Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA: BAGIAN 2 | TRUTH OR DARE

Siang itu, siswa-siswi se-SMP Teladan Nusantara sedang amat berbahagia. Jam pelajaran terakhir mereka habiskan dengan santai-santai, ngobrol ngalor ngidul, makan di kantin atau sekedar bergosip di kelas sambil nyemil kuaci. Dari jaman Firaun sampai SBY, rapat dewan guru memang selalu menjadi semacam serpihan surga bagi anak sekolahan.

Situasi yang sama terjadi di kelas Raisa. Sebagian besar penghuni bertingkah bagai sekelompok primata liar; bikin gaduh sana sini. Ada yang foto-foto,  main tenis meja pakai meja belajar, lempar-lemparan kertas, dan yang paling ekstrem adalah penghapus papan tulis, buku, ember, sepatu, hingga sapu ijuk  melayang di udara, entah siapa tersangkanya.


Lain halnya dengan situasi di dua bangku pojok kiri paling belakang di kelas itu. Sepasang pelajar itu terlihat anteng di bangku masing-masing. Yang laki-laki sedang berusaha keras mengalihkan pikirannya dengan membaca komik manga yang dipegangnya, sementara yang perempuan terlihat seperti petugas kantor pos profesional yang melakukan semacam kegiatan penyortiran surat. Segepok surat cinta yang diangkut dari loker milik Kevin. Lengkap dengan setumpuk coklat, permen dan hadiah lainnya.



‘Ini tuh bentuk balas budi aku nih, Kev. Kamu udah nyelametin nilai olahragaku tadi pagi,’ tangan Raisa dengan gesit membuka-buka amplop dan membaca isinya dengan cepat. ‘Yang ini dari Monita lho. Anak kelas tujuh sih. Tapi dia jago balet. Anaknya juga cantik.’


‘Ya ya ya,’ Kevin menyahuti dengan malas. Matanya tetap tertuju pada komik yang ia pegang, tapi pikirannya kembali membawanya pada hal yang sedari tadi coba ia enyahkan.


‘Wah, yang ini dari Citra Amalia! Kakak kelas kita yang cantik banget itu lhooooo, Kev! Kevin hebat euy! Cewek secantik ini aja ngirimin kamu surat cinta,’ Raisa menyerocos heboh. Sebetulnya ia sedang memancing reaksi cowok di sebelahnya itu.


Yang diajak bicara hanya melirik sebentar lalu kembali memusatkan perhatian pada komik di tangannya. ‘Hebat apanya?’


‘Aduh, Kevin Gallant Adrian! Kamu itu gak nyadar apa, sedang ditaksir cewek-cewek satu sekolah? Nih ya, sepuluh dari sepuluh cewek di sekolah ini pasti udah pernah ngendap-ngendap di depan kelas kita, masukin surat cinta ke loker kamu.’


‘Delapan dari sepuluh.’


‘Ha?’


Kevin menurunkan komik dari pandangannya, lalu memutar tubuh hingga menghadap Raisa. 'Belum ada surat dari kamu tuh.’


Raisa nyaris tersedak mendengar kata-kata Kevin. Matanya mengerjap-ngerjap pertanda ia amat grogi. Sialnya, sekarang pipinya mulai terasa panas. ‘Oh itu, ha.. ha.. ha.. itu.. ngg.. aku kan.. aku kan tahu nomer HP kamu, Kev! Kalo ada apa-apa, ya aku tinggal SMS atau BBM kamu aja. Ngapain ngirim surat? Ribet tauk!’


Kevin menyipitkan matanya seolah gak percaya. Bibirnya dimajukan pertanda ia mencurigai sesuatu. ‘Terus kenapa dong Mia ikut-ikutan gak ngirimin aku surat? Dia gak tahu nomer HP apalagi PIN BB-ku.’


