Rambut panjangnya dibiarkan tergerai jatuh di bahu
kirinya. Tangan kirinya memegang sebuah buku paket Biologi hampir setebal hak
sepatu Ibunya. Matanya meneliti kata demi kata dari balik kacamata bacanya.
Sementara tangan kanannya ditugaskan untuk mencomoti setumpuk roti bakar keju
dengan bergegas, sesekali menyorongkan gelas susu coklat dari meja menuju
mulutnya. Sarapan praktis dikala ia sedang buru-buru karena ada ulangan. Tidak banyak
yang berubah dari diri cewek itu. Kecuali poninya yang hilang dan… seragamnya
yang tidak lagi putih biru; putih abu-abu.
‘Aku udah nih, Pa. Berangkat yuk!’ celoteh cewek itu
dengan mulut penuh roti yang bahkan belum ia telan sepenuhnya. Buru-buru ia
menandaskan susu coklatnya dan menutup buku pelajaran.
‘Bentar lagi, ya. Papa masih laper. Nasi goreng Mama
kamu lagi enak nih,' ujar Papa dengan logat Jawa yang kental.
‘Duh Papa, dari artikel yang pernah kubaca nih ya, kalo
sarapan kebanyakan karbo, nanti Papa bawaannya ngantuk di kantor.
Ujung-ujungnya kerja Papa jadi gak maksimal dan badan Papa tambah segede kingkong.
Hahaha.’
‘Ih Raisa, kok Papanya dikatain kingkong sih? Papa
itu seksi tauk!’ Mamanya menyahuti dari dapur.
‘Pokoknya gak mau tau. Ayo, buruan berangkat. Aku
kasih Papa waktu lima menit doang. Kalo gak..’ Dengan gesit Raisa meraih kunci
mobil yang tergeletak di gelas kopi Papanya. ‘Aku setir sendiri mobilnya ke
sekolah,’ selorohnya sambil menjulurkan lidah. Buru-buru ia melesat keluar
rumah sebelum teriakan Ibunya berkumandang di seantero rumah mungil mereka.
Entah karena kualat atau apa, begitu sampai di depan
pintu, cewek itu nyaris tersungkur di lantai kalau saja tidak cepat-cepat
berpegangan pada kursi di teras rumahnya. Dari dalam rumah, terdengar dengan
jelas dua suara yang sedang menertawai dirinya. Sial. Raisa bangkit dan mendapati benda apa yang menyandung kaki
sampai nyaris mematahkan batang hidungnya tadi. Sebuah kotak ungu tua berukuran
sedang teronggok di depan pintu rumahnya. Sebuah kartu terikat di pita yang membalut
kotak cantik itu. Bergegas ia membaca kalimat yang tertulis di dalam kartu itu: Happy Birthday Raisa. Tanpa mencamntumkan nama pengirim, alamat, atau nomor telepon.
Happy Birthday?
Tak lama cewek itu menepuk jidatnya sendiri. Seperti kurang yakin, cewek itu segera
meraih ponsel di saku kemejanya dan melihat tanggal yang tertera di layar; 14 September.
Tanggal lahir dirinya dan Mia sekaligus hari pertama mereka mulai bersahabat, empat
tahun yang lalu. Gimana bisa pas hari H dia justru lupa? Padahal dari
jauh-jauh hari ia sudah memesan hadiah istimewa untuk sahabatnya itu.
Beralih ke kado misterius yang ia terima, dari warna
kotaknya saja Raisa sudah suka. Siapapun yang memberi hadiah ini, pasti tahu
dengan baik seperti apa selera Raisa. Ungu adalah warna favorit Raisa sejak TK. Cewek itu
langsung bersemangat untuk melihat isi di dalam kotak cantik itu. Mulutnya
termanga ketika tutup kotak itu telah dibuka. Sebuah benda putih yang membuat hatinya berdesir. Kotak musik cantik
berbentuk miniatur kincir angin khas negeri Belanda. Kalau kincirnya diputar
berlawanan jarum jam, maka akan mengalun dentingan musik Happy Birthday dan kincir angin akan berputar pelan searah jarum
jam. Romantis sekali. Raisa segera jatuh hati pada benda satu itu. Sebutir air
mata jatuh di pipinya tanpa bisa ditahan. Papa yang baru nongol dari pintu
rumah melongo melihat putrinya berlinangan air mata.
‘Makasih ya, Pa. Kadonya bagus banget. Aku suka deh,’
Raisa tersenyum sambil mengusap air matanya.
‘Lha, kok makasih sama Papa? Itu bukan dari Papa lho.
Kado dari Papa itu di mobil,’ Papa beringsut ke mobil, mengambil sesuatu dari
sana, lalu kembali ke teras rumah, ‘Nih, buat kamu. Niatnya mau kasih surprise begitu kamu masuk mobil.
Kemarin bukannya kamu sendiri yang ngeluh hape kamu sering tiba-tiba mati? Ya
Papa mau kasih kamu hape. Bukan mainan beginian. Papa aja bingung lihat kamu
mewek lihatin benda itu. Barangkali Mama nih yang kasih.’
Mendengar debat kusir di depan pintu rumah, si Mama
yang namanya disebut-sebut langsung menyahut, ‘Bukan Mama juga. Mama sih mau
ngasih ini,’ Mama mengangkat tinggi-tinggi sebuah kotak besar berwarna coklat
keemasan, ‘Gaun buat dia pake di pestanya Mia nanti. Raisa kan gak ngerti fashion, Pa. Jadi Mama berkewajiban menolong
selera fashion dia.’
Raisa tidak memedulikan ponsel pintar yang telah ia
damba-dambakan pemberian dari Papanya. Juga tidak dengan midi dress mahal pemberian Mamanya. Matanya terpaku pada benda yang
masih mendentingkan musik itu. Sederhana tapi penuh makna. ‘Jadi siapa dong
yang kasih kado sebagus ini buatku..’
‘Mas Rainald atau Mas Raihan mungkin?’ Mama membantu
mencarikan tersangkanya, dua orang Kakak laki-laki Raisa yang sudah tidak tinggal bersama mereka.
Yang dibantu malah memberengut sebal. ‘Kado ginian
bukan levelan eksmud kayak Mas Rainald, Ma. Aku sih udah minta kado paket
liburan ke Bali untuk tahun baru nanti sama dia. Niat awalnya mau minta liburan
ke Belanda sih, tapi sebagai adik yang paling cantik, aku harus tahu diri,
hehehe. Kalo Mas Raihan, dia sih pelit mampus. Ya Mama tau sendiri kantong
mahasiswa gimana, cekak teruuuus.’
‘Jangan-jangan..’ Mama memasang wajah serius,’Ini
kerjaan orang iseng? Dia sengaja naro ini di depan rumah kita, dan ternyata di
dalam kotak musik ini... ADA BOMNYA! Buang, Raisa, Buang! Mama gak mau anak
perempuan Mama satu-satunya celaka. BUAAAAANG!’
Papa melirik Raisa menahan geli. ‘Tuh, Mama kamu
mulai kambuh. Kebanyakan nonton berita terorisme,’ ujarnya sambil melenggang ke
mobil. ‘Yuk berangkat, yuk.. Udah hampir telat nih, apalagi kalo ngeladenin
Mama kamu. Gak habis-habis nanti’
‘Tunggu bentar, Pa.’ Buru-buru Raisa berlari masuk ke
dalam rumah, tepatnya ke kamar tidurnya. Diletakkannya dua kotak kado dari
orang tuanya di atas meja belajar. Sementara, khusus untuk kado istimewa yang
satu itu, Raisa sengaja meletakkannya di atas meja kecil di sisi tempat
tidurnya. Ia bahkan rela menyingkirkan lampu tidur doraemon yang sudah bertahun-tahun teronggok di sana.
Hatinya senang sekali. Benda satu itu seakan
melengkapi koleksinya selama ini. Raisa mengedarkan bola mata ke segala penjuru
kamarnya. Wall sticker besar
berbentuk siluet negeri Belanda, poster Robin Van Persie, klompen
khas tanah Holland, dan beragam hal berbau Belanda berjejalan di kamar tidurnya
yang mungil. Entah sejak kapan Raisa mulai tergila-gila dengan negara satu itu.
Raisa mengelus kincir angin mini itu sekali lagi.
Tangannya meraba-raba saku mencari ponsel. Sempat-sempatnya gadis itu membuka
fitur kamera pada ponselnya lalu memotret kado yang telah menjatuhkan air
matanya itu.
Begitu ia sudah duduk mantap di dalam mobil menuju
sekolah, cewek itu menyempatkan diri mengunggah foto tersebut di akun instagram miliknya:
Siapapun yang kasih ini, terima kasih ya. Aku suka banget sampe mewek.. |
***
Sejak tadi pagi hingga jam istirahat kedua, Raisa tak
habis-habisnya dibanjiri ucapan dan doa dari berbagai penghuni sekolah. Dari
mulai teman sekelasnya, guru-guru, satpam sekolah, sampai penjual makanan di
kantin. Cewek itu memang lumayan populer dan disukai di SMA Teladan Nusantara.
Selain cerdas bukan kepalang, cewek itu juga dikenal ramah dan berparas ayu. Contoh
produk sukses perkawinan silang Ras Jawa dan Palembang. Tapi hingga siang ini, Raisa
belum juga bertemu dan mendapat ucapan dari sahabat kentalnya, Mia.
Karena Mia memilih jurusan Ilmu Sosial, mereka harus
berpisah di kelas sebelas. Mia serius ingin mengejar cita-citanya jadi
pengacara kondang, sedangkan Raisa tetap berpegang teguh pada cita-citanya sejak kecil: ingin jadi Dokter Bedah Jantung.
Sedang celingak-celinguk di koridor sekolah, mencari sesosok cewek berambut pendek yang mencuat sana-sini diberi wet look itu, Raisa terperanjat nyaris terjungkal begitu pundaknya ditepuk dari belakang. Ia berbalik. Kakak
kelas sekaligus mantan ketua OSIS SMA Tunas Harapan yang belakangan ini rutin
mengiriminya pesan singkat, berdiri di hadapannya sambil tersenyum.
‘Glenn! Ngagetin tauk! Kalo gua mati gimana coba?’
Raisa memberengut sebal. Mereka sudah begitu akrab satu sama lain sampai Raisa
tak lagi canggung memanggil nama cowok keturunan Indo-Cina-Jerman itu.
‘Abis elu celingak-celinguk aja dari tadi. Kayak anak
hilang tau gak. Oh iya, Ra,’ Glenn mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya.
‘Selamat ulang tahun ya.’
Raisa terpaku menatap setangkai mawar putih yang
tersorong di hadapannya. Sontak pipi Raisa terasa hangat. Malu. Lebih-lebih ia
tengah berdiri persis di tengah koridor utama, disaksikan puluhan pasang
mata-mata kepo yang mulai ber-cie-cie kompak bak grup paduan suara Istana Negara.
Beberapa bahkan rela berdesakan di jendela kelas demi menyaksikan momen so sok sweet itu.
‘Eh.. iya.. anu.. hm.. thanks,’ Raisa bingung harus bereaksi seperti apa. Ragu-ragu
tangannya bergerak meraih bunga itu. Jengah.
‘Kado dari gua udah diterima dong? Tadi gua kirim
langsung ke rumah lu,’ lanjut Glenn.
‘Kado?’ Pikiran Raisa langsung melayang pada kotak musik
yang ia letakkan di sisi tempat tidurnya tadi pagi. ‘Oooooh, jadi kado itu
dari lu? Iya, gua udah terima. Cantik banget. Makasih ya.’
‘Jadi lu suka? Wah, syukur deh. Gue lega. Tadinya gua
ragu, takut lu gak suka.’
‘Iya gua suka banget sama kotak mu..’ Raisa tidak
sempat menyelesaikan kata-katanya. Seseorang tiba-tiba merangkul –nyaris
menubruk- tubuhnya dari belakang.
‘Happy birthday
Raisa Markisa Kedaluwarsaaaaaa!’ suara cempreng itu berteriak heboh persis
di depan telinga Raisa.
Raisa melepaskan diri dari rangkulan yang menyesakkan
itu dan berbalik. ‘Happy birthday juga
Mia Tamiya Claustrophobia tersayaaaaang!’
Tanpa ba-bi-bu lagi, Mia segera menarik Raisa menuju
bangku besi di tepi lapangan futsal. Tanpa memedulikan Glenn yang
terlongo-longo heran, lawan bicaranya diciduk begitu saja. Cewek satu itu
memang tidak bisa diam. Raisa bahkan tidak pernah bisa berjalan dengan damai
bersamanya. Kalau orang lain berjalan, ya hanya berjalan. Kalau Mia berjalan tidak dikolaborasikan dengan lompat sana-sini, menandak-nandak,
berjingkat-jingkat, dia akan demam tinggi. Bahkan kalau memungkinkan, Mia bisa berjalan sambil sesekali bolak-balik roll depan-belakang.
Glenn hanya pasrah berdiri menatap punggung kedua cewek itu sambil
geleng-geleng kepala, kemudian berbalik pergi.
***
‘Tadaaaaaaa!’ tangan Mia mengangkat tinggi-tinggi paper bag di tangannya. ‘Kado buat my super-duper- best friend ever! Buka
gih.’
Raisa segera merogoh isi paper bag itu dengan excited.
Ia mendapati sebuah kotak panjang berlabel toko perhiasan terkenal yang
pernah lihat saat hangout di sebuah
pusat perbelanjaan. Alisnya berkerut-kerut mendapati sebuah gelang rantai putih
berkilauan di dalam kotak itu. Dengan empat buah bandul mungil nan cantik berbentuk simbol peace, buku, bunga tulip, dan kacamata.
Berkilauan dengan elegan dan terlihat mahal.
Dua sahabat itu memang memiliki latar belakang
keluarga yang berbeda. Papa Raisa hanya seorang karyawan swasta dan Mamanya
adalah seorang Ibu Rumah Tangga tulen. Ia terbiasa hidup sederhana sejak kecil
dan terbiasa berjuang keras untuk memperoleh sesuatu. Sementara Mia sejak lahir
sudah berstatus anak keluarga kaya raya. Ayahnya adalah seorang generasi kedua dari keluarga konglomerat terkemuka di negeri ini. Jika Raisa
adalah anak perempuan satu-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang
oleh seluruh keluarga, Mia adalah anak tunggal yang dibesarkan dengan penuh kasih-uang. Semua perhatian dari orang tuanya dikonversi dalam bentuk nominal rupiah di rekening pribadinya. Ia kaya raya, tapi miskin perhatian. Mungkin itulah yang menjadikannya sebagai sosok yang
ingar bingar dan gemar menjadi pusat perhatian. Mereka mulai bersahabat sejak
tahun pertama di SMP Tunas Harapan, saat masing-masing mengetahui bahwa tanggal
lahir mereka sama.
‘Bagus banget, Mi,’ Mata Raisa berkaca-kaca
menatapnya. Tapi tak lama kemudian ia memasukkan kembali gelang itu pada
tempatnya. ‘Tapi ini pasti mahal banget. Gua gak enak nerimanya. Tahun lalu gua
udah dipaksa elu nerima satu set Twilight
Saga White Edition yang harganya selangit. Dan sekarang hadiah mahal lagi?
Enggak deh ya..’
‘Elu aneh deh, Ra. Di luar sana, orang-orang rebutan
pingin punya barang mewah. Nah elu dapet gratisan malah gak mau,’ Gesit, Mia
meraih tangan Raisa dan memasangkan gelang itu di pergelangannya. ‘Gua ikhlas
ngasihnya. Untuk sahabat terlama gua, apa sih yang enggak? Dan gua bakal
tersinggung banget kalo hadiah ini ditolak.’
‘Tapi, Mi, ini tuh kebagusan buat gua..’
‘Gak usah bawel deh. Gua mesennya berbulan-bulan loh.
Keempat bandulnya itu elu banget; pecinta kedamaian, penggila buku, terobsesi
sama Belanda, dan berkacamata.’
‘Yeeee.. kacamatanya kan pas lagi baca atau belajar
doang!’
‘Oh iya, ya. Harusnya gua ganti simbol kacamatanya
sama huruf ‘K’ aja ya. Yang ‘satu’ itu kan juga Raisa banget.’
‘Ratu Sotoy mulai berteori deh,’ Raisa memutar bola
matanya. Kentara sekali raut wajahnya langsung berubah ketika Mia menyinggung tentang manusia satu itu. Sudah lebih dari dua tahun sejak manusia itu menghilang, hijrah ke negeri orang tanpa kabar.
‘Ngaku aja deh ya! Gak usah malu-malu kucing.
Memangnya apa alasan terbesar lu pingin ke Belanda kalo bukan
karena si inisial ‘K’ itu?’
‘Nih ya, Mia. Kenapa gua suka Belanda? Karena dari yang gua lihat di acara tivi, Belanda itu kayaknya asyik, adem, dan bersih banget. Gua
pingin banget lihat tulip, windmill, nyobain
ikan haring, ngunjungin Madurodam di Scheveningen, sepedaan di jalan, ngelilingin kanal. Pokoknya
banyak alasan gua kecuali teori sotoy elu satu itu.’
‘Jadi beneran nih, udah gak naksir lagi sama Mr. K
itu?’
‘Enggak! Udah deh. Gak ada topik yang lebih
penting-kah?’ Raisa mulai menekuk wajahnya sedemikian rupa pertanda ia sudah tidak suka dengan arah pembicaraan ini.
‘Oke oke, ampun Kanjeng! Kita ganti topik deh,’ Mia
menyipitkan matanya, berlagak sedang berpikir keras. ‘Aha! Jadi, dapet kado apa
aja hari ini? Kado dari gua paling keren dong?’
Raisa menggeleng cepat. Mendadak ia tidak bisa
menahan diri untuk tidak senyum-senyum sendiri. Pikirannya kembali melayang
pada kotak musik yang membuatnya jatuh hati itu. Terlebih lagi setelah tahu
bahwa yang memberikan adalah Glenn. ‘Maaf ya, Mi. Kado dari elu emang keren
banget. No doubt. Tapi kado paling keren, paling cantik, paling
spektakuler tahun ini itu kado dari.. ‘ Raisa memelankan suaranya,’ dari Gleeeeeeeenn.’
‘Glenn?’ Mia mengernyitkan alis. ‘Emang dia kasih
apaan?'
‘Windmill music
box,’ ujar Raisa mantap. ‘Gak tahu kenapa air mata gua langsung jatoh aja
begitu lihat benda satu itu. Memang simple
sih, harganya mungkin gak sebanding dengan hadiah lu ini. Tapi rasanya deep banget. Dia kayak tau banget apa
yang gua suka. Udah gitu kotak kadonya warna ungu lagi. Romantis banget
kaaaan?’
‘Iya deh yang lagi jatuh cintaaaaaaa,’ Mia melengos
sambil tertawa. ‘By the way, kado
buat gua mana?’
‘Tenang Nona, Raisa sudah siapkan!’ ujarnya sambil
merogoh saku kemejanya, lalu mengeluarkan sebuah kantung berisi jam tangan sporty berwarna ungu tua, dan
memakaikannya di pergelangan tangan Mia. ‘Sengaja nabung satu semester buat
beliin yang agak mahalan dikit. Khusus buat ultah elu yang keenam belas dan
untuk empat tahun persahabatan kita. Makasih ya, Mi, elu udah mau jadi sahabat
terbaik dan terawet yang pernah gua punya.’
‘Ah jadi pingin nangis deh gue. Belum pernah ada lho
yang ngasih kado seniat ini ke gua,’ Mia mengucek-ngucek matanya. ‘Tapi kenapa
jam tangan? Dan kenapa warnanya harus ungu?’
‘Kenapa jam tangan? Supaya elu gak telat-telat lagi kalo berangkat sekolah. Gua sempet ngira di rumah elu yang segede gambreng itu gak ada jam saking seringnya lu telat. Dan kenapa warnanya ungu? Harapannya sih, kalo elu gak suka, ya bisa
buat gua hahahaha.’
‘Dasar gak mau rugi,’ Mia melengos. ‘Eh, ada lagi nih yang lebih
penting. Lusa alias malam minggu nanti, jangan lupa dateng ke party gua. Ini pesta khusus anak muda
tanpa campur tangan bonyok gua. Yakaleee mereka inget ultah gua. Dan gua mau
pesta lusa bukan jadi perayaan ultah gua doang, tapi juga ultah elu dan
perayaan empat tahun persahabatan kita. Elu setuju gak?’
‘Ngerayain ultah bareng sahabat terbaik dan terawet
dan gak setuju? Bukan Raisa banget!’
***
Hari sudah beranjak sore. Suasana rumah itu begitu
sepi, nyaris seperti tak berpenghuni kalau saja tidak ada suara dengungan mesin
mixer dari arah dapur. Mama Raisa
tengah sibuk membuat cookies untuk
cemilan ketika lonceng mungil yang tergantung di pintu utama berdenting, pertanda ada
seseorang yang membuka pintu. Sayup-sayup terdengar suara orang mengucapkan
salam. Wanita paruh baya itu melongokkan kepala dari pintu dapur melihat siapa
yang datang. Raisa muncul di ambang pintu dengan tampang kusut. Rambutnya megar
terkena matahari dan debu saat naik angkot tadi. Anak gadisnya itu terlihat
sangat lelah.
‘Walaikumsalam. Sepatunya kembaliin ke lemari sepatu
ya, Nak. Nge-jus gih, biar segeran. Di kulkas ada jus jambu kesukaan kamu tuh.’
Anak itu hanya menyahut pelan, lalu menyeret langkah
menuju kulkas. Sebotol jus jambu tandas tak kurang dari lima tegukan. Mama
melanjutkan pekerjaannya di dapur setelah melihat Raisa sudah masuk ke
kamarnya. Tapi ketika hendak mematikan mixer…
‘AAAAARGGGHHH,’ terdengar teriakan dari arah kamar
Raisa. Cepat-cepat ia mematikan mixer, mengambil
apa saja yang tergeletak di meja sebagai senjata dan bergegas menuju kamar Raisa. Cewek itu terduduk di depan pintu
kamarnya dan terlihat ketakutan. Masih memakai celemek dapur, Mama muncul di
depan pintu kamar Raisa bak seorang superhero
siap melakukan kebajikan.
‘Kenapa kamu? Ada hantu? Ada maling? Mana? Mana? Sini Mama hadapi!’
Mama mengacung-acungkan spatula di tangannya.
‘Itu tuh! Kenapa makhluk itu ada di kamarku sih Ma?’ Ia
menunjuk sebuah plastik besar berisi boneka Minnie Mouse hampir sebesar dirinya,
tergeletak di atas tempat tidurnya.
‘Ah, itu. Kirain apaan. Tadi ada kurir yang nganterin
kemari, katanya buat kamu. Ya Mama taro kamar kamu lah. Masa taro di kamar
Mama?’
‘Iiiiih, Mama lupa ya aku fobia tikus?’ Wajah Raisa ditekuk
sedemikian rupa, bete.
‘Lha ini kan boneka, bukan tikus. Tuh, pake baju,
sepatu, ada pitanya lagi. Lucu tauk.’
‘Ya tetep aja dia tikus, Mama. Gak mau tau, pokoknya
buruan Mama singkirin benda itu dari kamar aku sekaraaaaang..'
‘Iya deh, iya. Biar Mama taro di kamar Mas Raihan
aja.’
Mama mengangkut benda itu keluar dari kamar Raisa.
Iseng, ia menjejalkan boneka itu ke wajah anaknya yang membuat cewek itu
menjerit-jerit ketakutan. Bahkan Raisa hampir menangis saking gelinya ia dengan
tikus dan jenis-jenisnya.
Raisa bangkit begitu benda mengerikan itu sudah
diangkut keluar dari kamarnya. Masih misuh-misuh, ia menutup pintu kamarnya
rapat-rapat. Sambil menyalakan AC, ia melompat ke atas kasur empuknya. Hatinya
masih gondok ingat benda yang tadi berada dia tempatnya berbaring. ‘Siapa sih
yang iseng banget ngirim gituan ke gua?’
0 komentar:
Posting Komentar