Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN 13 | SEPOTONG CERITA

KAIRO’S VIEW

Aku merasakan sensasi yang baru lagi dalam kehidupanku. Ya, kali ini sensasi yang kurasakan benar-benar luar biasa. Semua aura terasa positif. Aku tidak bisa tidur, tapi aku bangun dengan badan yang terasa begitu segar. Aku baru percaya pada jargon-jargon orang jatuh cinta bahwa jatuh cinta adalah ketika kamu tidak bisa tidur, karena kenyataan lebih indah daripada sebuah mimpi. Entah jargon itu berlaku tidak untukku yang memang insomniak parah.

Aku juga mendadak rajin. Beberapa hari ini aku berkhianat pada kios binatu dekat kos-kosan dengan mencuci sendiri pakaianku, dan entah kerasukan setan apa tiba-tiba aku membereskan kamarku yang bak kapal karam bajak laut. Aku juga baru tahu kalau ternyata jatuh cinta bisa menghidupkan naluri kepembantuan seseorang.

Setelah petualangan cintaku yang begitu panjang, akhirnya aku merasa telah sampai pada tujuan. Seperti pelari yang sudah mencapai garis finish. Atau pejuang yang mencapai kemerdekaan. Kalau kau berniat membuat daftar nama mantan pacarku, kurasa kau butuh dua lembar HVS untuk mencatat nama mantan yang kuingat. Iya, yang kuingat saja.

Kuputuskan untuk pensiun menjadi seorang cassanova. Perjalananku berhenti di Kanaya, cewek yang tak kusadari telah ‘merampok’ seluruh tempat di hatiku selama beberapa bulan terakhir ini. Awal bertemu dengannya, aku melihatnya sebagai cewek yang ‘lain’. Ketika melihatnya duduk di pojok cafe, menghabiskan waktu berjam-jam hampir setiap hari, aku merasakan sedikit ketertarikan padanya. Bukan ketertarikan seperti naksir, karena penampilannya benar-benar biasa dan tidak naksir-able. Aku tertarik dengan dia yang seperti sibuk dengan dunianya sendiri. Dia agak cuek, pikiran dan penampilannya sederhana, namun sepertinya ia amat menikmati dunianya, sendirian, nyaris tanpa teman.

Aku sempat merasa seperti telah terjadi mutasi gender dalam diriku ketika aku mulai merasakan bahwa Kanaya bukanlah teman biasa. Ya, aku benar-benar merasa seperti perempuan saja. Galau berhari-hari hanya karena mencintai sahabatku dan takut ditolak.

Namun semua kegalauan telah berakhir! Aku sudah yakin bahwa aku laki-laki tulen! Beberapa hari yang lalu telah kunyatakan pada Kanaya tentang perasaanku padanya. Aku harus banyak-banyak berterimakasih pada James. Kuakui dia memang hacker yang cukup handal. Dia yang kupaksa meretas blog itu untuk mengetahui siapa pemiliknya. Dan akhirnya, aku dan dia sama-sama tahu mengenai perasaan masing-masing.

Siang ini hujan turun lumayan deras. Dan kami terjebak dalam kemacetan yang entah sebabnya apa. Biasanya aku selalu menggerutu kalau macet begini. Namun sekarang ceritanya lain. Di sebelahku, duduk seorang perempuan aneh –dan  membuatku tergila-gila, yang tampak suka sekali menatap air hujan yang mengalir di kaca mobil. Tangannya ditempelkan ke kaca mobil seakan merasakan setiap dingin yang menjalari telapak tangannya. Senyum tak juga lepas dari wajahnya menatapi tiap tetes hujan yang mengalir di kaca mobil.

Really, i love rain.’ Gumamnya dengan mata yang kini dipejamkan.

‘Kamu itu ketemu hujan kayak ketemu boyband Korea aja. Girang amat.’

‘Ini lebih baik dari sekadar ketemu boyband Korea. Lagipula hei, sejak kapan aku suka musik Korea?’

Alamak. Aku salah kata-kata. Yang akan senang sekali kalau ketemu boyband Korea itu bukan Kanaya, tapi Navita. Takut-takut aku melirik Kanaya. Tapi sepertinya dia tidak menyadari kata-kataku. Kini giliran pipinya yang ditempelkan pada kaca mobil. Tidak ada tanda-tanda dia ngeh pada kesalahbicaraanku tadi. Aku menghela napas lega. Kuulurkan tanganku untuk mengacak rambutnya.
Sedetik saja aku tidak akan membiarkan manusia ini hilang dari hidupku.

***

Secangkir coffe latte, punya Kanaya, secangkir black coffe, punya ku, dan dua potong red velvet tersaji di meja. Dua potong red velvet itu semuanya untuk Kanaya. Sebenarnya belum cukup. Habis dari cafe aku masih harus membelikannya sekotak pizza keju ukuran large. Itu imbalan yang menurut Kanaya pantas untuk mengajaknya hang out di mall. Aku setuju-setuju saja. Apapun akan kurelakan asal aku bisa bersama dengannya. Dosaku juga sih, aku ngotot mengajaknya kemari padahal aku tahu persis Kanaya hampir tidak suka keramaian. Kalau dia terlihat berkeliaran di mall berarti ia sedang suntuk berat. Dan hari ini aku sedang bosan dengan menu monoton cafe tempat kami biasa nongkrong.

‘Hari ini apa lagi Mr. Cassanova yang hobi jalan-jalan?’ Kanaya berkata dengan mulut penuh.

‘Just another quality time with you.’

Kanaya melengos sambil tertawa. ‘Jangan sampe karena kenyang makan sepikan kamu, aku jadi gak bisa ngabisin serpihan surga ini deh.’

‘Kamu ini, tujuh dari sepuluh cewek pasti pasang muka unyu kalo cowok udah ngomong gitu.’

‘Sudah bisa dipastikan aku salah satu dari tiga cewek yang enggak.’

‘Terus yang dua lagi siapa?’

‘Ibumu dan Ibuku.’

Aku tertawa membenarkan. Dan tiba-tiba saja aku jadi merindukan Ibu. Aku mengambil ponsel di saku lalu meminjam earphone Kanaya. Setelah earphone terpasang dan kuberikan satu pada Kanaya, segera kutekan tombol 2 yang sudah di-set untuk nomor telepon Ibu. Aku hanya tersenyum saat Kanaya bertanya lewat ekspresi wajahnya.

Assalamualaikum Abangnya Ibu..’ Suara halus Ibu menyapa dengan lembut. Tidak berlebihan jika kusebut menenangkan hingga ke sumsum tulang. Kanaya hampir tersedak menahan tawa mendengar aku dipanggil demikian.

Alaikum salam. Ibu sehat?’

‘Alhamdulillah, Nak. Baru selesai mendoakan Abang, eh yang didoakan telfon. Sudah hampir dua minggu Abang tidak telfon.’

‘Hehehe maaf, Bu. Aku lagi keasyikan pacaran.’ Kanaya melotot sejadi-jadinya mendengar aku bicara seperti itu. Pipinya bersemburat kemerahan yang membuatnya makin menarik.

Pacarnya dikenalkan dong sama Ibu.’

Aku memberi isyarat agar Kanaya bicara dengan Ibu. Kanaya melotot panik dan pipinya makin merah. Ragu-ragu ia menyapa Ibu pelan. ‘Halo, Tante. Saya Kanaya.’

‘Halo juga. Ibu senang sekali akhirnya ada juga pacar Abang yang dikenalkan ke Ibu.’

‘Memangnya belum ada yang dikenalkan, Tante?’

Tuh makanya kamu harus bangga jadi cewek pertama yang kukenalin sama Ibu,’ aku menimpali.

‘Apapun itu, Ibu harap Abang tidak akan menyakiti hati perempuan. Oh iya, Kanaya, Ibu titip Kairo ya. Dia suka lupa makan kalau tidak diingatkan. Ibu harap kalian bisa saling menjaga.’

Kanaya diam. Kurasa dia bingung mau menanggapi seperti apa. Pipinya makin bersemu kemerahan. ‘Ibu ini. Kayak aku mau kawin besok aja deh,’ aku menyeletuk mencairkan kebisuan.

‘Nikah, Nak. Bukan kawin. Ngomong-ngomong Abang gak pulang dalam waktu dekat? Ibu kangen sekali.’

‘Maaf, Bu. Aku kayaknya gak bisa pulang. Banyak tugas. Aku mau cepet lulus.’

‘Wah kalau tahu jadi rajin begini, coba dari dulu saja kamu ketemu Kanaya. Oh iya, Nak. Ayah sudah pulang, Ibu mau bikinkan minum dulu.’

‘Ibu gak sopan deh. Aku yang nelfon kok Ibu yang nyudahin duluan.’

‘Assalamualaikum’  Telepon ditutup.

‘Gak nyangka! Ternyata segitu manjanya kamu kalau di rumah,’ Kanaya berkata sambil terpingkal-pingkal. ‘Aku jadi pingin ketemu Ibu kamu.’

‘Kapan-kapan kita ke Bandung deh.’

Dan ia kelihatan tertarik dengan topik ke Bandung itu. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Ibu. Aku pernah punya pacar yang ngotot ingin kenalan dengan Ibu. Aku lupa siapa, entah Siska, Patricia, atau Denisa. Tapi belum sempat mengenalkan, aku sudah kepincut cewek lain duluan.

Kanaya lanjut bertanya mengenai satu per satu keluargaku. Kuceritakan padanya bagaimana Ayah dan Ibu merupakan dua orang yang saling melengkapi dalam keluarga kami. Kalau Ayah api, Ibu adalah air. Kalau Ayah sedang marah, Ibu akan dengan tenang menyentuh pundaknya dan berkata, ‘Ayah, cukup’ dan secara ajaib Ayah akan langsung tenang. Ibu bagai poros dalam rotasi keluarga kami. Dan Ayah adalah orang yang sangat bergantung pada Ibu. Memilih pakaian, makanan, dan jadwal asupan vitamin serta obat Ayah tidak lepas dari tangan Ibu. Dalam hal berbisnis sekalipun, tidak ada satu keputusan Ayah tanpa disetujui dulu oleh Ibu.

Kuceritakan juga padanya tentang kami berempat, kakak beradik dengan nama Kota di dunia. Setiap nama memiliki arti tersendri bagi kehidupan Ayah dan Ibu.

Aku membuka folder foto di ponselku dan memperlihatkan sebuah foto kami berempat yang diambil pada momen idul fitri tahun lalu.  ‘Yang ini Paris,’ aku menunjuk perempuan bertampang tirus yang tampak enggan difoto.  ‘Lebih tua delapan tahun, kaku, introver, dan gila belajar. Lulus S2 cum laude di Perancis, eh masih kurang aja. Sekarang lagi riset entah apa buat desertasi. Menurutku sih, kayaknya dia anak pungut.’

Kanaya melotot sambil mencubiti lenganku. ‘Sembarangan aja kalo ngomong.’

Aku meringis-ringis mengelus lengan. ‘Abisan dia aneh banget. Di rumah gak ada yang kayak dia. Aku aja hampir gak pernah ngobrol sama dia. Malesin.’

‘Terus kenapa namanya Paris?’

‘Itu tempat bulan madu Ayah-Ibu.’

Aku melanjutkan ke perempuan berambut pendek di sebelah Paris. Brazil, empat tahun lebih tua dariku. Sudah pasti bisa ditebak kenapa namanya Brazil. Ayah tergila-gila dengan Tim Samba. Bertentangan denganku yang lebih suka Timnas Spanyol. Di rumah, Brazil mengambil alih peran Kakak Tertua. Karena Paris cenderung cuek, lebih suka menyendiri di kamar, menekuri buku-bukunya yang lebih tebal dari Burger King, dan tidak pernah mau tahu urusan adik-adiknya. Brazil-lah yang selalu jadi Kakak baik hati bagiku. Dia yang lebih dulu kuberitahu ketika aku dikeroyok waktu SMA. Dia juga yang sebisa mungkin mengatasi semua problemku sebelum terendus oleh hidung Ayah. Dia adalah malaikat kedua setelah Ibu dalam hidupku. Brazil juga oknum yang paling sebal melihat Paris yang tak kunjung menikah sementara Brazil sudah mantap menjadi Dokter dan kebelet menikah.

‘Ibu bilang pamali ‘melangkahi’ kakak perempuan. Nanti Paris sulit dapat jodoh. Yah, tanpa melanggar pamali pun dia sudah dipastikan sulit dapat jodoh kok.’

‘Hush! Mau dicubit lagi?’

Nah, yang satu ini nih kakak terfavorit sepanjang masa!’ aku berseru sembari menunjuk perempuan yang sedang merangkulku di foto. Wajahnya tidak terlalu jelas karena posenya yang seolah-olah ingin menciumku. ‘Namanya Adellaide, cuman beda setahun denganku. Orang bilang dia aku versi perempuan. Sifat kami sembilan puluh delapan persen sama. Dua persen yang bedain cuma gender. Dia yang paling asyik. Cantik, populer dan rada selebor. Pacarnya, beeeeh bejibun! Dia gonta-ganti pacar sama seringnya dengan ganti bra. Adel sih lebih semacem partner in crime. Aku sering pura-pura jadi ‘pacar barunya’ kalo Adel udah bosen sama pacarnya. Kalo gak kenal, orang akan mengira kami pacaran betulan.

‘Terus kenapa namanya Adellaide?’ Kanaya bertanya dengan mata yang berbinar.

‘Dulu Ayah pernah ekspansi bisnis ke sana. Ya walaupun sekarang udah enggak. Sekarang malah Adel yang kuliah di sana.’

‘Kamu sendiri? Kenapa dinamai Kairo?’

‘Karena aku spesial. Anak laki-laki yang paling ditunggu. Sama spesialnya seperti kota Kairo dalam sejarah perjalanan cinta Ayah dan Ibu.’

Jadi ceritanya waktu itu Ibu sedang menempuh pendidikan di Kairo ketika Ayah mulai merintis usahanya. Ayah sudah lama naksir Ibu sementara Ibu tidak. Suatu ketika usaha Ayah mulai berkembang dan ia punya penghasilan yang lumayan. Ia memutuskan untuk menyusul Ibu ke Kairo dan melamarnya. Satu kalipun Ayah belum pernah menginjakkan kaki di Kairo. Naik pesawat terbang saja baru pertama kali. Tidak tahu jalan, tidak bisa Bahasa Arab, berbekal selembar kertas bertuliskan Universitas Kairo, akhirnya Ayah berhasil bertemu Ibu setelah tersesat berhari-hari. Melihat itu, hati Ibu jadi tergugah dan mau menerima Ayah sebagai pendamping hidupnya.

Uh..So sweet. Ayah kamu romantis banget. Aku jadi tahu darimana bakat gombal kamu berasal.’

Aku tertawa mendengarnya. ‘Terus keluarga kamu sendiri gimana?’

Kanaya menelan potongan besar red velvet di mulutnya dengan susah payah. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. ‘Seperti yang kamu tahu, ada Ibu dan Ayah. Dan yang kamu gak tahu, ada satu kakak laki-laki. Tapi udah tiga tahun aku gak pernah ketemu dia lagi.’

Glek! Aku jadi salah tingkah mendengar itu. Kukira selama ini Kanaya anak tunggal. Aku sering ngobrol dengan Ibunya yang pelukis, dan Ayahnya yang penulis. Mereka orang tua yang keren. Dua-duanya saling berekspresi tanpa batas. Ibunya nyentrik, perokok berat, dan aku mengagumi beberapa lukisannya. Ayahnya lebih nyentrik lagi, gondrong, pecinta reggae dan berwawasan luas. Aku mengagumi kecerdasan di balik tulisan-tulisannya. Kanaya sepertinya tidak mewarisi satupun dari bakat seni orang tuanya. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang Kakaknya. Kupikir akan merusak suasana kalau aku lanjut bertanya mengenai Kakaknya.

‘Wah, kuenya udah mau abis. Kamu mau satu lagi gak?’ aku mencoba mengalihkan perhatian.

Kanaya tergelak di tempat duduknya. ‘Segitu niatnya kamu ngalihin perhatian aku. Tapi aku gak keberatan sih kalo dipesenin satu lagi. Kali ini cheesse cake ya!’

‘Dasar!’

***

Wajah Kanaya makin sumringah begitu aku keluar dari gerai pizza dengan sekotak pizza keju yang masih hangat. Aku curiga dia lebih cinta makanan daripada aku. Kulingkarkan tangan di pundaknya dan mengajaknya pulang. Kami melewati panggung musik yang digelar di mall ini. Dengar-dengar dari teman kampus, hari ini ada event musik yang lumayan besar di sini. Beberapa band dan penyanyi pendatang baru ikut serta dalam event ini. Ramai sekali karena beberapa produser dari perusahaan rekaman ternama dikabarkan akan menyaksikan event ini.

Penonton bersorak-sorak ramai begitu sebuah band alternative rock selesai tampil. Teriakan wanita memenuhi seantero mall. Aku juga pernah punya pacar yang menggilai musik rock. Hanya bertahan seminggu saja karena aku ngeri dengan perangai yang lebih sangar dari penjaga gerbang kampus.

Seorang cowok jatuh tersungkur persis di depan aku dan Kanaya. Dari penampilannya yang nyentrik, kuduga dia personil band yang baru turun dari panggung. Tadi aku melihatnya berlari-lari menghindari jangkauan cewek-cewek yang ingin menyentuhnya.

Cowok itu berdiri, lalu menatap ke arah belakangnya. Segerombol cewek tampak bergerak ke arahnya sambil bereriak histeris. Dan tanpa diduga, dengan gerakan yang cepat cowok itu menarik tangan Kanaya dan mengajaknya lari bersamanya. Tiga detik aku belum ngeh dengan gerakan yang cepat itu sampai akhirnya, ‘Anjrit! Woi berhenti lo!’

***

Sepuluh menit aku berkeliling mall dengan putus asa. Aku belum juga mendapatkan klu dimana Kanaya berada saat ini. Ponselnya yang mati turut menyumbang kecemasan luar biasa dalam hatiku. Entah kulemparkan dimana sekotak pizza keju tadi. Aku benar-benar kacau.

Aku tidak peduli beberapa orang memerhatikanku sambil berbisik-bisik. Ya, aku mungkin sudah bisa disetarakan dengan orang depresi saat ini. Entah sudah berapa kali pula aku melewati tempat yang sama, naik-turun dengan eskalator yang sama, tapi belum juga kulihat batang hidung Kanaya.

Sekali lagi kucoba men-dial nomor ponsel Kanaya. Namun hasilnya tetap sama. Aku masih belum mendapat jawaban. Beberapa restoran, toko baju, hipermarket, bahkan toilet wanita kumasuki untuk mencarinya, tapi hasilnya tetap nihil! Nihil! NIHIL! Aku malah dilempari gulungan tisu toilet oleh beberapa wanita.

Siapa laki-laki brengsek itu? Kenapa dia tiba-tiba menarik Kanaya bersamanya? Apa motifnya? Ya Tuhan! Beri sedikit petunjuk, mukjizat, wangsit, atau apa saja tentang keberadaan Kanaya!

Hampir menyerah, akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Kanaya di area parkir basement. Kalau dia masih di mall ini, hal pertama yang akan dia tuju untuk menemukanku adalah mobilku, tentu saja. Dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu aku masih mondar-mandir di depan mobilku. Kanaya belum juga muncul! Sial! Ban mobil harus rela jadi sasaran tendanganku.

‘Kairo!’ Suara itu bagai oase di padang pasir. Aku hafal suara itu dan segera tolah-toleh mencari sumbernya. Beberapa meter dari tempatku berdiri, Kanaya berjalan mendekat bersama laki-laki yang tadi menariknya. Emosiku membuncah hingga ke ubun-ubun. Aku berjalan cepat ke arahnya dan mendaratkan bogem mentah hingga laki-laki itu tersungkur.

Kanaya memekik kaget dan seketika melompat menahan tubuhku. Aku berusaha menyingkirkan Kanaya namun dengan cepat tangannya meraih wajahku. Nafasku tersengal-sengal saking kesalnya. ‘Kairo, stop! Kumohon berhenti. Aku bisa jelaskan semuanya. Ok?’

Laki-laki itu bangkit sambil memegagi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Ditatapnya aku dengan senyum sinis yang menghidupkan hasrat pingin nonjok dalam diriku. ‘Tonjokannya lumayan. Pertahanin tuh cowok kayak dia,’

***

KANAYA’S VIEW

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Salip sana-sini seakan kami sedang mengikuti kejuaraan Formula-1. Ini sih menantang maut namanya. Yang benar saja, aku belum mau mati muda. Aku belum jadi Sarjana Ekonomi, belum mencicipi dunia karir, dan belum menikah!

Sekian lama mengenal lelaki ini, belum pernah aku melihat ia marah seperti ini. Tatapannya lurus ke jalan, urat-urat wajahnya terlihat begitu tegang, dan butiran keringat memenuhi wajahnya. Padahal AC mobil sedang menyala dan dingin sekali.

‘Dia Abangku,’ aku memulai membuka suara. Laju mobil masih tinggi namun ketegangan di wajah Kairo berkurang mendengar kata-kataku. Aku lanjut bercerita.

***

Napasku ngos-ngosan mengikuti Kafka yang berlari dengan langkahnya yang besar-besar. Aku tidak mengerti dia menghindar dari siapa. Dan aku juga tidak menduga akan bertemu dia hari ini. Sudah hampir tiga tahun aku tidak pernah bertemu bahkan berkomunikasi dengan Kafka. Abangku meninggalkan rumah demi mengejar impiannya menjadi musisi terkenal.

Langkah Kafka berhenti ketika sudah mencapai rooftop. Ia membungkuk ngos-ngosan sedangkan aku lebih memilih untuk duduk bersandar di tembok. Kuperhatikan ia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar berbeda sejak tiga tahun yang lalu. Badannya lebih berisi dengan otot lengan yang terlihat kokoh. Rambutnya hitam pekat tergerai mencapai bahu. Kupastikan rambut Kafka jauh lebih terawat dari rambutku sendiri. Tato-tatonya makin banyak. Dan sepertinya dia juga memakai eye shadow hitam.

‘Elo muncul-muncul ngajak gue lari-larian gini. Lupa ya gue paling benci olahraga?’ aku bersungut-sungut.

Sorry, baby. Emang mau abang lo ini digrepe cewek-cewek tadi?’

‘Ya lo lari aja sendirian. Kenapa gue diajak-ajak sih.’

‘Emang lo gak kangen sama gue?’ Kafka beranjak duduk di sampingku.

Aku diam sejenak berusaha mencerna apa yang terjadi hari ini. Pagi tadi, aku benar-benar berharap bisa menemukan alamat, nomor telepon, atau apapun yang bisa mengantarkanku bertemu Kafka. Kuceritakan padanya apa yang kulihat tadi pagi di teras belakang rumah; Ibu dan kanvas kosong.

Ini adalah hal langka bagiku yang terbiasa melihat Ibu melukis dengan heboh. Bisa dikatakan ini pertama kalinya aku melihat Ibu begitu murung. Belakangan aku terlalu sibuk jatuh cinta hingga tidak sempat memerhatikan perubahan Ibu. Tadi pagi kudekati Ibu, kurangkul ia dari belakang, dan kutanya apa yang membuatnya begitu murung. Dan jawaban Ibu membuatku tercekat. Dengan berlinang air mata, suaranya yang parau mengatakan, ‘Ayah akan menikah.’

Gantian Kafka yang tercekat. Seperti aku, dia tau pasti apa yang Ibu rasakan terhadap Ayah. Ibu hanya mencintai Ayah seorang, sekalipun ketok palu pengadilan agama telah memisahkan mereka.

‘Gue mohon lo pulang, bicara sama Ayah,’ aku menatapnya dengan air mata yang hampir tumpah.

Kafka hanya diam. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia sedang memikirkan ucapannya tempo hari sebelum ia pergi. Kafka bersumpah tidak akan pulang sebelum namanya sebagai musisi dikenal setidaknya oleh seribu orang. Dan aku tahu pasti dia belum jadi apa-apa saat ini.

‘Ka..’ aku menyentuh pundaknya.

‘Sebaiknya lo pulang, Kan. Cowok lo tadi pasti nyariin.’

***

CKIT! Pedal rem diinjak sedalam-dalamnya. Mobil menepi dengan cepat. Nyaris membuat jantungku melompat keluar dari rongga dada. Gila! Ini gila! Belum sempat aku melayangkan komplain, dengan gerakan cepat Kairo membuka seat belt dan menarikku ke dalam dekapannya.

Don't you ever do this again to me,’ ujarnya pelan. Dengan posisi kepalaku yang menempel di dadanya, aku bisa mendengar jelas bagaimana jantungnya berdetak amat cepat. 'I can't forgive myself if any bad thing happens to you.'

‘Kairo, sori.’

Kairo hanya diam, membenamkan wajahnya lebih dalam pada pundakku. Dan tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain balik mendekapnya, membiarkannya tenang. Setidaknya sampai detak jantung itu kembali normal.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar