Sudah
hampir seminggu bangku di sebelah Raisa itu kosong. Semenjak Truth or Dare sialan itu, Kevin tidak
lagi terlihat batang hidungnya di sekolah. Semua orang mengira Kevin sudah
pindah sekolah, kalau saja pagi ini cowok itu tidak muncul di depan pintu kelas
tepat satu menit sebelum bel berbunyi.
Raut wajah
Kevin terlihat masam begitu ia memasuki kelas. Ia bahkan tidak menyapa Raisa
ketika sudah duduk di bangkunya. Hal pertama yang Kevin lakukan adalah memasang
headphone, lalu menelungkup di atas
meja. Tidak biasanya Kevin bawa-bawa headphone
ke sekolah. Membuat Raisa yakin kalau cowok itu sengaja menghindari
dirinya.
Dih, siapa juga yang mau ngajak ngobrol
kamu! Ge-er! Raisa
mengumpat-umpat dalam hati. Cewek itu benar-benar kesal dengan tingkah Kevin
seminggu yang lalu. Mengingat, Truth or
Dare itu, hatinya selalu berubah panas dan rasanya ingin garuk tembok!
Bel sudah
berbunyi. Guru Biologi sudah berdiri di depan papan tulis ketika Kevin masih
menelungkup di meja. Dengan malas, Raisa mengetuk headphone di telinga Kevin dengan ujung penanya.
‘Ada guru
tuh. Sekolah buat belajar, bukan numpang tidur,’ cibir Raisa ketus.
***
Satu
sekolah tengah gaduh membicarakan perubahan sifat Kevin yang amat drastis.
Bocah introvert yang biasanya malas
menanggapi orang itu mendadak ramah dan terbuka. Ia tersenyum setiap kali
disapa. Lokernya tidak lagi disesaki surat cinta dan bermacam hadiah. Bukan
karena cewek-cewek itu hilang minat padanya. Tapi karena sekarang mereka berani
menyerahkannya sendiri pada Kevin.
Satu-satunya
orang yang sepertinya tidak ngeh akan
perubahan Kevin adalah Raisa. Ia memang tidak mau tahu lagi tentang Kevin.
Cewek itu menjaga agar segala bentuk pergosipan tentang Kevin tidak sampai ke
telinganya. Karena topik tentang Kevin, pasti selalu akan dikait-kaitkan dengan
dirinya. Raisa masih gondok setengah mati dengan makhluk satu itu. Cara itu
bertahan, hingga percakapannya dengan Mia di perpustakaan sekolah siang ini.
‘Ra, lu
nyadar gak sih? Kevin tuh berubah.’
Raisa tidak mengalihkan wajah dari buku yang dibacanya. ‘Berubah
gimana? Jadi ultraman?’
‘Yeeee..
serius ngapa!’ Mia melempar bungkus lolipop yang dimakannya pada Raisa. ‘Gini
lho: Kevin mendadak ramah. Terus dia jadi kayak rebell gitu. Lu inget gak waktu kemarin dia disetrap Pak Burhan gara-gara
apa? Gak ngerjain PR, ulangan dapet nol gede! Nah lu tau ndiri Kevin gape banget
matematika.’
‘Ya terus?
Hubungannya ama gua apaan?’
‘Pake
nanya lagi nih bocah,’ Mia memutar tubuh Raisa sampai sahabatnya itu bertatapan
muka dengannya. ‘Heh, Raisa Markisa Mekarsari, lu nyadar gak, satu sekolah lagi
ngegosipin kalo kalian tuh putus? Lu nyadar juga gak, sejak kapan Kevin
berubah? Sejak kita main Truth or Dare itu!
Gak tahu kenapa gua ngerasa ini ada hubungannya dengan pertanyaan gua waktu itu
deh. Gua masih yakin kalo Kevin itu suka sama elu. Entah karena dia kecewa sama
elu atau apa, makanya dia bertingkah gini buat nyari perhatian.’
Raisa menutup buku yang dibacanya. ‘Gini ya,
Mia Tamiya Anemia. Satu, enak aja lu ganti nama gua jadi Raisa Markisa apaan
kata elu tadi. Dua, ya gossiper itu
jugalah yang tahu kapan gua jadian sama Kevin. Tiga, ini yang paling
ngada-ngada. Jelas-jelas waktu itu Kevin sendiri yang bilang dia gak suka gua.
Lha kenapa dia yang kecewa?’
‘Lu gak
inget siapa yang bilang gak suka duluan?’
‘Kalian
berdua! Jangan berisik kalau tidak mau saya keluarkan dari perpustakaan!’ Bu
Librarian yang galak bak mau nelan manusia itu berteriak dari tempatnya duduk.
‘Buset,
kupingnya tajem bener. Dia dimana kita dimana, masih kedengeran aja,’ Mia
bersungut-sungut.
‘Yang cepak!
Ngomong apa kamu?!’
Mia
menggeleng pucat. ‘Nggak ngomong apa-apa, Bu! Ampun!’
Raisa
cekikikan di balik buku bacaannya. Tapi jauh di dalam otaknya, ia tengah
berpikir keras, mencerna kalimat yang dilontarkan Mia tidak sampai dua menit
yang lalu. Raisa tidak menyangka, ia yang paling dekat dengan Kevin, justru
ialah yang paling tidak tahu gelagat cowok itu. Sebesar itukah perubahan Kevin? Apa betul ada hubungannya dengan Truth
or Dare itu?
***
Sudah
sebulan sejak Raisa tidak bicara lagi dengan Kevin. Bukan tidak bicara sama
sekali, tapi masing-masing hanya berbicara seperlunya layaknya orang baru
kenal. Asing. Sementara itu, makin hari tingkah Kevin makin tidak karuan. Ia
sering telat datang ke sekolah. Pemandangan Kevin disetrap di depan kelas
karena telat datang menjadi rutinitas setiap pagi.
Begitu
pula dengan tugas dan nilai-nilai hariannya. Semuanya kacau balau. Kevin
dihukum lari keliling lapangan sudah jadi bonus cuci mata rutin bagi
cewek-cewek satu sekolah. Padahal semua guru tahu bagaimana cerdasnya otak
Kevin kalau ia gunakan dengan baik dan benar. Tidur di dalam kelas, bolos
sekolah, sudah menyatu dengan diri Kevin yang sekarang. Tidak jarang, ia nekat
beragumentasi dengan guru di kelas. Sampai pada suatu siang..
‘Kevin,
kamu habis ronda apa dugem? Saya perhatikan dari tadi kamu nguap sudah lebih
sepuluh kali,’ Pak Endang, guru biologi, bertanya dengan santai, pelan tapi
mencekam.
‘Menurut
Bapak saya ngapain semalam?’ jawab Kevin ketus. Cari mati.
‘Menurut
saya kamu lupa bahwa kamu manusia. Pelajar SMP yang aktivitasnya pagi hari,
bukan kelelawar yang nocturnal.’
‘Saya
nggak lupa tuh. Buktinya saya masih sekolah nih, di sini, jawabin pertanyaan
Bapak yang wasting time.’
‘Kevin!’
Raisa membentaknya dengan keras. Dirinya tidak tahan lagi dengan tingkah Kevin
yang keterlaluan.
Kevin
menoleh dengan raut wajah tidak senang. ‘Apa? Lu mau nyeramahin gua juga?’
JLEB!
Raisa kaget sekaligus tertohok dengan kata-kata Kevin itu. Kaget karena Kevin
baru pertama kalinya memakai ‘lu-gua’ saat berbicara dengan dirinya. Tertohok
karena kata-katanya itu membuat Raisa makin merasa kalau kedekatan mereka dulu
benar-benar tidak ada artinya.
‘Hentikan,
Kevin!’ teriak Pak Endang. ‘Sekarang Anda pilih, saya atau Anda yang keluar
dari ruangan ini!’
Kevin
memasukkan bukunya ke dalam ransel lalu bangkit berdiri, berjalan ke depan
kelas melewati Pak Endang dengan wajah tidak suka. ‘Kebetulan banget gua udah
bete di kelas. Thanks, ya, Pak! Gua
jadi gak perlu capek-capek cari alasan buat bolos,’ ujarnya sambil lalu.
Raisa
susah payah menarik napas. Kali ini dadanya terasa sesak melihat tingkah laku
Kevin yang bukan Kevin banget. Kev, ada
apa sih dengan kamu?
***
Hingga
menjelang libur kenaikan kelas, hubungan Raisa dengan Kevin malah makin
memburuk. Raisa memilih untuk tidak lagi menegur Kevin seperti yang pernah ia
lakukan di kelas Pak Endang tempo hari. Raisa takut akan merasakan sesak itu
lagi. Raisa takut Kevin akan memandangnya dengan penuh kebencian, dan
membentaknya dengan kasar lagi
Raisa
mengetuk pintu ruang guru dengan sopan. Ia segera menuju bilik Bu Ainun, wali
kelasnya. Tadi salah seorang temannya menyampaikan bahwa wali kelasnya itu
ingin bicara dengan dirinya.
‘Permisi,
Ibu manggil saya?’ tanya Raisa takut-takut.
‘Ya,
silakan duduk, Raisa. Santai aja, Ibu panggil kamu hanya untuk tanya sesuatu,’
Bu Ainun diam sejenak, menghela napas, ‘Tentang Kevin.’
Deg!
Jantung Raisa berdegup cepat mendengar nama itu disebut. Jadi Kevin sudah jadi
bahan pembicaraan guru, pikirnya.
‘Kata
anak-anak yang lain, kamu pernah akrab sama Kevin. Ibu panggil kamu karena..
mungkin kamu tahu tentang sesuatu -entah apa itu- yang bikin Kevin berubah..
seperti sekarang. Ya kamu pasti tahu apa arti ‘Kevin yang sekarang’ itu.’
Raisa
meremas-remas roknya dengan grogi. Sejujurnya ia sendiri tengah bertanya-tanya,
apa yang membuat Kevin begitu buruk akhir-akhir ini. ‘Begini Bu, saya memang
berteman baik dengan Kevin sampai dia tiba-tiba ngilang seminggu, setelah bagi
rapor UTS. Pas dia masuk, tingkah dia udah begitu. Saya juga gak tahu kenapa.’
‘Begitu
ya?’ jelas sekali, Bu Ainun tampak kecewa. ‘Ibu hanya ingin tahu, apa yang
membuat siswa secerdas dia jadi begitu. Ibu hanya ingin menolong kalau memang
terjadi sesuatu padanya. Kamu lihat ini,’ Bu Ainun menyodorkan sebuah buku
bersampul biru terang, dengan logo SMP Teladan Nusantara di depannya.
Raisa
memerhatikan angka-angka yang tertulis di rapor Kevin. Semua nilainya tidak
lebih dari KKM. Pas-pasan. Bahkan ada dua nilai yang dibawah KKM; matematika
dan fisika. Raisa menutup mulutnya begitu melihat keterangan yang ditulis
tangan oleh Bu Ainun. Peringkat 37 dari
40 siswa, diharapkan belajar lebih giat.
Kevin
peringkat tiga terakhir? Gak mungkin! Raisa tahu betul bagaimana isi otak
Kevin. Tiga kali berturut-turut Kevin selalu mengekor di bawah peringkatnya.
Sekarang? Jarak peringkat mereka terpaut tiga puluh enam siswa!
‘Lima
belas menit lagi Ibu akan masuk ke kelas dan membagikan rapor ini. Besok sudah
hari libur. Raisa, sebelum itu apa Ibu bisa minta tolong?’
‘Bisa,
Ibu. Apa itu?’
‘Tolong
kamu bicara dengan Kevin ya..’
***
Dari
lantai dua, Raisa segera menemukan Kevin tengah duduk sendirian di pinggir
lapangan futsal. Ia berdiri dengan gamam. Masih menimbang-nimbang apakah ia benar-benar
harus bicara dengan Kevin atau putar balik ke ruang guru dan jujur pada Bu
Ainun bahwa ia tidak mampu melakukannya. Tapi begitu kembali mengingat deretan
angka yang tertera di rapor Kevin, hatinya langsung yakin harus bicara dengan
makhluk satu itu. Sebelum keyakinannya kembali goyah, buru-buru ia turun,
nyaris berlari dan mencoba mendekati Kevin. Cowok itu tengah asyik menikmati musik
yang mengalun keras dari headphone miliknya.
Raisa
mengetuk pelan headphone itu ketika
sudah duduk di sebelahnya. ‘Aku mau bicara.’
Kevin
melengos pertanda tidak senang. Sekarang sikap Kevin begitu ramah pada setiap
cewek, kecuali Raisa. Ia segera beranjak menjauh, menuju pelataran parkir.
Tidak
putus asa, Raisa melangkah cepat menyusulnya. ‘Kev, aku mau bicara.’
Kevin
berbalik dengan gusar. ‘Apalagi ha?’ ujarnya ketus. Matanya menatap Raisa
tajam. Rasa-rasanya ia mampu menguliti cewek itu hanya dengan tatapannya.
‘Sebenarnya
kamu kenapa sih? Kamu berubah akhir-akhir ini. Aku ada salah sama kamu ya?’
‘Nggak
guru, nggak elu, semua pada nanya itu. Gua berubah gimana sih? Gua masih Kevin
Gallant Adrian. Gua masih manusia oi, bukan power
ranger. DAN gak ada hubungannya sama lu!’
‘Kamu
berubah jadi bukan Kevin yang kukenal!’
‘Terus, lu
ada masalah dengan itu?’
‘Aku nggak
ada masalah kamu mau jadi Kevin yang gimana. Aku ada masalah dengan kamu yang
jadi nggak bener! Kamu jadi berandalan, dibicarain semua guru dan nilai kamu
jeblok banget. Kevin, kamu itu nyaris gak naik kelas tau gak!’
‘Urusan
sama lu apa sih? Lu siapa? Nyokap gua? Kakak gua? PACAR gua?’
‘Please deh, Kevin. Jangan bodoh! Ini tuh
bukan kamu!’
‘Eh, Raisa
yang paling pinter sejagat raya, gua gak butuh ceramah lu. Lagian gak semua hal
harus berjalan sesuai dengan otak lu kan? Gua tahu kok , lu pinter. Tapi bukan
berarti lu paling tau apa yang paling bener di dunia ini!’
Raisa
menganga tidak percaya. Sesak yang dulu, kini ia rasakan kembali. Napasnya
tercekat di kerongkongan hingga rasanya ia tidak sanggup bicara lagi. Sebutir
air mata menggenang di pelupuk matanya.
‘Baiklah
kalau begitu,’ Raisa mengucek matanya sebelum air mata itu jatuh. Ia menarik
napas dalam-dalam, mencari kekuatan. ‘Gua cukup tau aja. Kalau Kevin, SAHABAT
yang gua kenal dulu bukan ELU. GUA salah orang.’
Kevin
memandangi punggung yang menjauh itu dalam diam. Ia tahu cewek itu bermaksud
baik. Ia tahu kata-katanya sudah teramat menyakiti hati cewek itu entah
seberapa dalam. Mendadak ia makin benci dirinya sendiri, membenci sekolah ini,
membenci hidupnya sendiri..
***
Hari
pertama tahun ajaran baru, Raisa jadi kurang bersemangat pergi ke sekolah. Tas
dan sepatu baru tidak juga mengembalikan mood-nya
yang buruk pasca pertengkarannya dengan Kevin akhir semester lalu.
Di depan
papan pengumuman itu, Raisa meneliti satu per satu daftar nama yang terpampang
di sana. Mencari di kelas mana dirinya akan ditempatkan di tahun ajaran baru
ini. There it is. Kelas 9.A. Ia
kembali meneliti daftar nama itu, iseng mencari tahu apakah ia satu kelas
dengan manusia satu itu atau tidak. Konsentrasi belajarnya akan pecah kalau ia
harus sekelas dengan makhluk menjengkelkan bernama Kevin lagi.
Tapi ia
tidak menemukan nama Kevin di daftar kelasnya. Tidak juga di daftar kelas lain.
Raisa meneliti, meneliti dan meneliti lagi. Tapi nama Kevin Gallant Adrian
tetap tidak ada. Raisa panik hingga air matanya menetes.
‘Nama
Kevin mana?’ suara Raisa mulai bergetar. Beberapa anak di sebelahnya memandangi
Raisa dengan heran.
‘Raisa!’
Mia yang baru datang langsung menyeruak ke kerumunan itu.
‘Mi, nama
Kevin nggak ada. Mungkin mataku mulai rabun jadi gak bisa nemuin nama dia,’
Raisa mulai meracau tidak karuan. Mia menarik Raisa keluar dari kerumunan
anak-anak sebelum makin banyak yang melihat Raisa menangis demikian. Ia menarik
Raisa ke taman botanikal di belakang gedung utama sekolah mereka. Mia membiarkan Raisa
menjatuhkan air matanya setetes demi setetes. Raisa menangis tanpa suara.
Dari Mia,
Raisa baru tahu kalau hari ini, dirinya tidak akan lagi melihat Kevin belajar
di SMP Teladan Nusantara. Tidak ada lagi Kevin yang dielu-elukan saat beraksi
di lapangan futsal. Tidak ada lagi aroma parfum Kevin yang khas saat ia
melintas di koridor sekolah. Tidak ada lagi kegiatan penyortiran surat cinta
dari loker Kevin.
Mia baru
dapat info saat sarapan bersama keluarganya tadi pagi, kalau saat ini Kevin
sekeluarga sudah berada di Belanda. Yang Mia tahu, mereka sekeluarga pindah
karena ikut Ayahnya yang disekolahkan lagi di sana. Mereka berangkat dua hari
yang lalu.
Dada Raisa
kembali terasa sesak. Ia baru tahu kalau hari itu adalah hari terakhir ia bertemu
Kevin. Ia baru tahu kalau pertengkarannya dengan Kevin adalah perpisahan
terburuk seumur hidupnya. Ia baru tahu bahwa wajah terakhir Kevin yang ia lihat
adalah wajah penuh kebencian. Dan ia juga tahu… kalau ia tidak akan pernah tahu
bagaimana perasaan Kevin terhadapnya.
**
Langit
sudah gelap hitam ketika Raisa melongokkan kepala di jendela kamarnya.
Sepanjang hari setelah pulang sekolah, ia habiskan dengan berdiam diri di
kamar, menangis tanpa suara. Bahkan ia masih mengenakan seragam putih birunya meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Raisa tak habis-habis menyesali tindakannya menghapus
PIN BB Kevin beberapa waktu lalu dari daftar kontaknya. Berkali-kali
Raisa mengetikkan nomer ponsel Kevin di desktop ponselnya, tapi berkali-kali
pula ia batal men-dial nomor itu lalu
kembali menumpahkan air mata di bantal tidurnya. Ia ingin bicara, ingin minta
maaf, atau sekedar mendengar suara Kevin saja sudah cukup. Tapi di saat
bersamaan, Raisa merasa tidak mampu melakukannya.
Dengan
hati pedih, Raisa mendongak menatap langit malam itu. Tangannya mendekap kotak
besar berwarna pink dengan susunan
coklat yang masih utuh, belum tersentuh. Perlahan ia menarik napas panjang dan
menghapus air matanya yang terakhir. Berharap dengan penuh keyakinan bahwa
segala kenangan tentang Kevin akan ikut terhapus bersamanya.
Raisa
menyeret langkah menuju meja kecil di sisi tempat tidurnya, membuka laci paling
bawah dan mengenyakkan sekotak coklat itu di sana, lalu menguncinya rapat-rapat.
Sekali lagi ia mendekat ke jendala, menatap langit. Kosong. Entah bulan dan bintang-bintang itu pergi kemana. Tapi rasa-rasanya.. langit
tidak pernah sekosong malam ini..
0 komentar:
Posting Komentar