Gadis itu tengah menjelaskan program perusahaannya pada seorang
nasabah perempuan ketika telepon di belakangnya tak kunjung berhenti berdering.
Ia sengaja mengabaikan telepon itu mengingat reputasi nasabah di hadapannya ini
masuk dalam kategori ‘bawel’ tingkat advance.
Belum ada dua menit menjelaskan, Gadis itu sudah dijejali berbagai pertanyaan.
Apa untungnya bagi perusahaan kalau ia ikut dalam program itu? Apa dampaknya
bagi perusahaan kalau ia ikut dalam program itu? Apa yang menjamin bahwa perusahaannya
tidak akan merugi sepeserpun kalau ikut program itu? Sebagai Costumer Relation yang handal dan
terlatih, gadis itu berhasil menjawab dengan cekatan.
‘Diangkat dong teleponnya mbak! Bunyi terus gitu kan berisik!’ cetus
nasabah bertubuh gemuk itu sambil berkipas-kipas, seolah tak puas seluruh
pertanyaannya berhasil dijawab dengan kompeten oleh gadis itu.
‘Mohon maaf, ditunggu sebentar ya, Ibu,’ ujarnya dengan nada bicara
yang terlatih. Khas pegawai-pegawai bank. Begitu berbalik, gadis itu langsung menekuk
mukanya sedemikian rupa pertanda ia sudah sangat gondok dengan Ibu-Ibu gendut
di depannya ini.
‘…Selamat siang, dengan Kanaya, ada yang bisa saya bantu?’
‘Ikan sayaaaaang! Lama banget sih angkat telepon? Sibuk banget ya?’
Suara renyah dan terdengar amat manja itu, Kanaya sudah hafal sekali.
‘Ya begitulah, Pak Yadi. Ada yang bisa saya bantu?’
‘Sialan, aku dipanggil Yadi! Kamu itu ya, namaku AR-YA-DI-KA.
Tega-teganya nama keren pacarmu ini diganti Yadi!’
Kanaya mengulum bibirnya menahan senyum. Ia membayangkan betapa lucu
wajah pacarnya itu saat mencak-mecak dipanggil Yadi. Awal pacaran Kanaya selalu
memanggilnya Dika. Hanya saja beberapa waktu yang lalu Dika menceritakan pada
Kanaya mengenai seorang sahabat masa kecilnya di Bandung yang selalu memanggilnya
Yadi. Kanaya jadi sering memanggilnya Yadi. Sebenarnya itu dosa Dika sendiri.
Dika punya kebiasaan merubah nama indah teman-temannya. Seperti Kanaya,
pacarnya sendiri harus rela namanya diubah jadi Ikan.
‘Mbak, pacarannya nanti aja dong! Saya nunggu nih!’ Ibu-ibu gemuk itu
memandangi Kanaya dengan judes.
Kanaya memberikan sedikit isyarat agar si Ibu-Ibu mau bersabar sedikit
lagi. ‘Maaf, Pak. Saya lagi agak crowded,
bisa telepon lima belas menit lagi?’
‘Sibuk ya? Mm..pasti nasabah galak. Segalak apa sih?’
‘Advance.’
‘Wohooooo.. gawat. Ya udah. Nanti pulang bareng dong?’
‘Maaf Pak Yadi, sepertinya tidak bisa.’
‘Hmm..’ Dika menggerutu manja. ‘Lembur lagi ya? Ih gak asyik banget
deh kantor kamu. Emang gak ada dispensasi ya bagi karyawan yang mau ngerayain
ulang tahun pacar? Makan siang nanti ada janji sama klien, pulang ngantor
kamunya lembur. Payah ih!’
Kamu sih enak, jabatan udah
tinggi, gerutu Kanaya dalam hati. ‘Baik kalau begitu, terima kasih sudah
menghubungi. Selamat siang!’
Buru-buru Kanaya menutup telepon. Lagi-lagi ia terpaksa menunduk
menyembunyikan senyum. Kelakuan pacarnya itu memang aneh. Mereka belum terlalu
lama berpacaran. Delapan bulan lalu, Kanaya dimutasi ke kantor pusat yang
jaraknya hanya beberapa lantai di bawah kantor Dika. Selain Ibu-Ibu gendut
tadi, Dika juga nasabah ‘bawel’ tingkat advance.
Bedanya, nasabah yang satu ini bukannya cerewet, tapi doyan merayu dan
tebar pesona. Maklum saja, ia seorang SCM manager
muda di sebuah perusahaan minyak yang tentunya mapan, tampan, tipikal
menantu idaman ibumu banget.
Awal bertemu, Dika amat penasaran dengan Costumer Relation kaku nan jutek yang berani menutup teleponnya
ketika ia sedang bicara. Berdasarkan pengalaman Dika, tidak ada cewek yang
menutup telepon ketika dipuji suaranya indah. Belum pernah ada yang menolak Dika. Makanya ia cukup syok ketika
Kanaya tidak segan menutup teleponnya. Keesokan harinya Dika sengaja datang ke
Bank untuk mencari tau, karyawan mana yang berani menutup teleponnya itu. Dika
kembali melancarkan aksinya; merayu dan tebar pesona dengan Kanaya. Hasilnya?
Dika malah diusir. Dan Kanaya dapat teguran karena itu.
Butuh dua bulan bagi Dika untuk jatuh-dicuekin-bangkit-dicuekin
mengejar CR jutek itu. Entah kenapa,
semakin diabaikan, Dika makin penasaran dengan gadis itu. Namun akhirnya, Dika berhasil
mendapatkan hati gadis itu justru ketika ia berhenti mengejarnya. Suatu siang,
Kanaya secara kebetulan bertemu dengan Dika saat makan siang di sebuah café dekat
kantor. Kanaya merasakan sesuatu yang lain di hatinya ketika melihat laki-laki
itu terlihat santai ngobrol dan tertawa-tawa dengan beberapa orang OB
kantornya. Ketika kebanyakan karyawan biasa terlihat gengsi bergaul dengan OB,
Dika yang jabatannya tinggi justru terlihat senang berbaur dengan mereka. Setelah
acara makan-makan itu selesai, Dik pula-lah yang membayar dan tak segan menjadi
‘supir’ bagi mereka. Bagi Kanaya itu sangat tidak sesuai dengan kelakuan Dika
yang biasanya. Orang yang selalu necis dan narsis itu, jadi terlihat berbeda.
Aryadika, si Cassanova wanna be yang
doyan tebar pesona itu ternyata berhati mulia. Beberapa kali pula Kanaya
memergoki Dika memfungsikan SUV Porsche nya sebagai kendaraan antar-jemput
Karyawan. Office boy, office girl, karyawan yang kebetulan
tidak bawa kendaraan, Dika biasanya dengan senang hati memberikan tumpangan.
Dika, yang sebetulnya masih menggebu-gebu ingin mendekati Kanaya tentu
tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika suatu sore Kanaya menyapanya ketika
bertemu di area parkir basement. Tidak
lama sejak itu, akhirnya Kanaya memberi kepercayaan untuk Dika masuk ke dalam
ruang hatinya. Tentunya setelah Kanaya menceritakan kepada Dika mengenai
pengalaman terakhirnya pacaran yang membuat dirinya hampir tidak percaya bahwa
cinta memang ada untuknya. Dika tidak berjanji, namun ia memastikan dirinya
tidak akan menyakiti Kanaya seperti seseorang di masa lalunya.
Hari ini adalah hari ulang tahun Dika. Kanaya sengaja menolak tawaran
Dika makan siang bareng. Ia juga sengaja bilang bahwa hari ini akan lembur. Ia
makin tersenyum membayangkan betapa senangnya Dika diberi kejutan nanti. Uh,
rasanya Kanaya sudah tidak sabar.
***
‘Mbak, mau ambil kue pesanan saya kemarin. Atas nama Kanaya,’ ujarnya
pada gadis pelayan toko.
‘Kanaya?’ Seseorang menyentuh lengannya dari samping. Kanaya menoleh.
Ia termanga seakan tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Dompetnya
sampai jatuh ke lantai karenanya.
Dengan cepat Kanaya memungut kembali dompetnya dan kembali berdiri.
‘Navita? Apa kabar?’ Kanaya memerhatikan Navita dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Terlebih lagi di bagian perutnya yang membesar.
‘Alhamdulillah, Naya. Bayiku juga sehat.’ Navita mengelus-ngelus
perutnya yang amat besar itu. Seorang pelayan toko menyerahkan bungkusan kepada
Navita. Dengan cepat Navita membayar pesanannya.
‘Kamu sendirian?’ Kanaya bertanya. Sesungguhnya ia berharap menemukan
jawaban yang selama ini ia cari. Tentang misteri laki-laki yang menghilang
empat tahun yang lalu. Mungkinkah mereka sekarang sudah.. menikah?
Navita tersenyum. ‘Bareng suamiku. Dia nunggu di bawah. Eh, aku duluan
ya?’
***
Kanaya keluar dari toko kue langganannya dengan sumringah. ‘Janji
dengan klien’ yang ia maksud adalah mengambil pesanan kue ulang tahun Dika.
Sebenarnya cara seperti ini hanyalah surprise
ala-ala ABG. Tapi mengingat pengalaman pacarannya yang sangat payah, hanya
ini yang Kanaya tahu tentang bagaimana caranya membuat kejutan untuk pacar.
Saat sedang santai berjalan sambil menenteng plastik di tangan
kanannya, dari lantai dua, mata Kanaya tak sengaja menangkap dua sosok yang
amat ia kenal sedang mengobrol bersisian di lantai dasar. Sosok yang hampir
enam bulan ini tidak pernah ia ingat lagi. Dika menyita setiap celah
pikirannya, hingga tak ada celah lagi untuk sosok itu.
Yang ia lihat adalah Navita… bersama Kairo! Awalnya ia hanya mengenali
perempuan berperut besar itu dari lantai dua. Namun setelah diperhatikan,
ternyata ia pun mengenali sosok laki-laki yang berbicara dengannya. Aneh
sekali. Setelah hampir empat tahun, tiba-tiba saja hari ini dua orang itu
muncul. Posisi Kanaya memang tidak bisa dikatakan dekat, tapi ia mampu melihat
dengan jelas. Navita dengan perutnya yang sangat besar, membawa sekantong
belanjaan. Sementara Kairo tampak mengenakan kemeja merah marun, menggendong
seorang anak perempuan kecil.
Jadi dia suami Navita, batin
Kanaya. Terjawab sudah pertanyaan yang ia ingin tahu jawabannya selama ini. Ternyata
selama ini mereka bersama. Ternyata hari itu Kairo telah memilih Navita.
Ternyata mereka sudah hidup bahagia dan hampir memiliki dua orang anak. Air
mata Kanaya kembali menetes. Kali ini bukan pedih, ia justru merasa lega.
Sebuah beban yang selama ini menyesaki dadanya mendadak terangkat. Tak disangka
ia bahagia melihat dua orang itu. Ia bahagia telah menemukan jawaban itu. Tidak
ada lagi alasan untuknya menunggu Kairo. Terlebih lagi kini ia memiliki Dika di
sisinya. Dan secara tak diduga, rasa sakit yang dulu ia rasakan ketika
memikirkan Kairo kini sudah tidak ada. Buru-buru Kanaya menghapus air matanya. Terima kasih, Tuhan.
***
Laki-laki itu celingak-celinguk di kantor yang amat besar itu. Siapa
orang Indonesia yang tidak tahu perusahaan minyak ini? Tentu saja kantornya
begitu besar. Hampir separo gedung ini diisi oleh perusahaan ini berikut unit
bisnis dan anak perusahaannya. Dan ia yakin betul, pintu di hadapannya inilah yang
ditunjukkan resepsionis tadi; ruang manajer SCM. Tadinya ia ingin langsung
pulang setelah menandatangani kontrak pengadaan jasa yang dimenangkannya
beberapa hari yang lalu. Namun saat membaca-baca kontrak kerja tadi, tak
sengaja ia mendengar nama manajer SCM disebut oleh seorang karyawan; Aryadika
Widiyono. Ia tak begitu yakin, namun ia kenal betul dengan nama itu.
Laki-laki itu mengetuk pintu. Setelah mendengar respon dari si pemilik
ruangan, ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan berukuran 4 x
6 meter itu tampak bersih dan terawat. Satu set meja kerja besar lengkap dengan
perangkat komputer tertata apik. Di sisi ruangan lain, terdapat satu set sofa
besar lengkap dengan dekorasi vas bunga nan cantik. Lukisan-lukisan tertata
rapi di dinding ruangan. Air conditioner membuat
ruangan ini tambah nyaman dan sejuk. Siapapun yang berada di ruangan ini, akan
tahan hingga berjam-jam.
Sementara dari meja kerja yang besar itu, Dika memerhatikan laki-laki
yang memasuki ruangannya. Ia yakin belum pernah bertemu dengan orang ini. Tapi
rasa-rasanya, mata dalam dengan sorot mata tajam itu tidak asing. Begitu pula
laki-laki yang baru memasuki ruangan itu. Kalau saja ia tidak lebih dulu
mengetahui namanya, mungkin ia tidak akan mengenali laki-laki di kursi besar
itu. Melihat bocah itu menjadi dewasa, mapan, dan tampan, rasanya ia ingin
protes. Bocah itu tumbuh menjadi pria yang seratus delapan puluh derajat
berbeda. Wajah dekil nan ingusannya berubah jadi wajah tampan dengan helaian
rambut halus nan rapi di sekitar rahangnya.
‘Yadi?’ laki-laki itu sudah tidak tahan lagi.
Dika membelalak. Mulutnya menganga ingin mengucapkan sesuatu yang
masih ia ingat-ingat. Lalu tak lama kemudian. ‘Kampret! Karyo!’
Dika segera bangkit dari kursinya dan merangkul sahabat lamanya itu.
Keduanya seakan tak percaya akan bertemu dalam format setelan jas di sebuah
kantor. Mengingat masa lalu, waktu bermain mereka habiskan di kolam ikan milik
tetangga, bersepeda panas-panasan, dan sesekali memecahkan kaca rumah orang
ketika bermain kasti.
‘Kampret! Gua gak rela lu sekarang manajer. Gila! Kemana perginya
ingus lu? Kenapa jadi ganteng begini? Makan apaan lu di Amrik?’ Karyo masih
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Melihat bundel kontrak di tangan Karyo, Dika tidak kalah mencak-mencak.
‘Sialan! Gua juga gak rela kali lu jadi pengusaha! Menang tender puluhan ‘M’, di bawah manajemen gua pula! Banyak duit lu
sekarang. Pantesan panu di muka lu ilang semua, yok!’
Karyo tergelak. ‘Kalo itu sih fitnah. Gua udah dari dulu ganteng! Dan
gua masih gak rela ya lo panggil Karyo.’
‘Emangnya gua sudi lu panggil Yadi? Gara-gara elu, cewek gua sekarang
ikutan manggil gua Yadi tauk!’
Mereka melanjutkan nostalgia ngalor-ngidul setelah Dika mengajaknya
duduk di sofa. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Waktu mereka kelas tiga
SD, Dika sekeluarga pindah ke Jakarta. Mereka hanya sesekali berkomunikasi via
telepon. Terlebih lagi saat lulus SMA, Dika melanjutkan kuliah ke Amerika.
Kalau dihitung-hitung sudah hampir tujuh belas tahun mereka tidak pernah
bertemu. Dan Karyo tidak percaya akan apa yang baru saja dikatakan Dika. Dika
punya pacar? Pacarnya seorang pegawai Bank pula!
‘Pake pelet apaan lu? Mana ceweknya? Gua mau lihat! Pasti katarak!’
‘Enak aja! Gua pake inner and outer
handsome tauk! Gak ada lu ketemu cewek gua! Entar lu naksir sama Ikan gua!’
Dika tergelak-gelak. Entah kenapa hari ini rasanya ia senang sekali.
‘Astaga! Nama cewek sendiri aja lu rusak!’
‘Nah elu? Berapa cewek lu sekarang?’
Kali ini Karyo diam. Tangannya meraba kalung yang ia kenakan. Kalung
yang selalu ia pakai sejak empat tahun yang lalu. Yang spesial bukan kalungnya,
tapi dua buah cincin titanium yang menjadi liontinnya. Ia tersenyum menatap
sebuah nama yang tertulis di balik salah satu cincin itu.
‘Kakak-kakak gua sih masih aktif ngatur acara kencan buta buat gue.
Tapi kayaknya cinta gua abis di cewek yang namanya ada di cincin ini.’
‘Siapa? Sini gua lihat!’ tangan Dika terulur ingin menggapai cincin di
kalung Karyo. Namun seperti biasa, sejak mereka kecil dulu, Karyo selalu lebih
gesit dari Dika.
‘Enak aja! Gak ada gua kasih lihat nama cewek gua ke elu!’
‘Yaelah pelit amat bos! Namanya doang!’ Dika memasang muka bete.
Kebiasaan sejak kecil juga setiap kali Karyo berhasil mengalahkannya. ‘Lagian
kenapa gak lu kasih ke cewek lu? Malah dipake sendiri!’
‘Sejak kejadian itu, gua gak pernah ketemu dia lagi.’
Dika paham dengan apa yang dimaksud Karyo dengan ‘kejadian itu’.
Meskipun tidak pernah bertemu, keluarga mereka masih saling berkirim kabar satu
sama lain. ‘Bukan main. Gak nyangka gua seorang Karyo udah insaf beneran. Jadi
lu masih nunggu cewek lu itu? Kenapa gak lu samperin aja ke rumahnya?’
‘Gua cuma tau alamat lamanya. Dia udah pindah. Gak tau kenapa gua
percaya aja kalo suatu saat gua bakal ketemu dia lagi. Makanya cincin ini
selalu gua bawa. Dan ketika itu terjadi, gua bakal langsung pakein cincin ini
ke dia.’
‘Tsaah. Omongan lu udah kayak orang bener aja! Eh, ngomong-ngomong gimana
kabar Om Henry? Sehat dong?’
‘Alhamdulillah. Sekarang kan ikut Brazil, jadi dialah yang urus
perawatan dan pengobatan bokap. Eh, by
the way hari ini lu ultah kan?’
***
‘Surpriiiiisseeeeee!!!’ tau-tau
pintu ruangan Dika dibuka. Seorang cewek muncul sambil berteriak heboh. Membawa
sebuah kue ulang tahun di tangannya dengan lilin berangka tujuh belas. Dika dan
Karyo serentak menoleh ke arah pintu. Dika langsung sumringah, tapi tidak
dengan Karyo. Tidak pula dengan gadis yang membawa kue itu. Senyum sumrigah
gadis itu hilang seketika ketika melihat bahwa pacarnya tidak sendirian. Ada
orang lain di ruangan itu. Orang yang amat ia kenal.
Karyo langsung berdiri ketika menyadari siapa gadis yang berdiri di
depan pintu itu. Tanpa butuh komando apapun, segenap sel di tubuhnya langsung
bereaksi ketika melihat senyuman itu. Karyo hampir melompat memeluk gadis itu
kalau saja ia tidak melihat Dika bangkit, lalu dengan leluasa lengannya
melingkari pinggang gadis itu.
‘Ikan sayang! Katanya lembur! Udah pinter ngerjain aku ya si Ikan!’
Dika mendekati dan merangkul Kanaya. Sementara yang dirangkul hanya diam.
Mengeras seperti tiang listrik. Namun sepertinya Dika tidak terlalu menyadari
perubahan itu. Ia malah menarik-narik Karyo yang sama termanganya dengan
Kanaya.
‘Nah Karyo, ini Ikan cewek gua. Eh maksud gua namanya..’
‘Kanaya,’ Karyo melanjutkan kalimat Dika yang menggantung.
‘Dan Ikan sayang, ini Karyo temenku yang pernah kuceritain. Eh salah,
maksudku namanya..’
‘Kairo,’ gantian Kanaya yang melanjutkan kalimat Dika.
0 komentar:
Posting Komentar