Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NEW SEASON : BAGIAN III | DIHEMPAS KE MASA DEPAN


Balita perempuan itu nampak bersandar mantap di bahu kokoh laki-laki yang menggendongnya. Matanya masih berbinar-binar meskipun pertunjukan Disney World sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Tak lelah mulutnya bicara mengenai Mermaid, Belle, Cinderella, dan Snow White yang masih terekam jelas di ingatannya. Meskipun laki-laki yang menggendong tadi tentunya belum lupa dengan pertunjukan tadi, tapi ia terlihat balik menanggapi dengan senang.

‘Cinderellanya cantik ya. Mirip Giby,’ ujarnya sambil memain-mainkan kerah baju laki-laki itu.

‘Yeeeee.. Cinderella sih langsing, gak bulet kayak Giby.’

‘Giby gak bulet tau! Kata Mammie Giby nih cuman semok aja. Orang berat Giby cuman dua puluh empat.’ Ya, yang tidak gadis kecil itu ketahui adalah angka dua puluh empat itu cukup ‘besar’ untuk ukuran bocah tiga tahun.

Laki-laki itu tertawa mendengarnya. Namun tiba-tiba ia meringis karena merasakan ‘sentakan’ kecil di bagian bawah perutnya. Menyebalkan sekali dapat panggilan alam di tengah mol seperti ini. Dengan langkah dipercepat bahkan hampir berlari, laki-laki itu segera mencari toilet terdekat.

‘Giby tunggu di sini bentar ya.’ Laki-laki itu menurunkan Giby di depan pintu toilet pria. Si Gadis Kecil itu hanya mengangguk-angguk sok ngerti. ‘Don’t go anywhere! Get it?’

‘Yes, I do,’ Gadis itu menjawab dengan gaya centil khas balita.

Giby menunggu dengan sabar. Dari duduk, berdiri, goyang kanan, goyang kiri, lari ke kanan, lari ke kiri, sudah ia lakukan. Hanya butuh setengah menit untuk membuat tangannya ditolakkan ke pinggang pertanda ia mulai bosan. Lalu tiba-tiba matanya menangkap sesosok wajah yang ia kenal. Wajah gadis yang selalu ia kenali dari puluhan foto yang dipajang di kamar pria dewasa yang bersamanya tadi. Tapi gadis itu tak melihatnya. Ia berlalu begitu saja ketika melewati Giby tadi. Dengan rasa penasarannya yang begitu membuncah, Giby segera berlari mengikuti gadis itu.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki tadi keluar dari toilet sambil menggulung lengan kemejanya. Terkejutlah ia begitu mendapati Giby tidak ada di sana. ‘Mampus! Anak orang hilang di tengah mol!’

***

Kanaya menelusuri mol sendirian. Tadinya ia berencana nonton dengan Dika. Sayangnya, tiga puluh menit sebelum jam bubaran kantor, Mr. So Busy itu mendadak kedatangan tamu Vendor dari Palembang. Sudah datang jauh-jauh begitu, mana mungkin Dika menunda-nunda pertemuan. Lagipula ia sudah kenal baik dengan Bos Kontraktor itu.

Kanaya melabuhkan langkahnya di sebuah kedai es krim dan memesan satu porsi es krim cappucino favoritnya. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada anak kecil yang menguntit dirinya. Ia baru menyadari itu ketika si anak kecil menyentuh pelan kakinya.

Ya ampun! Anak siapa ini? Kanaya terlonjak kaget begitu melihat balita gempal itu berdiri persis di belakangnya. Kanaya celingukan berharap di dekatnya ada siapa saja yang ‘mengklaim’ bahwa bocah ini anaknya. Kanaya menatap anak itu sekali lagi. Menggemaskan, pikirnya. Anak ini, Kanaya seperti pernah melihatnya. Tapi dimana ya? Anak teman kantornya-kah? Entahlah. Tapi ia yakin sekali pernah melihat bocah gempal dengan rambut ikalnya yang panjang ini.

