Siang itu, siswa-siswi se-SMP Teladan Nusantara sedang amat
berbahagia. Jam pelajaran terakhir mereka habiskan dengan santai-santai,
ngobrol ngalor ngidul, makan di kantin atau sekedar bergosip di kelas sambil
nyemil kuaci. Dari jaman Firaun sampai SBY, rapat dewan guru memang selalu
menjadi semacam serpihan surga bagi anak sekolahan.
Situasi yang sama terjadi di kelas Raisa. Sebagian besar penghuni
bertingkah bagai sekelompok primata liar; bikin gaduh sana
sini. Ada yang foto-foto, main tenis meja pakai meja belajar,
lempar-lemparan kertas, dan yang paling ekstrem adalah penghapus papan tulis,
buku, ember, sepatu, hingga sapu ijuk melayang di udara, entah siapa
tersangkanya.
Lain halnya dengan situasi di dua bangku pojok kiri paling
belakang di kelas itu. Sepasang pelajar itu terlihat anteng di bangku masing-masing. Yang
laki-laki sedang berusaha keras mengalihkan pikirannya dengan membaca komik
manga yang dipegangnya, sementara yang perempuan terlihat seperti petugas
kantor pos profesional yang melakukan semacam kegiatan penyortiran surat.
Segepok surat cinta yang diangkut dari loker milik Kevin. Lengkap dengan
setumpuk coklat, permen dan hadiah lainnya.
‘Ini tuh bentuk balas budi aku nih, Kev. Kamu udah nyelametin
nilai olahragaku tadi pagi,’ tangan Raisa dengan gesit membuka-buka amplop dan
membaca isinya dengan cepat. ‘Yang ini dari Monita lho. Anak kelas tujuh sih.
Tapi dia jago balet. Anaknya juga cantik.’
‘Ya ya ya,’ Kevin menyahuti dengan malas. Matanya tetap tertuju
pada komik yang ia pegang, tapi pikirannya kembali membawanya pada hal yang
sedari tadi coba ia enyahkan.
‘Wah, yang ini dari Citra Amalia! Kakak kelas kita yang cantik
banget itu lhooooo, Kev! Kevin hebat euy! Cewek secantik ini aja ngirimin kamu surat
cinta,’ Raisa menyerocos heboh. Sebetulnya ia sedang memancing reaksi cowok di
sebelahnya itu.
Yang diajak bicara hanya melirik sebentar lalu kembali memusatkan
perhatian pada komik di tangannya. ‘Hebat apanya?’
‘Aduh, Kevin Gallant Adrian! Kamu itu gak nyadar apa, sedang
ditaksir cewek-cewek satu sekolah? Nih ya, sepuluh dari sepuluh cewek di sekolah
ini pasti udah pernah ngendap-ngendap di depan kelas kita, masukin surat cinta
ke loker kamu.’
‘Delapan dari sepuluh.’
‘Ha?’
Kevin menurunkan komik dari pandangannya, lalu memutar tubuh
hingga menghadap Raisa. 'Belum ada surat dari kamu tuh.’
Raisa nyaris tersedak mendengar kata-kata Kevin. Matanya
mengerjap-ngerjap pertanda ia amat grogi. Sialnya, sekarang pipinya mulai
terasa panas. ‘Oh itu, ha.. ha.. ha.. itu.. ngg.. aku kan.. aku kan tahu nomer
HP kamu, Kev! Kalo ada apa-apa, ya aku tinggal SMS atau BBM kamu aja. Ngapain
ngirim surat? Ribet tauk!’
Kevin menyipitkan matanya seolah gak percaya. Bibirnya dimajukan
pertanda ia mencurigai sesuatu. ‘Terus kenapa dong Mia ikut-ikutan gak ngirimin
aku surat? Dia gak tahu nomer HP apalagi PIN BB-ku.’
‘Ya itu sih.. itu sih mana kutahu. Kamu tanya sendiri aja ke
Mia,’ Raisa mencomot sebatang coklat sebagai pengalih perhatian. ‘Yang ini buat
aku ya?’
Kevin melengos sambil tertawa kecil. ‘Semuanya boleh kamu ambil
kok.’
‘Serius kamu? Makasih ya Kekev!’ Raisa tersenyum senang. Lebih
bisa dibilang lega sih. Tapi tidak sampai tiga detik, raut wajahnya berubah
serius. ‘Eh, gak jadi deh. Ini kan pemberian orang buat kamu. Nanti dosa kalo
aku yang ambil.’
‘Caca, Caca,’ Kevin menjulurkan tangannya mengacak rambut depan
Raisa. ‘Polos banget sih! Mereka kan udah dengan ikhlas kasih ini ke aku. So, coklat-coklat ini udah jadi
punyaku dan aku berhak kasih ke siapa aja termasuk kamu.’
‘Iya juga sih. Hehehe, kalo gitu beneran buat aku ya?’
‘Iya..’ Kevin tersenyum.
‘Asyik! Makasih Kekev!’
Mendadak kelas sunyi senyap begitu Wali Kelas berdiri di depan
pintu masuk, membawa setumpuk kertas rapor UTS mereka. Semuanya diam mendapati
Sang Ibu Guru mendelik melihat suasana kelas yang kacau balau. Foto presiden
miring, sapu ijuk di atas meja guru, bendera terjatuh di lantai.
‘Mampus kalian,’ Raisa cekikikan senang.
***
Raga mereka di kelas, sementara jiwa mereka sudah melayang jauh di
luar sekolah. Begitulah gambaran siswa-siswi menjelang jam bubaran sekolah.
Begitu pula Kevin dan Raisa. Bedanya, Raisa sedang memikirkan eksekusi
rencananya dengan Mia semalam begitu bubaran kelas. Ia sudah tidak sabar lagi
menanti saat-saat Kevin menyatakan perasaannya pada dirinya.
Entah secara diam-diam atau tidak, dari awal bertemu ia sudah suka
dengan Kevin. Raisa juga sudah kadung yakin bahwa Kevin juga menyukainya.
Dilihat dari statistik berbalasan BBM dan
SMS di antara keduanya. Tidak jarang pula cowok
itu menelepon dirinya. Bahkan masing-masing punya panggilan khusus yang hanya
digunakan oleh keduanya; Kekev dan Caca. Diperkuat lagi dengan teori si Ratu
Sotoy Miandra Anastasya semalam, kalau Kevin benar-benar suka pada Raisa.
Yang Raisa tidak tahu, jiwa Kevin juga tidak sedang ada di sana.
Kevin masih menggigiti ujung jempolnya ketika Wali Kelas mereka sudah keluar
dari kelas. Di sebelahnya, Raisa tampak berlonjak-lonjak senang mendapati
dirinya meraih peringkat pertama lagi dan berhasil mengalahkan Kevin. Cowok itu
harus rela stagnan di peringkat dua karena nilai Fisika dan Matematika miliknya
dua angka lebih rendah dari nilai Raisa; 92.
‘Kamu tahu, Kev? Aku seneng banget!’ seru Raisa sambil menatap
deretan angka sembilan puluhan di rapornya.
‘Kamu kan memang cerdas, Ca. Aku gak heran kok. Congrats ya! You deserve it.’ Kevin tersenyum tulus. Gimana Kevin
tidak yakin? Setiap mereka berbalas pesan atau ngobrol via telepon, Kevin
selalu mendapati Raisa sedang belajar. Sedangkan ia sendiri keasyikan berbalas
pesan atau menelepon sambil bermain PES. Walau sering juga ia menelpon sambil
tanya PR.
‘Sebenernya kamu lebih cerdas kok. Sayangnya kamu malas belajar.
Janji ya, ujian-ujian selanjutnya kamu harus nyusul nilaiku!’
Kevin terperangah. Takut-takut ia melirik Raisa yang sedang
tersenyum kepadanya. Tampaknya Raisa betul-betul sedang senang. Dalam hati,
Kevin menerka-nerka apakah ini saat yang tepat untuk bicara dengan Raisa. Namun
pada akhirnya, ia mengumpulkan keberanian untuk bicara pada Raisa hari ini
juga. FIUH! Kevin menghembuskan napas kuat-kuat. ‘Ca, sebenarnya aku..’
‘Kevin! Raisa! Sini main Truth
or Dare!’ Mia, sahabat Raisa
berteriak dari mejanya. Di sana, beberapa anak sudah berkumpul mengelilingi
botol bekas minuman entah dipungut darimana.
‘Truth or Dare?’ Kevin
mengulangi.
‘Ikutan yuk, Kev! Pasti seru deh! Ayo!’ Raisa beranjak berdiri.
‘Tapi, ada yang mau aku omongin sama kamu, Ca..’
‘Udah nanti aja habis main,’ tanpa bicara panjang, dengan semangat
Raisa menarik tangan Kevin menuju meja Mia. Apa boleh buat, berhubung badan
Raisa lebih besar dari dirinya , Kevin pasrah saja tangannya ditarik-tarik
manusia satu itu.
Sebenarnya Raisa sudah tahu skenario ini. Bersama Mia, semalam ia
mengatur agar hari ini Kevin mau main Truth
or Dare. Raisa penasaran betul bagaimana perasaan Kevin selama ini
terhadapnya. Sudah hampir dua tahun lamanya mereka duduk sebangku, berkirim
pesan, ngobrol ngalor ngidul tiap malam, tapi Raisa belum juga mendapat
pernyataan itu. Hari ini, Raisa sekedar ingin tahu, apa reaksi Kevin kalau ia
ditanya tentang perasaannya terhadap Raisa.
Mia tak kalah penasarannya. Seperti yang sudah Mia bilang, bukan
sedikit cewek yang naksir Kevin, cowok cerdas bertampang kiyut yang jago main futsal. Sedetik Kevin
lewat di koridor, dua jam cewek-cewek kelepek-kelepek mencium aroma tubuhnya
yang masih tertinggal. Tapi kenapa Kevin masih juga jomblo? Dan satu-satunya
cewek yang dekat, tau pin BB dan nomor telepon Kevin hanya Raisa. Apa betul
Kevin naksir Raisa? Truth or Dare-lah satu-satunya
solusi paling jitu untuk dapat jawabannya.
‘Your hand please,’ Mia
memberi aba-aba agar anak-anak menyilangkan kedua tangan di depan dada lalu
menjabat tangan orang di kanan-kirinya. ‘Peraturannya
adalah ketika mulut botol berhenti di depan seseorang, dialah penantangnya.
Penantang boleh memilih korban yang sama meskipun dia sudah pernah dipilih
sebelumnya. Remember, ini
adalah permainan sakral. Gak boleh ada yang bohong atau menolak melakukan
tantangan yang diberikan si penantang. Kalo ada yang melanggar, oho ho jangan
coba-coba. Tetangga gua ada yang meninggal habis main Truth or Dare.’
‘Serius lu, Mi? Kok Truth
or Dare jadi serem gini sih?’
tanya Anya sedikit ngeri.
Cewek berambut pendek nyaris cepak itu memasang wajah serius. ‘Gua
serius. Dia main Truth or Dare di tengah jalan Raya. Ketabrak deh.’
‘Asem! Gua kira mati gara-gara ngelanggar aturan Truth or Dare!’ Anya
bersungut-sungut, sementara yang lain tertawa geli. Mia nyengir puas.
‘Mi, buruan mulai dong! Tangan gua mulai keringetan nih!’ ujar
Raisa dengan tampang bete. Kalau mau jujur, sebenarnya dia sudah tidak sabar.
‘Oke, tangan boleh dilepas. Sekarang berdiri di posisi kalian
masing-masing.’ Mia meletakkan tangannya di atas botol plastik bekas minuman
itu. ‘Siap? Mulai!’
Botol berputar-putar kencang di atas meja. Sekitar delapan anak
yang ikut dalam permainan bersemangat menunggu botol itu berhenti. Berharap
botol itu berhenti dengan mulut botol mengarah ke mereka. Ada yang berharap
karena pengin menantang, ada juga yang berharap karena takut ditantang.
Putaran pertama, mulut botol berhenti persis di depan Dias. Cowok
tambun itu tampak bersemangat dan senang sekali. Ia menggosok-gosokkan kedua
telapak tangan dengan tampang siap memangsa. Yang dipilihnya tentu saja Mia,
gebetannya. Mia memasang muka bete. Tapi bukan Mia namanya kalau tak bernyali
besar. Ia memilih dare.
Tantangannya simple. Mia hanya harus merelakan diri
difoto bareng Dias yang bagai gorila. Foto itu harus diunggah sebagai avatar Twitter, profile picture facebook, dan Display Picture BBM milik keduanya selama
seminggu. Dan Mia juga harus rela diaku-akui sebagai pacar Dias. Modus abis.
Putaran-putaran berikutnya semakin gila. Kebanyakan dari mereka
memilih dare. Ada Miko yang menantang Anya untuk
nge-dance ala Agnes Monica
di atas meja. Ada Anya yang balas menantang Miko untuk bergoyang ala Zaskia
Gotik di halaman sekolah. Ada
Raisa yang menantang Dias untuk membatalkan tantangannya untuk Mia (sahabat
yang baik).
Bukannya makin sepi karena sudah jam bubaran sekolah, anak-anak makin ramai berkerumun di kelas 8. A melihat mereka bermain Truth or Dare begitu melihat aksi-aksi aneh mereka. Raisa, menjadi cemas karena botol itu belum juga berhenti di depan Mia,
seperti yang sudah mereka rencanakan semalam. Raisa menggigit bibirnya dengan khawatir. Bagaimana ini? Sekali lagi, mulut botol itu
berhenti di depan Fandi. Cowok itu menantang Fia untuk nembak Juki, kakak kelas
mereka yang mukanya mirip hasil kawin silang T-Rex dengan kelinci, gigi
depannya panjang dan tajam.
‘Udahan yuk, makin siang nih,’ kata Kevin. Ia terlihat begitu
tergesa-gesa. Berkali-kali Raisa mendapati Kevin menatap jam tangan G-Shock-nya dengan gelisah.
‘Curang lu, Vin. Belum dapet tantangan mau udahan aja,’ Fia protes.
‘Oke, sekali lagi deh. Habis ini gua udahan,’ ujar Kevin dengan
malas. Secara tidak kentara, Raisa menghembuskan napas lega.
Sementara itu, Fandi bersiap menjalankan putaran terakhir. Dalam
hati Raisa berdoa dengan serius supaya mulut botol bisa berhenti persis di
depan Mia. Ia sungguh ingin mendapat pernyataan itu hari ini. Kalau di film,
putaran botol terakhir itu bergerak dengan efek slow
motion. Mata Raisa, juga Mia tak lepas menatap botol yang terus berputar
itu. Dan akhirnya..
‘Yay! Giliran gua!’ Mia berseru heboh. Kesenangannya tampak
berlebihan. ‘Gua pilih Kevin! Truth
or Dare?’
Yang namanya disebut hanya mengernyitkan alis. Dalam hati ia
menimbang-nimbang ingin pilih yang mana. Berhubung daritadi semua orang pilih dare dan semua tantangannya aneh-aneh,
Kevin enggan memilih yang sama. ‘Gua pilih Truth deh.’
‘Yah, gak seru lu, Vin!’ Dias protes.
Great choice, pikir Mia. ‘Gua mau
nanya apa ya.. hmm,’ Mia memasang tampang seolah ia harus berpikir keras
memilih pertanyaan. ‘Aha! Gua tau.’
Alis Kevin makin berkerut menunggu pertanyaan Mia. Sementara Mia,
anak itu malah berdehem-dehem tidak jelas sebelum bicara. Aduh Mia! Akting lu norak banget! Raisa mengumpat-ngumpat dalam hati.
‘Gua mau tanya.. hmm... anak-anak kan tahu tuh, Vin, kalo lu sama
Raisa deket. Hm.. sebenernya gimana sih perasaan lu sama Raisa? Lu suka ya sama
Raisa?’
Kevin diam. Mukanya kini merah padam. Otaknya berpikir cepat
menyusun jawaban yang mungkin ia keluarkan. Raisa yang melihat perubahan
gelagat Kevin mendadak jadi tidak enak hati.
‘Anu.. eh.. Kok lu bawa-bawa gua sih, Mi? Apa banget deh
pertanyaan lu.’
‘Cieeeee kalian berdua mukanya jadi merah gitu.. Cieeeeeee, ‘Anya
menggoda dengan lantang.
‘Cieeeeeeeee,’ seisi kelas mendadak kompak bagai kelompok paduan
suara, dengan Anya sebagai dirijennya. Gawat!
Kenapa jadi begini? batin
Raisa panik. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar melihat bagaimana ekspresi
Kevin saat ini. Ia melihat sekeliling. Sialnya, kelasnya sedang ramai akibat
aksi gila teman-temannya dalam tantangan tadi.
‘STOP! Kalian apa-apaan sih? Aku sama Kevin gak mungkin banget
suka-sukaan! Jangan norak deh!’ Raisa berteriak panik. Raisa tidak menyadari
bahwa teriakan lantangnya membuat seisi kelas diam. Raisa itu tipikal good girl di sekolah mereka. Satu sekolah tahu
bagaimana polos dan halusnya anak itu selama ini. Mendengar Raisa berteriak
seperti tadi, wajar saja satu kelas mendadak diam karena kaget.
Kevin-lah yang paling terperangah mendengar teriakan Raisa.
Kata-kata yang telah menggantung di ujung lidah ditelannya kembali. ‘Iya, Raisa
betul,’ ujarnya dengan suara tercekat.
Tanpa diduga, Kevin langsung berdiri dan memakai ranselnya. ‘Lu
denger kan, Mia? Gua dan Raisa gak mungkin suka-sukaan. Dan jawaban dari
pertanyaan lu tadi adalah ENG-GAK. Gua gak ada perasaan lebih ke Raisa. Gak mungkin ada.’
Dan Kevin langsung meninggalkan kelas begitu selesai mengucapkan
kalimat itu. Tanpa menoleh, tanpa berpamitan pada Raisa. Bahkan Raisa tidak
sempat melihat raut wajah Kevin sebelum ia pergi.
‘Kevin…’ ucap Raisa lirih. Ia tidak tahu apakah Kevin jujur atau
tidak. Yang ia tahu, timbul rasa sakit yang aneh di dadanya mendengar kata-kata
Kevin barusan. Kalau memang Kevin tidak punya perasaan lebih padanya, lalu apa
maksud ratusan pesan dan puluhan jam telepon itu? Lalu apa maksud ‘good morning, sunrise’, ‘selamat
belajar, Caca Pinter’, ‘good night, Caca’ dan ‘jangan lupa makan’ itu?
Setelah Truth or
Dare ‘naas’ itu, hubungan
Kevin dan Raisa menjadi sedikit renggang. Raisa tidak pernah lagi berhubungan
dengan Kevin. Ia sengaja menonaktifkan BBM, Line, dan mengganti nomor
teleponnya karena sudah kadung kecewa dan kesal dengan Kevin. Bayangkan, di
depan seisi kelas Kevin menyatakan bahwa ia tidak mungkin menyukai Raisa!
‘Dasar Raja PHP! Cowok gak peka! Raja Tegaaaaa!’ teriak Raisa di
depan layar ponselnya. Lalu ia menggerakkan jempolnya mencari tombol yang satu
itu: delete contact.
0 komentar:
Posting Komentar