‘Ya itu sih.. itu sih mana kutahu. Kamu tanya sendiri aja ke Mia,’ Raisa mencomot sebatang coklat sebagai pengalih perhatian. ‘Yang ini buat aku ya?’


Kevin melengos sambil tertawa kecil. ‘Semuanya boleh kamu ambil kok.’


‘Serius kamu? Makasih ya Kekev!’ Raisa tersenyum senang. Lebih bisa dibilang lega sih. Tapi tidak sampai tiga detik, raut wajahnya berubah serius. ‘Eh, gak jadi deh. Ini kan pemberian orang buat kamu. Nanti dosa kalo aku yang ambil.’


‘Caca, Caca,’ Kevin menjulurkan tangannya mengacak rambut depan Raisa. ‘Polos banget sih! Mereka kan udah dengan ikhlas kasih ini ke aku. So, coklat-coklat ini udah jadi punyaku dan aku berhak kasih ke siapa aja termasuk kamu.’


‘Iya juga sih. Hehehe, kalo gitu beneran buat aku ya?’


‘Iya..’ Kevin tersenyum.


‘Asyik! Makasih Kekev!’


Mendadak kelas sunyi senyap begitu Wali Kelas berdiri di depan pintu masuk, membawa setumpuk kertas rapor UTS mereka. Semuanya diam mendapati Sang Ibu Guru mendelik melihat suasana kelas yang kacau balau. Foto presiden miring, sapu ijuk di atas meja guru, bendera terjatuh di lantai.


‘Mampus kalian,’ Raisa cekikikan senang.


***


Raga mereka di kelas, sementara jiwa mereka sudah melayang jauh di luar sekolah. Begitulah gambaran siswa-siswi menjelang jam bubaran sekolah. Begitu pula Kevin dan Raisa. Bedanya, Raisa sedang memikirkan eksekusi rencananya dengan Mia semalam begitu bubaran kelas. Ia sudah tidak sabar lagi menanti saat-saat Kevin menyatakan perasaannya pada dirinya.


Entah secara diam-diam atau tidak, dari awal bertemu ia sudah suka dengan Kevin. Raisa juga sudah kadung yakin bahwa Kevin juga menyukainya. Dilihat dari statistik berbalasan BBM dan SMS di antara keduanya. Tidak jarang pula  cowok itu menelepon dirinya. Bahkan masing-masing punya panggilan khusus yang hanya digunakan oleh keduanya; Kekev dan Caca. Diperkuat lagi dengan teori si Ratu Sotoy Miandra Anastasya semalam, kalau Kevin benar-benar suka pada Raisa.  


Yang Raisa tidak tahu, jiwa Kevin juga tidak sedang ada di sana. Kevin masih menggigiti ujung jempolnya ketika Wali Kelas mereka sudah keluar dari kelas. Di sebelahnya, Raisa tampak berlonjak-lonjak senang mendapati dirinya meraih peringkat pertama lagi dan berhasil mengalahkan Kevin. Cowok itu harus rela stagnan di peringkat dua karena nilai Fisika dan Matematika miliknya dua angka lebih rendah dari nilai Raisa; 92.


‘Kamu tahu, Kev? Aku seneng banget!’ seru Raisa sambil menatap deretan angka sembilan puluhan di rapornya.


‘Kamu kan memang cerdas, Ca. Aku gak heran kok. Congrats ya! You deserve it.’ Kevin tersenyum tulus. Gimana Kevin tidak yakin? Setiap mereka berbalas pesan atau ngobrol via telepon, Kevin selalu mendapati Raisa sedang belajar. Sedangkan ia sendiri keasyikan berbalas pesan atau menelepon sambil bermain PES. Walau sering juga ia menelpon sambil tanya PR.


‘Sebenernya kamu lebih cerdas kok. Sayangnya kamu malas belajar. Janji ya, ujian-ujian selanjutnya kamu harus nyusul nilaiku!’


Kevin terperangah. Takut-takut ia melirik Raisa yang sedang tersenyum kepadanya. Tampaknya Raisa betul-betul sedang senang. Dalam hati, Kevin menerka-nerka apakah ini saat yang tepat untuk bicara dengan Raisa. Namun pada akhirnya, ia mengumpulkan keberanian untuk bicara pada Raisa hari ini juga. FIUH! Kevin menghembuskan napas kuat-kuat. ‘Ca, sebenarnya aku..’


‘Kevin! Raisa! Sini main Truth or Dare!’ Mia, sahabat Raisa berteriak dari mejanya. Di sana, beberapa anak sudah berkumpul mengelilingi botol bekas minuman entah dipungut darimana.


Truth or Dare?’ Kevin mengulangi.


‘Ikutan yuk, Kev! Pasti seru deh! Ayo!’ Raisa beranjak berdiri.


‘Tapi, ada yang mau aku omongin sama kamu, Ca..’


‘Udah nanti aja habis main,’ tanpa bicara panjang, dengan semangat Raisa menarik tangan Kevin menuju meja Mia. Apa boleh buat, berhubung badan Raisa lebih besar dari dirinya , Kevin pasrah saja tangannya ditarik-tarik manusia satu itu.


Sebenarnya Raisa sudah tahu skenario ini. Bersama Mia, semalam ia mengatur agar hari ini Kevin mau main Truth or Dare. Raisa penasaran betul bagaimana perasaan Kevin selama ini terhadapnya. Sudah hampir dua tahun lamanya mereka duduk sebangku, berkirim pesan, ngobrol ngalor ngidul tiap malam, tapi Raisa belum juga mendapat pernyataan itu. Hari ini, Raisa sekedar ingin tahu, apa reaksi Kevin kalau ia ditanya tentang perasaannya terhadap Raisa. 


Mia tak kalah penasarannya. Seperti yang sudah Mia bilang, bukan sedikit cewek yang naksir Kevin, cowok cerdas bertampang kiyut yang jago main futsal. Sedetik Kevin lewat di koridor, dua jam cewek-cewek kelepek-kelepek mencium aroma tubuhnya yang masih tertinggal. Tapi kenapa Kevin masih juga jomblo? Dan satu-satunya cewek yang dekat, tau pin BB dan nomor telepon Kevin hanya Raisa. Apa betul Kevin naksir Raisa? Truth or Dare-lah satu-satunya solusi paling jitu untuk dapat jawabannya.

Your hand please,’ Mia memberi aba-aba agar anak-anak menyilangkan kedua tangan di depan dada lalu menjabat tangan orang di kanan-kirinya. Peraturannya adalah ketika mulut botol berhenti di depan seseorang, dialah penantangnya. Penantang boleh memilih korban yang sama meskipun dia sudah pernah dipilih sebelumnya. Remember, ini adalah permainan sakral. Gak boleh ada yang bohong atau menolak melakukan tantangan yang diberikan si penantang. Kalo ada yang melanggar, oho ho jangan coba-coba. Tetangga gua ada yang meninggal habis main Truth or Dare.’


‘Serius lu, Mi? Kok Truth or Dare jadi serem gini sih?’ tanya Anya sedikit ngeri.


Cewek berambut pendek nyaris cepak itu memasang wajah serius. ‘Gua serius. Dia main Truth or Dare di tengah jalan Raya. Ketabrak deh.’


‘Asem! Gua kira mati gara-gara ngelanggar aturan Truth or Dare!’ Anya bersungut-sungut, sementara yang lain tertawa geli. Mia nyengir puas.


‘Mi, buruan mulai dong! Tangan gua mulai keringetan nih!’ ujar Raisa dengan tampang bete. Kalau mau jujur, sebenarnya dia sudah tidak sabar.


‘Oke, tangan boleh dilepas. Sekarang berdiri di posisi kalian masing-masing.’ Mia meletakkan tangannya di atas botol plastik bekas minuman itu. ‘Siap? Mulai!’


