KAIRO'S VIEW
Pukul setengah lima sore. Entah sudah berapa jam aku
duduk-mangap-melongo-menguap di depan teve. Menemani Navita nonton DVD drama Korea
yang baru dibelinya. Heran sekali, dulu aku tidak pernah sebosan ini
menemaninya nonton drama Korea. Walau dulu aku pun tetap tidak mengerti apa
yang membuatnya kadang-kadang menjerit histeris, menangis, kesal sendiri, dan
tau-tau berseru unyu ‘uh, so sweet’. Dulu
pula, walau aku tidak menikmati dramanya, tapi aku menikmati berbagai ekspresi
yang ditunjukkan Navita selama menonton film. Entah kenapa sekarang jadi lain.
Sedari tadi yang kunikmati hanyalah dua kaleng pringles rasa barbeque dan
berbotol-botol jus.
Aku menguap sekali lagi. Rasanya bosan sekali menyaksikan wajah cantik
cowok-cowok Korea itu. Memang sih, gadis Korea juga cantik-cantik. Tapi kurasa gadis
Indonesia jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan gadis Korea tanpa operasi
plastik.
‘Kamu bosen ya?’ tau-tau Navita menoleh.
Aku gelagapan. ‘Oh, eh, um.. lumayan sih, tapi..’
‘Belakangan kamu aneh deh. Kalo sama aku kamu jadi lebih sering nguap,
sering gak nyambung dan bawaannya gak betah terus. Dan beberapa hari yang
lalu…’ Navita menghentikan pembicaraanya. Ia diam menekuri kuku-kukunya.
Alisnya berkerut-kerut, mungkin sedang menimbang-nimbang ingin lanjut bicara
atau tidak.
‘Beberapa hari yang lalu?’ aku memutar tubuhnya, mendesaknya bicara.
Kegugupan Navita makin menjadi-jadi. Ia tampak berkali-kali menarik
napas panjang lalu matanya dipejamkan. ‘Beberapa hari yang lalu aku lihat kamu
jalan sama Kanaya di mall!’ ujarnya cepat dalam satu tarikan napas.
Aku mencoba terlihat biasa-biasa saja. Padahal kalau diukur, detak
jantungku berdegup tidak normal saat ini. Mendadak aku tertawa terbahak-bahak
di hadapannya. Mencoba menutupi kegugupan. Kulihat ia menatapku dengan heran.
‘Ya ampun, sayang! Aku jalan sama Kanaya kan udah biasa banget. Apanya yang
aneh?’
‘Aku tau kamu, Kairo. Kemarin aku lihat.. gestur kamu, tatapan kamu itu
lain. Kamu itu kayak –kayak begging
banget sama dia.’
Navita menatapku penuh selidik. Aku balas menatapnya tajam. ‘Navita
sayang, kamu itu kebanyakan nonton drama Korea. Kurang-kurangin deh nontonnya.
Nih, kamu jadi ngawur gini.’
‘Aku gak lagi ngawur. Aku ini perempuan, aku punya feeling yang kuat. Dan feeling aku bilang sepertinya kamu dan
Kanaya sekarang bukan hanya sekadar sahabat.’
Aku membuang pandangan ke arah lain. Sengaja menghindari tatapan mata
Navita.
‘Kairo, kamu benar kan cuma sahabatan dengan Kanaya?’
‘Sudah waktunya aku pulang. Kamu istirahat, stop nonton DVD-nya.’
***
Sejak kemarin sore aku sengaja tidak menghubungi Navita. Aku tahu
seperti apa Navita itu. Ia tipikal orang yang mudah kepikiran. Dan perkara
kemarin pastilah akan tetap dia bahas begitu aku menghubunginya lebih dulu.
Aku membicarakan hal ini pada Kanaya. Gadis yang bikin aku gila itu
hanya menanggapinya dengan senyuman. Parahnya dia juga bilang ingin mundur jika
kehadirannya berpotensi menyakiti Navita. Dan ini yang membuatku tambah gila.
Jelas sekali dia berkesimpulan bahwa menyakitiku lebih baik dari menyakiti
Navita. Segitunyakah ikatan antara sesama wanita?
Pagi ini aku dikejutkan dengan gedoran keras pintu kamar kosku.
Beginilah resikonya tinggal di kos-kosan putra. Beberapa orang suka tidak
kira-kira kalu mengetuk pintu. Mengganggu sekali. Dengan sehelai boxer, masih mengucek mata, aku membuka
pintu kamar kos.
BRUK! Tau-tau ‘tamu’-ku itu langsung menubruk dadaku dan menangis
tersedu-sedu di sana. Masih dengan nyawa tercecer aku mencoba mengenali siapa gadis
dalam pelukanku ini. Dari rambutnya yang panjang dan Paris Hilton yang meruap
dari tubuhnya, aku tau ini Navita.
‘Hei, kamu kenapa?’ perlahan aku melepaskan dirinya dari tubuhku.
Kutatap wajahnya yang basah dan terlihat begitu sedih.
Setelah bisa menguasai diri, Navita akhirnya bicara. ‘Aku mimpi buruk.
Dalam mimpiku kamu meninggalkanku karena kejadian kemarin. Aku minta maaf,
sayang. Aku gak bermaksud untuk gak memercayai kamu. Hanya saja, kamu tahu kan,
cewek suka gak pake logika. Maafin aku ya. Aku gak mau kehilangan kamu.’
Aku memandangi Navita setengah tidak percaya. Ini sungguh berlebihan
dan penuh drama. Tapi belum pernah aku didatangi perempuan sepagi ini hanya
karena ia bermimpi kutinggalkan. Segitu cintanyakah gadis ini padaku? Hingga ia
sendiri tidak sadar bahwa dirinya masih mengenakan kaus tidur dan sandal besar
berkepala sapi. Aku melirik jam di dinding kamar kos. Ya ampun! Bahkan jam
belum menunjukkan pukul enam pagi! Mendadak aku merasa benar-benar bersalah
padanya. Kutarik ia merapat ke tubuhku. Hanya untuk memastikan padanya bahwa
aku masih ada untuknya.
‘Apa kubilang, kurang-kurangin nonton drama,’ aku mengelus rambut
panjangnya. ‘Kamu ke sini naik apa?’
Gadis itu menggeleng dalam pelukanku. ‘Aku lupa. Kayaknya naik ojek
deh. Oh.. ya ampun! Ojeknya belum kubayar!’
Aku tertawa mendengarnya. ‘Segitu panikkah kamu? Sampe tukang ojek
dianggurin.’ Aku menyambar kaus, dompet dan kunci mobil di meja dekat kasur
lalu mengajaknya keluar dari kamar kos.
‘Habis mimpinya nyata banget. Aku bener-bener gak mau kamu pergi.’
Aku menatapnya sekali lagi. Kuulurkan tangan mengusap sisa-sisa air
mata di bulu mata panjangnya. ‘It was
just a dream. Aku gak ninggalin kamu.’
Ralat: Aku belum meninggalkannya. Ya, memang belum. Mungkin nanti iya.
Tapi aku belum tau pastinya kapan. Yang pasti sekarang aku sedang dilanda
kegalauan luar biasa. Beberapa hari yang lalu aku amat menggebu-gebu jatuh
cinta pada Kanaya. Gadis itu seperti sebuah bulan baru diantara ribuan bintang.
Hanya dia yang terlihat, hanya dia yang ada, hanya dia yang menarik. Namun pagi
ini, Navita yang bagai bintang redup, sinarnya kembali menguat. Melihat Navita
pagi-pagi sekali mendatangiku hanya karena sebuah firasat buruk, membuatku
merasa –entahlah, mungkin bersalah padanya. Tapi tidak mungkin juga aku
selamanya ada di antara dua wanita. Aku harus memilih. Oke, setidaknya membuat
keputusan dengan siapa aku ingin bersama. Jika saat untuk memilih itu tiba,
dengan siapa aku memilih untuk melanjutkan hidup? Navita yang lebih dulu hadir
dalam hidupku? Atau Kanaya?
***
Seminggu setelah Navita mendatangi kos-kosanku pagi buta itu, aku
merasakan suatu perubahan yang terjadi pada diri Kanaya. Mendadak ia jadi
dingin. Ia seperti sengaja memberi kesan tidak tertarik tiap kali kuajak
bicara. Tiba-tiba saja tugasnya jadi dua kali lipat tugasku dan yang lebih
aneh, Kanaya menyempatkan diri nongkrong bareng beberapa geng sosialita
kelasnya yang doyan party. Itu aneh, karena aku tau persis Kanaya yang tidak suka keramaian. Dan kegiatan berkumpul dengan geng
sosialita itu tidak mungkin dilakukan di kuburan belanda. Apa dia sengaja
menghindariku?
Oke, kuakui belakangan ini aku lebih sering menghabiskan waktu dengan
Navita. Kanaya tau itu. Aku tidak menutupi apapun darinya. Ia juga tahu apa
sebabnya aku sering bersama Navita. Aku hanya tidak ingin Navita kembali curiga
dan kembali mimpi yang tidak-tidak. Aku ingin segala sesuatunya kembali normal.
Tujuannya hanya satu; aku ingin punya banyak waktu bersama Kanaya.
Siang ini aku sengaja tidak mengikuti mata kuliah terakhir hanya untuk
bertemu si Ninja itu. Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang
memacari Sakura atau Hinata yang punya jurus menghilang. Dan caraku ini ampuh,
aku berhasil mencegatnya saat ia mengendap-endap di mulut koridor.
‘Gak kuliah?’ tanyanya begitu melihatku. Nada bicaranya terdengar datar-datar saja.
‘Sengaja. Mau nemuin mbak-mbak ninja yang belakangan ini suka ngilang.
Sejak kapan kamu ngilmu di Konoha?’
‘Aku buru-buru. Ada janji nonton sama Baro.’
Aku membuang muka begitu nama itu disebut. Kalau hatiku ini pantai,
yang tadinya indah, tenang, dan damai dengan backsound suara ombak mendadak berubah jadi tsunami yang
memporak-porandakan semuanya. ‘Kamu masih jalan dengan bule sipit itu?’
‘Namanya Baro, aku sudah pernah bilang kan?’
‘I never care of what the hell
is his name. Sadar gak kamu itu pacar siapa?’
Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Napasnya diembuskan kuat-kuat
lalu ditatapnya aku dengan penuh marah. ‘Jangan membentakku tentang pacar siapa
aku ini kalau kamu sendiri gak bisa tegaskan kamu itu pacar siapa!’
BAM! Kalimat itu memukul telak harga diriku. Kanaya benar. Sangat
benar. Aku sendiri bahkan tidak bisa menegaskan padanya tentang statusku
terhadap dirinya. Kanaya masih berdiri di hadapanku. Kemarahan itu masih
tergambar dengan jelas di kedua bola matanya. Untuk merasa bersalah saja aku
malu sekali rasanya.
‘Kairo!’ suara halus itu memecah keheningan di antara kami. Aku
berbalik, menatap ke titik yang sama dengan arah pandangan Kanaya. Navita baru
saja turun dari taksi dengan sumringah. Dan dari arah gerbang, SUV merah milik
bule sipit itu terlihat memasuki halaman kampus.
‘See?’ Kanaya mendesis pelan
padaku lalu beranjak menghampiri mobil lelaki itu.
‘Kanaya, tunggu!’ Navita setengah berlari mengejar Kanaya. Aku turut
mendekat. Just to make sure bahwa gak
akan terjadi aksi jambak-menjambak di halaman kampus penuh mahasiswa ini.
Navita berhasil meraih lengan Kanaya dan membuatnya berhenti.
Gadis itu berbalik dengan ekspresi pura-pura kaget yang alami sekali.
‘Hei, Navita! Apa kabar? Ngapain di sini?’
‘Aku mau ngasih sesuatu sama kamu.’ Navita mengaduk-ngaduk tasnya
mencari sesuatu entah apa. Beberapa detik kemudian wajahnya yang serius berubah
jadi sumringah. ‘Ini dia! Aku mau ngasih undangan ultahku buat kamu.’ Navita menyodorkan
sebuah amplop berwarna merah marun ke Kanaya. ‘Bukan party besar sih. Cuma makan-makan di cafĂ© bareng beberapa temen
deket aja. Kamu sahabat Kairo, jadi kamu wajib aku undang. ‘
‘Oke, thanks ya!’
‘Naya, tunggu!’ Lagi-lagi Navita menahan lengan Kanaya. ‘Kamu harus datang dan..’ Navita mengarahkan pandangannya ke bule sipit yang lagi melambaikan
tangan pada Kanaya. 'Ajak pacar kamu.'
Kanaya hanya tersenyum lalu pergi. Tidak mengatakan ‘iya’ atau sekadar
mengangguk. Aku melihat sekilas kesedihan di matanya sebelum ia berlalu. Itu membuat
rasa bersalahku padanya makin menjadi-jadi.
Mendadak aku merasa perutku mulas. Terlebih lagi begitu melihat Baro
memperlakukan Kanaya bagai ratu. Membukakan pintu untuk Kanaya dan gadis itu
tertawa begitu lepas menanggapi –mungkin jokes
atau sesuatu yang diucapkan lelaki itu. Aku kesal sekaligus mual. Dan aku
juga merasa bodoh. Sebagai laki-laki, kau boleh menyebutku brengsek. Iya,
ternyata aku belum pensiun. Aku masih playboy.
Aku masih mempermainkan hati wanita. Kali ini dua sekaligus.
0 komentar:
Posting Komentar