‘Hei, nama kamu siapa?’ Kanaya berjongkok, menyamaratakan tinggi badannya dengan bocah itu.

‘Gibraille Kanaya Ailsyaqeena,’ ujarnya dengan gaya bicara yang lucu sambil memainkan ujung rambutnya. Dalam hati Kanaya berusaha menahan diri untuk tidak menggigit pipi montok anak itu. Lucu banget! Culik boleh gak sih? teriak Kanaya dalam hati. Tunggu dulu, Kanaya meyakinkan diri bahwa anak itu tadi menyebutkan ‘Kanaya’ dalam namanya.

‘Wah, nama kita sama! Nama Tante Kanaya juga.’

‘Giby tau kok. Soalnya nama Giby itu diambil dari nama Tante. Tante Kanaya kan pacar Om Babang. Om nya Giby.’

‘Hah? Om Bambang?’ Kanaya mengernyitkan alis. Bambang siapa? Setau dirinya, ia hanya pacaran dengan Dika. Nama lengkap Dika adalah Aryadika Widyono. Tidak ada ‘Bambang-Bambang’-nya. Dan Dika juga tidak punya keponakan. Dika anak tunggal dari kedua orang tuanya yang juga anak tunggal. Kanaya hanya geleng-geleng kepala melihat bocah cantik di hadapannya ini.

‘Giby sama siapa ke sini? Kok sendirian?’

‘Sama Om Babang. Tapi Om nya lagi ke toilet.’

‘Giby!’ Seorang laki-laki tau-tau menarik bocah itu ke dalam gendongannya. Aroma tubuhnya langsung menyeruak dan membuat Kanaya sedikit tersentak. Ia hafal betul aroma ini. ‘Om cariin kamu daritadi! Kan udah dibilangin jangan kemana-mana!’

‘Kairo?’ Seperti autopilot, mulut Kanaya melontarkan nama itu ketika ia melihat wajahnya. Ah iya! Kanaya baru ingat. Anak kecil ini yang ia lihat digendong Kairo beberapa hari yang lalu.

Yang disebut namanya menoleh dan sama terkejutnya. Sedari tadi ia tidak menyadari siapa yang berjongkok di sebelah Giby saking paniknya ia mencari bocah itu. Diturunkannya kembali bocah itu lalu ditatapnya si pemilik suara yang selalu ia rindukan itu.. ‘Kanaya?’

Kanaya tertawa sarkastik seakan tidak percaya. Otaknya mengingat-ingat kata-kata Kairo beberapa detik yang lalu. Laki-laki itu menyebut dirinya ‘om’. ‘Jadi kamu Om Bambang?’

Kairo tergelak. ‘Bukan Bambang, Naya. Tapi Babang. Kalo di rumah aku kan dipanggil Abang. Lupa?’

‘Ah iya.’ Kanaya manggut-manggut. ‘Jadi... Giby ini keponakan kamu?’

‘Iya. Anaknya Brazil. Kenapa? Kamu pikir Giby anakku? Ouch.. Please. Segitu bokap-bokap-nya kah mukaku ini? Yang benar aja! Aku masih available.

Kanaya tertawa melihat wajah Kairo ditekuk sedemikian rupa. Dalam hatinya ia merasa masih ada yang janggal. Apa katanya tadi? Dia available?

‘Ngomong-ngomong kamu sendirian? Tumben amat mau ngemol sendiri. Biasanya juga mesti disogok dulu.’

‘Tadinya mau nonton sama Dika. Tapi ya, you know.. Susah janjian sama Mr. So Busy. Paling sebentar lagi dia nyusul. Kamu berdua aja? Ngapain di sini? Belajar jadi bapak?’

Kairo tertawa kecil. Ditatapnya Kanaya dengan yakin. ‘Jadi masih belum yakin nih sama teori konspirasi alam?’

Kanaya kembali tertawa. Sesaat ia terdiam begitu melihat Kairo tertawa memamerkan gigi crossbite nya yang dulu selalu membuat hati Kanaya berdesir. Lalu Kanaya kembali tertawa, tidak percaya begitu menyadari bahwa hatinya lempeng saja melihat laki-laki itu tertawa.

‘Om, Giby mau mandi bola!’ suara Balita itu menyadarkan keduanya bahwa mereka tidak hanya berdua.

***

Secangkir latte, secangkir kopi hitam, dan sepotong red velvet tersaji di antara keduanya sementara Giby asyik bergelut dengan bola dan terowongan di taman bermain anak yang letaknya berseberangan dengan café.

‘Kamu tahu, aku kayak lagi naik mesin waktu,’ Kairo membuka suara. Matanya menekuri tepian cangkir kopi miliknya. ‘Empat tahun lalu aku pernah di sini. Hidangan yang sama, sudut yang sama dan aku hampir gak percaya bisa berada di sini lagi dengan gadis yang sama.. –dengan kamu.’

‘Yang tidak lagi sama hanya gaya berpakaian kita. Dan… status kita satu sama lain.’

Kairo mengangkat wajahnya. ‘Status kita memang udah beda. Tapi di sini,’ Kairo menunjuk dadanya sendiri, ‘yang ada di sini tetap seperti empat tahun yang lalu.’

Kanaya menggelengkan kepalanya. Ia masih belum juga mendapat klu tentang orang di hadapannya ini. ‘Kamu dan Navita.. –kalian bukannya sudah menikah?’

Kali ini Kairo melengos dengan sedikit kesal. ‘Jadi selama ini kamu pikir aku pergi karena memilih Navita?’

Mendengar nada bicara Kairo yang sedikit lebih tinggi, Kanaya sedikit tersentak. Itu membuat dirinya langsung dikuasai emosi. ‘Memangnya kamu berharap aku mikir gimana? Mikir kalo kamu mendadak diculik alien ke Saturnus or somewhere else? Atau kamu berharap aku mikir kalo sebenarnya kamu superhero yang secara mendadak harus nolong orang di Gaza? Tell me, what I should thought about you!’

Kairo diam. Ia hanya diam menatap Kanaya yang bertanya dengan penuh emosi. Kairo mungkin tahu apa yang gadis itu rasakan. Kairo juga tahu apa yang sebenarnya ingin gadis itu tanyakan. Ibarat kerupuk disiram air, keberaniannya bertemu dengan gadis ini menjadi menciut setelah mendengar kata-kata itu. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Empat tahun bukanlah waktu yang tidak sedikit. Selama ini Kairo tidak pernah benar-benar mencari. Ketika ia rindu, ketika ia mencari, kebingungannya untuk menjawab apa, kenapa, dan bagaimana juga makin besar. Dan itu akan membuat Kairo dilemparkan kembali pada pergumulan batin yang menyiksanya empat tahun silam.

‘Naya,’ Kairo melembutkan tatapannya, pun merendahkan nada bicaranya. ‘Terkadang ada hal yang kamu tidak perlu tahu, tapi cukup dimengerti. Yang kamu perlu tahu adalah dulu, sekarang... kuharap sampai nanti, I never stop loving you. Yang perlu kamu mengerti adalah aku gak mungkin pergi tanpa alasan. Everything happens for a reason. But not everybody knows the reason.’

Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Kembali berputar film di benaknya tentang bagaimana ia menjalani hari-hari dalam kebingungan empat tahun terakhir ini. Bagaimana setiap kali mendengar mobil berhenti di depan rumahnya, ia selalu melongkokkan kepala keluar jendela. Yang ia harapkan adalah laki-laki itu muncul dan kembali ke kehidupannya. Sampai akhirnya ia bosan kecewa dan memutuskan pindah ke apartemen setelah Ayah-Ibunya menikah kembali dan hidup di Ubud. Jadi ia tidak perlu mendengar suara mobil berhenti. Pun ketika pintu apartemennya diketuk, ia yakin bahwa yang mengetuk bukanlah Kairo.

Bagaimana setiap kali ponselnya berdering, ia selalu bergegas menatap layarnya. Berharap yang tertera di layar adalah nama yang selalu ia tanya pada Tuhan dimana keberadaanya. Namun nama itu tak kunjung muncul di layar ponselnya. Sampai akhirnya ia lelah berharap dan memutuskan mengganti nomor ponselnya. Jadi ia tidak perlu berharap tiap kali ponselnya berdering.

Bagaimana setiap kali aroma parfum itu menyeruak, ia akan seperti orang kesurupan mencari kesana kemari dan kembali tak menemukan jawaban. Sampai akhirnya ia lelah mencari dan memilih untuk tidak menemukan dan ditemukan. Dan hari ini, untuk tahu alasan kenapa hidupnya empat tahun terakhir ini begitu menyedihkan saja ia tidak berhak.

Kanaya menghembuskan napasnya kuat-kuat. ‘Tapi bagiku semuanya sudah gak penting. Semuanya sudah berlalu. Aku sudah meninggalkan hidupku yang lama. I’ve found the right man. I’ve found my future.’

Kairo tersenyum pedih. ‘Bagi kamu semuanya sudah berlalu. Tapi bagiku semuanya sama. Aku gak pernah pergi dari tempatku empat tahun yang lalu. Dari dulu sampai sekarang, semuanya tetap tentang kamu.’

Kairo melanjutkan, kali ini dengan senyum penuh ketulusan, ‘Tapi aku senang kamu sudah menemukan your Mr. Right. Aku tahu gimana Dika. Mainan saja dia jaga betul, apalagi cewek yang dia cinta. Aku lega bisa memastikan kalau kamu bahagia dengan Dika.’

‘I am.’

Mata keduanya bertemu dalam kepedihan. Entah kepedihan apa yang Kanaya rasakan. Ia sendiri tak paham. Sedetik hatinya lega, akhirnya penantian akan jawaban itu resmi berakhir. Namun sedetik kemudian, hatinya merasakan sedihnya perpisahan. Mungkin inilah perpisahan mereka yang sebenarnya. Raga Kanaya mungkin berpisah dengan Kairo empat tahun yang lalu. Tapi baru hari ini ia merasakan bahwa hati mereka telah resmi berpisah.

Begitupun Kairo. Ia merasakan pedih yang amat menyesakkan. Dari naik mesin waktu ke masa lalu, ia seolah dihempas ke masa depan. Di masa lalu gadis itu memang miliknya. Tapi tidak di masa depan. Ia harus kehilangan ketika telah menemukan. Ia mungkin telah kehilangan raga Kanaya empat tahun yang lalu. Tapi hari ini ia harus merelakan diri kehilangan hati gadis itu. Mungkin untuk selamanya. Ditambah fakta bahwa ia harus rela menganut paham pengecut bahwa ‘cinta tak harus memiliki’. Bukan karena ia tidak ingin memiliki cintanya, ia hanya tidak mampu merebut cinta itu dari sahabatnya, separuh bagian jiwanya. Laki-laki mungkin bisa saja selingkuh dari pacarnya, tapi laki-laki sejati tidak akan mengkhianti sahabatnya.

'Naya, my heart locked out. The only one who have the key is you. Only you. And will never changed.'

***

‘Om, kok Tante Kanaya sama Om ganteng yang lain?’ tanya Giby begitu melihat Kanaya kini digandeng mesra oleh Dika, laki-laki yang ia sebut om ganteng. Ia bersandar lelah di bahu Kairo. Tubuhnya basah penuh keringat saat keluar dari taman bermain.

‘Giby, Tante Kanaya sudah bukan pacar om lagi.’ Diciumnya pipi montok bocah menggemaskan itu.

‘Oooooh..’ Giby ber-oh panjang. Matanya menerawang entah memikirkan apa.

‘Terus om gak punya pacar?’

‘Bukannya gak punya, cuman Om belum mau pacaran.’

‘Ooooooh..’ Giby ber-oh lagi. ‘Mammie bilang om itu gagal move on! Emang move on itu apa sih Om?’

‘Duh, Brazil! Anak lo jangan diajak nonton sinetron napaaaa!’


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar