KANAYA’S VIEW
Undangan beramplop merah marun itu kuletakkan begitu saja di meja
belajar kamarku. Undangan ulang tahun Navita yang diberikannya siang tadi. Aku
bingung ingin datang atau tidak. Sudah bisa dipastikan, manusia yang satu itu
pasti ada di sana. Tapi aku juga tidak enak hati kalau sampai tidak datang.
Entah apa yang terjadi denganku. Aku sendiri, si pemilik jiwa ini
tidak memahaminya. Satu-satunya yang kupahami, saat ini manusia satu itu adalah
makhluk terakhir yang ingin kutemui di muka bumi ini. Entah apa alasannya.
Mungkin karena kemarin dia bilang bahwa Navita mulai mencurigai statusku atas dirinya.
Atau.. justru karena aku cemburu. Karena beberapa hari terakhir Kairo selalu
menghabiskan waktu bersama Navita.
Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku sudah siap dengan ini.
Karena sejak awal aku sudah tahu bagaimana resikonya jika jatuh cinta dengan
Kairo. Ternyata benar adanya, teori jauh lebih gampang ketimbang prakteknya.
Ponselku bergetar-getar di atas meja. Getarannya membuat ponsel itu
berputar seratus delapan puluh derajat. Inisial manusia itu terpampang di layar
ponselku : KCK. Beberapa hari yang lalu aku berniat menggantinya jadi MCK. Tapi
kuurungkan. Aku masih menyayangi makhluk satu itu.
‘Belum tidur?’ tembaknya bahkan sebelum aku sempat bilang halo.
‘Belum.’
‘Aku di depan nih. Keluar ya!’ Telepon dimatikan. Bocah itu!
Aku menyibakkan tirai. Benar saja. Di depan pagar rumahku, Ford Ranger
birunya sudah bertengger. Jam di ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan
malam. Mau apa cowok itu menemuiku malam-malam begini? Satu-satunya cara untuk
tahu adalah menemuinya.
Aku keluar dari rumah dengan niat setengah-setengah. Maksudku bukan
setengah niat. Setengah niatku ingin tahu apa maksudnya menemuiku, dan setengah
lagi digerakkan oleh hatiku yang rindu melihat wajahnya. Ajaib sekali aku ini. Belum sampai sejam yang lalu aku berkoar-koar tidak ingin menemuinya. Hebat sekali efek yang ditimbulkan dari dua kalimat laki-laki itu. Bisa merubah pendirian orang. Aku masuk ke dalam
mobil dan mendapatinya tersenyum menatapku hangat. Harum parfumnya meruap
memenuhi mobil. Harum yang selalu kurindukan.
‘Hei, Nona.’ Dia membelai rambut depanku. Ia terus tersenyum.
Senyumnya membuat sendi-sendiku mendadak kaku. Sungguh aku masih belum terbiasa
juga dengan perlakuannya ini.
‘Kamu ngapain malam-malam ke sini?’
Senyum di wajahnya memudar. Alisnya berkerut dan bibirnya dimajukan.
‘Memangnya gak boleh ya?’
‘Bukan begitu, tapi..’
Belum selesai aku bicara, tiba-tiba ia meraih tanganku, membenamkannya
di dadanya sendiri. Sandaran mobilnya diturunkan dan ia menyandar di sana.
Matanya dipejamkan rapat. ‘I miss this
moment. Akhir-akhir ini kamu sering menghindar. Aku harus punya banyak
‘stok’ momen sama kamu. Biar gak kangen terus.’
‘Aku gak menghindar kok.’
Kairo tidak menjawab. Entah apa yang ia rasakan ketika memegang
tanganku. Yang pasti aku yakin sekali tanganku tidak mengandung senyawa apapun
yang bisa membuat seseorang tertidur. Secara hati-hati sekali, aku memerhatikan
wajahnya. Ia tampak begitu innocent
saat sedang tertidur. Tidak ada yang akan menyangka bahwa pria yang sedang
tidur ini adalah playboy cap gajah
kayang.
‘Wajahku sepuluh kali lipat lebih ganteng kan kalo lagi tidur?’ Kairo
tiba-tiba bersuara. Buru-buru aku membuang muka. Alamak.
Kutarik napas mencoba rileks. ‘Kuakui, memang betul. Dan gak akan ada
yang nyangka kalau malaikat yang sedang tidur ini ternyata Master
membolak-balikkan perasaan wanita.’
Suasana jadi hening. Kalimat yang tadinya kulontarkan dengan bercanda
berubah jadi semacam senjata pemusnah tawa. Ya elah, lagi-lagi aku salah
bicara. Apa untuk ngobrol dengan seorang ‘pacar’ ada kursusnya?
Takut-takut, aku melirik Kairo. Laki-laki itu hanya diam, menekuri
jemariku yang digenggamnya. Alisnya berkerut dan kepedihan tergambar jelas di
gambarnya.
‘Nay,’ ia memanggilku lirih. ‘Maaf. Tanpa aku sadari, sepertinya aku
sudah banyak menyakiti kamu. Aku janji secepatnya akan mengakhiri semuanya.’
Kairo berpaling menatapku. Tangannya memegangi kedua belah pipiku dan
menatapku hangat. ‘Mengenai undangan ulang tahun itu, kamu gak usah datang. Aku
gak mau kamu merasa.. –merasa gak enak hati di sana.’
‘Menurutmu kenapa aku harus gak enak hati? Aku harus datang. Navita
sendiri yang kasih undangan ke aku. Aku gak mungkin mengabaikan.’
Lama Kairo diam. Tatapannya menghujam kedua bola mataku. Seolah
mencari-cari apa yang tengah kusembunyikan darinya. ‘Kamu yakin?’
‘Gak pernah seyakin ini.’
***
Aku memasuki café yang mulai ramai itu. Dengan Baro yang selalu
bersedia menemaniku kapanpun aku minta. Andai perasaan ini bisa kusetir, ingin
sekali aku mencintai pria ini saja. Baro terlihat gagah dengan kemeja hitam
yang dikenakannya. Wajahnya selalu tersenyum hingga aku sendiri tak mampu
menebak perasaannya. Senyum yang ia lontarkan kepadaku selalu tulus. Hingga
tidak berlebihan rasanya jika kukatakan senyumnya bagai aromaterapi yang
menenangkan.
Lantunan musik jazz mengalun dari pengeras suara café itu. Dilantunkan
dengan apik oleh home band bervokalis
perempuan dari panggung kecil seperti undakan di sudut café. Sebetulnya café
ini tidak terlalu ramai. Tapi tidak bisa dikatakan sepi juga. Meja-meja mulai
diisi oleh beberapa anak muda. Aku hampir tidak mengenali mereka karena
kebanyakan dari mereka teman kampus Navita.
Aku memilih duduk di sudut yang kebetulan kosong. Tempat favoritku.
Dari sini aku bisa melihat dengan jelas ke seluruh penjuru café. Ada beberapa
perempuan yang asyik bergosip dengan heboh beberapa meter dari mejaku. Ada juga
sekelompok perempuan nerd yang kutebak
adalah teman-teman sekelas Navita. Bahkan di acara ulang tahun seperti ini saja
mereka masih membaca buku. Dan aku melihat Navita duduk di dekat meja
bartender. Ia tampak begitu murung. Alisnya berkerut-kerut. Sangat kontras
dengan baju dan riasan wajahnya yang cerah. Ia terus menatapi ponselnya.
Sesekali ia mendekatkan ponsel itu ke telinga lalu menjauhkannya kembali dengan
sedih. Sejenak aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru café. Aha! Akhirnya
kutemukan juga apa yang membuat Navita murung begitu. Kairo belum tampak batang
hidungnya. Kemana anak itu? Apa dia berniat tidak datang? Ah, buru-buru kutepis
kemungkinan-kemungkinan itu dari kepalaku.
Tapi kepanikanku berlanjut ketika si MC mulai memanggil Navita naik ke
atas panggung dan Kairo belum juga muncul. MC yang kurang pengertian itu,
dengan iringan musik dari home band, langsung mengajak seisi café melantunkan lagu
‘tiup lilin’. Seketika aku merasa sedang menghadiri perayaan ulang tahun anak
TK.
Aku tidak memerhatikan betapa heboh MC-nya, atau betapa enak tiramisu
di atas panggung itu. Aku hanya memerhatikan Navita. Gadis itu tidak henti
memandangi pintu café. Bukan hanya Navita, aku juga harap-harap cemas menanti
kehadiran si Cassanova itu. Apa dia betul-betul serius dengan ucapannya semalam?
Duh, aku bisa gila.
‘Ayo cantik, tiup lilinnya!’ si MC rada ngondek itu berkoar-koar di
depan Navita. Tapi yang diajak bicara malah berdiri mematung, seolah suara
cempreng MC itu hanya bisikan setan yang tak terdengar.
Tak butuh waktu lama untuk membuat air mata Navita jatuh. Dengan cepat
ia meninggalkan panggung sambil mengusap air matanya. Aku sudah berdiri ingin
mengejarnya ketika kulihat langkah Navita terhenti. Seseorang menahan
lengannya, Kairo. Tau-tau anak itu muncul dengan wajah tanpa dosa, cengengesan.
Navita bukannya lega, ia malah menghambur ke pelukan laki-laki itu sambil
menangis tersedu-sedu. Seisi café bergumam. Mereka menganggap itu sebuah
pemandangan yang amat romantis. Sementara bagiku, itu adalah pemandangan
menyakitkan. Hanya sepersekian detik setelah menyaksikan itu, perutku mendadak
mulas dan dadaku sesak.
Entah apa pemandangan berikutnya aku hampir tidak mampu menyaksikan.
Mendadak seisi café menjadi blur. Suara
MC yang melengking-lengking itu hanya terdengar bagai lolongan serigala yang
tidak jelas. Ada apa sih dengan diriku ini? Tadi aku berharap Kairo datang dan
tidak mengecewakan Navita. Sekarang, setelah laki-laki itu datang, hatiku
menjadi sedih dan rasanya tidak rela melihat kebersamaan mereka.
Baro menyodorkan segelas minuman warna-warni untukku. Sepertinya dia
mulai bisa membaca suasana hatiku. Mau tak mau aku berusaha santai. Tapi
sayangnya aku lupa kalau menenggak habis minuman dalam satu tarikan napas
ternyata mengundang kecurigaan.
‘Are you okay?’ Baro
menatapku dengan cemas.
‘Aku oke. Cuman lagi haus aja.’
‘Are you sure?’
Kali ini aku mencoba tersenyum. Kutinju pelan lengan Baro. ‘Duh, aku kayak lagi ikutan kuis who
wants to be a millionaire deh.’
‘Siapa yang ikutan kuis?’ Suara itu bukan berasal dari Baro. Aku
sedang memerhatikan bocah itu dan ia
sedang senyum-senyum. Sama sekali tidak bersuara. Ternyata suara itu milik
orang lain. Kairo. Tau-tau ia duduk di hadapan kami. Tidak sendiri, bersama
Navita yang sekarang tampak begitu sumringah. Perutku mencelos lagi.
‘Hai, Kanaya. Thanks ya udah
dateng.’ Navita menyapa dengan senyum sumringah bak bintang iklan pasta gigi.
‘Oh, iya. Ngomong-ngomong pacar kamu…?’
‘Baro,’ sambarku cepat. ‘Baro, ini Navita… –pacar Kairo, dan ini Baro temenku. Kami gak
pacaran.’
Navita menutup mulutnya yang termanga dengan kedua tangan. Sepertinya
dia syok betulan dengan omonganku barusan. ‘Jadi kalian gak pacaran? Yah sayang
banget. Padahal menurutku kalian itu serasi banget. Temen-temenku yang di meja
situ,’ Navita menunjuk sekelompok cewek yang sedari tadi bergosip dengan heboh,
‘Mereka ngiri banget sama kamu. Mereka kira kalian pacaran.’
‘Oya?’ aku menanggapi sekenanya saja sementara Baro terlihat asyik
lanjut bercerita dengan Navita. Sesekali aku melirik laki-laki yang satu lagi.
Kampretnya, dia ternyata sedang menatapku balik sambil memainkan gelas minuman
di tangannya. Buru-buru aku memalingkan muka. Apa yang dipikirkan laki-laki
itu? Kenapa ia menatapku demikian? Dan ketika kulirik lagi ternyata Kairo masih
menatapku seperti tadi.
‘Tadaaaaa,’ Navita memamerkan liontin perak berbentuk mahkota yang
tersemat di lehernya. ‘Bagus gak, Nay?’
‘Eh? Bagus kok. Iya, bagus banget.’
‘Ini hadiah dari Kairo lho. Ternyata selera dia bagus juga.’ Masih
dengan senyum terkembang, Navita berpaling menatap Kairo. ‘Makasih ya sayang.’
Laki-laki itu tampak salah tingkah. Ia hanya tersenyum gugup dan
membelai rambut Navita. Entah ini kali ke berapa aku merasakan perutku
mencelos. Gadis satu itu seperti sangat niat memamerkan liontin itu.
‘Oh iya, Kanaya, sebenernya aku mau minta maaf sama kamu.’ Suara
Navita betul-betul mengagetkanku.
‘Eh? Minta maaf soal?’
‘Jadi beberapa hari yang lalu..’ Navita menceritakan tentang
kesalahpahamannya terhadap Kairo beberapa hari yang lalu yang notabene sudah
pernah kudengar sebelumnya dari pihak mempelai laki-laki. Tentang dirinya yang
curiga kalau aku dan Kairo bukan sekedar sahabat. Secara pribadi, aku salut
dengan intuisinya. Dia melanjutkan, ‘Aku minta maaf ya udah curiga sama kamu. Kamu tahu
perempuan kan. Kadang suka buta kalo udah cemburu. Tapi kemudian aku sadar, kamu
sahabatnya Kairo. Kalian nggak mungkin mengkhianati aku, terutama kamu. Karena
kita sama-sama perempuan. Bener kan?’
‘Iya.’ BAM! Mendadak kepalaku seperti dipukul godam raksasa. Seketika aku merasa diriku amat…brengsek. Ya Tuhan! Apa yang
telah kupikirkan selama ini? Berani-beraninya aku menusuk gadis ini dari
belakang. Sebagai perempuan aku telah berkhianat padanya. Bagaimana mungkin aku
tega menyakiti perempuan sebaik ini? Yang membuatku merasa makin buruk adalah
aku berdiam dalam tameng kebenaran yang sebenarnya tidak pernah kuperbuat. Navita
merasa bersalah karena telah curiga padaku. Sementara aku, aku berlagak benar
dan seperti sama sekali tidak merasa bersalah pada Navita atas apa yang telah
kulakukan padanya. Sekarang kau boleh menilai aku serigala berbulu domba, musuh
dalam selimut, menggunting dalam lipatan, apapun itu.
Pandanganku kembali mengabur. Hatiku terasa ngilu. Entah apa yang kali
ini membuatnya terasa sangat sakit. Melihat Kairo yang membelai rambut
Navita-kah? Atau melihat liontin yang berkilau di dada Navita? Atau mungkin
sakit yang kurasakan ini adalah buah dari pengkhianatanku sendiri? Rasanya
sakit sekali. Bernafaspun rasanya aku tak sanggup. Café ini mendadak terasa
begitu pengap. Udara seluruh bumi inipun rasanya tidak cukup untukku
bernafas. Aku ingin pergi.
***
Aku dan Baro meninggalkan café sesaat setelah Kairo dan Navita
meninggalkan meja kami. Aku sudah tidak tahan. Dadaku sesak sekali menahan rasa
sakit ini sendirian. Mobil ini berhenti entah dimana, aku tak tahu. Kakiku pun
menurut saja kemana Baro menggamit tanganku. Tanpa bisa kutahan,
air mataku tumpah ruah di perjalanan pulang tadi. Tentu itu menciptakan tanda
tanya besar di benak Baro. Mau tidak mau aku harus cerita padanya. Mungkin itu
yang saat ini kubutuhkan. Aku butuh didengar. Aku butuh teman untuk berbagi.
Aku tidak bisa selamanya menyimpan ini sendirian.
Semilir angin berhembus di sela-sela rambutku. Aku mengusap mata
mencoba mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku berada di rooftop entah gedung apa. Tapi tempat
ini sungguh menenangkan. Anginnya membuat sesak di dadaku sedikit berkurang. Lampu-lampu gedung dan jalan bagai bintang yang sedikit menghibur.
‘Duduk sini, Kan.’ Baro menarik pelan tubuhku ke sebuah undakan kecil,
mendudukkanku di sana. Ia sendiri bersila di lantai tepat di hadapanku.
Lagi-lagi wajahnya dihiasi senyum itu. Senyum tulus yang membuatku tenang hanya
dengan menatapnya. Dari plastik yang dibawanya, ia mengeluarkan sekaleng cappucino dingin dan membukakannya untukku.
‘Ayo, mulai cerita.’ Baro menatapku bagai anak kecil yang menanti
sebuah dongeng sebelum tidur.
‘Aku gak tahu harus mulai dari mana.’
Baro menunduk sebentar. ‘Oke, biar kubantu. Mm.. Ini soal Kairo?
Aku mengangguk.
‘Kamu sayang dia lebih dari sahabat? Maksudku, you felt in love with him?’ Ia bertanya dengan sangat hati-hati.
Belum sempat menjawab, air mataku sudah mewakili semua kata yang
mungkin bisa kumuntahkan. Untuk sesaat Baro tidak bereaksi. Ia hanya
membiarkanku menumpahkan semua kesedihan yang menyesaki dadaku. Yang ia lakukan
adalah mengeluarkan sekotak tisu dari dalam plastik, membukakan untukku dan
menawarkan kalau-kalau aku butuh pundaknya untuk bersandar.
‘Dia tau?’ tanya Baro ketika air mataku mulai berhenti.
Aku mengangguk untuk kedua kalinya. Lalu seperti tanpa perintah aku
mulai menceritakan segalanya. Mulai dari aku yang selalu memperhatikannya
datang ke café dengan berbagai macam perempuan, awal mula perkenalanku dengan
Kairo, persahabatan kami, perasaanku yang makin hari makin dalam padanya, sampai Kairo yang secara tidak sengaja tahu
tentang perasaanku dan pengakuannya malam itu.
Baro berkali-kali mengusap wajahnya sendiri ketika aku selesai
bercerita. Sekilas aku melihatnya menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
Aku merunduk makin dalam. Sungguh, aku malu sekali dengan Baro. Aku telah
menyia-nyiakan cinta yang ia tawarkan kepadaku hanya untuk menjadi orang yang
menyakiti hati perempuan lain. Dan air mataku mengalir lagi.
‘Kana,’ Baro mengangkat daguku dengan telunjuknya. Diusapnya air
mataku yang masih terus mengalir. Ia tersenyum dan menatapku hangat. ‘Aku gak
bisa bilang kamu benar. Tapi aku juga gak berhak menyalahkanmu. Aku tahu,
posisi kamu-lah yang paling sulit di sini. Aku hanya bisa bilang, kapanpun kamu
butuh didengar, kamu tahu kuping siapa yang harus kamu cari.’
‘Maaf, Baro..’
‘Sstt.. kamu gak perlu minta maaf. Kamu temenku yang paling baik. So, stop it. Don’t cry anymore. Gak ada
perempuan yang cantik kalo lagi nangis. Oke?’
Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Entah sudah berapa liter air
mata kutumpahkan malam ini. Entah sudah berapa lama pula aku tidak menangis
seperti ini. Aku pun tidak tahu kalau diriku secengeng ini. Pandanganku makin buram. Mungkin mataku pun sudah terlalu sembab
karena menangis. Ajaibnya kini sesak di dadaku sudah makin berkurang. Aku
merasa sedikit lega, walau belum bisa sepenuhnya.
Aku meraih jemari itu. Jemari yang memberi tisu untukku, mengusap air
mataku. Kucoba memfokuskan pandanganku menatap mata kecil yang selalu ceria
itu. ‘Terima kasih, ya. Dari dulu kamu-lah yang terbaik buatku. Aku harap suatu
saat kamu bisa menemukan cewek yang sama tulusnya seperti kamu.’
0 komentar:
Posting Komentar