Kairo masih juga tidak memercayai apa yang sedang ia lihat. Ia tampak
begitu terkejut. Gadis yang selama empat tahun ini ia cari, tiba-tiba datang
begitu saja di hadapannya, di tempat yang tidak pernah ia prediksikan. Sehat,
cantik, dengan setelan kerja berwarna pink salem. Begitu pun dengan Kanaya.
Kanaya juga tidak percaya pada apa yang ia lihat. Baru beberapa jam yang lalu
laki-laki itu ia lihat dari kejauhan, bersama anak dan istrinya. Lalu sekarang,
laki-laki itu berdiri persis di hadapannya. Sehat, gagah, tetap tampan dengan
setelan jas hitam, kemeja merah marun, tanpa dasi.
Keduanya merasakan sunyi yang amat dingin. Masing-masing sibuk
menyelami kenangan empat tahun lalu yang masih tersimpan apik di benak
keduanya. Padahal di antara dua orang itu, ada Dika yang sedang terkekeh-kekeh
dengan kebetulan ini. Ia hampir tidak percaya saat Kairo alias Karyo bilang
bahwa ia dan Kanaya adalah sahabat semasa kuliah. Benar-benar kebetulan yang
aneh!
‘Aku jadi mikir, kayaknya aku sama kamu itu jodoh beneran deh, sayang.
Aku pacaran sama kamu, dan ternyata kita sahabatan dengan orang yang sama!
Kurang jodoh apa coba?’ Dika terlihat begitu senang. Sepertinya kue berangka
tujuh belas yang dibawa Kanaya tidak begitu berarti dibanding ‘kejutan’ yang
satu ini. Sementara Kanaya hanya tersenyum canggung dan menyentuh pelan tangan
Dika. Pemandangan itu tak urung membuat raut di wajah Kairo berubah tegang.
Dika mengangkat lengan kirinya melihat jam. ‘Abis ini lu kosong kan,
Yok? Dinner bertiga, yuk! Yah
itung-itung ngerayain ultah gua deh!’
‘Males ah! Masa iya gua ngekor orang pacaran!’
‘Come on, Yok! Lagian gua
udah lama gak ngobrol banyak sama lu. Dan dari keterkejutan lu berdua tadi, gua
yakin lu orang udah lama juga gak ketemu. Lu tau gua kan? Gua gak suka
penolakan. Pokoknya lu gak boleh minggat kemana-mana dulu. Kalo gak
persahabatan kita selesai!’
‘Lu kayak anak gadis aja ngancem-ngancem! Oke gua ikut. Tapi awas ya
mesra-mesraan depan gua!’
‘Hahaha dasar jomblo sirik lu! Eh, gua ke toilet dulu. Cewek gua
jangan lu macem-macemin!’
Kanaya mengernyitkan alis mendengar kata-kata Dika barusan. Jomblo
sirik? Jomblo? Jomblo apanya? Jelas-jelas tadi siang, dengan mata kepala yang
seratus persen waras ia melihat Kairo bersama anak-istrinya.
Sepeninggal Dika, suasana makin sunyi dan dingin. Entah karena AC,
atau karena kebekuan yang terbentuk secara alamiah di antara keduanya. Dan
ketika mata Kanaya tanpa sengaja bertumbukan dengan tatapan Kairo, Ia mendapati
laki-laki itu tengah menatapnya hangat.
‘Heels.. Rambut panjang.. Make Up.. Rok..’ Kairo memerhatikan
Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki. ‘Kalo bukan karena mata kamu yang
tetep sama, aku hampir gak mengenali kamu. Kamu jadi.. –jauh lebih cantik.’
Kanaya memang berubah jika dibandingkan dengan penampilannya empat tahun lalu. Rambut pendeknya berubah menjadi rambut panjang terawat. Badan kurus keringnya dulu telah berubah menjadi langsing berisi. Yang lebih gawat lagi, gaya berpakaiannya yang dulu kacau sekarang jadi lebih trendy.
Kanaya tersenyum samar. ‘Kamu juga berubah. Jadi lebih rapi dan
terlihat dewasa.’
Kairo juga bisa dikatakan berevolusi. Kalau dulu dia suka pakai yang lecek-lecek dan nyeni, sekarang ia sudah membiasakan diri dengan celana katun, kemeja, dan sesekali pakai jas. Sorot matanya makin tajam. Mungkin itu efek dari tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari empat tahun yang lalu.
Kairo balik tersenyum. Ia seperti tidak bisa menahan diri. Hari ini,
ia merasa seperti ada sesuatu hal gaib yang menarik ujung-ujung bibirnya hingga
ia tidak bisa berhenti tersenyum. Ia sangat bahagia. Bahagia bisa melihat mata
itu lagi. Meskipun sekarang mata itu tidak lagi berbinar untuk dirinya, tapi
Kairo tetap bahagia. Ia bahagia hanya dengan melihat matanya.
‘Apa-apaan nih senyum-senyum? Pada ngomongin gua ya?’ suara renyah
Dika menarik Kairo kembali ke daratan kesadaran. Kairo hanya menanggapinya
dengan melengos. Hafal mati ia dengan tabiat Dika yang selalu Ge-Er itu.
Tanpa menghiraukan entah apa tanggapan Kairo, Dika segera menyibukkan
diri dengan dua onggok lilin yang menancap di atas kue. Ia mencabut lilin
tersebut dan membungkusnya dengan sebuah tisu.
‘Cuman cewek gua nih yang masih nganggep gua tujuh belas. Cuman sama
dia juga gua berasa delapan tahun lebih muda.’ Lalu disimpannya lilin itu di
laci meja kerjanya. ‘Langsung yuk, entar macet.’ Dengan luwes, tangannya segera
melingkari pinggang Kanaya. Tak urung itu membuat Kairo sedikit tertohok dan
menelan ludah.
Dika berhenti sebentar di depan meja kerja sekretarisnya, Anita.
Sekedar memberitahu Anita untuk membawa pulang kue ulang tahun di ruang
kerjanya. Kanaya kenal baik Anita. Ia adalah seorang janda muda beranak satu
yang sangat solehah. Pakaiannya selalu modis meskipun berhijab. Satu-satunya
alasan kenapa Anita belum jadi korban serangan rayuan dan tebar pesona Dika
adalah karena energi merayu Dika sudah habis untuk mengejar Kanaya.
Kairo memerhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Yang laki-laki
tangannya melingkari pinggang si perempuan. Yang perempuan, terlihat bahagia
berada di sisi si laki-laki. Sebuah pemandangan yang indah, sekaligus
menyakitkan. Dalam hati ia cukup senang dengan fakta bahwa Kanaya menjalani
hidup dengan sangat baik. Ia bahkan bertemu laki-laki sebaik Dika. Luar biasa.
Ternyata benar kalau bumi ini berputar. Hidup pun berputar. Empat tahun yang
lalu, mungkin beginilah yang Kanaya rasakan. Kanaya harus berpura baik-baik
saja menyaksikan kebersamaan Kairo dengan Navita. Kini, Kairo lah yang harus
merasa panas, sesak, meskipun turut bahagia melihat kebersamaan Dika dan
Kanaya. Sialan, ternyata karma itu
beneran ada.
***
Restoran Italia di sebuah hotel berbintang menjadi lokasi kedua reuni
dadakan tiga makhluk itu. Dika dan Kairo rasanya tak habis-habis bercerita
tentang masa kecil mereka di Bandung. Keduanya saling membongkar aib. Kairo bersemangat menceritakan bagaimana jeleknya Dika waktu kecil. Dekil, gosong, dan ingusan. Tak mau kalah, Dika pun membongkar borok-borok Kairo masih kecil. Bagaimana cengeng dan manjanya laki-laki itu semasa kecil. Tentu tak lupa ia mengumumkan kebiasaan Kairo yang masih ngompol dan minum susu pakai dot sampai kelas tiga SD. Kanaya mendengarkan sambil mengunyah
steak yang sudah dipotongkan Dika terlebih dahulu. Sesekali ia tertawa begitu keduanya saling melempar hinaan.
Seleranya tidak berubah,
batin Kairo yang sesekali melirik ke gadis di hadapannya. Gadis itu masih
menyukai steik. Ekspresi wajahnya ketika pepper
sauce lumer di mulutnya tetap sama. Sebersit senyum terulas di bibir Kairo
ketika ia menyeruput kopinya.
Seleranya tidak berubah, batin
Kanaya yang matanya tak sengaja menangkap gambar laki-laki itu menyeruput kopi
hitam. Kebiasaan dirinya yang tidak pernah menyentuh makanan saat sedang
ngobrol pun masih tetap sama.
‘Sayang, ceritain ke aku deh aib Karyo waktu kuliah. Pasti segambreng
kan, yang? Iya kan?’ Dika mengalihkan tatapannya ke Kanaya yang sedang asyik
mengunyah daging. Yang diajak bicara terlihat sedikit bingung. Matanya yang
bulat membelalak. Membuat mimiknya terlihat sangat lucu.
‘Setauku sih dia playboy banget. Itu aib dia yang paling menonjol,’
ujar Kanaya setelah berhasil menelan potongan daging di mulutnya. Sama sekali tidak menyadari bahwa kata-katanya membuat
kairo sedikit tersentak.
‘Oh ya? Tuh kan bener apa kataku! Karyo ini udah bakat playboy dari kecil. Masa iya mbak-mbak
asuhnya aja ditaksir!’ Dika berkata dengan menggebu-gebu. Laki-laki yang satu
ini memang sangat suka bicara. Kanaya sempat heran dengan fakta bahwa Dika
belum juga direkrut jadi presenter acara gosip atau penyiar radio.
‘Siska, Mitha, Gina, Patricia, Sastha, banyak banget mantan pacarnya!
Mantan-mantan dia kalo dikumpulin bisa bikin dua grup marawis,’ Kanaya
menambahkan sambil terkekeh-kekeh bersama Dika.
Kairo menegakkan badannya. Posisi badannya sedikit dicondongkan ke
Kanaya. ‘Kamu masih inget semua ya. Berarti masih inget juga dong siapa pacar
terakhir yang aku cinta banget?’
Kanaya mengerjap-ngerjapkan mata, kaget dengan pertanyaan yang
ditujukan ke arahnya. Terlebih lagi mata itu menatapnya dengan tajam, tapi
penuh makna. Entah apa tujuan manusia satu itu menatap Kanaya demikian.
‘Eh, umm.. ya Navita lah! Siapa lagi? Eh iya, tadi siang aku ketemu loh
sama Navita. Apa kabar dia? Udah berapa bulan kandungannya? Tadi aku gak sempat
ngobrol karena dia buru-buru.’
Kairo mengernyitkan alis. ‘Navita baik-baik aja. Kalo gak salah
kandungannya udah delapan bulan.’
‘Nah kebetulan banget!’ Suara heboh Dika memecah kebisuan. ‘Sayang,
tadi siang Karyo bilang kalo empat tahun lalu dia punya cewek yang dia cintaaaa banget.
Tuh, cincin yang harusnya dia kasih empat tahun lalu aja masih dia bawa-bawa. Empat
tahun lalu kamu masih kuliah kan? Dia pelit banget ngasih tau aku. Kamu tahu
gak siapa ceweknya? Penasaran nih!’
Kanaya terdiam mendengar kalimat Dika yang memberondongnya. Cincin? Rasa-rasanya ia tidak asing dengan kisah itu. Kisah cincin yang tidak pernah diberikan si laki-laki. Oh tidak! Jangan
bilang cincin yang itu! Jangan bilang cincin yang diperlihatkan laki-laki itu
padanya empat tahun yang lalu! Jangan bilang kalau dia masih menyimpan cincin
yang tidak pernah ia berikan itu!
Dan dunia seakan ingin berkhianat padanya. Saat melirik laki-laki di
hadapannya itu, Kanaya mendapatinya sedang memegangi dua buah cincin hitam yang
terikat di rantai kalung yang ia kenakan. Betul-betul cincin yang sama dengan
yang pernah ia lihat empat tahun yang lalu. Kalau memang betul nama dirinyalah
yang ada di cincin itu, kenapa empat tahun yang lalu ia tidak muncul? Kenapa
laki-laki itu muncul kembali setelah Kanaya telah memberikan hati sepenuhnya
pada Dika?
‘Hei! Sayang? Kok bengong? Kamu gak tahu ya?’ Dika menyentuh pelan
tangan Kanaya. Ditatapnya Kanaya dengan bingung.
Kanaya menggeleng lalu balas menggenggam tangan Dika. ‘Kayaknya aku
gak tahu cewek mana yang Kairo maksud. Yang aku tahu, empat tahun bukan waktu
yang singkat. Kalaupun dia ketemu lagi sama cewek itu, mungkin itu semua udah
gak ada gunanya. Karena waktu terus berjalan. Begitu juga dengan perasaan. Mungkin masing-masing juga sudah punya kehidupan sendiri. Jadi kenangan ya tinggal kenangan. Cuman sejarah yang gak akan pernah terulang.'
'Tuh, dengerin! Lu udah harus move on, Yok!'
Kairo mengulum senyum sambil menyeruput kopinya. Sejenak ia menunduk
diam, lalu kembali ditatapnya Kanaya tepat di kedua bola matanya. ‘Bukankah
kita boleh punya pendapat masing-masing? Bumi memang terus berjalan. Yang mungkin kamu lupa adalah teori bahwa bumi itu bulat. Meskipun dia mungkin udah berlalu dari kehidupanku, kalau aku diam dan menunggu di titik awal, suatu saat dia kan kembali lagi ke titik itu. Dan menurutku jodoh adalah misteri. Kamu juga lupa kalau alam
bisa berkonspirasi sedemikian rupa meski manusia menolak. Dan aku masih
percaya, dia dan aku adalah jodoh. So
we’ll see, biarlah konspirasi alam yang bekerja.’
Duniaku berhenti ketika aku tak lagi bisa menemukan kamu. Waktuku berhenti ketika ia tak lagi menyatukan aku dan kamu. Tapi kau terus berjalan. Kau terus berjalan empat tahun lamanya sementara aku diam. Aku hanya diam dan menunggu, bermodalkan kepercayaan bahwa suatu saat aku akan bertemu lagi denganmu. Hari ini, alam telah berkonspirasi untuk mempertemukan aku denganmu. Kau tahu? Aku makin percaya kalau kau dan aku memang ditakdirkan untuk menjadi kita.
0 komentar:
Posting Komentar