Balita perempuan itu nampak bersandar mantap di bahu kokoh laki-laki
yang menggendongnya. Matanya masih berbinar-binar meskipun pertunjukan Disney World sudah berakhir sepuluh
menit yang lalu. Tak lelah mulutnya bicara mengenai Mermaid, Belle, Cinderella,
dan Snow White yang masih terekam jelas di ingatannya. Meskipun laki-laki yang
menggendong tadi tentunya belum lupa dengan pertunjukan tadi, tapi ia terlihat
balik menanggapi dengan senang.
‘Cinderellanya cantik ya. Mirip Giby,’ ujarnya sambil memain-mainkan
kerah baju laki-laki itu.
‘Yeeeee.. Cinderella sih langsing, gak bulet kayak Giby.’
‘Giby gak bulet tau! Kata Mammie Giby nih cuman semok aja. Orang berat Giby
cuman dua puluh empat.’ Ya, yang tidak gadis kecil itu ketahui adalah angka
dua puluh empat itu cukup ‘besar’ untuk ukuran bocah tiga tahun.
Laki-laki itu tertawa mendengarnya. Namun tiba-tiba ia meringis karena
merasakan ‘sentakan’ kecil di bagian bawah perutnya. Menyebalkan sekali dapat
panggilan alam di tengah mol seperti ini. Dengan langkah dipercepat bahkan
hampir berlari, laki-laki itu segera mencari toilet terdekat.
‘Giby tunggu di sini bentar ya.’ Laki-laki itu menurunkan Giby di
depan pintu toilet pria. Si Gadis Kecil itu hanya mengangguk-angguk sok ngerti.
‘Don’t go anywhere! Get it?’
‘Yes, I do,’ Gadis itu
menjawab dengan gaya centil khas balita.
Giby menunggu dengan sabar. Dari duduk, berdiri, goyang kanan, goyang
kiri, lari ke kanan, lari ke kiri, sudah ia lakukan. Hanya butuh setengah menit
untuk membuat tangannya ditolakkan ke pinggang pertanda ia mulai bosan. Lalu
tiba-tiba matanya menangkap sesosok wajah yang ia kenal. Wajah gadis yang
selalu ia kenali dari puluhan foto yang dipajang di kamar pria dewasa yang
bersamanya tadi. Tapi gadis itu tak melihatnya. Ia berlalu begitu saja ketika
melewati Giby tadi. Dengan rasa penasarannya yang begitu membuncah, Giby segera
berlari mengikuti gadis itu.
Tak berapa lama kemudian, laki-laki tadi keluar dari toilet sambil
menggulung lengan kemejanya. Terkejutlah ia begitu mendapati Giby tidak ada di
sana. ‘Mampus! Anak orang hilang di tengah mol!’
***
Kanaya menelusuri mol sendirian. Tadinya ia berencana nonton dengan
Dika. Sayangnya, tiga puluh menit sebelum jam bubaran kantor, Mr. So Busy itu mendadak kedatangan tamu
Vendor dari Palembang. Sudah datang
jauh-jauh begitu, mana mungkin Dika menunda-nunda pertemuan. Lagipula ia sudah
kenal baik dengan Bos Kontraktor itu.
Kanaya melabuhkan langkahnya di sebuah kedai es krim dan memesan satu
porsi es krim cappucino favoritnya. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada
anak kecil yang menguntit dirinya. Ia baru menyadari itu ketika si anak kecil
menyentuh pelan kakinya.
Ya ampun! Anak siapa ini? Kanaya
terlonjak kaget begitu melihat balita gempal itu berdiri persis di belakangnya.
Kanaya celingukan berharap di dekatnya ada siapa saja yang ‘mengklaim’ bahwa
bocah ini anaknya. Kanaya menatap anak itu sekali lagi. Menggemaskan, pikirnya. Anak ini, Kanaya seperti pernah melihatnya.
Tapi dimana ya? Anak teman kantornya-kah? Entahlah. Tapi ia yakin sekali pernah
melihat bocah gempal dengan rambut ikalnya yang panjang ini.
‘Hei, nama kamu siapa?’ Kanaya berjongkok, menyamaratakan tinggi badannya
dengan bocah itu.
‘Gibraille Kanaya Ailsyaqeena,’ ujarnya dengan gaya bicara yang lucu sambil memainkan ujung rambutnya. Dalam hati Kanaya berusaha menahan diri untuk tidak menggigit pipi montok anak
itu. Lucu banget! Culik boleh gak sih? teriak
Kanaya dalam hati. Tunggu dulu, Kanaya meyakinkan diri bahwa anak itu tadi
menyebutkan ‘Kanaya’ dalam namanya.
‘Wah, nama kita sama! Nama Tante Kanaya juga.’
‘Giby tau kok. Soalnya nama Giby itu diambil dari nama Tante. Tante Kanaya
kan pacar Om Babang. Om nya Giby.’
‘Hah? Om Bambang?’ Kanaya mengernyitkan alis. Bambang siapa? Setau
dirinya, ia hanya pacaran dengan Dika. Nama lengkap Dika adalah Aryadika
Widyono. Tidak ada ‘Bambang-Bambang’-nya. Dan Dika juga tidak punya keponakan.
Dika anak tunggal dari kedua orang tuanya yang juga anak tunggal. Kanaya hanya
geleng-geleng kepala melihat bocah cantik di hadapannya ini.
‘Giby sama siapa ke sini? Kok sendirian?’
‘Sama Om Babang. Tapi Om nya lagi ke toilet.’
‘Giby!’ Seorang laki-laki tau-tau menarik bocah itu ke dalam
gendongannya. Aroma tubuhnya langsung menyeruak dan membuat Kanaya sedikit
tersentak. Ia hafal betul aroma ini. ‘Om cariin kamu daritadi! Kan udah
dibilangin jangan kemana-mana!’
‘Kairo?’ Seperti autopilot,
mulut Kanaya melontarkan nama itu ketika ia melihat wajahnya. Ah iya! Kanaya
baru ingat. Anak kecil ini yang ia lihat digendong Kairo beberapa hari yang
lalu.
Yang disebut namanya menoleh dan sama terkejutnya. Sedari tadi ia
tidak menyadari siapa yang berjongkok di sebelah Giby saking paniknya ia
mencari bocah itu. Diturunkannya kembali bocah itu lalu ditatapnya si pemilik
suara yang selalu ia rindukan itu.. ‘Kanaya?’
Kanaya tertawa sarkastik seakan tidak percaya. Otaknya mengingat-ingat kata-kata Kairo beberapa detik yang lalu. Laki-laki itu menyebut dirinya ‘om’. ‘Jadi
kamu Om Bambang?’
Kairo tergelak. ‘Bukan Bambang, Naya. Tapi Babang. Kalo di rumah aku
kan dipanggil Abang. Lupa?’
‘Ah iya.’ Kanaya manggut-manggut. ‘Jadi... Giby ini keponakan kamu?’
‘Iya. Anaknya Brazil. Kenapa? Kamu pikir Giby anakku? Ouch.. Please. Segitu bokap-bokap-nya
kah mukaku ini? Yang benar aja! Aku masih available.’
Kanaya tertawa melihat wajah Kairo ditekuk sedemikian rupa. Dalam
hatinya ia merasa masih ada yang janggal. Apa katanya tadi? Dia available?
‘Ngomong-ngomong kamu sendirian? Tumben amat mau ngemol sendiri.
Biasanya juga mesti disogok dulu.’
‘Tadinya mau nonton sama Dika. Tapi ya, you know.. Susah janjian sama Mr.
So Busy. Paling sebentar lagi dia nyusul. Kamu berdua aja? Ngapain di sini?
Belajar jadi bapak?’
Kairo tertawa kecil. Ditatapnya Kanaya dengan yakin. ‘Jadi masih belum
yakin nih sama teori konspirasi alam?’
Kanaya kembali tertawa. Sesaat ia terdiam begitu melihat Kairo tertawa
memamerkan gigi crossbite nya yang
dulu selalu membuat hati Kanaya berdesir. Lalu Kanaya kembali tertawa, tidak
percaya begitu menyadari bahwa hatinya lempeng saja melihat laki-laki itu
tertawa.
‘Om, Giby mau mandi bola!’ suara Balita itu menyadarkan keduanya bahwa
mereka tidak hanya berdua.
***
Secangkir latte, secangkir
kopi hitam, dan sepotong red velvet
tersaji di antara keduanya sementara Giby asyik bergelut dengan bola dan
terowongan di taman bermain anak yang letaknya berseberangan dengan café.
‘Kamu tahu, aku kayak lagi naik mesin waktu,’ Kairo membuka suara. Matanya
menekuri tepian cangkir kopi miliknya. ‘Empat tahun lalu aku pernah di sini. Hidangan
yang sama, sudut yang sama dan aku hampir gak percaya bisa berada di sini lagi
dengan gadis yang sama.. –dengan kamu.’
‘Yang tidak lagi sama hanya gaya berpakaian kita. Dan… status kita
satu sama lain.’
Kairo mengangkat wajahnya. ‘Status kita memang udah beda. Tapi di sini,’
Kairo menunjuk dadanya sendiri, ‘yang ada di sini tetap seperti empat tahun
yang lalu.’
Kanaya menggelengkan kepalanya. Ia masih belum juga mendapat klu tentang
orang di hadapannya ini. ‘Kamu dan Navita.. –kalian bukannya sudah menikah?’
Kali ini Kairo melengos dengan sedikit kesal. ‘Jadi selama ini kamu
pikir aku pergi karena memilih Navita?’
Mendengar nada bicara Kairo yang sedikit lebih tinggi, Kanaya sedikit
tersentak. Itu membuat dirinya langsung dikuasai emosi. ‘Memangnya kamu
berharap aku mikir gimana? Mikir kalo kamu mendadak diculik alien ke Saturnus or somewhere else? Atau kamu berharap
aku mikir kalo sebenarnya kamu superhero
yang secara mendadak harus nolong orang di Gaza? Tell me, what I should thought about you!’
Kairo diam. Ia hanya diam menatap Kanaya yang bertanya dengan penuh
emosi. Kairo mungkin tahu apa yang gadis itu rasakan. Kairo juga tahu apa yang
sebenarnya ingin gadis itu tanyakan. Ibarat kerupuk disiram air, keberaniannya
bertemu dengan gadis ini menjadi menciut setelah mendengar kata-kata itu. Empat
tahun bukan waktu yang singkat. Empat tahun bukanlah waktu yang tidak sedikit.
Selama ini Kairo tidak pernah benar-benar mencari. Ketika ia rindu, ketika ia
mencari, kebingungannya untuk menjawab apa, kenapa, dan bagaimana juga makin
besar. Dan itu akan membuat Kairo dilemparkan kembali pada pergumulan batin yang
menyiksanya empat tahun silam.
‘Naya,’ Kairo melembutkan tatapannya, pun merendahkan nada bicaranya.
‘Terkadang ada hal yang kamu tidak perlu tahu, tapi cukup dimengerti. Yang kamu
perlu tahu adalah dulu, sekarang... kuharap sampai nanti, I never stop loving you. Yang perlu kamu mengerti adalah aku gak
mungkin pergi tanpa alasan. Everything
happens for a reason. But not everybody knows the reason.’
Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Kembali berputar film di
benaknya tentang bagaimana ia menjalani hari-hari dalam kebingungan empat tahun
terakhir ini. Bagaimana setiap kali mendengar mobil berhenti di depan rumahnya,
ia selalu melongkokkan kepala keluar jendela. Yang ia harapkan adalah laki-laki
itu muncul dan kembali ke kehidupannya. Sampai akhirnya ia bosan kecewa dan
memutuskan pindah ke apartemen setelah Ayah-Ibunya menikah kembali dan hidup di
Ubud. Jadi ia tidak perlu mendengar suara mobil berhenti. Pun ketika pintu
apartemennya diketuk, ia yakin bahwa yang mengetuk bukanlah Kairo.
Bagaimana setiap kali ponselnya berdering, ia selalu bergegas menatap
layarnya. Berharap yang tertera di layar adalah nama yang selalu ia tanya pada Tuhan
dimana keberadaanya. Namun nama itu tak kunjung muncul di layar ponselnya.
Sampai akhirnya ia lelah berharap dan memutuskan mengganti nomor ponselnya. Jadi
ia tidak perlu berharap tiap kali ponselnya berdering.
Bagaimana setiap kali aroma parfum itu menyeruak, ia akan seperti
orang kesurupan mencari kesana kemari dan kembali tak menemukan jawaban. Sampai
akhirnya ia lelah mencari dan memilih untuk tidak menemukan dan ditemukan. Dan hari ini,
untuk tahu alasan kenapa hidupnya empat tahun terakhir ini begitu menyedihkan
saja ia tidak berhak.
Kanaya menghembuskan napasnya kuat-kuat. ‘Tapi bagiku semuanya sudah
gak penting. Semuanya sudah berlalu. Aku sudah meninggalkan hidupku yang lama. I’ve found the right man. I’ve found my future.’
Kairo tersenyum pedih. ‘Bagi kamu semuanya sudah berlalu. Tapi bagiku
semuanya sama. Aku gak pernah pergi dari tempatku empat tahun yang lalu. Dari
dulu sampai sekarang, semuanya tetap tentang kamu.’
Kairo melanjutkan, kali ini dengan senyum penuh ketulusan, ‘Tapi aku
senang kamu sudah menemukan your Mr.
Right. Aku tahu gimana Dika. Mainan saja dia jaga betul, apalagi cewek yang
dia cinta. Aku lega bisa memastikan kalau kamu bahagia dengan Dika.’
‘I am.’
Mata keduanya bertemu dalam kepedihan. Entah kepedihan apa yang Kanaya
rasakan. Ia sendiri tak paham. Sedetik hatinya lega, akhirnya penantian akan
jawaban itu resmi berakhir. Namun sedetik kemudian, hatinya merasakan sedihnya
perpisahan. Mungkin inilah perpisahan mereka yang sebenarnya. Raga Kanaya
mungkin berpisah dengan Kairo empat tahun yang lalu. Tapi baru hari ini ia
merasakan bahwa hati mereka telah resmi berpisah.
Begitupun Kairo. Ia merasakan pedih yang amat menyesakkan. Dari naik
mesin waktu ke masa lalu, ia seolah dihempas ke masa depan. Di masa lalu gadis
itu memang miliknya. Tapi tidak di masa depan. Ia harus kehilangan ketika telah
menemukan. Ia mungkin telah kehilangan raga Kanaya empat tahun yang lalu. Tapi hari
ini ia harus merelakan diri kehilangan hati gadis itu. Mungkin untuk selamanya.
Ditambah fakta bahwa ia harus rela menganut paham pengecut bahwa ‘cinta tak
harus memiliki’. Bukan karena ia tidak ingin memiliki cintanya, ia hanya tidak
mampu merebut cinta itu dari sahabatnya, separuh bagian jiwanya. Laki-laki
mungkin bisa saja selingkuh dari pacarnya, tapi laki-laki sejati tidak akan
mengkhianti sahabatnya.
'Naya, my heart locked out. The only one who have the key is you. Only you. And will never changed.'
***
‘Om, kok Tante Kanaya sama Om ganteng yang lain?’ tanya Giby begitu melihat
Kanaya kini digandeng mesra oleh Dika, laki-laki yang ia sebut om ganteng. Ia
bersandar lelah di bahu Kairo. Tubuhnya basah penuh keringat saat keluar dari
taman bermain.
‘Giby, Tante Kanaya sudah bukan pacar om lagi.’ Diciumnya pipi montok
bocah menggemaskan itu.
‘Oooooh..’ Giby ber-oh panjang. Matanya menerawang entah memikirkan
apa.
‘Terus om gak punya pacar?’
‘Bukannya gak punya, cuman Om belum mau pacaran.’
‘Ooooooh..’ Giby ber-oh lagi. ‘Mammie bilang om itu gagal move on! Emang move on itu apa sih Om?’
‘Duh, Brazil! Anak lo jangan diajak nonton sinetron napaaaa!’
0 komentar:
Posting Komentar