Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA: BAGIAN 4 | KADO-KADO

Rambut panjangnya dibiarkan tergerai jatuh di bahu kirinya. Tangan kirinya memegang sebuah buku paket Biologi hampir setebal hak sepatu Ibunya. Matanya meneliti kata demi kata dari balik kacamata bacanya. Sementara tangan kanannya ditugaskan untuk mencomoti setumpuk roti bakar keju dengan bergegas, sesekali menyorongkan gelas susu coklat dari meja menuju mulutnya. Sarapan praktis dikala ia sedang buru-buru karena ada ulangan. Tidak banyak yang berubah dari diri cewek itu. Kecuali poninya yang hilang dan… seragamnya yang tidak lagi putih biru; putih abu-abu.

‘Aku udah nih, Pa. Berangkat yuk!’ celoteh cewek itu dengan mulut penuh roti yang bahkan belum ia telan sepenuhnya. Buru-buru ia menandaskan susu coklatnya dan menutup buku pelajaran.

‘Bentar lagi, ya. Papa masih laper. Nasi goreng Mama kamu lagi enak nih,' ujar Papa dengan logat Jawa yang kental.


‘Duh Papa, dari artikel yang pernah kubaca nih ya, kalo sarapan kebanyakan karbo, nanti Papa bawaannya ngantuk di kantor. Ujung-ujungnya kerja Papa jadi gak maksimal dan badan Papa tambah segede kingkong. Hahaha.’

‘Ih Raisa, kok Papanya dikatain kingkong sih? Papa itu seksi tauk!’ Mamanya menyahuti dari dapur.

‘Pokoknya gak mau tau. Ayo, buruan berangkat. Aku kasih Papa waktu lima menit doang. Kalo gak..’ Dengan gesit Raisa meraih kunci mobil yang tergeletak di gelas kopi Papanya. ‘Aku setir sendiri mobilnya ke sekolah,’ selorohnya sambil menjulurkan lidah. Buru-buru ia melesat keluar rumah sebelum teriakan Ibunya berkumandang di seantero rumah mungil mereka.

Entah karena kualat atau apa, begitu sampai di depan pintu, cewek itu nyaris tersungkur di lantai kalau saja tidak cepat-cepat berpegangan pada kursi di teras rumahnya. Dari dalam rumah, terdengar dengan jelas dua suara yang sedang menertawai dirinya. Sial. Raisa bangkit dan mendapati benda apa yang menyandung kaki sampai nyaris mematahkan batang hidungnya tadi. Sebuah kotak ungu tua berukuran sedang teronggok di depan pintu rumahnya. Sebuah kartu terikat di pita yang membalut kotak cantik itu. Bergegas ia membaca kalimat yang tertulis di dalam kartu itu: Happy Birthday Raisa. Tanpa mencamntumkan nama pengirim, alamat, atau nomor telepon. 

Happy Birthday? Tak lama cewek itu menepuk jidatnya sendiri. Seperti kurang yakin, cewek itu segera meraih ponsel di saku kemejanya dan melihat tanggal yang tertera di layar; 14 September. Tanggal lahir dirinya dan Mia sekaligus hari pertama mereka mulai bersahabat, empat tahun yang lalu. Gimana bisa pas hari H dia justru lupa? Padahal dari jauh-jauh hari ia sudah memesan hadiah istimewa untuk sahabatnya itu.

Beralih ke kado misterius yang ia terima, dari warna kotaknya saja Raisa sudah suka. Siapapun yang memberi hadiah ini, pasti tahu dengan baik seperti apa selera Raisa. Ungu adalah warna favorit Raisa sejak TK. Cewek itu langsung bersemangat untuk melihat isi di dalam kotak cantik itu. Mulutnya termanga ketika tutup kotak itu telah dibuka. Sebuah benda putih yang membuat hatinya berdesir. Kotak musik cantik berbentuk miniatur kincir angin khas negeri Belanda. Kalau kincirnya diputar berlawanan jarum jam, maka akan mengalun dentingan musik Happy Birthday dan kincir angin akan berputar pelan searah jarum jam. Romantis sekali. Raisa segera jatuh hati pada benda satu itu. Sebutir air mata jatuh di pipinya tanpa bisa ditahan. Papa yang baru nongol dari pintu rumah melongo melihat putrinya berlinangan air mata.

‘Makasih ya, Pa. Kadonya bagus banget. Aku suka deh,’ Raisa tersenyum sambil mengusap air matanya.

‘Lha, kok makasih sama Papa? Itu bukan dari Papa lho. Kado dari Papa itu di mobil,’ Papa beringsut ke mobil, mengambil sesuatu dari sana, lalu kembali ke teras rumah, ‘Nih, buat kamu. Niatnya mau kasih surprise begitu kamu masuk mobil. Kemarin bukannya kamu sendiri yang ngeluh hape kamu sering tiba-tiba mati? Ya Papa mau kasih kamu hape. Bukan mainan beginian. Papa aja bingung lihat kamu mewek lihatin benda itu. Barangkali Mama nih yang kasih.’

Mendengar debat kusir di depan pintu rumah, si Mama yang namanya disebut-sebut langsung menyahut, ‘Bukan Mama juga. Mama sih mau ngasih ini,’ Mama mengangkat tinggi-tinggi sebuah kotak besar berwarna coklat keemasan, ‘Gaun buat dia pake di pestanya Mia nanti. Raisa kan gak ngerti fashion, Pa. Jadi Mama berkewajiban menolong selera fashion dia.’

Raisa tidak memedulikan ponsel pintar yang telah ia damba-dambakan pemberian dari Papanya. Juga tidak dengan midi dress mahal pemberian Mamanya. Matanya terpaku pada benda yang masih mendentingkan musik itu. Sederhana tapi penuh makna. ‘Jadi siapa dong yang kasih kado sebagus ini buatku..’

‘Mas Rainald atau Mas Raihan mungkin?’ Mama membantu mencarikan tersangkanya, dua orang Kakak laki-laki Raisa yang sudah tidak tinggal bersama mereka.

Yang dibantu malah memberengut sebal. ‘Kado ginian bukan levelan eksmud kayak Mas Rainald, Ma. Aku sih udah minta kado paket liburan ke Bali untuk tahun baru nanti sama dia. Niat awalnya mau minta liburan ke Belanda sih, tapi sebagai adik yang paling cantik, aku harus tahu diri, hehehe. Kalo Mas Raihan, dia sih pelit mampus. Ya Mama tau sendiri kantong mahasiswa gimana, cekak teruuuus.’

‘Jangan-jangan..’ Mama memasang wajah serius,’Ini kerjaan orang iseng? Dia sengaja naro ini di depan rumah kita, dan ternyata di dalam kotak musik ini... ADA BOMNYA! Buang, Raisa, Buang! Mama gak mau anak perempuan Mama satu-satunya celaka. BUAAAAANG!’

Papa melirik Raisa menahan geli. ‘Tuh, Mama kamu mulai kambuh. Kebanyakan nonton berita terorisme,’ ujarnya sambil melenggang ke mobil. ‘Yuk berangkat, yuk.. Udah hampir telat nih, apalagi kalo ngeladenin Mama kamu. Gak habis-habis nanti’

‘Tunggu bentar, Pa.’ Buru-buru Raisa berlari masuk ke dalam rumah, tepatnya ke kamar tidurnya. Diletakkannya dua kotak kado dari orang tuanya di atas meja belajar. Sementara, khusus untuk kado istimewa yang satu itu, Raisa sengaja meletakkannya di atas meja kecil di sisi tempat tidurnya. Ia bahkan rela menyingkirkan lampu tidur doraemon yang sudah bertahun-tahun teronggok di sana.

Hatinya senang sekali. Benda satu itu seakan melengkapi koleksinya selama ini. Raisa mengedarkan bola mata ke segala penjuru kamarnya. Wall sticker besar berbentuk siluet negeri Belanda, poster Robin Van Persie, klompen khas tanah Holland, dan beragam hal berbau Belanda berjejalan di kamar tidurnya yang mungil. Entah sejak kapan Raisa mulai tergila-gila dengan negara satu itu.

Raisa mengelus kincir angin mini itu sekali lagi. Tangannya meraba-raba saku mencari ponsel. Sempat-sempatnya gadis itu membuka fitur kamera pada ponselnya lalu memotret kado yang telah menjatuhkan air matanya itu.

Begitu ia sudah duduk mantap di dalam mobil menuju sekolah, cewek itu menyempatkan diri mengunggah foto tersebut di akun instagram miliknya: 

Siapapun yang kasih ini, terima kasih ya. Aku suka banget sampe mewek..


***

Sejak tadi pagi hingga jam istirahat kedua, Raisa tak habis-habisnya dibanjiri ucapan dan doa dari berbagai penghuni sekolah. Dari mulai teman sekelasnya, guru-guru, satpam sekolah, sampai penjual makanan di kantin. Cewek itu memang lumayan populer dan disukai di SMA Teladan Nusantara. Selain cerdas bukan kepalang, cewek itu juga dikenal ramah dan berparas ayu. Contoh produk sukses perkawinan silang Ras Jawa dan Palembang. Tapi hingga siang ini, Raisa belum juga bertemu dan mendapat ucapan dari sahabat kentalnya, Mia.

Karena Mia memilih jurusan Ilmu Sosial, mereka harus berpisah di kelas sebelas. Mia serius ingin mengejar cita-citanya jadi pengacara kondang, sedangkan Raisa tetap berpegang teguh pada cita-citanya sejak kecil: ingin jadi Dokter Bedah Jantung.

Sedang celingak-celinguk di koridor sekolah, mencari sesosok cewek berambut pendek yang mencuat sana-sini diberi wet look itu, Raisa terperanjat nyaris terjungkal begitu pundaknya ditepuk dari belakang. Ia berbalik. Kakak kelas sekaligus mantan ketua OSIS SMA Tunas Harapan yang belakangan ini rutin mengiriminya pesan singkat, berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

‘Glenn! Ngagetin tauk! Kalo gua mati gimana coba?’ Raisa memberengut sebal. Mereka sudah begitu akrab satu sama lain sampai Raisa tak lagi canggung memanggil nama cowok keturunan Indo-Cina-Jerman itu.

‘Abis elu celingak-celinguk aja dari tadi. Kayak anak hilang tau gak. Oh iya, Ra,’ Glenn mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya. ‘Selamat ulang tahun ya.’

Raisa terpaku menatap setangkai mawar putih yang tersorong di hadapannya. Sontak pipi Raisa terasa hangat. Malu. Lebih-lebih ia tengah berdiri persis di tengah koridor utama, disaksikan puluhan pasang mata-mata kepo yang mulai ber-cie-cie kompak bak grup paduan suara Istana Negara. Beberapa bahkan rela berdesakan di jendela kelas demi menyaksikan momen so sok sweet itu.

‘Eh.. iya.. anu.. hm.. thanks,’ Raisa bingung harus bereaksi seperti apa. Ragu-ragu tangannya bergerak meraih bunga itu. Jengah.

‘Kado dari gua udah diterima dong? Tadi gua kirim langsung ke rumah lu,’ lanjut Glenn.

‘Kado?’ Pikiran Raisa langsung melayang pada kotak musik yang  ia letakkan di sisi tempat tidurnya tadi pagi. ‘Oooooh, jadi kado itu dari lu? Iya, gua udah terima. Cantik banget. Makasih ya.’

‘Jadi lu suka? Wah, syukur deh. Gue lega. Tadinya gua ragu, takut lu gak suka.’

‘Iya gua suka banget sama kotak mu..’ Raisa tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Seseorang tiba-tiba merangkul –nyaris menubruk- tubuhnya dari belakang.

Happy birthday Raisa Markisa Kedaluwarsaaaaaa!’ suara cempreng itu berteriak heboh persis di depan telinga Raisa.

Raisa melepaskan diri dari rangkulan yang menyesakkan itu dan berbalik. ‘Happy birthday juga Mia Tamiya Claustrophobia tersayaaaaang!’

Tanpa ba-bi-bu lagi, Mia segera menarik Raisa menuju bangku besi di tepi lapangan futsal. Tanpa memedulikan Glenn yang terlongo-longo heran, lawan bicaranya diciduk begitu saja. Cewek satu itu memang tidak bisa diam. Raisa bahkan tidak pernah bisa berjalan dengan damai bersamanya. Kalau orang lain berjalan, ya hanya berjalan. Kalau Mia berjalan tidak dikolaborasikan dengan lompat sana-sini, menandak-nandak, berjingkat-jingkat, dia akan demam tinggi. Bahkan kalau memungkinkan, Mia bisa berjalan sambil sesekali bolak-balik roll depan-belakang.

Glenn hanya pasrah berdiri menatap punggung kedua cewek itu sambil geleng-geleng kepala, kemudian berbalik pergi. 

***

‘Tadaaaaaaa!’ tangan Mia mengangkat tinggi-tinggi paper bag di tangannya. ‘Kado buat my super-duper- best friend ever! Buka gih.’

Raisa segera merogoh isi paper bag itu dengan excited. Ia mendapati sebuah kotak panjang berlabel toko perhiasan terkenal yang pernah lihat saat hangout di sebuah pusat perbelanjaan. Alisnya berkerut-kerut mendapati sebuah gelang rantai putih berkilauan di dalam kotak itu. Dengan empat buah bandul mungil nan cantik berbentuk simbol peace, buku, bunga tulip, dan kacamata. Berkilauan dengan elegan dan terlihat mahal.

Dua sahabat itu memang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Papa Raisa hanya seorang karyawan swasta dan Mamanya adalah seorang Ibu Rumah Tangga tulen. Ia terbiasa hidup sederhana sejak kecil dan terbiasa berjuang keras untuk memperoleh sesuatu. Sementara Mia sejak lahir sudah berstatus anak keluarga kaya raya. Ayahnya adalah seorang generasi kedua dari keluarga konglomerat terkemuka di negeri ini. Jika Raisa adalah anak perempuan satu-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh seluruh keluarga, Mia adalah anak tunggal yang dibesarkan dengan penuh kasih-uang. Semua perhatian dari orang tuanya dikonversi dalam bentuk nominal rupiah di rekening pribadinya. Ia kaya raya, tapi miskin perhatian. Mungkin itulah yang menjadikannya sebagai sosok yang ingar bingar dan gemar menjadi pusat perhatian. Mereka mulai bersahabat sejak tahun pertama di SMP Tunas Harapan, saat masing-masing mengetahui bahwa tanggal lahir mereka sama.

‘Bagus banget, Mi,’ Mata Raisa berkaca-kaca menatapnya. Tapi tak lama kemudian ia memasukkan kembali gelang itu pada tempatnya. ‘Tapi ini pasti mahal banget. Gua gak enak nerimanya. Tahun lalu gua udah dipaksa elu nerima satu set Twilight Saga White Edition yang harganya selangit. Dan sekarang hadiah mahal lagi? Enggak deh ya..’

‘Elu aneh deh, Ra. Di luar sana, orang-orang rebutan pingin punya barang mewah. Nah elu dapet gratisan malah gak mau,’ Gesit, Mia meraih tangan Raisa dan memasangkan gelang itu di pergelangannya. ‘Gua ikhlas ngasihnya. Untuk sahabat terlama gua, apa sih yang enggak? Dan gua bakal tersinggung banget kalo hadiah ini ditolak.’

‘Tapi, Mi, ini tuh kebagusan buat gua..’

‘Gak usah bawel deh. Gua mesennya berbulan-bulan loh. Keempat bandulnya itu elu banget; pecinta kedamaian, penggila buku, terobsesi sama Belanda, dan berkacamata.’

‘Yeeee.. kacamatanya kan pas lagi baca atau belajar doang!’

‘Oh iya, ya. Harusnya gua ganti simbol kacamatanya sama huruf ‘K’ aja ya. Yang ‘satu’ itu kan juga Raisa banget.’

‘Ratu Sotoy mulai berteori deh,’ Raisa memutar bola matanya. Kentara sekali raut wajahnya langsung berubah ketika Mia menyinggung tentang manusia satu itu. Sudah lebih dari dua tahun sejak manusia itu menghilang, hijrah ke negeri orang tanpa kabar.

‘Ngaku aja deh ya! Gak usah malu-malu kucing. Memangnya apa alasan terbesar lu pingin ke Belanda kalo bukan karena si inisial ‘K’ itu?’

‘Nih ya, Mia. Kenapa gua suka Belanda? Karena dari yang gua lihat di acara tivi, Belanda itu kayaknya asyik, adem, dan bersih banget. Gua pingin banget lihat tulip, windmill, nyobain ikan haring, ngunjungin Madurodam di Scheveningen, sepedaan di jalan, ngelilingin kanal. Pokoknya banyak alasan gua kecuali teori sotoy elu satu itu.’

‘Jadi beneran nih, udah gak naksir lagi sama Mr. K itu?’

‘Enggak! Udah deh. Gak ada topik yang lebih penting-kah?’ Raisa mulai menekuk wajahnya sedemikian rupa pertanda ia sudah tidak suka dengan arah pembicaraan ini.

‘Oke oke, ampun Kanjeng! Kita ganti topik deh,’ Mia menyipitkan matanya, berlagak sedang berpikir keras. ‘Aha! Jadi, dapet kado apa aja hari ini? Kado dari gua paling keren dong?’

Raisa menggeleng cepat. Mendadak ia tidak bisa menahan diri untuk tidak senyum-senyum sendiri. Pikirannya kembali melayang pada kotak musik yang membuatnya jatuh hati itu. Terlebih lagi setelah tahu bahwa yang memberikan adalah Glenn. ‘Maaf ya, Mi. Kado dari elu emang keren banget. No doubt.  Tapi kado paling keren, paling cantik, paling spektakuler tahun ini itu kado dari.. ‘ Raisa memelankan suaranya,’ dari Gleeeeeeeenn.’

‘Glenn?’ Mia mengernyitkan alis. ‘Emang dia kasih apaan?'

Windmill music box,’ ujar Raisa mantap. ‘Gak tahu kenapa air mata gua langsung jatoh aja begitu lihat benda satu itu. Memang simple sih, harganya mungkin gak sebanding dengan hadiah lu ini. Tapi rasanya deep banget. Dia kayak tau banget apa yang gua suka. Udah gitu kotak kadonya warna ungu lagi. Romantis banget kaaaan?’

'Windmill music box? Kincir angin Belanda? Lu yakin itu Glenn yang kasih? Mana coba gua pingin liat!'

'Gak ada di sini, Mia. Kadonya di rumah. Barusan tadi dia bilang kalo dia yang kirim kadonya ke rumah tadi pagi,' Raisa masih tidak bisa menahan senyum. 'Eh, gimana menurut elu? Glenn romantis kan?'

‘Iya deh yang lagi jatuh cintaaaaaaa,’ Mia melengos sambil tertawa. ‘By the way, kado buat gua mana?’

‘Tenang Nona, Raisa sudah siapkan!’ ujarnya sambil merogoh saku kemejanya, lalu mengeluarkan sebuah kantung berisi jam tangan sporty berwarna ungu tua, dan memakaikannya di pergelangan tangan Mia. ‘Sengaja nabung satu semester buat beliin yang agak mahalan dikit. Khusus buat ultah elu yang keenam belas dan untuk empat tahun persahabatan kita. Makasih ya, Mi, elu udah mau jadi sahabat terbaik dan terawet yang pernah gua punya.’

‘Ah jadi pingin nangis deh gue. Belum pernah ada lho yang ngasih kado seniat ini ke gua,’ Mia mengucek-ngucek matanya. ‘Tapi kenapa jam tangan? Dan kenapa warnanya harus ungu?’

‘Kenapa jam tangan? Supaya elu gak telat-telat lagi kalo berangkat sekolah. Gua sempet ngira di rumah elu yang segede gambreng itu gak ada jam saking seringnya lu telat. Dan kenapa warnanya ungu? Harapannya sih, kalo elu gak suka, ya bisa buat gua hahahaha.’

‘Dasar gak mau rugi,’ Mia melengos. ‘Eh, ada lagi nih yang lebih penting. Lusa alias malam minggu nanti, jangan lupa dateng ke party gua. Ini pesta khusus anak muda tanpa campur tangan bonyok gua. Yakaleee mereka inget ultah gua. Dan gua mau pesta lusa bukan jadi perayaan ultah gua doang, tapi juga ultah elu dan perayaan empat tahun persahabatan kita. Elu setuju gak?’

‘Ngerayain ultah bareng sahabat terbaik dan terawet dan gak setuju? Bukan Raisa banget!’

***

Hari sudah beranjak sore. Suasana rumah itu begitu sepi, nyaris seperti tak berpenghuni kalau saja tidak ada suara dengungan mesin mixer dari arah dapur. Mama Raisa tengah sibuk membuat cookies untuk cemilan ketika lonceng mungil yang tergantung di pintu utama berdenting, pertanda ada seseorang yang membuka pintu. Sayup-sayup terdengar suara orang mengucapkan salam. Wanita paruh baya itu melongokkan kepala dari pintu dapur melihat siapa yang datang. Raisa muncul di ambang pintu dengan tampang kusut. Rambutnya megar terkena matahari dan debu saat naik angkot tadi. Anak gadisnya itu terlihat sangat lelah.

‘Walaikumsalam. Sepatunya kembaliin ke lemari sepatu ya, Nak. Nge-jus gih, biar segeran. Di kulkas ada jus jambu kesukaan kamu tuh.’

Anak itu hanya menyahut pelan, lalu menyeret langkah menuju kulkas. Sebotol jus jambu tandas tak kurang dari lima tegukan. Mama melanjutkan pekerjaannya di dapur setelah melihat Raisa sudah masuk ke kamarnya. Tapi ketika hendak mematikan mixer…

‘AAAAARGGGHHH,’ terdengar teriakan dari arah kamar Raisa. Cepat-cepat ia mematikan mixer, mengambil apa saja yang tergeletak di meja sebagai senjata dan bergegas menuju kamar Raisa. Cewek itu terduduk di depan pintu kamarnya dan terlihat ketakutan. Masih memakai celemek dapur, Mama muncul di depan pintu kamar Raisa bak seorang superhero siap melakukan kebajikan.

‘Kenapa kamu? Ada hantu? Ada maling? Mana? Mana? Sini Mama hadapi!’ Mama mengacung-acungkan spatula di tangannya.

‘Itu tuh! Kenapa makhluk itu ada di kamarku sih Ma?’ Ia menunjuk sebuah plastik besar berisi boneka Minnie Mouse hampir sebesar dirinya, tergeletak di atas tempat tidurnya.

‘Ah, itu. Kirain apaan. Tadi ada kurir yang nganterin kemari, katanya buat kamu. Ya Mama taro kamar kamu lah. Masa taro di kamar Mama?’

‘Iiiiih, Mama lupa ya aku fobia tikus?’ Wajah Raisa ditekuk sedemikian rupa, bete.

‘Lha ini kan boneka, bukan tikus. Tuh, pake baju, sepatu, ada pitanya lagi. Lucu tauk.’

‘Ya tetep aja dia tikus, Mama. Gak mau tau, pokoknya buruan Mama singkirin benda itu dari kamar aku sekaraaaaang..'

‘Iya deh, iya. Biar Mama taro di kamar Mas Raihan aja.’

Mama mengangkut benda itu keluar dari kamar Raisa. Iseng, ia menjejalkan boneka itu ke wajah anaknya yang membuat cewek itu menjerit-jerit ketakutan. Bahkan Raisa hampir menangis saking gelinya ia dengan tikus dan jenis-jenisnya.

Raisa bangkit begitu benda mengerikan itu sudah diangkut keluar dari kamarnya. Masih misuh-misuh, ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Sambil menyalakan AC, ia melompat ke atas kasur empuknya. Hatinya masih gondok ingat benda yang tadi berada dia tempatnya berbaring. ‘Siapa sih yang iseng banget ngirim gituan ke gua?’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar