Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN 15 | UNDANGAN, LIONTIN MAHKOTA, DAN CURHAT ROOFTOP

KANAYA’S VIEW

Undangan beramplop merah marun itu kuletakkan begitu saja di meja belajar kamarku. Undangan ulang tahun Navita yang diberikannya siang tadi. Aku bingung ingin datang atau tidak. Sudah bisa dipastikan, manusia yang satu itu pasti ada di sana. Tapi aku juga tidak enak hati kalau sampai tidak datang. 

Entah apa yang terjadi denganku. Aku sendiri, si pemilik jiwa ini tidak memahaminya. Satu-satunya yang kupahami, saat ini manusia satu itu adalah makhluk terakhir yang ingin kutemui di muka bumi ini. Entah apa alasannya. Mungkin karena kemarin dia bilang bahwa Navita mulai mencurigai statusku atas dirinya. Atau.. justru karena aku cemburu. Karena beberapa hari terakhir Kairo selalu menghabiskan waktu bersama Navita.

Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku sudah siap dengan ini. Karena sejak awal aku sudah tahu bagaimana resikonya jika jatuh cinta dengan Kairo. Ternyata benar adanya, teori jauh lebih gampang ketimbang prakteknya.

Ponselku bergetar-getar di atas meja. Getarannya membuat ponsel itu berputar seratus delapan puluh derajat. Inisial manusia itu terpampang di layar ponselku : KCK. Beberapa hari yang lalu aku berniat menggantinya jadi MCK. Tapi kuurungkan. Aku masih menyayangi makhluk satu itu.

‘Belum tidur?’ tembaknya bahkan sebelum aku sempat bilang halo.

‘Belum.’

‘Aku di depan nih. Keluar ya!’ Telepon dimatikan. Bocah itu!

Aku menyibakkan tirai. Benar saja. Di depan pagar rumahku, Ford Ranger birunya sudah bertengger. Jam di ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mau apa cowok itu menemuiku malam-malam begini? Satu-satunya cara untuk tahu adalah menemuinya.

Aku keluar dari rumah dengan niat setengah-setengah. Maksudku bukan setengah niat. Setengah niatku ingin tahu apa maksudnya menemuiku, dan setengah lagi digerakkan oleh hatiku yang rindu melihat wajahnya. Ajaib sekali aku ini. Belum sampai sejam yang lalu aku berkoar-koar tidak ingin menemuinya. Hebat sekali efek yang ditimbulkan dari dua kalimat laki-laki itu. Bisa merubah pendirian orang. Aku masuk ke dalam mobil dan mendapatinya tersenyum menatapku hangat. Harum parfumnya meruap memenuhi mobil. Harum yang selalu kurindukan.

‘Hei, Nona.’ Dia membelai rambut depanku. Ia terus tersenyum. Senyumnya membuat sendi-sendiku mendadak kaku. Sungguh aku masih belum terbiasa juga dengan perlakuannya ini.

‘Kamu ngapain malam-malam ke sini?’

Senyum di wajahnya memudar. Alisnya berkerut dan bibirnya dimajukan. ‘Memangnya gak boleh ya?’

‘Bukan begitu, tapi..’

Belum selesai aku bicara, tiba-tiba ia meraih tanganku, membenamkannya di dadanya sendiri. Sandaran mobilnya diturunkan dan ia menyandar di sana. Matanya dipejamkan rapat. ‘I miss this moment. Akhir-akhir ini kamu sering menghindar. Aku harus punya banyak ‘stok’ momen sama kamu. Biar gak kangen terus.’

‘Aku gak menghindar kok.’

Kairo tidak menjawab. Entah apa yang ia rasakan ketika memegang tanganku. Yang pasti aku yakin sekali tanganku tidak mengandung senyawa apapun yang bisa membuat seseorang tertidur. Secara hati-hati sekali, aku memerhatikan wajahnya. Ia tampak begitu innocent saat sedang tertidur. Tidak ada yang akan menyangka bahwa pria yang sedang tidur ini adalah playboy cap gajah kayang.

‘Wajahku sepuluh kali lipat lebih ganteng kan kalo lagi tidur?’ Kairo tiba-tiba bersuara. Buru-buru aku membuang muka. Alamak.

Kutarik napas mencoba rileks. ‘Kuakui, memang betul. Dan gak akan ada yang nyangka kalau malaikat yang sedang tidur ini ternyata Master membolak-balikkan perasaan wanita.’

Suasana jadi hening. Kalimat yang tadinya kulontarkan dengan bercanda berubah jadi semacam senjata pemusnah tawa. Ya elah, lagi-lagi aku salah bicara. Apa untuk ngobrol dengan seorang ‘pacar’ ada kursusnya?

Takut-takut, aku melirik Kairo. Laki-laki itu hanya diam, menekuri jemariku yang digenggamnya. Alisnya berkerut dan kepedihan tergambar jelas di gambarnya.

‘Nay,’ ia memanggilku lirih. ‘Maaf. Tanpa aku sadari, sepertinya aku sudah banyak menyakiti kamu. Aku janji secepatnya akan mengakhiri semuanya.’

Kairo berpaling menatapku. Tangannya memegangi kedua belah pipiku dan menatapku hangat. ‘Mengenai undangan ulang tahun itu, kamu gak usah datang. Aku gak mau kamu merasa.. –merasa gak enak hati di sana.’

‘Menurutmu kenapa aku harus gak enak hati? Aku harus datang. Navita sendiri yang kasih undangan ke aku. Aku gak mungkin mengabaikan.’

Lama Kairo diam. Tatapannya menghujam kedua bola mataku. Seolah mencari-cari apa yang tengah kusembunyikan darinya. ‘Kamu yakin?’

‘Gak pernah seyakin ini.’

***

Aku memasuki café yang mulai ramai itu. Dengan Baro yang selalu bersedia menemaniku kapanpun aku minta. Andai perasaan ini bisa kusetir, ingin sekali aku mencintai pria ini saja. Baro terlihat gagah dengan kemeja hitam yang dikenakannya. Wajahnya selalu tersenyum hingga aku sendiri tak mampu menebak perasaannya. Senyum yang ia lontarkan kepadaku selalu tulus. Hingga tidak berlebihan rasanya jika kukatakan senyumnya bagai aromaterapi yang menenangkan.

Lantunan musik jazz mengalun dari pengeras suara café itu. Dilantunkan dengan apik oleh home band bervokalis perempuan dari panggung kecil seperti undakan di sudut café. Sebetulnya café ini tidak terlalu ramai. Tapi tidak bisa dikatakan sepi juga. Meja-meja mulai diisi oleh beberapa anak muda. Aku hampir tidak mengenali mereka karena kebanyakan dari mereka teman kampus Navita.
                                                                                                                                               
Aku memilih duduk di sudut yang kebetulan kosong. Tempat favoritku. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas ke seluruh penjuru café. Ada beberapa perempuan yang asyik bergosip dengan heboh beberapa meter dari mejaku. Ada juga sekelompok perempuan nerd yang kutebak adalah teman-teman sekelas Navita. Bahkan di acara ulang tahun seperti ini saja mereka masih membaca buku. Dan aku melihat Navita duduk di dekat meja bartender. Ia tampak begitu murung. Alisnya berkerut-kerut. Sangat kontras dengan baju dan riasan wajahnya yang cerah. Ia terus menatapi ponselnya. Sesekali ia mendekatkan ponsel itu ke telinga lalu menjauhkannya kembali dengan sedih. Sejenak aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru café. Aha! Akhirnya kutemukan juga apa yang membuat Navita murung begitu. Kairo belum tampak batang hidungnya. Kemana anak itu? Apa dia berniat tidak datang? Ah, buru-buru kutepis kemungkinan-kemungkinan itu dari kepalaku.

Tapi kepanikanku berlanjut ketika si MC mulai memanggil Navita naik ke atas panggung dan Kairo belum juga muncul. MC yang kurang pengertian itu, dengan iringan musik dari home band,  langsung mengajak seisi café melantunkan lagu ‘tiup lilin’. Seketika aku merasa sedang menghadiri perayaan ulang tahun anak TK.

Aku tidak memerhatikan betapa heboh MC-nya, atau betapa enak tiramisu di atas panggung itu. Aku hanya memerhatikan Navita. Gadis itu tidak henti memandangi pintu café. Bukan hanya Navita, aku juga harap-harap cemas menanti kehadiran si Cassanova itu. Apa dia betul-betul serius dengan ucapannya semalam? Duh, aku bisa gila.

‘Ayo cantik, tiup lilinnya!’ si MC rada ngondek itu berkoar-koar di depan Navita. Tapi yang diajak bicara malah berdiri mematung, seolah suara cempreng MC itu hanya bisikan setan yang tak terdengar.

Tak butuh waktu lama untuk membuat air mata Navita jatuh. Dengan cepat ia meninggalkan panggung sambil mengusap air matanya. Aku sudah berdiri ingin mengejarnya ketika kulihat langkah Navita terhenti. Seseorang menahan lengannya, Kairo. Tau-tau anak itu muncul dengan wajah tanpa dosa, cengengesan. Navita bukannya lega, ia malah menghambur ke pelukan laki-laki itu sambil menangis tersedu-sedu. Seisi café bergumam. Mereka menganggap itu sebuah pemandangan yang amat romantis. Sementara bagiku, itu adalah pemandangan menyakitkan. Hanya sepersekian detik setelah menyaksikan itu, perutku mendadak mulas dan dadaku sesak.

Entah apa pemandangan berikutnya aku hampir tidak mampu menyaksikan. Mendadak seisi café menjadi blur. Suara MC yang melengking-lengking itu hanya terdengar bagai lolongan serigala yang tidak jelas. Ada apa sih dengan diriku ini? Tadi aku berharap Kairo datang dan tidak mengecewakan Navita. Sekarang, setelah laki-laki itu datang, hatiku menjadi sedih dan rasanya tidak rela melihat kebersamaan mereka.

Baro menyodorkan segelas minuman warna-warni untukku. Sepertinya dia mulai bisa membaca suasana hatiku. Mau tak mau aku berusaha santai. Tapi sayangnya aku lupa kalau menenggak habis minuman dalam satu tarikan napas ternyata mengundang kecurigaan.

‘Are you okay?’ Baro menatapku dengan cemas.

‘Aku oke. Cuman lagi haus aja.’

‘Are you sure?’

Kali ini aku mencoba tersenyum. Kutinju pelan lengan Baro. ‘Duh, aku kayak lagi ikutan kuis who wants to be a millionaire deh.’

‘Siapa yang ikutan kuis?’ Suara itu bukan berasal dari Baro. Aku sedang memerhatikan bocah itu  dan ia sedang senyum-senyum. Sama sekali tidak bersuara. Ternyata suara itu milik orang lain. Kairo. Tau-tau ia duduk di hadapan kami. Tidak sendiri, bersama Navita yang sekarang tampak begitu sumringah. Perutku mencelos lagi.

‘Hai, Kanaya. Thanks ya udah dateng.’ Navita menyapa dengan senyum sumringah bak bintang iklan pasta gigi. ‘Oh, iya. Ngomong-ngomong pacar kamu…?’

‘Baro,’ sambarku cepat. ‘Baro, ini Navita…  –pacar Kairo, dan ini Baro temenku. Kami gak pacaran.’

Navita menutup mulutnya yang termanga dengan kedua tangan. Sepertinya dia syok betulan dengan omonganku barusan. ‘Jadi kalian gak pacaran? Yah sayang banget. Padahal menurutku kalian itu serasi banget. Temen-temenku yang di meja situ,’ Navita menunjuk sekelompok cewek yang sedari tadi bergosip dengan heboh, ‘Mereka ngiri banget sama kamu. Mereka kira kalian pacaran.’

‘Oya?’ aku menanggapi sekenanya saja sementara Baro terlihat asyik lanjut bercerita dengan Navita. Sesekali aku melirik laki-laki yang satu lagi. Kampretnya, dia ternyata sedang menatapku balik sambil memainkan gelas minuman di tangannya. Buru-buru aku memalingkan muka. Apa yang dipikirkan laki-laki itu? Kenapa ia menatapku demikian? Dan ketika kulirik lagi ternyata Kairo masih menatapku seperti tadi.

‘Tadaaaaa,’ Navita memamerkan liontin perak berbentuk mahkota yang tersemat di lehernya. ‘Bagus gak, Nay?’

‘Eh? Bagus kok. Iya, bagus banget.’

‘Ini hadiah dari Kairo lho. Ternyata selera dia bagus juga.’ Masih dengan senyum terkembang, Navita berpaling menatap Kairo. ‘Makasih ya sayang.’

Laki-laki itu tampak salah tingkah. Ia hanya tersenyum gugup dan membelai rambut Navita. Entah ini kali ke berapa aku merasakan perutku mencelos. Gadis satu itu seperti sangat niat memamerkan liontin itu.

‘Oh iya, Kanaya, sebenernya aku mau minta maaf sama kamu.’ Suara Navita betul-betul mengagetkanku.

‘Eh? Minta maaf soal?’

‘Jadi beberapa hari yang lalu..’ Navita menceritakan tentang kesalahpahamannya terhadap Kairo beberapa hari yang lalu yang notabene sudah pernah kudengar sebelumnya dari pihak mempelai laki-laki. Tentang dirinya yang curiga kalau aku dan Kairo bukan sekedar sahabat. Secara pribadi, aku salut dengan intuisinya. Dia melanjutkan, ‘Aku minta maaf ya udah curiga sama kamu. Kamu tahu perempuan kan. Kadang suka buta kalo udah cemburu. Tapi kemudian aku sadar, kamu sahabatnya Kairo. Kalian nggak mungkin mengkhianati aku, terutama kamu. Karena kita sama-sama perempuan. Bener kan?’

‘Iya.’ BAM! Mendadak kepalaku seperti dipukul godam raksasa. Seketika aku merasa diriku amat…brengsek. Ya Tuhan! Apa yang telah kupikirkan selama ini? Berani-beraninya aku menusuk gadis ini dari belakang. Sebagai perempuan aku telah berkhianat padanya. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti perempuan sebaik ini? Yang membuatku merasa makin buruk adalah aku berdiam dalam tameng kebenaran yang sebenarnya tidak pernah kuperbuat. Navita merasa bersalah karena telah curiga padaku. Sementara aku, aku berlagak benar dan seperti sama sekali tidak merasa bersalah pada Navita atas apa yang telah kulakukan padanya. Sekarang kau boleh menilai aku serigala berbulu domba, musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan, apapun itu.

Pandanganku kembali mengabur. Hatiku terasa ngilu. Entah apa yang kali ini membuatnya terasa sangat sakit. Melihat Kairo yang membelai rambut Navita-kah? Atau melihat liontin yang berkilau di dada Navita? Atau mungkin sakit yang kurasakan ini adalah buah dari pengkhianatanku sendiri? Rasanya sakit sekali. Bernafaspun rasanya aku tak sanggup. Café ini mendadak terasa begitu pengap. Udara seluruh bumi inipun rasanya tidak cukup untukku bernafas.  Aku ingin pergi.

***

Aku dan Baro meninggalkan café sesaat setelah Kairo dan Navita meninggalkan meja kami. Aku sudah tidak tahan. Dadaku sesak sekali menahan rasa sakit ini sendirian. Mobil ini berhenti entah dimana, aku tak tahu. Kakiku pun menurut saja kemana Baro menggamit tanganku. Tanpa bisa kutahan, air mataku tumpah ruah di perjalanan pulang tadi. Tentu itu menciptakan tanda tanya besar di benak Baro. Mau tidak mau aku harus cerita padanya. Mungkin itu yang saat ini kubutuhkan. Aku butuh didengar. Aku butuh teman untuk berbagi. Aku tidak bisa selamanya menyimpan ini sendirian.

Semilir angin berhembus di sela-sela rambutku. Aku mengusap mata mencoba mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku berada di rooftop entah gedung apa. Tapi tempat ini sungguh menenangkan. Anginnya membuat sesak di dadaku sedikit berkurang. Lampu-lampu gedung dan jalan bagai bintang yang sedikit menghibur.

‘Duduk sini, Kan.’ Baro menarik pelan tubuhku ke sebuah undakan kecil, mendudukkanku di sana. Ia sendiri bersila di lantai tepat di hadapanku. Lagi-lagi wajahnya dihiasi senyum itu. Senyum tulus yang membuatku tenang hanya dengan menatapnya. Dari plastik yang dibawanya, ia mengeluarkan sekaleng cappucino dingin dan membukakannya untukku.

‘Ayo, mulai cerita.’ Baro menatapku bagai anak kecil yang menanti sebuah dongeng sebelum tidur.

‘Aku gak tahu harus mulai dari mana.’

Baro menunduk sebentar. ‘Oke, biar kubantu. Mm.. Ini soal Kairo?

Aku mengangguk.

‘Kamu sayang dia lebih dari sahabat? Maksudku, you felt in love with him?’ Ia bertanya dengan sangat hati-hati.

Belum sempat menjawab, air mataku sudah mewakili semua kata yang mungkin bisa kumuntahkan. Untuk sesaat Baro tidak bereaksi. Ia hanya membiarkanku menumpahkan semua kesedihan yang menyesaki dadaku. Yang ia lakukan adalah mengeluarkan sekotak tisu dari dalam plastik, membukakan untukku dan menawarkan kalau-kalau aku butuh pundaknya untuk bersandar.

‘Dia tau?’ tanya Baro ketika air mataku mulai berhenti.

Aku mengangguk untuk kedua kalinya. Lalu seperti tanpa perintah aku mulai menceritakan segalanya. Mulai dari aku yang selalu memperhatikannya datang ke café dengan berbagai macam perempuan, awal mula perkenalanku dengan Kairo, persahabatan kami, perasaanku yang makin hari makin dalam padanya,  sampai Kairo yang secara tidak sengaja tahu tentang perasaanku dan pengakuannya malam itu.

Baro berkali-kali mengusap wajahnya sendiri ketika aku selesai bercerita. Sekilas aku melihatnya menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Aku merunduk makin dalam. Sungguh, aku malu sekali dengan Baro. Aku telah menyia-nyiakan cinta yang ia tawarkan kepadaku hanya untuk menjadi orang yang menyakiti hati perempuan lain. Dan air mataku mengalir lagi.

‘Kana,’ Baro mengangkat daguku dengan telunjuknya. Diusapnya air mataku yang masih terus mengalir. Ia tersenyum dan menatapku hangat. ‘Aku gak bisa bilang kamu benar. Tapi aku juga gak berhak menyalahkanmu. Aku tahu, posisi kamu-lah yang paling sulit di sini. Aku hanya bisa bilang, kapanpun kamu butuh didengar, kamu tahu kuping siapa yang harus kamu cari.’

‘Maaf, Baro..’

‘Sstt.. kamu gak perlu minta maaf. Kamu temenku yang paling baik. So, stop it. Don’t cry anymore. Gak ada perempuan yang cantik kalo lagi nangis. Oke?’

Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Entah sudah berapa liter air mata kutumpahkan malam ini. Entah sudah berapa lama pula aku tidak menangis seperti ini. Aku pun tidak tahu kalau diriku secengeng ini. Pandanganku makin buram. Mungkin mataku pun sudah terlalu sembab karena menangis. Ajaibnya kini sesak di dadaku sudah makin berkurang. Aku merasa sedikit lega, walau belum bisa sepenuhnya.

Aku meraih jemari itu. Jemari yang memberi tisu untukku, mengusap air mataku. Kucoba memfokuskan pandanganku menatap mata kecil yang selalu ceria itu. ‘Terima kasih, ya. Dari dulu kamu-lah yang terbaik buatku. Aku harap suatu saat kamu bisa menemukan cewek yang sama tulusnya seperti kamu.’

Baro tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tersenyum tulus bahkan untukku yang telah menolak cintanya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar