Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN 16 | ENDLESS END

KAIRO’S VIEW


Segera  setelah mengantar Navita pulang, aku memacu mobil menuju rumah Kanaya. Tadinya aku memang berniat tidak datang ke pesta itu. Aku sudah tahu akhirnya akan begini. Kanaya pulang bahkan mungkin sebelum acara habis. Mata itu, aku tidak akan bisa melupakan mata yang begitu sedih melihatku bersama Navita. Sepintar apapun ia berusaha menyembunyikan kesedihan, ia tetap tidak bisa menyembunyikannya dariku. Sialnya bukan aku yang berada di sisinya. Melainkan si bule sipit itu.

Aku sampai di depan rumah Kanaya tepat pukul setengah dua belas malam. Kulihat lampu kamarnya masih menyala. Aku tahu itu artinya Kanaya belum tidur. Anak itu tidak bisa tidur dengan lampu menyala.

Aku membuka laci di dasbor. Sebuah kotak perak kecil kukeluarkan dari sana. Aku membuka penutupnya dan kutatap benda itu sekali lagi. Benda itu memang cukup mahal untuk kantong mahasiswa sepertiku. Aku membelinya dengan uang yang kudapat dari bekerja di perusahaan Ayah liburan semester lalu. Karena tidak ada kegiatan naik gunung, maka aku memutuskan untuk coba-coba kerja di perusahaan Ayah. Awalnya sih tidak niat kerja betulan. Sebenarnya aku hanya mencari alasan supaya bisa keluar rumah setiap hari. Aku ikut terlibat dalam sebuah tender besar. Secara tak kuduga, dengan penawaran yang siang-malam kubuat bersama tim, perusahaan Ayah ternyata memenangkan tender senilai tujuh belas milyar tersebut. Walaupun aku hanya mendapatkan 0,15 % dari total nilai tender.

Selama ini uang sebanyak itu hanya kusimpan. Aku bingung ingin menggunakannya untuk apa. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja aku ingin menggunakan uangku itu. Benda hitam itu tampak berkilauan di jemariku. Dua buah cincin titanium yang salah satunya akan kusematkan di jari manis Kanaya. Di dalamnya pun sudah terukir nama kami masing-masing. Aku ingin menunjukkan pada Kanaya, juga nantinya pada Navita, bahwa aku serius ingin bersama Kanaya. Baiklah, aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu ini konyol bagi anak kuliahan sepertiku. Hidup saja masih bergantung pada kiriman orang tua. Kau boleh menertawaiku. Tapi aku kan tidak mungkin selamanya jadi mahasiswa. Aku pasti lulus satu atau dua tahun lagi. Setelah itu aku baru akan melamar gadis yang kucintai ini. Sumpah, aku benar-benar serius kali ini. Aku serius ingin melepas gelar Don Juan-ku.

Kuselipkan kotak itu di saku belakangku, lalu ku-dial nomor Kanaya. Satu kali, dua kali, teleponku tidak direspon. Tidak menyerah, aku langsung turun dan mengetuk pintu rumahnya. Iya, aku tahu ini sungguh amat tidak sopan sekali. But who the hell cares? Sedang ada seorang pria (sejati) yang berniat menyatakan keseriusannya pada gadis yang ia cintai. Kurasa waktu pun akan mengerti dan memaklumi.

Dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka. Kanaya muncul dengan kaus tidur dan celana pendek. Rambutnya terlihat kusut dan matanya… Hei! Matanya begitu sembab!

‘Nay, kamu.. –kamu gak apa-apa?’

‘Harusnya aku gak apa-apa. Ada apa kamu ke sini malam-malam?’ tanyanya datar. Matanya menghindar untuk bertemu dengan mataku.

‘Aku mau bicara sama kamu.’

‘Kebetulan aku juga,’ ujar Kanaya cepat dan dingin. Aku mulai menangkap firasat buruk dari gelagatnya yang aneh.

‘Oya? Kok sama? Wah ternyata kita jodoh beneran ya! Kamu mau bicara apa?’ aku mencoba mencandainya.

Kanaya diam beberapa saat. Terlihat jelas ia seperti sedang mengumpulkan kekuatan untuk mememuntahkan apa yang ingin ia katakan padaku. Berkali-kali ia menarik napas panjang lalu dengan cepat mengembuskannya . ‘Aku ingin setelah malam ini, aku gak lagi bertemu kamu sebagai pacar. Ah bukan, aku gak mau lagi bertemu kamu sebagai pacar kedua. Aku ingin kita mengakhiri semuanya. Aku gak mau lagi menyakiti Navita, juga menyakiti diri sendiri. Aku ingin semuanya berakhir. Kita bisa kembali jadi sahabat atau apa. Yang pasti aku gak mau lagi merasa sakit setiap kali lihat kamu.’

Aku termanga mendengarnya. Sumpah demi apapun aku tidak bisa mencerna kalimat itu satu per satu. Mendadak aku seperti mikroba tanpa otak. Aku seperti idiot. ‘Maksud kamu gimana sih? Aku gak ngerti.’

‘Kamu terlalu pintar untuk gak ngerti omonganku barusan. Aku tahu kamu mengerti dengan sangat jelas. Aku mohon, bantu aku supaya ini semua terasa lebih mudah.’

‘Gimana aku bisa bantu kamu sih? Bagiku ini semua sulit banget. Ini gila. Aku gak mau ini berakhir. Kalaupun ada yang harus kuakhiri, yaitu hubunganku dengan Navita. Bukan dengan kamu!’

‘Kairo, please. Tolong mengerti. Akulah yang datang mengacaukan semuanya. Jadi bukan Navita yang harus jadi korban. Aku gak mau menyakiti Navita. Aku gak bisa!’

‘Terus kamu bisa nyakitin aku? Kamu mikir gak gimana perasaanku?’

Kanaya terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan emosi. ‘Apa kamu pernah mikir gimana perasaanku? Aku ada di posisi tersulit. Aku harus gimana? Terus bersama kamu? Memangnya aku gak sakit lihat kamu dengan Navita? Merelakan kamu dengan Navita juga gak bikin aku bahagia. Dua-duanya nyakitin, Kairo! Jadi akan jauh lebih baik kalau aku sendiri yang sakit. Karena memang aku yang menyebabkan semua ini terjadi.’

‘Kanaya, please. Kita berdua sudah tahu resikonya sejak awal. Sedikit lagi, Nay. Kita cuman harus sabar sedikit lagi. Aku akan mengakhiri semuanya dengan Navita. Dan kita bakal sama-sama terus. Aku janji, Kanaya!’

Kanaya mengusap wajahnya. Kembali ia menarik napas panjang. ‘Kamu gak perlu janji apapun. Kamu hanya perlu melepasku secara baik-baik. Percayalah ini akan mudah. Aku mohon.’

Aku menendang tiang penyangga teras dengan kesal hingga menimbulkan gegar. Aku hampir gila karena ini. Betul-betul aku tidak habis pikir, kerasukan apa Kanaya ini? Kenapa tiba-tiba ia berpikir demikian? Apa dia pikir selama ini posisiku tidak sulit? Setiap hari aku harus berakting di depan Navita, hanya supaya aku bisa melepasnya secara baik-baik. Apa dia tidak berpikir bagaimana tekanan yang selama ini kurasakan? Aku bertahan dengan satu gadis, hanya karena aku takut dia akan berbuat nekat lagi begitu kutinggalkan? Sementara aku harus menyakiti gadis yang benar-benar kucintai dan kuinginkan?

Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu di saku belakang celananku. Benda itu. Iya, benda itu!

Kutarik keluar kotak itu dari saku belakang celanaku. Kutunjukkan isinya persis di depan wajah Kanaya. ‘Kamu lihat ini? Di dalam cincin ini ada nama kita. Kamu tahu artinya apa? Kamulah yang aku butuhkan! Bukan Navita, bukan siapapun! Oke, aku memang ngasih Navita liontin mahkota, tapi bukan berarti dia ratunya. Kamulah ratunya! Kamu lihat, malam ini juga akan kutunjukkan cincin ini pada Navita. Supaya aku gak harus lebih lama lagi akting di depan dia!’

‘Kairo, jangan! Aku mohon!’ Kanaya mengejarku sampai ke mobil. Kutepis tangannya yang berusaha menghentikanku.

‘Gak ada yang bisa menghalangiku. Malam ini semuanya harus benar-benar selesai. Aku gak mau menyakiti kamu lebih lama.’ Mesin mobil sudah kunyalakan. Kanaya berdiri di depan pintu mobil. Bahunya bergetar hebat karena menangis.

Kuulurkan tangan menghapus air matanya. Perih sekali hatiku menyaksikannya menangis seperti ini. Menangis karena aku menolak meninggalkannya. Aku kembali turun dan membawa tubuh itu ke dalam dekapanku. Membiarkannya menangis di sana. Berkali-kali kukecup puncak kepalanya. Aku ingin ia merasakan betapa aku tidak mau meninggalkannya.

Aku melonggarkan dekapanku ketika tubuh itu berhenti bergetar. Kuusap sisa-sisa air mata yang menggenang di pelupuk matanya. ‘Everything will be okay. Besok, selesai kuliah kamu tunggu aku di café. Aku akan datang sebagai Kairo. I will be totally yours. Kamu percaya aku?’

Kanaya tidak menjawab. Matanya dipejamkan erat-erat. Dan air mata bergulir lagi dari sudut matanya. Sekali lagi aku mengecup keningnya. Kuulangi pertanyaanku tadi. ‘Do you believe me?’

‘I do.’

***

KANAYA’S VIEW

Pagi ini harus kurelakan mataku dibubuhi eye shadow hitam buah menangis semalam. Rasa-rasanya aku tidak ingin kuliah saja hari ini. Aku ingin menghilang saja. Aku benar-benar berharap punya alat untuk memanggil alien. Aku ingin ikut saja dengan mereka. Ke Mars, jupiter, asteroid, kemana saja. Asal tidak di bumi. Asal tidak menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi hari ini.

Tapi di rumah saja sama tidak nyamannya dengan kuliah. Lagipula aku sudah bilang pada Kairo bahwa aku percaya padanya. Di rumah aku harus melihat Ibu murung di depan kanvas kosong lagi. Sementara tetanggaku yang notabene Ayah kandungku sendiri sedang bahagia-bahagianya karena akan menikah. Wahai alien, culiklah aku!

Aku melewati perkuliahan dengan lancar. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Navita muncul, bersiap mencabik-cabik diriku. Atau mungkin Ibunya yang datang untuk menamparku karena telah merebut pacar anaknya. Dan karena aku pula anaknya saat ini terbaring di rumah sakit karena urat nadi nyaris putus atau menenggak obat tidur. Dan belum pula aku melihat Kairo.

Aku memasuki café tempat kami pertama bertemu dulu. Lonceng bergemerincing kecil ketika aku membuka pintu itu. Suasana café tidak terlalu ramai seperti biasa. Singgasanaku di sudut café juga belum terisi. Hanya beberapa mahasiswa saja yang mau mengunjungi café ini. Satu cangkir kopi di café ini setara dengan semangkuk soto ayam plus pergedel kentang di kedai soto dekat kampus itu. Tentu saja kedai soto lebih ramai.

Aku memesan secangkir latte. Dengan latte art berbentuk hati karya barista muda café ini. Aku memandangi latte art itu dengan takjub. Aku pernah belajar membuatnya sekali. tapi bukannya berbentuk hati, latte art-ku malah berbentuk seperti gambar hati habis terlindas truk enam belas roda. Tanpa sengaja aku menyenggol cangkir latte-ku ketika mengambil menu. Cangkir itu bergetar, namun isinya tidak sampai tumpah. Latte art­-nya masih utuh, hanya saja kini terdapat garis yang memecah gambar hatinya.

Aku batal memesan makanan. Kuputuskan untuk menunggu dengan secangkir latte saja. Kembali aku menyesali kebiasaanku yang suka terlalu on time. Harusnya aku datang terlambat. Biar Kairo yang menungguku di sini.

Suatu perasaan aneh menyelinap di hatiku. Entah perasaan apa. Mungkin memang aneh. Apa yang kuharapkan dari menunggunya di sini? Apa aku berharap semalam Kairo betul-betul menemui Navita dan mengakhiri semuanya? Bukankah semalam aku yang memohon-mohon supaya Kairo meninggalkanku saja? Gawat, aku benar-benar jadi tidak waras.

Satu jam menunggu, batang hidung laki-laki itu belum juga tampak. Ponselnya tidak aktif. DEG! Sedetik jantungku serasa berhenti. Lalu detik berikutnya detak jantungku berubah tidak normal. Berdebar begitu keras hingga terasa memukul-mukul seolah jantungku ingin keluar. Mendadak aku seperti merasakan Déjà vu. Aku pernah merasakan ini. Menanti laki-laki yang sama, di tempat yang sama pula. Dan dulu aku merasakan kekecewakan karena penantian semacam ini. Dulu ia tidak datang. Jika dulu penyebab ketidakdatangannya adalah Navita, akankah laki-laki itu tidak datang pula karena perempuan yang sama? Oh Tuhan!

Entah sudah berapa kali aku mendengar lonceng kecil di pintu café itu bergemerincing. Setiap kali lonceng di pintu itu berbunyi, aku langsung menegakkan kepala. Berharap yang kunanti kali ini betul-betul datang. Namun berkali-kali pula aku harus kembali menunduk lesu ketika yang kulihat di pintu bukanlah Kairo.

Dua jam, tiga jam, hingga café nyaris tutup, bahkan berhari-hari setelahnya, laki-laki itu tidak datang. Pelukan itu, kecupan-kecupan malam itu, gambar hati yang pecah di latte art itu, berhari-hari aku baru menyadari pertanda itu. Laki-laki itu pergi entah kemana. Bagai parfum yang meruap begitu saja. Membawa janji yang tidak pernah ia tepati. Membawa kepercayaanku padanya. Kepercayaan bahwa cinta untukku memang ada.

Berhari-hari aku berdiam diri di kamar. Kafka yang pulang ke rumah setelah menelurkan album pun jadi tidak penting bagiku. Ayah dan Ibu yang akan kembali menikah nyatanya tak mampu juga membuatku senang. Aku hanya peduli pada sosok itu. Aku mencari-cari wajah itu. Bagaimana ini? Baru satu minggu dan aku tidak mampu mengingat wajahnya dengan baik. Bagaimana bentuk hidungnya yang kukagumi? Bagaimana cara dia menatapku dengan hangat? Kenapa aku tidak ingat? Menghilang kemana dia?

Kampus, kelasnya, kos-kosan, bahkan ruang administrasi kusambangi untuk mencari pertanda dimana dirinya. Hasilnya? Nihil. Aku bahkan tidak berhasil menemukan alamat rumahnya di Bandung.

Hingga minggu-minggu berikutnya, berbulan-bulan, sampai aku menyandang gelar Sarjana Ekonomi, laki-laki itu tidak kunjung datang. Tanpa tanda, tanpa sebaris pesan singkat, tanpa status di facebook, ia tidak pernah muncul. Tidak di kampus, tidak di rumahku, bahkan kontak BlackBerry Messenger­-nya kini lenyap. Entah dimana dia berada, hidup atau mati, aku tak lagi tahu.

Some people are meant to fall in love with each other, but not meant to be together. Begitu kata Kafka. Mungkin aku dan Kairo ditakdirkan untuk saling jatuh cinta, tapi Tuhan tidak menakdirkan aku dan dia untuk bersama. Mungkinkah memang tidak? Atau hanya belum?



***

NOTES FROM THE AUTHOR:

Ini akhir bagian pertama. terima kasih ya untuk kalian yang sudah merelakan diri membaca khayalan tidak jelas saya ini.

untuk Devi Rachmadena , Nenny Novrita , Rika April , Surti Kanti , Mbak Gita , yang selalu nagih cerita lanjutan. mhihihi makasih yaaa *peyuk satu-satu* adek-adekku intan , deka , mbak korektorku yang selalu ngoreksi setiap typo Prieta Indah , dan untuk semua orang yang gak bisa saya link satu-satu

mohon maaf lahir dan batin untuk scriptwriter cinta fitri :))

see you on the next season. ^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar