Sabtu pagi, Raisa masih betah ngendon di pos satpam
sekolahnya. Walaupun bel akan berbunyi tak kurang dari lima menit lagi. Ia
masih betah meladeni Pak Satpam bermain catur sambil ngemil ubi goreng yang
dibawa Pak Satpam dari rumahnya. Sementara Pak Satpam juga terlalu asyik dengan
permainan catur sehingga lupa bahwa ia sudah harus menutup gerbang lima menit
sebelum bel berbunyi.
Di depannya, Pak Satpam tengah serius memikirkan ke
koordinat mana bidak caturnya akan ia gerakkan. Bidak raja miliknya
berkali-kali nyaris meregang nyawa diserang bidak ratu dan benteng milik Raisa.
Mereka sudah hampir menyelesaikan permainan. Posisi Pak Satpam sedang
genting-gentingnya. Raja miliknya hanya memiliki satu petak untuk selamat. Tapi
jika ia menggeser raja ke petak itu, maka selangkah lagi bagi Raisa untuk
mengalahkan dirinya. Sejauh ini, Raisa bukan lawan yang enteng bagi Bapak satu
itu. Dari semua murid yang pernah bermain catur bersamanya, hanya Raisa-lah
yang berhasil mengalahkan dirinya.
Diam-diam, Raisa melirik jam tangannya dengan cemas.
Waktu yang ia punya tinggal dua menit lagi. ‘Nyerah nih Pak?’ guraunya sambil
menyeruput teh manis jatahnya.
‘Sebentar, Bapak lagi mikir,’ ujar Pak Satpam serius.
‘Raisa!’ Mia muncul di depan pintu pos satpam dengan
nafas ngos-ngosan. Penampilannya sungguh kacau. Rambut jabriknya layu,
seragamnya tidak rapi, dasi belum disimpulkan, kaus kaki tinggi sebelah, dan
sepatu yang hanya diinjak sekenanya melengkapi kekacauannya pagi ini.
Wajah Raisa mendadak sumringah. Inilah alasan kenapa
dirinya betah meladeni permainan catur Pak Satpam sejak setengah jam yang lalu.
Ia segera bangkit hendak meninggalkan tempat itu. ‘Pak, saya masuk dulu ya!
Udah mau bel nih. Kapan-kapan kita main lagi deh ya!’
‘Lho tapi ini belum selesai, Neng!’
‘Udah, saya anggap kali ini Bapak yang menang deh.
Oke? Dadah Bapak!’
***
‘Ternyata jam tangan dari gua gak mempan juga ya. Lu
abis ngeronda apa? Kesiangan mulu. Untung Pak Satpam gak curiga gua ngajakin
main catur buat ngalihin perhatian dia doang,’ semprot Raisa ketika mereka
sudah menjauh dari pos satpam.
Mia langsung merangkul sahabatnya itu. ‘Thanks banget ya, Raisa cantik! Elu emang
sahabat gua paling baek dan paling bisa diandelin deh! Aaaah.. Beruntungnya Mia
punya sahabat kayak Raisa.’
‘Kudu tumpengan tuh..’ Raisa berlagak bete.
Mia cengengesan. ‘Tapi kali ini gua punya alasan
khusus kenapa gua telat. Alasan paripurna dan elu doang yang boleh tau.’
‘Apaan? Apaan?’
‘Tadi gua kesiangan. Semalem ada acara penting sama
bokap-nyokap sampe midnight.
Dan acara penting itu adalah.. ‘ Mia memasang wajah jenaka, ‘Gua ditunangin.’
Raisa melongo sejadi-jadinya. Matanya membulat
maksimal. ‘Di-tu-nang-in?.. dijodohin gitu maksudnya?’
‘Yap, benar sekali! Udah ah, gua mau ke kelas dulu.
Dadah, Raisa!’
‘Eh, tunggu dulu, Mi! Miaaaaa!’
***
’Jadi kenapa seorang Miandra Anastasya sudi dijodohin?
Mi, ini tuh bukan elu banget. Bayangin, elu masih SMA. Sejauh ini lu masih
doyan ngeksis melanglang buana di dunia nyata dan medsos ngegebet dan digebetin
cowok-cowok keren. Dan sekarang tiba-tiba lu mau aja dikawinin? Jelasin ke gua
sedetail-detailnya!’ cerocos Raisa setelah meletakkan dua mangkuk mi ayam
pesanan dirinya dan Mia di atas meja. Sepanjang tiga jam pelajaran pertama,
Raisa tidak bisa konsentrasi belajar karena penasaran.
‘Ssssttt! Jangan kenceng-kenceng!’ Mia memelototi
Raisa. ‘Ini emang bukan gua banget. Makanya gua gak mau orang lain tau. Lagian
gua udah kenal dia, dia kenal gua. Ortu kita udah sepakat, ya udah. Ini baru
ditunangin, gak langsung disuruh kawin kali!’
‘Kasih tau gua siapa tunangan lu itu! Jangan bilang
kalo dia tipikal cowok desperate yang ancur abis! Habis, jaman
sekarang mana ada cowok normal seusia kita yang mau dijodohin! Mia, perjodohan
tuh tren jaman pra-sejarah banget!’
‘Sialan,' cibir Mia sambil mulai menyendoki mi ayam
miliknya. 'Dia cakep kok. Kalo gua bawa ke sekolah, cewek-cewek sini rela
perang sodara demi dapetin dia. Raisa sayang, elu itu harus terima fakta bahwa
cowok seusia kita masih ada yang mau dijodohin.'
‘Jadi.. dia beneran seusia kita? ’ Raisa mulai
menyerah. Sepertinya Mia memang menginginkan perjodohan ini, bukan dipaksa
orang tuanya. ‘Terus kapan dong mau dikenalin ke gua?’
Mia yang sedang minum nyaris tersedak. Ia memutar bola
matanya, ‘Kasih tau gak yaaaaa?’
‘Iiiih, Mia nyebelin deh,’ Raisa memberengut sebal.
‘Lihat sendiri nanti malam deh. Dia bakal dateng kok
di party gua.’
***
Sudah setengah jam, Raisa hanya duduk manyun di depan
bartender. Pesta ulang tahun Mia menjadi semacam pembuktian bahwa benar dirinya
adalah seorang remaja cupu. Sejumlah teman-temannya yang hadir amat menikmati
pesta ingar-bingar diiringi dentuman musik yang diputar oleh Disc Jokey sepanjang acara. Sepertinya hanya
ia seorang yang merasa diteleportasikan seseorang ke planet lain. Asing.
Raisa baru tahu kalau di acara pesta ulang tahun jaman
sekarang, tidak ada lagi tiup lilin, suapin kue ke orang tua, lalu makan-makan.
Yang ada hanya dentuman musik dan orang-orang yang berjoget macam orang
kesurupan. Gaun dan sepatu hak tinggi dari Mamanya pun turut berpartisipasi
dalam kesialan Raisa malam ini. Kalau baju menyesakkan dan sepatu yang bikin
sakit sekujur kaki ini adalah fashion,
Raisa bertekad memilih untuk jadi orang yang tidak tau fashion saja.
Gelas mocktail-nya
yang ketiga datang, sementara Mia tengah asyik berjoget-joget persis di sebelah disc jokey. Raisa dan Mia memang bersahabat.
Tapi dunia tempat mereka hidup tetap berbeda. Mia seperti sudah sangat katam
dengan hal-hal seperti yang ada di pestanya ini.
Sesekali, ia celingak-celinguk mengedarkan pandangan
ke segala sudut ruangan. Apalagi kalau bukan mencari terduga tunangan Mia.
Salah satu alasannya bertahan berada di tempat asing ini adalah ingin
mengetahui siapa tunangan Mia. Ia ingin tahu seperti apa orang yang telah
berhasil membuat Mia sudi dijodohkan. Raisa tau betul Mia. Dia semacam ikon
cewek masa kini yang modern, cerdas, pandai bergaul dan selalu jadi pusat
pandangan mata cowok dimanapun dia berada. Dijodohkan? Bukan Mia banget!
Kalaupun sekarang ia mau, pasti ada sesuatu yang spesial dari cowok satu itu.
Empat puluh lima menit bengong, Raisa memutuskan untuk
pulang saja. Tanda-tanda eksistensi tunangan Mia belum juga nampak. Sementara
Mia begitu larut berdansa dengan musik yang nyaris merontokkan jantung. Raisa
bermaksud pulang secara diam-diam, karena Mia pastilah tidak mengijinkannya
pulang sebelum acara berakhir. Sudah bisa diprediksi kalau pesta semacam ini
tidak akan selesai sebelum larut malam. Semacam bunuh diri bagi anak yang
sepuluh menit ke warung saja sudah diteleponi Mamanya. Tau-tau..
BUK! Seseorang pengunjung menabrak Raisa dengan keras.
Bokong Raisa nyaris mendarat di lantai kalau saja seseorang yang lain di
belakangnya tidak menangkap lengannya, membuat dirinya bisa kembali berdiri
dengan seimbang. Seketika harum aroma orang itu meruap dari kemeja yang ia
kenakan ketika posisi tubuh mereka terasa begitu dekat. Masuk ke sistem
pembauan Raisa dan membuat sesuatu di dalam tubuhnya langsung bereaksi. Harum
yang tidak asing.
‘Kamu gak apa-apa?’ tanya orang itu dengan logat yang
terdengar agak asing.
Jantung Raisa seakan berhenti berdetak. Ia hafal mati
dengan suara itu. Sontak Raisa berbalik. Seorang cowok tinggi menjulang berdiri
di hadapannya dengan ekspresi menyesal. Redupnya lampu tak mengganggu pandangannya
untuk menatap wajah itu. Mata jernih itu, bibir kemerahan itu, bentuk hidung
itu, seakan tidak pernah berubah. Kecuali sorot matanya yang bertambah tajam
dan tentu saja tubuhnya yang makin menjulang. Jauh lebih tinggi dari Raisa.
‘Eh? Kamu.. kamu Caca, kan?,’ Cowok itu menyipitkan
matanya. Memandangi Raisa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu tiba-tiba
ia mengulurkan tangannya. ‘Apa kabar? Gila, aku hampir gak bisa ngenalin kamu
loh. Kamu semakin.. dewasa.’
‘Kevin!’ Seseorang menyeruak di tengah desakan manusia
yang bergerak tak beraturan di ruangan itu. Lalu dengan gerakan yang mulus, ia
melingkarkan tangan pada lengan Kevin yang kokoh. Membuat Kevin menarik kembali
tangannya yang terulur. Seorang cewek yang amat Raisa kenal, Mia.
Raisa masih diam. Tak berkedip, matanya nyaris
melompat dari rongganya. Mulutnya membuka dan mengatup seperti hendak
mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kevin.
Kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul di sini? Dan kenapa pula Mia tiba-tiba
bersikap mesra sekali terhadap cowok itu?
‘Nah, ini dia tunangan gua, Ra. Baruuuu aja gua mau
ngenalin, eh kalian udah ketemu duluan.’
KREK! Sekujur tubuh Raisa seakan dibekukan oleh sihir
Penyihir putih dalam film Narnia. Kata-kata Mia masih mengiang-ngiang di
telinganya. Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Ia ditabrak seseorang,
seseorang yang lain menangkap lengannya, orang itu Kevin, dan Kevin adalah
tunangan Mia. Mendadak Raisa merasa bodoh. Kenapa ia tidak bisa menebak dari
awal? Hanya satu yang ia ketahui pasti, hatinya mendadak ngilu tanpa bisa ia
hindari,
‘Oh.’ Hanya satu kata itu yang mampu Raisa ucapkan
sejauh ini. Ia masih bingung.
Mia merangsek maju, membisikkan sesuatu di telinga
Raisa, ‘Elu beneran udah gak naksir dia lagi kan?’
Seperti baru tersadar setelah ditampar kenyataan,
Raisa segera memasang senyum semanis dan seikhlas mungkin. ‘Ya nggak lah! Gua
justru lega setelah tau tunangan elu itu Kevin. Karena.. gua jadi tau sahabat
gua jatuh ke tangan yang benar. Hehehe, selamat ya kalian!’ ujar Raisa
sumringah.
Kevin dan Mia saling menatap satu sama lain sambil
tersenyum. Mesra sekali. Kali ini tangan Mia menggelayut mesra di pinggang
Kevin. Seolah kaki-kakinya tak bertulang dan akan jatuh bila tak berpegangan
pada cowok itu. Sementara lengan Kevin balas merangkul Mia, seolah ingin
menegaskan statusnya terhadap Mia. Nyut! Sesuatu yang tajam kembali menusuk
hati Raisa.
‘Makasih ya, Ca. Doain aja supaya aku gak kewalahan
menghadapi cewek satu ini,’ ujar Kevin tersenyum sembari menjawil ujung hidung
Mia dengan gemas. Tiba-tiba, ia sedikit mencondongkan tubuh ke arah Raisa dan
memelankan suaranya. ‘Tapi tolong dirahasiain ya. Soalnya Mia malu kalo ketauan
dijodohin. Bukan dia banget, katanya.’
‘Pasti. Mia juga udah bilang kok,’ Raisa tersenyum,
sebisa mungkin terlihat tulus.
Sisa acara itu Raisa habiskan dengan menghabiskan
bergelas-gelas mocktail, bergeming di antara teman-temannya
yang asyik mengobrol. Kemunculan Kevin telah mengacaukan rencananya untuk
pulang diam-diam. Beberapa temannya di SMP Tunas Harapan dulu masih mengenali
Kevin dan terlihat antusias menjadikan manusia itu pusat pertanyaan. Bagaimana
Belanda? Bagaimana sistem pendidikan di Belanda? Bagaimana musim salju di
Belanda? Bagaimana pergaulan anak SMA di Belanda? Apa Kevin sering
mengunjungi red light district?
‘Vin, gua masih penasaran deh,’ tiba-tiba Anya, teman
SMP mereka dulu buka suara. ‘Kenapa abis main Truth
or Dare dulu, elu jadi putus
sama Raisa?’
Raisa yang sedang minum mocktail langsung tersedak. Ia terbatuk-batuk
sampai wajahnya memerah. Entah karena batuk atau memerah karena jengah.
Cepat-cepat ia menunduk, menekuri gelas mocktail-nya
untuk menghindari tatapan-tatapan penasaran yang kini tertuju ke arah
Kevin dan dirinya. Sungguh, Raisa ingin bisa ber-apparate sekarang.
Sementara itu, dihadapan Raisa, Kevin hanya memandangi
cewek itu sambil tersenyum. Kemudian dengan santai ia mengulurkan tangannya
meraih tangan Raisa. Ditatapnya Raisa sambil tetap tersenyum. Belum habis kaget
Raisa karena Kevin yang tiba-tiba meraih tangannya, tiba-tiba Kevin bilang,
‘Emang kita pernah putus, Ca?’
Bubuk flo, apparate, jutsu teleportasi, pintu kemana
saja, apapun itu, Raisa ingin minggat dari tempat ini sekarang juga.
***
Kevin mengantar Mia sampai ke depan pintu rumahnya.
Sementara Raisa memerhatikan keduanya dari kursi belakang kemudi mobil Kevin.
Berhubung tadi ia pergi menebeng supir Mia, maka dengan sangat terpaksa Raisa
ikut Mia menebeng mobil Kevin. Jadi obat nyamuk di kursi belakang.
Raisa berpura-pura sibuk dengan ponsel begitu Kevin
masuk ke dalam mobil. Seantero mobil langsung penuh dengan aroma cowok itu.
Entah aroma parfum atau sabun, yang jelas harum sekali.
‘Pindah depan gih,’ pinta Kevin sambil memerhatikan
Raisa dari kaca spion.
‘Gua di belakang aja,’ pungkas Raisa.
Kevin tertawa. ‘Jadi statusku supir pribadi nih?
Pokoknya kalo kamu gak pindah, aku gak mau jalan,’ tambah Kevin lagi sambil
melipat tangan di depan dada.
Raisa memajukan bibirnya pertanda protes. Dengan
keterpaksaan yang sengaja ditunjukkan, ia pindah ke sebelah kursi kemudi. Ia
masih gondok dengan tindak-tanduk Kevin saat di pesta Mia tadi. Apa Kevin tidak
tahu cara menjaga perasaan perempuan? Walaupun teman-teman yang lain tidak
mengetahui perihal pertunangannya dengan Mia, tapi tidak bisa-kah dia
menghormati Mia? Atau setidaknya jangan menempatkan Raisa dalam posisi serba
tak enak.
Kevin tersenyum penuh kemenangan, lalu mobil mulai
meluncur dengan mulus.
***
‘Jadi udah gak ponian lagi nih?’ Kevin memecah
kebisuan yang terbentuk di antara mereka. Sesekali ia melirik Raisa yang
terus-terusan menatap ke luar jendela. ‘Masih suka nge-treadmill malem-malem gak?’
‘Enggak,’ jawab Raisa singkat. Menjawab dua sekaligus
pertanyaan Kevin yang terdengar amat basa-basi.
‘Udah punya pacar?’ tanya Kevin cuek.
’Belom.’
Kali ini Kevin tertawa, renyah. Percakapan di antara
keduanya begitu kaku. Seperti menginterogasi tersangka, Kevin polisinya. ‘By
the way, aku belum sempat
minta maaf ke kamu atas pertemuan terakhir kita yang kurang enak. Maafin aku
ya, Ca. Berhubung sekarang aku tunangan sama sahabat kamu, aku pingin hubungan
kita baik-baik aja.’
Raisa menghela napas. ‘Semua tentang kamu udah aku
lupain kok. Tenang aja.’ Berhubung
sekarang kamu tunangan sahabatku.
‘Oh ya? Wah, padahal selama di Amsterdam aku gak bisa
lupain kamu. Aku ngearasa punya banyak banget dosa sama kamu. Takut gak bisa
ketemu kamu dan memperbaiki semuanya. Kasihan banget ya aku? Mikirin kamu, tapi
kamu udah lupain aku. Huhuhu..’ seloroh Kevin.
Raisa memejamkan matanya rapat-rapat. Mencari semacam
kekuatan dan ketenangan atas pergumulan hatinya saat ini.
Kevin melirik Raisa sekali lagi begitu ia tidak
mendapat jawaban. Cewek itu bergeming di tempatnya bersandar. Perlahan ia
memberanikan diri menyentuh pundak cewek itu. ‘Ca? Tidur kamu?’
***
Lama Kevin berdiri di sisi kiri mobilnya. Memandangi
cewek yang sedang tertidur dengan damai di dalam mobil. Sengaja Kevin tidak
membangunkan Raisa meskipun sudah sampai di depan rumahnya sejak lima belas
menit yang lalu. Ia tidak tega merusak tidurnya yang damai. Ia tidak tega
merusak pemandangan indah itu. Ia hanya menunggu Raisa bangun sambil
memandanginya dari luar.
Kevin tersenyum untuk kesekian kalinya. Wajah Raisa
begitu polos saat ia sedang tidur. Sesekali Kevin tertawa. Bisa-bisanya ia
tidur begitu pulas dengan posisi begitu?
Sementara itu, dalam tidurnya yang damai Raisa
bermimpi. Di dalam mimpinya ia sedang berada di sebuah padang rumput yang
sangat luas. Entah ini taman bermain Teletubbies atau New Zealand, yang pasti
Raisa sangat bahagia berada di sana. Rumputnya sangat hijau, awannya biru, dan
udaranya dingin meski matahari cukup terang. Di kejauhan, ia melihat sesosok
laki-laki. Mengenakan pakaian serba putih seperti dirinya. Perlahan Raisa
mendekat. Laki-laki itu berbalik sambil tersenyum. Raisa seperti kenal wajah
itu. Tapi jarak mereka masih terlalu jauh untuk Raisa bisa melihatnya dengan
jelas.
Samar-samar, terdengar suara laki-laki itu menyanyikan
sebuah lagu. Raisa berhenti sejenak untuk mendengar lebih seksama. Ternyata
laki-laki itu sedang menyanyikan lagu Happy
Birthday untuknya. Suaranya
berat, tapi enak untuk didengar. Raisa memejamkan matanya.
Lagu berakhir, dan gantian laki-laki itu yang
mendekat. Perlahan ia mengulurkan tangannya, merengkuh kepala Raisa. ‘Selamat
ulang tahun, Raisa,’ ucapnya manis. Lalu tiba-tiba laki-laki itu bergerak
mendekat, mendaratkan sebuah kecupan di dahi Raisa.
Raisa terbangun. Dan begitu ia membuka mata, yang
dilihatnya adalah wajah Kevin yang begitu dekat dengan wajahnya lalu berkata,
'Selamat ulang tahun, Raisa..'
Dialah laki-laki dalam mimpi itu.
0 komentar:
Posting Komentar