Botol berputar-putar kencang di atas meja. Sekitar delapan anak yang ikut dalam permainan bersemangat menunggu botol itu berhenti. Berharap botol itu berhenti dengan mulut botol mengarah ke mereka. Ada yang berharap karena pengin menantang, ada juga yang berharap karena takut ditantang.


Putaran pertama, mulut botol berhenti persis di depan Dias. Cowok tambun itu tampak bersemangat dan senang sekali. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan tampang siap memangsa. Yang dipilihnya tentu saja Mia, gebetannya. Mia memasang muka bete. Tapi bukan Mia namanya kalau tak bernyali besar. Ia memilih dare.

Tantangannya simple. Mia hanya harus merelakan diri difoto bareng Dias yang bagai gorila. Foto itu harus diunggah sebagai avatar Twitter, profile picture facebook, dan Display Picture BBM milik keduanya selama seminggu. Dan Mia juga harus rela diaku-akui sebagai pacar Dias. Modus abis.


Putaran-putaran berikutnya semakin gila. Kebanyakan dari mereka memilih dare. Ada Miko yang menantang Anya untuk nge-dance ala Agnes Monica di atas meja. Ada Anya yang balas menantang Miko untuk bergoyang ala Zaskia Gotik di halaman sekolah. Ada Raisa yang menantang Dias untuk membatalkan tantangannya untuk Mia (sahabat yang baik).


Bukannya makin sepi karena sudah jam bubaran sekolah, anak-anak makin ramai berkerumun di kelas 8. A melihat mereka bermain Truth or Dare begitu melihat aksi-aksi aneh mereka. Raisa, menjadi cemas karena botol itu belum juga berhenti di depan Mia, seperti yang sudah mereka rencanakan semalam. Raisa menggigit bibirnya dengan khawatir. Bagaimana ini? Sekali lagi, mulut botol itu berhenti di depan Fandi. Cowok itu menantang Fia untuk nembak Juki, kakak kelas mereka yang mukanya mirip hasil kawin silang T-Rex dengan kelinci, gigi depannya panjang dan tajam. 


‘Udahan yuk, makin siang nih,’ kata Kevin. Ia terlihat begitu tergesa-gesa. Berkali-kali Raisa mendapati Kevin menatap jam tangan G-Shock-nya dengan gelisah.


‘Curang lu, Vin. Belum dapet tantangan mau udahan aja,’ Fia protes.


‘Oke, sekali lagi deh. Habis ini gua udahan,’ ujar Kevin dengan malas. Secara tidak kentara, Raisa menghembuskan napas lega.


Sementara itu, Fandi bersiap menjalankan putaran terakhir. Dalam hati Raisa berdoa dengan serius supaya mulut botol bisa berhenti persis di depan Mia. Ia sungguh ingin mendapat pernyataan itu hari ini. Kalau di film, putaran botol terakhir itu bergerak dengan efek slow motion. Mata Raisa, juga Mia tak lepas menatap botol yang terus berputar itu. Dan akhirnya..


‘Yay! Giliran gua!’ Mia berseru heboh. Kesenangannya tampak berlebihan. ‘Gua pilih Kevin! Truth or Dare?’

Yang namanya disebut hanya mengernyitkan alis. Dalam hati ia menimbang-nimbang ingin pilih yang mana. Berhubung daritadi semua orang pilih dare dan semua tantangannya aneh-aneh, Kevin enggan memilih yang sama. ‘Gua pilih Truth deh.’


Yah, gak seru lu, Vin!’ Dias protes.


Great choice, pikir Mia. ‘Gua mau nanya apa ya.. hmm,’ Mia memasang tampang seolah ia harus berpikir keras memilih pertanyaan. ‘Aha! Gua tau.’


Alis Kevin makin berkerut menunggu pertanyaan Mia. Sementara Mia, anak itu malah berdehem-dehem tidak jelas sebelum bicara. Aduh Mia! Akting lu norak banget! Raisa mengumpat-ngumpat dalam hati.


‘Gua mau tanya.. hmm... anak-anak kan tahu tuh, Vin, kalo lu sama Raisa deket. Hm.. sebenernya gimana sih perasaan lu sama Raisa? Lu suka ya sama Raisa?’


Kevin diam. Mukanya kini merah padam. Otaknya berpikir cepat menyusun jawaban yang mungkin ia keluarkan. Raisa yang melihat perubahan gelagat Kevin mendadak jadi tidak enak hati.


‘Anu.. eh.. Kok lu bawa-bawa gua sih, Mi? Apa banget deh pertanyaan lu.’


‘Cieeeee kalian berdua mukanya jadi merah gitu.. Cieeeeeee, ‘Anya menggoda dengan lantang.


‘Cieeeeeeeee,’ seisi kelas mendadak kompak bagai kelompok paduan suara, dengan Anya sebagai dirijennya. Gawat! Kenapa jadi begini? batin Raisa panik. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar melihat bagaimana ekspresi Kevin saat ini. Ia melihat sekeliling. Sialnya, kelasnya sedang ramai akibat aksi gila teman-temannya dalam tantangan tadi.


‘STOP! Kalian apa-apaan sih? Aku sama Kevin gak mungkin banget suka-sukaan! Jangan norak deh!’ Raisa berteriak panik. Raisa tidak menyadari bahwa teriakan lantangnya membuat seisi kelas diam. Raisa itu tipikal good girl di sekolah mereka. Satu sekolah tahu bagaimana polos dan halusnya anak itu selama ini. Mendengar Raisa berteriak seperti tadi, wajar saja satu kelas mendadak diam karena kaget.


Kevin-lah yang paling terperangah mendengar teriakan Raisa. Kata-kata yang telah menggantung di ujung lidah ditelannya kembali. ‘Iya, Raisa betul,’ ujarnya dengan suara tercekat.


Tanpa diduga, Kevin langsung berdiri dan memakai ranselnya. ‘Lu denger kan, Mia? Gua dan Raisa gak mungkin suka-sukaan. Dan jawaban dari pertanyaan lu tadi adalah ENG-GAK. Gua gak ada perasaan lebih ke Raisa. Gak mungkin ada.’


Dan Kevin langsung meninggalkan kelas begitu selesai mengucapkan kalimat itu. Tanpa menoleh, tanpa berpamitan pada Raisa. Bahkan Raisa tidak sempat melihat raut wajah Kevin sebelum ia pergi.


‘Kevin…’ ucap Raisa lirih. Ia tidak tahu apakah Kevin jujur atau tidak. Yang ia tahu, timbul rasa sakit yang aneh di dadanya mendengar kata-kata Kevin barusan. Kalau memang Kevin tidak punya perasaan lebih padanya, lalu apa maksud ratusan pesan dan puluhan jam telepon itu? Lalu apa maksud ‘good morning, sunrise’, ‘selamat belajar, Caca Pinter’, ‘good night, Caca’ dan ‘jangan lupa makan’ itu?


Setelah Truth or Dare ‘naas’ itu, hubungan Kevin dan Raisa menjadi sedikit renggang. Raisa tidak pernah lagi berhubungan dengan Kevin. Ia sengaja menonaktifkan BBM, Line, dan mengganti nomor teleponnya karena sudah kadung kecewa dan kesal dengan Kevin. Bayangkan, di depan seisi kelas Kevin menyatakan bahwa ia tidak mungkin menyukai Raisa!


‘Dasar Raja PHP! Cowok gak peka! Raja Tegaaaaa!’ teriak Raisa di depan layar ponselnya. Lalu ia menggerakkan jempolnya mencari tombol yang satu itu: delete contact.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar