak kecuali Ibuku. Ibuku orang yang paing
tidak pernah marah dan mengatakan ‘tidak’ untukku. Beberapa hari yang lalu aku
bisa dibilang ribut dengan Nay. Dia bilang aku berubah, gak jadi diriku
sendiri. Hei, dia sendiri belum ada satu semester kenal denganku bisa-bisanya
dia bilang begitu? Tau apa dia tentang aku? Tapi entah kenapa pula, ada
sedikit, sedikit saja terbesit di benakku, bahwa apa yang dikatakan Nay ada
benarnya. Navita yang sekarang tidak lagi membuatku jadi diri sendiri. Dan itu
pula yang membuatku langsung naik pitam begitu Nay mengkritikku demikian.
Baiklah, aku mengakui bahwa setiap detil perubahan pada diriku,
Navita-lah otak penggagasnya. Gaya rambutku, caraku berpakaian, cara bicara,
bahkan hobiku juga mulai dia ‘setir’. Dia memang tidak pernah memberi perintah
langsung untuk aku berbuat A. Namun ia mengatakannya secara tersirat, seperti
bilang, ‘Aku membayangkan kalau kamu terlihat lebih baik kalau gaya berpakaian
kamu jadi lebih rapi.’ Meeeen, cowok mana yang bakal pasif aja kalau cewek yang
dia puja mati-matian udah bilang begitu?
Namun ada satu hal yang baru kusadari amat sangat menggangguku. Itu
terjadi hanya beberapa jam yang lalu, tepatnya semalam, saat aku dan Navita
makan malam di sebuah cafe. Home band
di cafe itu membawakan blues seperti Jimmy Morrison yang notabene bukan seleraku.
Bukannya tidak suka, tapi aku lebih suka rock
bahkan metal.
‘Kamu suka lagunya?’ tanyaku begitu melihat dia asyik memperhatikan si
vokalis bersuara maksa itu.
‘Iya, kamu suka juga?’ dia balik nanya.
Aku menggeleng. ‘Telingaku lebih bersahabat sama cadas atau metal.’
‘Hmmm payah deh selera kamu.’
Aku sedikit terganggu dengan kata ‘payah’ yang dilontarkannya. Dengan
memajukan posisi duduk, aku berkata pelan padanya, ‘Musik itu masalah selera.
Ya tergantung siapa yang menikmati dong. Kok kamu stereotip gitu bilang
seleraku payah. Kalau begitu aku juga bisa dong bilang selera kamu payah? Cukup
adil kan?’
Navita menatapku dengan heran. Matanya sampai menyipit. ‘Kok kamu jadi
kasar gitu sih?’
ASTAGA! Kenapa aku jadi dibilang kasar?!!
‘Aku nggak kasar, baby. Aku
cuman ngebalikin omongan kamu aja.’
‘Oke, selera musik kita gak sama, tapi kamu jangan kasar gitu dong
ngomongnya.’
Aku menunduk, mengatupkan bibir rapat-rapat. Di bawah meja tanganku
sudah meremas-remas jinsku dengan geram. Aku berusaha meredakan diri. Di dalam
hatiku sudah tersusun kalimat umpatan kekesalan yang bisa saja tanpa sadar
kulontarkan.
ANJRIT! YANG DULUAN BILANG KALO
SELERA GUE PAYAH SIAPA?!! ELO BETINA!! ELO!!
Tetapi sebagai cowok teladan, aku mencoba untuk berkepala dingin lalu
bilang, ‘Iya, aku salah. Aku minta maaf, oke?’
Navita diam masih dengan raut wajah tidak senang. Alisnya berkerut dan
bibirnya dimajukan sebisa-bisanya. Pacar yang lagi ngambek memang lebih serem
dari dosen killer dari kampus
manapun.
‘Abisin dong makanannya,’ aku melirik kentang gorengnya yang tidak
disentuh.
‘Nafsu makan aku jadi hilang. Kita pulang aja deh’
Dan aku juga bisa kehilangan nafsu untuk menjatuhkan hati sepenuhnya
pada kamu. Jujur, aku memang sangat cinta dengan dia. Saat pertama kali pacaran
dengannya, Navita sosok yang amat menyenangkan. Dia baik, lembut, dan penyuka
sastra. Kami pernah mencipta lagu bersama. Dia menulis lirik dari puisinya, dan
aku menggubah lagu dan musiknya. Dan dia juga sama sekali tidak pernah mengatur
atau mengekang aku dengan duniaku. Aku seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dari diriku. Dia
melengkapi segalanya. Tapi sekarang dia jadi agak berbeda. Apa mungkin karena
jiwanya masih belum terlalu stabil sejak peristiwa tempo hari? Tidak pasti.
***
‘Oy, bro entar sore diajakin sparing
basket nih sama anak Hukum. Ikutan ye. Malu bro kalo kalah sama mereka. Lu
tau sendiri mereka sombongnya begimana,’ James, menghampiriku saat kelas baru
usai. James yang satu ini jangan dipanggil dengan sebutan Jeims melainkan
JAMES. Dieja sesuai dengan yang tertulis.
‘Dimana?’ menyesal juga aku setelah melontarkan pertanyaan bodoh itu.
‘Ya di lapangan basket, masa iye di ruang Pak Bambang!’ James
terdengar lucu kalau sudah berkata seperti itu. ‘Pokoknya jangan kagak dateng
lu. Inget ye, jam empat!’
Aku segera memasukkan binder ke dalam ransel. Menjemput pacar, lalu
tidur sebentar di kosan (aku sendirian yang tidur, pacarku sudah kuantar ke
rumahnya). Sembari jalan, aku mengirimkan pesan blackberry messenger pada Kanaya, mengajaknya menonton aku bermain
basket jam empat sore nanti.
***
Aku menunggu di lapangan basket sambil melakukan sedikit pemanasan. Kanaya
belum menampakkan batang hidungnya. James dan lainnya sedang pemanasan dengan
main one on one. Kucek blackberry messenger yang kukirim
padanya beberapa jam yang lalu. Huruf D terpampang di sana. Kemana anak itu? Kok
BBM-ku tidak dibaca?
Lima belas menit kemudian, permainan basket dimulai. Yang menonton
juga sepertinya mulai ramai. Entahlah, aku hanya fokus pada permainan saja.
Meskipun ini hanya pertandingan biasa, tapi gengsi-lah yang dipertaruhkan di
sini. Bisa-bisa tambah besar kepala anak hukum itu kalau berhasil mengalahkan anak
teknik.
Sialnya, permainan anak hukum memang tidak boleh diremehkan. Aku dan
timku lumayan ngos-ngosan dibuatnya. Lagi-lagi pikiranku melayang pada Kanaya.
Kemana sih dia? Biasanya dia selalu duduk di pinggir lapangan demi
menyemangatiku.
Quarter pertama berakhir. Teknik ketinggalan poin dari hukum. Mood-ku
langsung berubah. Berubah jadi buruk tentu saja. Saat sedang minum, tiba-tiba
mataku menangkap sesosok makhluk yang paling kucari-cari dalam beberapa jam
terakhir ini. Kanaya, dia... duduk bersama tim basket anak hukum!!! Ngapain dia
di sana?
Tanpa banyak mikir, langsung saja kuhampiri dia. Kutarik tangannya
supaya ia menjauh dari gerombolan anak hukum itu.
‘Kamu ngapain duduk di situ? Bukannya dukung aku!’ semburku padanya.
Matanya yang besar menatapku dengan bingung. ‘Emang kamu bilang kalo
bakal tanding basket?’
‘Jadi kamu gak baca BBM-ku?’ nada suaraku meninggi.
Kanaya menepuk jidatnya. ‘Astaga! Jadi itu BBM dari kamu? Sori banget
ya, tadi begitu ada BBM masuk, hapeku langsung mati. Sori ya? Semalem aku lupa
nge-charge.’ Dia nyengir dengan tidak
enak hati.
Aku mencoba meredakan emosi. ‘Terus kamu ngapain di situ?’
Belum sempat penjelasan melompat dari mulutnya, satu dari gerombolan
anak hukum mendekat. ‘Hey, Kan, what’s
going on huh?’ ujarnya dengan lidah bule yang fasih, meskipun matanya
sipit.
Aku memperhatikan si bule sipit itu dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Sepertinya aku tidak pernah melihat orang ini keliaran di kampus.
‘Baro, ini Kairo, sahabatku. Kairo, ini Baro, sahabatku dari SMP. Baru
balik dari US setelah bertahun-tahun.’ Kanaya mengenalkan cowok itu padaku.
Aku tidak berminat berjabatan tangan dengannya. Sengaja menampakkan
ketidaksukaan, kupandangi saja dia yang mencoba tersenyum ramah dengan tatapan i-don’t-even-care-what-your-name-is.
‘Lebih tepatnya, aku mantan pacarnya waktu SMP. Kan, kamu kok belum
cerita apa-apa tentang sahabatmu ini?
‘Kamu kok gak pernah cerita kalo punya pacar pas SMP?’ balasku tak mau
kalah.
‘Heran ya, Siska, Mita, Gina, Saskia, Sastha, dan cewek-cewek kamu
yang lain aja aku inget walaupun kamu cuman sekali lewat nyeritainnya. Sementara
ceritaku, tentang satu orang aja kamu gak inget.’
Aku menelan ludah. Kapan Kanaya pernah cerita tentang mantan pacarnya
ini? Dimana? Di cafe? Di rumahnya? Di kosku? Aargh, kenapa pula aku dianugerahi
otak yang gampang lupa begini.
Wawan, si wasit dadakan meniupkan peluit dari tengah lapangan. Si Bule
sipit itu menyingkir duluan. Tinggal aku saja berdua Nay.
‘Jadi kamu gak mau nyemangatin aku nih?’ tanyaku padanya.
‘Sori, tapi aku datang ke sini sama Baro. Lain kali ya!’ ujarnya
pelan, lalu berlalu begitu saja. Kembali duduk bersama dengan gerombolan anak
hukum.
Sebuah perasaan menggerayangi tubuhku begitu menatap punggungnya yang
menjauh dariku. Entah perasaan apa ini harus kusebut. Marah, kesal, kecewa,
juga sedikit sedih campur aduk di dalam dadaku. Aku tidak pernah merasakan ini
sebelumnya. Aku merasa seperti... kehilangan.
***
Pertandingan sore itu berakhir dengan kekalahan anak teknik. Konsentrasiku
jadi tambah kacau balau mendapati Kanaya malah menyemangati orang lain dan
bukan aku. Belakangan aku baru tau kalau si bule sipit itu memang atlet di US. Sial.
Anak itu juga jadi sulit sekali ditemui. Baru mau ngajak ngafe, dia
sudah punya janji duluan dengan mantannya itu. Aku main ke rumahnya, dia tidak
ada di rumahnya. Ibunya bilang dia pergi dengan Baro. Baro, Baro, Baro lagi. Kapan
dia punya waktu dengan Kairo?
Sementara pacarku sedang tidak asyik. Belakangan dia jadi sensitif
banget. Bawaan PMS kali ye. Tiap kali aku nguap saat dia bicara, aku dibilang
gak menghargai. Padahal aku memang ngantuk berat habis begadang nonton bola. Aku
telat jemput, bibirnya dimajukan sedemikian rupa. Kayak dia gak tau aja
macetnya Jakarta gimana.
Jam digital di dinding kamar kosku menunjukkan pukul 02.12. Dan mataku
masih enggan diajak tidur. Tiba-tiba tanganku sudah meraih ponsel dan men-dial nomor Kanaya. Dan... nomornya
sibuk! Hey, jam berapa iniiiiii??? Rekaman suara operator yang beryanyi-nyanyi
itu bikin aku tambah gondok. Kupanggil lagi nomor telepon Kanaya. Terus, sampai
dia mengangkatnya.
‘Halo.’ Suaranya menyapa dengan malas.
‘Kamu online sama siapa
tengah malam gini?’ semburku langsung.
‘Sama Baro. Kamu sendiri kenapa nelepon tengah malam gini? Insomnia
lagi?’
‘Iya, temenin ya. Bosen nih. Gak ada acara bagus di tivi.’
‘Duh, Kai, aku gak bisa. Aku kan lagi online sama Baro. Mending kamu sekarang tidur deh.’
Aku makin gondok.
‘Kayaknya kamu sekarang gak ada waktu banget ya buat aku. Pagi-siang-sore-malem
kamu sama Baro terus. Tengah malam gini pun kamu gak ada waktu buat aku.’
‘Kamu kenapa marah? Aku aja gak pernah marah kalo kamu gak ada waktu
buat aku. Bahkan ulang tahunku aja bisa kamu lupain atas nama cinta kamu sama
Navita kan.’
Rahangku mendadak kaku mendengar kata-kata Nay. Aku mendadak
kehilangan kemampuan bicara.
‘Kenapa diam? Aku benar kan? Sekarang lebih baik kamu telepon aja
duniamu itu. Aku juga punya dunia sendiri.’
Tut! Telepon ditutup.
Aku menyalakan sebatang rokok. Berpikir.
Di satu sisi Kanaya memang benar. Kenapa aku harus marah?
Di sisi lain, aku merasa malu. Malu, kenapa juga aku harus marah.
Di sisi yang lainnya lagi, aku merasa bingung. Bingung, kenapa ya aku
bisa marah?
Di sisi yang lainnya lagi, aku marah.
Tunggu, sisinya ada berapa memang?
Ah entahlah, aku merasa suram.
Putus cinta gak bikin aku merasa begini amat. Aku merasa ada yang aneh
sama diriku. Apa karena ini pertama kalinya aku nemu sahabat yang kayak Kanaya?
Apa karena aku sudah terlalu biasa bersama dia, makanya ketika dia gak ada
buatku, aku merasa kehilangan begini?
Aku mematikan rokok dan mulai menjamah laptop. Menghubungkannya dengan
wi-fi kos-kosan, lalu login ke blogger.com. Jari-jariku mengetikkan sebuah
alamat blog pada address bar. Dan blog
ahli ekonomi itu tertera di layar laptopku. Postingnya baru beberapa menit yang
lalu. Insomnia juga blogger ini.
Datang lagi..
Dia kembali datang, cinta
pertamaku yang lama menghilang..
Walaupun dulu hanya kisah
singkat remaja sekolah menegah pertama
Tapi dia pernah membuatku..
senang
Dia kembali,
Dengan penampilannya yang baru,
namun dengan hati dan senyuman yang sama
Dia tetap manis
memperlakukanku..
Membuat aku merasa terbang
melayang dengan setiap tindak tanduk dan perkataannya..
Dan dia juga berhasil... sedikit
mengurangi perasaanku pada ‘dia’ yang lain..
Dia yang ini tentu saja jauh
lebih baik dari dia yang tidak pernah memandangku
Dia yang ini jauh lebih
menyenangkan dari dia yang tidak pernah membalas cintaku
Dan dia yang itu, tiba-tiba
berbalik mengobrak-abrik perasaanku..
Datang dengan marah-marah begitu
aku melupakannya..
Lalu bagaimana ketika kau
melupakan aku?
Lalu bagaimana ketika kau
meninggalkan aku?
Namun aku akui, aku sedikit...
senang ketika dia merasa dilupakan..
Senang ketika dia merasa
ditinggalkan..
Dan apakah dia juga merasa
kehilanganku?
Misteri..
Kamu,
Kenapa kamu serakah sekali?
Kenapa kamu menempati seluruh
tempat di hatiku?
Tak bisakah kamu beri sedikit celah
untuk kumenyelipkan cinta yang lain di hatiku?
***
Membaca posting blog itu membuat perasaanku jadi makin aneh. Cerita di
posting itu hampir sama dengan apa yang kualamai bersama Kanaya. Dari mulai
Kanaya kembali bertemu dengan cinta lamanya, dan aku yang marah-marah karena
merasa ditinggalkan dan dilupakan. Bedanya, Kanaya tidak mencintaiku seperti ‘aku’
dalam posting blog itu.
Tunggu, apa aku benar tentang Kanaya yang tidak mencintai aku? Bagaimana
jika ternyata dia mencintaiku seperti tokoh ‘aku’ di blog ahli ekonomi itu? Lalu..
bagaimana dengan perasaanku?
Langganan:
Postingan (Atom)