Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA: BAGIAN 3 | LANGIT TIDAK PERNAH SEKOSONG INI

Sudah hampir seminggu bangku di sebelah Raisa itu kosong. Semenjak Truth or Dare sialan itu, Kevin tidak lagi terlihat batang hidungnya di sekolah. Semua orang mengira Kevin sudah pindah sekolah, kalau saja pagi ini cowok itu tidak muncul di depan pintu kelas tepat satu menit sebelum bel berbunyi.

Raut wajah Kevin terlihat masam begitu ia memasuki kelas. Ia bahkan tidak menyapa Raisa ketika sudah duduk di bangkunya. Hal pertama yang Kevin lakukan adalah memasang headphone, lalu menelungkup di atas meja. Tidak biasanya Kevin bawa-bawa headphone ke sekolah. Membuat Raisa yakin kalau cowok itu sengaja menghindari dirinya.

Dih, siapa juga yang mau ngajak ngobrol kamu! Ge-er! Raisa mengumpat-umpat dalam hati. Cewek itu benar-benar kesal dengan tingkah Kevin seminggu yang lalu. Mengingat, Truth or Dare itu, hatinya selalu berubah panas dan rasanya ingin garuk tembok!


Bel sudah berbunyi. Guru Biologi sudah berdiri di depan papan tulis ketika Kevin masih menelungkup di meja. Dengan malas, Raisa mengetuk headphone di telinga Kevin dengan ujung penanya.

‘Ada guru tuh. Sekolah buat belajar, bukan numpang tidur,’ cibir Raisa ketus.

***

Satu sekolah tengah gaduh membicarakan perubahan sifat Kevin yang amat drastis. Bocah introvert yang biasanya malas menanggapi orang itu mendadak ramah dan terbuka. Ia tersenyum setiap kali disapa. Lokernya tidak lagi disesaki surat cinta dan bermacam hadiah. Bukan karena cewek-cewek itu hilang minat padanya. Tapi karena sekarang mereka berani menyerahkannya sendiri pada Kevin.

Satu-satunya orang yang sepertinya tidak ngeh akan perubahan Kevin adalah Raisa. Ia memang tidak mau tahu lagi tentang Kevin. Cewek itu menjaga agar segala bentuk pergosipan tentang Kevin tidak sampai ke telinganya. Karena topik tentang Kevin, pasti selalu akan dikait-kaitkan dengan dirinya. Raisa masih gondok setengah mati dengan makhluk satu itu. Cara itu bertahan, hingga percakapannya dengan Mia di perpustakaan sekolah siang ini.

‘Ra, lu nyadar gak sih? Kevin tuh berubah.’

Raisa tidak mengalihkan wajah dari buku yang dibacanya. ‘Berubah gimana? Jadi ultraman?’ 

‘Yeeee.. serius ngapa!’ Mia melempar bungkus lolipop yang dimakannya pada Raisa. ‘Gini lho: Kevin mendadak ramah. Terus dia jadi kayak rebell gitu. Lu inget gak waktu kemarin dia disetrap Pak Burhan gara-gara apa? Gak ngerjain PR, ulangan dapet nol gede! Nah lu tau ndiri Kevin gape banget matematika.’

‘Ya terus? Hubungannya ama gua apaan?’

‘Pake nanya lagi nih bocah,’ Mia memutar tubuh Raisa sampai sahabatnya itu bertatapan muka dengannya. ‘Heh, Raisa Markisa Mekarsari, lu nyadar gak, satu sekolah lagi ngegosipin kalo kalian tuh putus? Lu nyadar juga gak, sejak kapan Kevin berubah? Sejak kita main Truth or Dare itu! Gak tahu kenapa gua ngerasa ini ada hubungannya dengan pertanyaan gua waktu itu deh. Gua masih yakin kalo Kevin itu suka sama elu. Entah karena dia kecewa sama elu atau apa, makanya dia bertingkah gini buat nyari perhatian.’

Raisa menutup buku yang dibacanya. ‘Gini ya, Mia Tamiya Anemia. Satu, enak aja lu ganti nama gua jadi Raisa Markisa apaan kata elu tadi. Dua, ya gossiper itu jugalah yang tahu kapan gua jadian sama Kevin. Tiga, ini yang paling ngada-ngada. Jelas-jelas waktu itu Kevin sendiri yang bilang dia gak suka gua. Lha kenapa dia yang kecewa?’

‘Lu gak inget siapa yang bilang gak suka duluan?’

‘Kalian berdua! Jangan berisik kalau tidak mau saya keluarkan dari perpustakaan!’ Bu Librarian yang galak bak mau nelan manusia itu berteriak dari tempatnya duduk.

‘Buset, kupingnya tajem bener. Dia dimana kita dimana, masih kedengeran aja,’ Mia bersungut-sungut.

‘Yang cepak! Ngomong apa kamu?!’

Mia menggeleng pucat. ‘Nggak ngomong apa-apa, Bu! Ampun!’

Raisa cekikikan di balik buku bacaannya. Tapi jauh di dalam otaknya, ia tengah berpikir keras, mencerna kalimat yang dilontarkan Mia tidak sampai dua menit yang lalu. Raisa tidak menyangka, ia yang paling dekat dengan Kevin, justru ialah yang paling tidak tahu gelagat cowok itu. Sebesar itukah perubahan Kevin? Apa betul ada hubungannya dengan Truth or Dare itu?

***

Sudah sebulan sejak Raisa tidak bicara lagi dengan Kevin. Bukan tidak bicara sama sekali, tapi masing-masing hanya berbicara seperlunya layaknya orang baru kenal. Asing. Sementara itu, makin hari tingkah Kevin makin tidak karuan. Ia sering telat datang ke sekolah. Pemandangan Kevin disetrap di depan kelas karena telat datang menjadi rutinitas setiap pagi.

Begitu pula dengan tugas dan nilai-nilai hariannya. Semuanya kacau balau. Kevin dihukum lari keliling lapangan sudah jadi bonus cuci mata rutin bagi cewek-cewek satu sekolah. Padahal semua guru tahu bagaimana cerdasnya otak Kevin kalau ia gunakan dengan baik dan benar. Tidur di dalam kelas, bolos sekolah, sudah menyatu dengan diri Kevin yang sekarang. Tidak jarang, ia nekat beragumentasi dengan guru di kelas. Sampai pada suatu siang..

‘Kevin, kamu habis ronda apa dugem? Saya perhatikan dari tadi kamu nguap sudah lebih sepuluh kali,’ Pak Endang, guru biologi, bertanya dengan santai, pelan tapi mencekam.

‘Menurut Bapak saya ngapain semalam?’ jawab Kevin ketus. Cari mati.

‘Menurut saya kamu lupa bahwa kamu manusia. Pelajar SMP yang aktivitasnya pagi hari, bukan kelelawar yang nocturnal.’

‘Saya nggak lupa tuh. Buktinya saya masih sekolah nih, di sini, jawabin pertanyaan Bapak yang wasting time.’

‘Kevin!’ Raisa membentaknya dengan keras. Dirinya tidak tahan lagi dengan tingkah Kevin yang keterlaluan.

Kevin menoleh dengan raut wajah tidak senang. ‘Apa? Lu mau nyeramahin gua juga?’

JLEB! Raisa kaget sekaligus tertohok dengan kata-kata Kevin itu. Kaget karena Kevin baru pertama kalinya memakai ‘lu-gua’ saat berbicara dengan dirinya. Tertohok karena kata-katanya itu membuat Raisa makin merasa kalau kedekatan mereka dulu benar-benar tidak ada artinya.

‘Hentikan, Kevin!’ teriak Pak Endang. ‘Sekarang Anda pilih, saya atau Anda yang keluar dari ruangan ini!’

Kevin memasukkan bukunya ke dalam ransel lalu bangkit berdiri, berjalan ke depan kelas melewati Pak Endang dengan wajah tidak suka. ‘Kebetulan banget gua udah bete di kelas. Thanks, ya, Pak! Gua jadi gak perlu capek-capek cari alasan buat bolos,’ ujarnya sambil lalu.

Raisa susah payah menarik napas. Kali ini dadanya terasa sesak melihat tingkah laku Kevin yang bukan Kevin banget. Kev, ada apa sih dengan kamu?

***

Hingga menjelang libur kenaikan kelas, hubungan Raisa dengan Kevin malah makin memburuk. Raisa memilih untuk tidak lagi menegur Kevin seperti yang pernah ia lakukan di kelas Pak Endang tempo hari. Raisa takut akan merasakan sesak itu lagi. Raisa takut Kevin akan memandangnya dengan penuh kebencian, dan membentaknya dengan kasar lagi

Raisa mengetuk pintu ruang guru dengan sopan. Ia segera menuju bilik Bu Ainun, wali kelasnya. Tadi salah seorang temannya menyampaikan bahwa wali kelasnya itu ingin bicara dengan dirinya.

‘Permisi, Ibu manggil saya?’ tanya Raisa takut-takut.

‘Ya, silakan duduk, Raisa. Santai aja, Ibu panggil kamu hanya untuk tanya sesuatu,’ Bu Ainun diam sejenak, menghela napas, ‘Tentang Kevin.’

Deg! Jantung Raisa berdegup cepat mendengar nama itu disebut. Jadi Kevin sudah jadi bahan pembicaraan guru, pikirnya.

‘Kata anak-anak yang lain, kamu pernah akrab sama Kevin. Ibu panggil kamu karena.. mungkin kamu tahu tentang sesuatu -entah apa itu- yang bikin Kevin berubah.. seperti sekarang. Ya kamu pasti tahu apa arti ‘Kevin yang sekarang’ itu.’

Raisa meremas-remas roknya dengan grogi. Sejujurnya ia sendiri tengah bertanya-tanya, apa yang membuat Kevin begitu buruk akhir-akhir ini. ‘Begini Bu, saya memang berteman baik dengan Kevin sampai dia tiba-tiba ngilang seminggu, setelah bagi rapor UTS. Pas dia masuk, tingkah dia udah begitu. Saya juga gak tahu kenapa.’

‘Begitu ya?’ jelas sekali, Bu Ainun tampak kecewa. ‘Ibu hanya ingin tahu, apa yang membuat siswa secerdas dia jadi begitu. Ibu hanya ingin menolong kalau memang terjadi sesuatu padanya. Kamu lihat ini,’ Bu Ainun menyodorkan sebuah buku bersampul biru terang, dengan logo SMP Teladan Nusantara di depannya.

Raisa memerhatikan angka-angka yang tertulis di rapor Kevin. Semua nilainya tidak lebih dari KKM. Pas-pasan. Bahkan ada dua nilai yang dibawah KKM; matematika dan fisika. Raisa menutup mulutnya begitu melihat keterangan yang ditulis tangan oleh Bu Ainun. Peringkat 37 dari 40 siswa, diharapkan belajar lebih giat.

Kevin peringkat tiga terakhir? Gak mungkin! Raisa tahu betul bagaimana isi otak Kevin. Tiga kali berturut-turut Kevin selalu mengekor di bawah peringkatnya. Sekarang? Jarak peringkat mereka terpaut tiga puluh enam siswa!

‘Lima belas menit lagi Ibu akan masuk ke kelas dan membagikan rapor ini. Besok sudah hari libur. Raisa, sebelum itu apa Ibu bisa minta tolong?’

‘Bisa, Ibu. Apa itu?’

‘Tolong kamu bicara dengan Kevin ya..’

***

Dari lantai dua, Raisa segera menemukan Kevin tengah duduk sendirian di pinggir lapangan futsal. Ia berdiri dengan gamam. Masih menimbang-nimbang apakah ia benar-benar harus bicara dengan Kevin atau putar balik ke ruang guru dan jujur pada Bu Ainun bahwa ia tidak mampu melakukannya. Tapi begitu kembali mengingat deretan angka yang tertera di rapor Kevin, hatinya langsung yakin harus bicara dengan makhluk satu itu. Sebelum keyakinannya kembali goyah, buru-buru ia turun, nyaris berlari dan mencoba mendekati Kevin. Cowok itu tengah asyik menikmati musik yang mengalun keras dari headphone miliknya.

Raisa mengetuk pelan headphone itu ketika sudah duduk di sebelahnya. ‘Aku mau bicara.’

Kevin melengos pertanda tidak senang. Sekarang sikap Kevin begitu ramah pada setiap cewek, kecuali Raisa. Ia segera beranjak menjauh, menuju pelataran parkir.

Tidak putus asa, Raisa melangkah cepat menyusulnya. ‘Kev, aku mau bicara.’

Kevin berbalik dengan gusar. ‘Apalagi ha?’ ujarnya ketus. Matanya menatap Raisa tajam. Rasa-rasanya ia mampu menguliti cewek itu hanya dengan tatapannya.

‘Sebenarnya kamu kenapa sih? Kamu berubah akhir-akhir ini. Aku ada salah sama kamu ya?’

‘Nggak guru, nggak elu, semua pada nanya itu. Gua berubah gimana sih? Gua masih Kevin Gallant Adrian. Gua masih manusia oi, bukan power ranger. DAN gak ada hubungannya sama lu!’

‘Kamu berubah jadi bukan Kevin yang kukenal!’

‘Terus, lu ada masalah dengan itu?’

‘Aku nggak ada masalah kamu mau jadi Kevin yang gimana. Aku ada masalah dengan kamu yang jadi nggak bener! Kamu jadi berandalan, dibicarain semua guru dan nilai kamu jeblok banget. Kevin, kamu itu nyaris gak naik kelas tau gak!’

‘Urusan sama lu apa sih? Lu siapa? Nyokap gua? Kakak gua? PACAR gua?’

Please deh, Kevin. Jangan bodoh! Ini tuh bukan kamu!’

‘Eh, Raisa yang paling pinter sejagat raya, gua gak butuh ceramah lu. Lagian gak semua hal harus berjalan sesuai dengan otak lu kan? Gua tahu kok , lu pinter. Tapi bukan berarti lu paling tau apa yang paling bener di dunia ini!’

Raisa menganga tidak percaya. Sesak yang dulu, kini ia rasakan kembali. Napasnya tercekat di kerongkongan hingga rasanya ia tidak sanggup bicara lagi. Sebutir air mata menggenang di pelupuk matanya.

‘Baiklah kalau begitu,’ Raisa mengucek matanya sebelum air mata itu jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, mencari kekuatan. ‘Gua cukup tau aja. Kalau Kevin, SAHABAT yang gua kenal dulu bukan ELU. GUA salah orang.’

Kevin memandangi punggung yang menjauh itu dalam diam. Ia tahu cewek itu bermaksud baik. Ia tahu kata-katanya sudah teramat menyakiti hati cewek itu entah seberapa dalam. Mendadak ia makin benci dirinya sendiri, membenci sekolah ini, membenci hidupnya sendiri..

***

Hari pertama tahun ajaran baru, Raisa jadi kurang bersemangat pergi ke sekolah. Tas dan sepatu baru tidak juga mengembalikan mood-nya yang buruk pasca pertengkarannya dengan Kevin akhir semester lalu.

Di depan papan pengumuman itu, Raisa meneliti satu per satu daftar nama yang terpampang di sana. Mencari di kelas mana dirinya akan ditempatkan di tahun ajaran baru ini. There it is. Kelas 9.A. Ia kembali meneliti daftar nama itu, iseng mencari tahu apakah ia satu kelas dengan manusia satu itu atau tidak. Konsentrasi belajarnya akan pecah kalau ia harus sekelas dengan makhluk menjengkelkan bernama Kevin lagi.

Tapi ia tidak menemukan nama Kevin di daftar kelasnya. Tidak juga di daftar kelas lain. Raisa meneliti, meneliti dan meneliti lagi. Tapi nama Kevin Gallant Adrian tetap tidak ada. Raisa panik hingga air matanya menetes.

‘Nama Kevin mana?’ suara Raisa mulai bergetar. Beberapa anak di sebelahnya memandangi Raisa dengan heran.

‘Raisa!’ Mia yang baru datang langsung menyeruak ke kerumunan itu.

‘Mi, nama Kevin nggak ada. Mungkin mataku mulai rabun jadi gak bisa nemuin nama dia,’ Raisa mulai meracau tidak karuan. Mia menarik Raisa keluar dari kerumunan anak-anak sebelum makin banyak yang melihat Raisa menangis demikian. Ia menarik Raisa ke taman botanikal di belakang gedung utama sekolah mereka. Mia membiarkan Raisa menjatuhkan air matanya setetes demi setetes. Raisa menangis tanpa suara.

Dari Mia, Raisa baru tahu kalau hari ini, dirinya tidak akan lagi melihat Kevin belajar di SMP Teladan Nusantara. Tidak ada lagi Kevin yang dielu-elukan saat beraksi di lapangan futsal. Tidak ada lagi aroma parfum Kevin yang khas saat ia melintas di koridor sekolah. Tidak ada lagi kegiatan penyortiran surat cinta dari loker Kevin.

Mia baru dapat info saat sarapan bersama keluarganya tadi pagi, kalau saat ini Kevin sekeluarga sudah berada di Belanda. Yang Mia tahu, mereka sekeluarga pindah karena ikut Ayahnya yang disekolahkan lagi di sana. Mereka berangkat dua hari yang lalu.

Dada Raisa kembali terasa sesak. Ia baru tahu kalau hari itu adalah hari terakhir ia bertemu Kevin. Ia baru tahu kalau pertengkarannya dengan Kevin adalah perpisahan terburuk seumur hidupnya. Ia baru tahu bahwa wajah terakhir Kevin yang ia lihat adalah wajah penuh kebencian. Dan ia juga tahu… kalau ia tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan Kevin terhadapnya.

**

Langit sudah gelap hitam ketika Raisa melongokkan kepala di jendela kamarnya. Sepanjang hari setelah pulang sekolah, ia habiskan dengan berdiam diri di kamar, menangis tanpa suara. Bahkan ia masih mengenakan seragam putih birunya meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. 

Raisa tak habis-habis menyesali tindakannya menghapus PIN BB Kevin beberapa waktu lalu dari daftar kontaknya. Berkali-kali Raisa mengetikkan nomer ponsel Kevin di desktop ponselnya, tapi berkali-kali pula ia batal men-dial nomor itu lalu kembali menumpahkan air mata di bantal tidurnya. Ia ingin bicara, ingin minta maaf, atau sekedar mendengar suara Kevin saja sudah cukup. Tapi di saat bersamaan, Raisa merasa tidak mampu melakukannya.

Dengan hati pedih, Raisa mendongak menatap langit malam itu. Tangannya mendekap kotak besar berwarna pink dengan susunan coklat yang masih utuh, belum tersentuh. Perlahan ia menarik napas panjang dan menghapus air matanya yang terakhir. Berharap dengan penuh keyakinan bahwa segala kenangan tentang Kevin akan ikut terhapus bersamanya.


Raisa menyeret langkah menuju meja kecil di sisi tempat tidurnya, membuka laci paling bawah dan mengenyakkan sekotak coklat itu di sana, lalu menguncinya rapat-rapat. Sekali lagi ia mendekat ke jendala, menatap langit. Kosong. Entah bulan dan bintang-bintang itu pergi kemana. Tapi rasa-rasanya.. langit tidak pernah sekosong malam ini..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar