Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN 14 | Bulan, Bintang, dan Playboy yang Belum Pensiun

KAIRO'S VIEW

Pukul setengah lima sore. Entah sudah berapa jam aku duduk-mangap-melongo-menguap di depan teve. Menemani Navita nonton DVD drama Korea yang baru dibelinya. Heran sekali, dulu aku tidak pernah sebosan ini menemaninya nonton drama Korea. Walau dulu aku pun tetap tidak mengerti apa yang membuatnya kadang-kadang menjerit histeris, menangis, kesal sendiri, dan tau-tau berseru unyu ‘uh, so sweet’. Dulu pula, walau aku tidak menikmati dramanya, tapi aku menikmati berbagai ekspresi yang ditunjukkan Navita selama menonton film. Entah kenapa sekarang jadi lain. Sedari tadi yang kunikmati hanyalah dua kaleng pringles rasa barbeque dan berbotol-botol jus.

Aku menguap sekali lagi. Rasanya bosan sekali menyaksikan wajah cantik cowok-cowok Korea itu. Memang sih, gadis Korea juga cantik-cantik. Tapi kurasa gadis Indonesia jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan gadis Korea tanpa operasi plastik.

‘Kamu bosen ya?’ tau-tau Navita menoleh.

Aku gelagapan. ‘Oh, eh, um.. lumayan sih, tapi..’

‘Belakangan kamu aneh deh. Kalo sama aku kamu jadi lebih sering nguap, sering gak nyambung dan bawaannya gak betah terus. Dan beberapa hari yang lalu…’ Navita menghentikan pembicaraanya. Ia diam menekuri kuku-kukunya. Alisnya berkerut-kerut, mungkin sedang menimbang-nimbang ingin lanjut bicara atau tidak.

‘Beberapa hari yang lalu?’ aku memutar tubuhnya, mendesaknya bicara.

Kegugupan Navita makin menjadi-jadi. Ia tampak berkali-kali menarik napas panjang lalu matanya dipejamkan. ‘Beberapa hari yang lalu aku lihat kamu jalan sama Kanaya di mall!’ ujarnya cepat dalam satu tarikan napas.

Aku mencoba terlihat biasa-biasa saja. Padahal kalau diukur, detak jantungku berdegup tidak normal saat ini. Mendadak aku tertawa terbahak-bahak di hadapannya. Mencoba menutupi kegugupan. Kulihat ia menatapku dengan heran. ‘Ya ampun, sayang! Aku jalan sama Kanaya kan udah biasa banget. Apanya yang aneh?’

‘Aku tau kamu, Kairo. Kemarin aku lihat.. gestur kamu, tatapan kamu itu lain. Kamu itu kayak –kayak begging banget sama dia.’

Navita menatapku penuh selidik. Aku balas menatapnya tajam. ‘Navita sayang, kamu itu kebanyakan nonton drama Korea. Kurang-kurangin deh nontonnya. Nih, kamu jadi ngawur gini.’

‘Aku gak lagi ngawur. Aku ini perempuan, aku punya feeling yang kuat. Dan feeling aku bilang sepertinya kamu dan Kanaya sekarang bukan hanya sekadar sahabat.’

Aku membuang pandangan ke arah lain. Sengaja menghindari tatapan mata Navita.

‘Kairo, kamu benar kan cuma sahabatan dengan Kanaya?’

‘Sudah waktunya aku pulang. Kamu istirahat, stop nonton DVD-nya.’

***

Sejak kemarin sore aku sengaja tidak menghubungi Navita. Aku tahu seperti apa Navita itu. Ia tipikal orang yang mudah kepikiran. Dan perkara kemarin pastilah akan tetap dia bahas begitu aku menghubunginya lebih dulu.

Aku membicarakan hal ini pada Kanaya. Gadis yang bikin aku gila itu hanya menanggapinya dengan senyuman. Parahnya dia juga bilang ingin mundur jika kehadirannya berpotensi menyakiti Navita. Dan ini yang membuatku tambah gila. Jelas sekali dia berkesimpulan bahwa menyakitiku lebih baik dari menyakiti Navita. Segitunyakah ikatan antara sesama wanita?

Pagi ini aku dikejutkan dengan gedoran keras pintu kamar kosku. Beginilah resikonya tinggal di kos-kosan putra. Beberapa orang suka tidak kira-kira kalu mengetuk pintu. Mengganggu sekali. Dengan sehelai boxer, masih mengucek mata, aku membuka pintu kamar kos.

BRUK! Tau-tau ‘tamu’-ku itu langsung menubruk dadaku dan menangis tersedu-sedu di sana. Masih dengan nyawa tercecer aku mencoba mengenali siapa gadis dalam pelukanku ini. Dari rambutnya yang panjang dan Paris Hilton yang meruap dari tubuhnya, aku tau ini Navita.

‘Hei, kamu kenapa?’ perlahan aku melepaskan dirinya dari tubuhku. Kutatap wajahnya yang basah dan terlihat begitu sedih.

Setelah bisa menguasai diri, Navita akhirnya bicara. ‘Aku mimpi buruk. Dalam mimpiku kamu meninggalkanku karena kejadian kemarin. Aku minta maaf, sayang. Aku gak bermaksud untuk gak memercayai kamu. Hanya saja, kamu tahu kan, cewek suka gak pake logika. Maafin aku ya. Aku gak mau kehilangan kamu.’

Aku memandangi Navita setengah tidak percaya. Ini sungguh berlebihan dan penuh drama. Tapi belum pernah aku didatangi perempuan sepagi ini hanya karena ia bermimpi kutinggalkan. Segitu cintanyakah gadis ini padaku? Hingga ia sendiri tidak sadar bahwa dirinya masih mengenakan kaus tidur dan sandal besar berkepala sapi. Aku melirik jam di dinding kamar kos. Ya ampun! Bahkan jam belum menunjukkan pukul enam pagi! Mendadak aku merasa benar-benar bersalah padanya. Kutarik ia merapat ke tubuhku. Hanya untuk memastikan padanya bahwa aku masih ada untuknya.

‘Apa kubilang, kurang-kurangin nonton drama,’ aku mengelus rambut panjangnya. ‘Kamu ke sini naik apa?’

Gadis itu menggeleng dalam pelukanku. ‘Aku lupa. Kayaknya naik ojek deh. Oh.. ya ampun! Ojeknya belum kubayar!’

Aku tertawa mendengarnya. ‘Segitu panikkah kamu? Sampe tukang ojek dianggurin.’ Aku menyambar kaus, dompet dan kunci mobil di meja dekat kasur lalu mengajaknya keluar dari kamar kos.

‘Habis mimpinya nyata banget. Aku bener-bener gak mau kamu pergi.’

Aku menatapnya sekali lagi. Kuulurkan tangan mengusap sisa-sisa air mata di bulu mata panjangnya. ‘It was just a dream. Aku gak ninggalin kamu.’

Ralat: Aku belum meninggalkannya. Ya, memang belum. Mungkin nanti iya. Tapi aku belum tau pastinya kapan. Yang pasti sekarang aku sedang dilanda kegalauan luar biasa. Beberapa hari yang lalu aku amat menggebu-gebu jatuh cinta pada Kanaya. Gadis itu seperti sebuah bulan baru diantara ribuan bintang. Hanya dia yang terlihat, hanya dia yang ada, hanya dia yang menarik. Namun pagi ini, Navita yang bagai bintang redup, sinarnya kembali menguat. Melihat Navita pagi-pagi sekali mendatangiku hanya karena sebuah firasat buruk, membuatku merasa –entahlah, mungkin bersalah padanya. Tapi tidak mungkin juga aku selamanya ada di antara dua wanita. Aku harus memilih. Oke, setidaknya membuat keputusan dengan siapa aku ingin bersama. Jika saat untuk memilih itu tiba, dengan siapa aku memilih untuk melanjutkan hidup? Navita yang lebih dulu hadir dalam hidupku? Atau Kanaya?

***

Seminggu setelah Navita mendatangi kos-kosanku pagi buta itu, aku merasakan suatu perubahan yang terjadi pada diri Kanaya. Mendadak ia jadi dingin. Ia seperti sengaja memberi kesan tidak tertarik tiap kali kuajak bicara. Tiba-tiba saja tugasnya jadi dua kali lipat tugasku dan yang lebih aneh, Kanaya menyempatkan diri nongkrong bareng beberapa geng sosialita kelasnya yang doyan party. Itu aneh, karena aku tau persis Kanaya yang tidak suka keramaian. Dan kegiatan berkumpul dengan geng sosialita itu tidak mungkin dilakukan di kuburan belanda. Apa dia sengaja menghindariku?

Oke, kuakui belakangan ini aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Navita. Kanaya tau itu. Aku tidak menutupi apapun darinya. Ia juga tahu apa sebabnya aku sering bersama Navita. Aku hanya tidak ingin Navita kembali curiga dan kembali mimpi yang tidak-tidak. Aku ingin segala sesuatunya kembali normal. Tujuannya hanya satu; aku ingin punya banyak waktu bersama Kanaya.

Siang ini aku sengaja tidak mengikuti mata kuliah terakhir hanya untuk bertemu si Ninja itu. Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang memacari Sakura atau Hinata yang punya jurus menghilang. Dan caraku ini ampuh, aku berhasil mencegatnya saat ia mengendap-endap di mulut koridor.

‘Gak kuliah?’ tanyanya begitu melihatku. Nada bicaranya terdengar datar-datar saja.

‘Sengaja. Mau nemuin mbak-mbak ninja yang belakangan ini suka ngilang. Sejak kapan kamu ngilmu di Konoha?’

‘Aku buru-buru. Ada janji nonton sama Baro.’

Aku membuang muka begitu nama itu disebut. Kalau hatiku ini pantai, yang tadinya indah, tenang, dan damai dengan backsound suara ombak mendadak berubah jadi tsunami yang memporak-porandakan semuanya. ‘Kamu masih jalan dengan bule sipit itu?’

‘Namanya Baro, aku sudah pernah bilang kan?’

I never care of what the hell is his name. Sadar gak kamu itu pacar siapa?’

Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Napasnya diembuskan kuat-kuat lalu ditatapnya aku dengan penuh marah. ‘Jangan membentakku tentang pacar siapa aku ini kalau kamu sendiri gak bisa tegaskan kamu itu pacar siapa!’

BAM! Kalimat itu memukul telak harga diriku. Kanaya benar. Sangat benar. Aku sendiri bahkan tidak bisa menegaskan padanya tentang statusku terhadap dirinya. Kanaya masih berdiri di hadapanku. Kemarahan itu masih tergambar dengan jelas di kedua bola matanya. Untuk merasa bersalah saja aku malu sekali rasanya.

‘Kairo!’ suara halus itu memecah keheningan di antara kami. Aku berbalik, menatap ke titik yang sama dengan arah pandangan Kanaya. Navita baru saja turun dari taksi dengan sumringah. Dan dari arah gerbang, SUV merah milik bule sipit itu terlihat memasuki halaman kampus.

See?’ Kanaya mendesis pelan padaku lalu beranjak menghampiri mobil lelaki itu.

‘Kanaya, tunggu!’ Navita setengah berlari mengejar Kanaya. Aku turut mendekat. Just to make sure bahwa gak akan terjadi aksi jambak-menjambak di halaman kampus penuh mahasiswa ini. Navita berhasil meraih lengan Kanaya dan membuatnya berhenti.

Gadis itu berbalik dengan ekspresi pura-pura kaget yang alami sekali. ‘Hei, Navita! Apa kabar? Ngapain di sini?’

‘Aku mau ngasih sesuatu sama kamu.’ Navita mengaduk-ngaduk tasnya mencari sesuatu entah apa. Beberapa detik kemudian wajahnya yang serius berubah jadi sumringah. ‘Ini dia! Aku mau ngasih undangan ultahku buat kamu.’ Navita menyodorkan sebuah amplop berwarna merah marun ke Kanaya. ‘Bukan party besar sih. Cuma makan-makan di cafĂ© bareng beberapa temen deket aja. Kamu sahabat Kairo, jadi kamu wajib aku undang. ‘

‘Oke, thanks ya!’

‘Naya, tunggu!’ Lagi-lagi Navita menahan lengan Kanaya. ‘Kamu harus datang dan..’ Navita mengarahkan pandangannya ke bule sipit yang lagi melambaikan tangan pada Kanaya. 'Ajak pacar kamu.'

Kanaya hanya tersenyum lalu pergi. Tidak mengatakan ‘iya’ atau sekadar mengangguk. Aku melihat sekilas kesedihan di matanya sebelum ia berlalu. Itu membuat rasa bersalahku padanya makin menjadi-jadi.

Mendadak aku merasa perutku mulas. Terlebih lagi begitu melihat Baro memperlakukan Kanaya bagai ratu. Membukakan pintu untuk Kanaya dan gadis itu tertawa begitu lepas menanggapi –mungkin jokes atau sesuatu yang diucapkan lelaki itu. Aku kesal sekaligus mual. Dan aku juga merasa bodoh. Sebagai laki-laki, kau boleh menyebutku brengsek. Iya, ternyata aku belum pensiun. Aku masih playboy. Aku masih mempermainkan hati wanita. Kali ini dua sekaligus.  

Bulan dan Bintang itu kini bersinar sama terang di langit hatiku. Apakah aku cukup berani meredupkan salah satu diantaranya?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar