KAIRO’S VIEW
Aku merasakan sensasi yang baru lagi dalam kehidupanku.
Ya, kali ini sensasi yang kurasakan benar-benar luar biasa. Semua aura terasa
positif. Aku tidak bisa tidur, tapi aku bangun dengan badan yang terasa begitu
segar. Aku baru percaya pada jargon-jargon orang jatuh cinta bahwa jatuh cinta
adalah ketika kamu tidak bisa tidur, karena kenyataan lebih indah daripada
sebuah mimpi. Entah jargon itu berlaku tidak untukku yang memang insomniak
parah.
Aku juga mendadak rajin. Beberapa hari ini aku berkhianat
pada kios binatu dekat kos-kosan dengan mencuci sendiri pakaianku, dan entah
kerasukan setan apa tiba-tiba aku membereskan kamarku yang bak kapal karam
bajak laut. Aku juga baru tahu kalau ternyata jatuh cinta bisa menghidupkan
naluri kepembantuan seseorang.
Setelah petualangan cintaku yang begitu panjang,
akhirnya aku merasa telah sampai pada tujuan. Seperti pelari yang sudah
mencapai garis finish. Atau pejuang yang mencapai kemerdekaan. Kalau kau
berniat membuat daftar nama mantan pacarku, kurasa kau butuh dua lembar HVS
untuk mencatat nama mantan yang kuingat. Iya, yang kuingat saja.
Kuputuskan untuk pensiun menjadi seorang cassanova. Perjalananku
berhenti di Kanaya, cewek yang tak kusadari telah ‘merampok’ seluruh tempat di
hatiku selama beberapa bulan terakhir ini. Awal bertemu dengannya, aku
melihatnya sebagai cewek yang ‘lain’. Ketika melihatnya duduk di pojok cafe,
menghabiskan waktu berjam-jam hampir setiap hari, aku merasakan sedikit
ketertarikan padanya. Bukan ketertarikan seperti naksir, karena penampilannya
benar-benar biasa dan tidak naksir-able.
Aku tertarik dengan dia yang seperti sibuk dengan dunianya sendiri. Dia agak
cuek, pikiran dan penampilannya sederhana, namun sepertinya ia amat menikmati
dunianya, sendirian, nyaris tanpa teman.
Aku sempat merasa seperti telah terjadi mutasi gender
dalam diriku ketika aku mulai merasakan bahwa Kanaya bukanlah teman biasa. Ya,
aku benar-benar merasa seperti perempuan saja. Galau berhari-hari hanya karena
mencintai sahabatku dan takut ditolak.
Namun semua kegalauan telah berakhir! Aku sudah yakin
bahwa aku laki-laki tulen! Beberapa hari yang lalu telah kunyatakan pada Kanaya
tentang perasaanku padanya. Aku harus banyak-banyak berterimakasih pada James.
Kuakui dia memang hacker yang cukup handal.
Dia yang kupaksa meretas blog itu untuk mengetahui siapa pemiliknya. Dan
akhirnya, aku dan dia sama-sama tahu mengenai perasaan masing-masing.
Siang ini hujan turun lumayan deras. Dan kami terjebak
dalam kemacetan yang entah sebabnya apa. Biasanya aku selalu menggerutu kalau
macet begini. Namun sekarang ceritanya lain. Di sebelahku, duduk seorang
perempuan aneh –dan membuatku tergila-gila,
yang tampak suka sekali menatap air hujan yang mengalir di kaca mobil.
Tangannya ditempelkan ke kaca mobil seakan merasakan setiap dingin yang
menjalari telapak tangannya. Senyum tak juga lepas dari wajahnya menatapi tiap
tetes hujan yang mengalir di kaca mobil.
‘Really, i love
rain.’ Gumamnya dengan mata yang kini dipejamkan.
‘Kamu itu ketemu hujan kayak ketemu boyband Korea aja. Girang amat.’
‘Ini lebih baik dari sekadar ketemu boyband Korea. Lagipula hei,
sejak kapan aku suka musik Korea?’
Alamak. Aku salah kata-kata. Yang akan senang sekali
kalau ketemu boyband Korea itu bukan
Kanaya, tapi Navita. Takut-takut aku melirik Kanaya. Tapi sepertinya dia tidak
menyadari kata-kataku. Kini giliran pipinya yang ditempelkan pada kaca mobil.
Tidak ada tanda-tanda dia ngeh pada
kesalahbicaraanku tadi. Aku menghela napas lega. Kuulurkan tanganku untuk
mengacak rambutnya.
Sedetik saja aku tidak akan membiarkan manusia ini
hilang dari hidupku.
***
Secangkir coffe
latte, punya Kanaya, secangkir black
coffe, punya ku, dan dua potong red
velvet tersaji di meja. Dua potong red velvet itu semuanya untuk Kanaya.
Sebenarnya belum cukup. Habis dari cafe aku masih harus membelikannya sekotak
pizza keju ukuran large. Itu imbalan
yang menurut Kanaya pantas untuk mengajaknya hang out
di mall. Aku setuju-setuju saja. Apapun akan kurelakan asal aku bisa bersama
dengannya. Dosaku juga sih, aku ngotot mengajaknya kemari padahal aku tahu persis Kanaya
hampir tidak suka keramaian. Kalau dia terlihat berkeliaran di mall berarti ia
sedang suntuk berat. Dan hari ini aku sedang bosan dengan menu monoton cafe
tempat kami biasa nongkrong.
‘Hari ini apa lagi Mr. Cassanova yang hobi jalan-jalan?’
Kanaya berkata dengan mulut penuh.
‘Just another
quality time with you.’
Kanaya melengos sambil tertawa. ‘Jangan sampe karena
kenyang makan sepikan kamu, aku jadi gak bisa ngabisin serpihan surga ini deh.’
‘Kamu ini,
tujuh dari sepuluh cewek pasti pasang muka unyu kalo cowok udah ngomong gitu.’
‘Sudah bisa dipastikan aku salah satu dari tiga cewek yang enggak.’
‘Terus yang dua lagi siapa?’
‘Ibumu dan Ibuku.’
Aku tertawa membenarkan. Dan tiba-tiba saja aku jadi
merindukan Ibu. Aku mengambil ponsel di saku lalu meminjam earphone Kanaya. Setelah earphone
terpasang dan kuberikan satu pada Kanaya, segera kutekan tombol 2 yang sudah
di-set untuk nomor telepon Ibu. Aku
hanya tersenyum saat Kanaya bertanya lewat ekspresi wajahnya.
‘Assalamualaikum
Abangnya Ibu..’ Suara halus Ibu menyapa dengan lembut. Tidak berlebihan
jika kusebut menenangkan hingga ke sumsum tulang. Kanaya hampir tersedak
menahan tawa mendengar aku dipanggil demikian.
‘Alaikum salam.
Ibu sehat?’
‘Alhamdulillah,
Nak. Baru selesai mendoakan Abang, eh yang didoakan telfon. Sudah hampir dua
minggu Abang tidak telfon.’
‘Hehehe maaf, Bu. Aku lagi keasyikan
pacaran.’ Kanaya melotot sejadi-jadinya mendengar aku
bicara seperti itu. Pipinya bersemburat kemerahan yang membuatnya makin
menarik.
‘Pacarnya
dikenalkan dong sama Ibu.’
Aku memberi isyarat agar Kanaya bicara dengan Ibu.
Kanaya melotot panik dan pipinya makin merah. Ragu-ragu ia menyapa Ibu pelan. ‘Halo,
Tante. Saya Kanaya.’
‘Halo juga. Ibu
senang sekali akhirnya ada juga pacar Abang yang dikenalkan ke Ibu.’
‘Memangnya belum ada yang dikenalkan, Tante?’
‘Tuh
makanya kamu harus bangga jadi cewek pertama yang
kukenalin sama Ibu,’ aku menimpali.
‘Apapun itu, Ibu
harap Abang tidak akan menyakiti hati perempuan. Oh iya, Kanaya, Ibu titip
Kairo ya. Dia suka lupa makan kalau tidak diingatkan. Ibu harap kalian bisa
saling menjaga.’
Kanaya diam. Kurasa dia bingung mau menanggapi seperti
apa. Pipinya makin bersemu kemerahan. ‘Ibu ini. Kayak aku mau kawin besok aja
deh,’ aku menyeletuk mencairkan
kebisuan.
‘Nikah, Nak. Bukan
kawin. Ngomong-ngomong Abang gak pulang dalam waktu dekat? Ibu kangen sekali.’
‘Maaf, Bu. Aku kayaknya gak bisa pulang. Banyak tugas.
Aku mau cepet lulus.’
‘Wah kalau tahu
jadi rajin begini, coba dari dulu saja kamu ketemu Kanaya. Oh iya, Nak. Ayah
sudah pulang, Ibu mau bikinkan minum dulu.’
‘Ibu gak sopan deh. Aku yang nelfon kok Ibu yang
nyudahin duluan.’
‘Assalamualaikum’ Telepon ditutup.
‘Gak nyangka! Ternyata segitu manjanya kamu kalau di rumah,’ Kanaya berkata sambil terpingkal-pingkal. ‘Aku jadi pingin ketemu Ibu kamu.’
‘Kapan-kapan kita ke Bandung deh.’
Dan ia kelihatan
tertarik dengan topik ke Bandung
itu. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Ibu. Aku pernah
punya pacar yang ngotot ingin kenalan dengan Ibu. Aku lupa siapa, entah Siska,
Patricia, atau Denisa. Tapi belum sempat mengenalkan, aku sudah kepincut cewek
lain duluan.
Kanaya lanjut bertanya mengenai satu per satu
keluargaku. Kuceritakan padanya bagaimana Ayah dan Ibu merupakan dua orang yang
saling melengkapi dalam keluarga kami. Kalau Ayah api, Ibu adalah air. Kalau
Ayah sedang marah, Ibu akan dengan tenang menyentuh pundaknya dan berkata, ‘Ayah,
cukup’ dan secara ajaib Ayah akan
langsung tenang. Ibu bagai poros dalam rotasi keluarga kami. Dan Ayah adalah
orang yang sangat bergantung pada Ibu. Memilih pakaian, makanan, dan jadwal asupan
vitamin serta obat Ayah tidak lepas dari tangan Ibu. Dalam hal berbisnis sekalipun,
tidak ada satu keputusan Ayah tanpa disetujui dulu oleh Ibu.
Kuceritakan juga padanya tentang kami berempat, kakak
beradik dengan nama Kota di dunia. Setiap nama memiliki arti tersendri bagi
kehidupan Ayah dan Ibu.
Aku membuka folder foto di ponselku
dan memperlihatkan sebuah foto kami berempat yang diambil pada momen idul fitri
tahun lalu. ‘Yang ini Paris,’ aku menunjuk perempuan bertampang tirus yang
tampak enggan difoto. ‘Lebih tua delapan tahun, kaku, introver, dan
gila belajar. Lulus S2 cum laude di Perancis, eh masih kurang aja.
Sekarang lagi riset entah apa buat desertasi. Menurutku sih, kayaknya dia anak pungut.’
Kanaya melotot sambil mencubiti
lenganku. ‘Sembarangan aja kalo ngomong.’
Aku meringis-ringis mengelus
lengan. ‘Abisan dia aneh banget. Di rumah gak ada yang kayak dia. Aku aja
hampir gak pernah ngobrol sama dia. Malesin.’
‘Terus kenapa namanya Paris?’
‘Itu tempat bulan madu
Ayah-Ibu.’
Aku melanjutkan ke perempuan
berambut pendek di sebelah Paris. Brazil, empat tahun lebih tua
dariku. Sudah pasti bisa ditebak
kenapa namanya Brazil. Ayah tergila-gila dengan Tim Samba. Bertentangan
denganku yang lebih suka Timnas Spanyol. Di rumah, Brazil mengambil alih peran
Kakak Tertua. Karena Paris cenderung cuek, lebih suka menyendiri di kamar, menekuri
buku-bukunya yang lebih tebal dari Burger King, dan tidak pernah mau tahu
urusan adik-adiknya. Brazil-lah yang selalu jadi Kakak baik hati bagiku. Dia
yang lebih dulu kuberitahu ketika aku dikeroyok waktu SMA. Dia juga yang sebisa
mungkin mengatasi semua problemku sebelum terendus oleh hidung Ayah. Dia adalah
malaikat kedua setelah Ibu dalam hidupku. Brazil juga oknum yang paling sebal
melihat Paris yang tak kunjung menikah sementara Brazil sudah mantap menjadi
Dokter dan kebelet menikah.
‘Ibu bilang
pamali ‘melangkahi’ kakak perempuan. Nanti Paris sulit dapat jodoh. Yah, tanpa
melanggar pamali pun dia sudah dipastikan sulit dapat jodoh kok.’
‘Hush! Mau dicubit lagi?’
‘Nah, yang
satu ini nih kakak
terfavorit sepanjang masa!’ aku berseru
sembari menunjuk perempuan yang sedang merangkulku di foto. Wajahnya tidak
terlalu jelas karena posenya yang seolah-olah ingin menciumku. ‘Namanya Adellaide, cuman beda setahun
denganku. Orang bilang dia aku
versi perempuan. Sifat kami sembilan puluh delapan persen sama. Dua persen yang
bedain cuma gender. Dia yang paling asyik. Cantik, populer dan rada selebor. Pacarnya, beeeeh bejibun! Dia gonta-ganti pacar sama seringnya dengan ganti bra. Adel sih lebih semacem partner in crime. Aku sering pura-pura jadi ‘pacar barunya’ kalo
Adel udah bosen sama pacarnya. Kalo gak kenal, orang akan
mengira kami
pacaran betulan.’
‘Terus kenapa namanya
Adellaide?’ Kanaya bertanya dengan mata yang berbinar.
‘Dulu Ayah pernah ekspansi
bisnis ke sana. Ya walaupun sekarang udah enggak. Sekarang malah Adel yang
kuliah di sana.’
‘Kamu sendiri? Kenapa dinamai
Kairo?’
‘Karena aku spesial. Anak
laki-laki yang paling ditunggu. Sama spesialnya seperti kota Kairo dalam
sejarah perjalanan cinta Ayah dan Ibu.’
Jadi ceritanya waktu itu Ibu sedang menempuh pendidikan di Kairo ketika Ayah mulai merintis
usahanya. Ayah sudah lama naksir Ibu sementara Ibu tidak. Suatu ketika usaha
Ayah mulai berkembang dan ia punya penghasilan yang lumayan. Ia memutuskan
untuk menyusul Ibu ke Kairo dan melamarnya. Satu kalipun Ayah belum pernah
menginjakkan kaki di Kairo. Naik pesawat terbang saja baru pertama kali. Tidak
tahu jalan, tidak bisa Bahasa Arab, berbekal selembar kertas bertuliskan
Universitas Kairo, akhirnya Ayah berhasil bertemu Ibu setelah tersesat
berhari-hari. Melihat itu, hati Ibu jadi tergugah dan mau menerima Ayah sebagai
pendamping hidupnya.
‘Uh..So sweet.
Ayah kamu romantis banget. Aku jadi tahu darimana bakat gombal kamu berasal.’
Aku tertawa mendengarnya. ‘Terus keluarga kamu sendiri
gimana?’
Kanaya menelan potongan besar red velvet di mulutnya dengan susah payah. Matanya
mengerjap-ngerjap bingung. ‘Seperti yang kamu tahu, ada Ibu dan Ayah. Dan yang
kamu gak tahu, ada satu kakak laki-laki. Tapi udah tiga tahun aku gak pernah
ketemu dia lagi.’
Glek! Aku jadi salah tingkah mendengar itu. Kukira
selama ini Kanaya anak tunggal. Aku sering ngobrol dengan Ibunya yang pelukis,
dan Ayahnya yang penulis. Mereka orang tua yang keren. Dua-duanya saling
berekspresi tanpa batas. Ibunya nyentrik, perokok berat, dan aku mengagumi
beberapa lukisannya. Ayahnya lebih nyentrik lagi, gondrong, pecinta reggae
dan berwawasan luas. Aku mengagumi kecerdasan di balik
tulisan-tulisannya. Kanaya sepertinya tidak mewarisi satupun dari bakat seni
orang tuanya. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang Kakaknya. Kupikir akan merusak
suasana kalau aku lanjut bertanya mengenai Kakaknya.
‘Wah, kuenya udah mau abis. Kamu mau satu lagi gak?’ aku
mencoba mengalihkan perhatian.
Kanaya tergelak di tempat duduknya. ‘Segitu niatnya kamu
ngalihin perhatian aku. Tapi aku gak keberatan sih kalo dipesenin satu lagi.
Kali ini cheesse cake ya!’
‘Dasar!’
***
Wajah Kanaya makin sumringah begitu aku keluar dari
gerai pizza dengan sekotak pizza keju yang masih hangat. Aku curiga dia lebih
cinta makanan daripada aku. Kulingkarkan tangan di pundaknya dan mengajaknya
pulang. Kami melewati panggung musik yang digelar di mall ini. Dengar-dengar
dari teman kampus, hari ini ada event musik yang lumayan besar di sini. Beberapa band dan
penyanyi pendatang baru ikut serta dalam event ini. Ramai sekali karena
beberapa produser dari perusahaan rekaman ternama dikabarkan akan menyaksikan
event ini.
Penonton bersorak-sorak ramai begitu sebuah band alternative rock selesai tampil.
Teriakan wanita memenuhi seantero mall. Aku juga pernah punya pacar yang
menggilai musik rock. Hanya bertahan seminggu saja karena aku ngeri dengan
perangai yang lebih sangar dari penjaga gerbang kampus.
Seorang cowok jatuh tersungkur persis di depan aku dan Kanaya. Dari penampilannya
yang nyentrik, kuduga dia personil band yang baru turun dari panggung. Tadi aku
melihatnya berlari-lari menghindari jangkauan cewek-cewek yang ingin
menyentuhnya.
Cowok itu berdiri, lalu menatap ke arah belakangnya.
Segerombol cewek tampak bergerak ke arahnya sambil bereriak histeris. Dan tanpa
diduga, dengan gerakan yang cepat cowok itu menarik tangan Kanaya dan
mengajaknya lari bersamanya. Tiga detik aku belum ngeh dengan gerakan yang cepat itu sampai akhirnya, ‘Anjrit! Woi
berhenti lo!’
***
Sepuluh menit aku berkeliling mall dengan putus asa. Aku
belum juga mendapatkan klu dimana Kanaya berada saat ini. Ponselnya yang mati
turut menyumbang kecemasan luar biasa dalam hatiku. Entah kulemparkan dimana
sekotak pizza keju tadi. Aku benar-benar kacau.
Aku tidak peduli beberapa orang memerhatikanku sambil
berbisik-bisik. Ya, aku mungkin sudah bisa disetarakan dengan orang depresi
saat ini. Entah sudah berapa kali pula aku melewati tempat yang sama,
naik-turun dengan eskalator yang sama, tapi belum juga kulihat batang hidung
Kanaya.
Sekali lagi kucoba men-dial nomor ponsel Kanaya. Namun hasilnya tetap sama. Aku masih
belum mendapat jawaban. Beberapa restoran, toko baju, hipermarket, bahkan
toilet wanita kumasuki untuk mencarinya, tapi hasilnya tetap nihil! Nihil! NIHIL!
Aku malah dilempari gulungan tisu toilet oleh beberapa wanita.
Siapa laki-laki brengsek itu? Kenapa dia tiba-tiba
menarik Kanaya bersamanya? Apa motifnya? Ya Tuhan! Beri sedikit petunjuk,
mukjizat, wangsit, atau apa saja tentang keberadaan Kanaya!
Hampir menyerah, akhirnya aku memutuskan untuk menunggu
Kanaya di area parkir basement. Kalau
dia masih di mall ini, hal pertama yang akan dia tuju untuk menemukanku adalah
mobilku, tentu saja. Dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu aku masih
mondar-mandir di depan mobilku. Kanaya belum juga muncul! Sial! Ban mobil harus
rela jadi sasaran tendanganku.
‘Kairo!’ Suara itu bagai oase di padang pasir. Aku hafal
suara itu dan segera tolah-toleh mencari sumbernya. Beberapa meter dari
tempatku berdiri, Kanaya berjalan mendekat bersama laki-laki yang tadi
menariknya. Emosiku membuncah hingga ke ubun-ubun. Aku berjalan cepat ke
arahnya dan mendaratkan bogem mentah hingga laki-laki itu tersungkur.
Kanaya memekik kaget dan seketika melompat menahan
tubuhku. Aku berusaha menyingkirkan
Kanaya namun dengan
cepat tangannya meraih wajahku. Nafasku tersengal-sengal saking kesalnya. ‘Kairo, stop! Kumohon
berhenti. Aku bisa jelaskan semuanya. Ok?’
Laki-laki itu bangkit sambil memegagi sudut bibirnya
yang mengeluarkan darah. Ditatapnya aku dengan senyum sinis yang menghidupkan
hasrat pingin nonjok dalam diriku. ‘Tonjokannya lumayan. Pertahanin tuh cowok
kayak dia,’
***
KANAYA’S VIEW
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Salip sana-sini
seakan kami sedang mengikuti kejuaraan Formula-1. Ini sih menantang maut
namanya. Yang benar saja, aku belum mau mati muda. Aku belum jadi Sarjana
Ekonomi, belum mencicipi dunia karir, dan belum menikah!
Sekian lama mengenal lelaki ini, belum pernah aku
melihat ia marah seperti ini. Tatapannya lurus ke jalan, urat-urat wajahnya
terlihat begitu tegang, dan butiran keringat memenuhi wajahnya. Padahal AC
mobil sedang menyala dan dingin sekali.
‘Dia Abangku,’ aku memulai membuka suara. Laju mobil
masih tinggi namun ketegangan di wajah Kairo berkurang mendengar kata-kataku.
Aku lanjut bercerita.
***
Napasku ngos-ngosan mengikuti Kafka yang berlari dengan
langkahnya yang besar-besar. Aku tidak mengerti dia menghindar dari siapa. Dan
aku juga tidak menduga akan bertemu dia hari ini. Sudah hampir tiga tahun
aku tidak pernah bertemu bahkan berkomunikasi dengan Kafka. Abangku
meninggalkan rumah demi mengejar impiannya menjadi musisi terkenal.
Langkah Kafka berhenti ketika sudah mencapai rooftop. Ia membungkuk ngos-ngosan
sedangkan aku lebih memilih untuk duduk bersandar di tembok. Kuperhatikan ia
dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar berbeda sejak tiga tahun
yang lalu. Badannya lebih berisi dengan otot lengan yang terlihat kokoh.
Rambutnya hitam pekat tergerai mencapai bahu. Kupastikan rambut Kafka jauh
lebih terawat dari rambutku sendiri. Tato-tatonya makin banyak. Dan sepertinya
dia juga memakai eye shadow hitam.
‘Elo muncul-muncul ngajak gue lari-larian gini. Lupa ya
gue paling benci olahraga?’ aku bersungut-sungut.
‘Sorry, baby.
Emang mau abang lo ini digrepe cewek-cewek tadi?’
‘Ya lo lari aja sendirian. Kenapa gue diajak-ajak sih.’
‘Emang lo gak kangen sama gue?’ Kafka beranjak duduk di
sampingku.
Aku diam sejenak berusaha
mencerna apa yang terjadi hari ini. Pagi tadi, aku benar-benar berharap bisa
menemukan alamat, nomor telepon, atau apapun yang bisa mengantarkanku bertemu
Kafka. Kuceritakan padanya apa yang kulihat tadi pagi di teras belakang rumah;
Ibu dan kanvas kosong.
Ini adalah hal langka bagiku
yang terbiasa melihat Ibu melukis dengan heboh. Bisa dikatakan ini pertama
kalinya aku melihat Ibu begitu murung. Belakangan aku terlalu sibuk jatuh cinta
hingga tidak sempat memerhatikan perubahan Ibu. Tadi pagi kudekati Ibu,
kurangkul ia dari belakang, dan kutanya apa yang membuatnya begitu murung. Dan
jawaban Ibu membuatku tercekat. Dengan berlinang air mata, suaranya yang parau
mengatakan, ‘Ayah akan menikah.’
Gantian Kafka yang tercekat.
Seperti aku, dia tau pasti apa yang Ibu rasakan terhadap Ayah. Ibu hanya
mencintai Ayah seorang, sekalipun ketok palu pengadilan agama telah memisahkan
mereka.
‘Gue mohon lo pulang, bicara
sama Ayah,’ aku menatapnya dengan air mata yang hampir tumpah.
Kafka hanya diam. Aku tahu apa
yang dia pikirkan. Dia sedang memikirkan ucapannya tempo hari sebelum ia pergi.
Kafka bersumpah tidak akan pulang sebelum namanya sebagai musisi dikenal
setidaknya oleh seribu orang. Dan aku tahu pasti dia belum jadi apa-apa saat
ini.
‘Ka..’ aku menyentuh pundaknya.
‘Sebaiknya lo pulang, Kan. Cowok
lo tadi pasti nyariin.’
***
CKIT! Pedal rem diinjak
sedalam-dalamnya. Mobil menepi dengan cepat. Nyaris membuat jantungku melompat
keluar dari rongga dada. Gila! Ini gila! Belum sempat aku melayangkan komplain,
dengan gerakan cepat Kairo membuka seat
belt dan menarikku ke dalam dekapannya.
‘Don't you ever do this again to me,’ ujarnya pelan. Dengan posisi kepalaku yang menempel di dadanya, aku
bisa mendengar jelas bagaimana jantungnya berdetak amat cepat. 'I can't forgive myself if any bad thing happens to you.'
‘Kairo, sori.’
0 komentar:
Posting Komentar