Sabtu-Minggu tanpa lembur adalah semacam serpihan surga nomor sekian
bagi Kanaya. Setelah Senin sampai Jumat ia harus bangun pagi, dituntut
berpenampilan menarik, berlomba-lomba dengan ratusan ribu bahkan jutaan penduduk ibu kota
mengarungi jalan raya yang macet, akhirnya
ia punya dua hari untuk santai, berleha-leha dan bebas make up. Bonus rintik hujan yang makin membuat kasur jauh lebih
menarik dibanding peralatan bersih-bersih apartemennya.
Kanaya masih meringkuk dibalik selimut tebalnya ketika bel dipencet
dengan bar-bar oleh entah siapa. Siapa sih yang berani mengganggu kegiatan
sakral Sabtu pagi begini? Ia bersungut-sungut bangun dari tempat tidurnya.
Masih mengenakan piyama tidur, ia berusaha meraih pintu
dengan sebelah mata masih terpejam.
‘Sayaaaaang!’ Dika menerobos masuk begitu pintu dibuka. Tangannya
menenteng sebuah papper bag besar.
Kanaya masih belum loading sepenuhnya.
Ia berjalan sempoyongan mengikuti Dika menuju sofa ruang tamu.
‘Kamu ngapain pagi-pagi ke sini,’ Kanaya duduk di sofa sambil menguap.
Diliriknya jam yang tergantung di dinding. ‘Masih setengah tujuh.’
Yang diajak bicara malah menekuk wajahnya sedemikian rupa. Bibirnya dimajukan pertanda ada
yang tidak ia setujui. ‘Memangnya gak boleh ya?’
‘Ini kan jadwalnya kamu main golf.’ Kanaya bergerak menuju wastafel
lalu sikat gigi dan membasuh muka di sana. ‘Untuk ukuran penggila golf macam
kamu, Sabtu pagi gak main golf dan lebih milih ngendon di ruang tamuku itu
cukup mengherankan.’
‘That’s the point!’ Dika
mengangguk-angguk mantap. Alisnya dinaik-turunkan dengan cepat. Membuat
ekspresi wajahnya tampak sangat lucu.
‘What?’ Kanaya masih belum ngeh. Lalu matanya mendapati Dika
mengangkat tinggi-tinggi papper bag yang
ia bawa. Tak lama kemudian Dika menjerengkan sebuah polo shirt putih yang dikeluarkannya dari tas kertas itu, sama
dengan yang ia kenakan. ‘Oh, no. Dika,
please jangan yang itu!’
‘Will be a long day. Come
on!’
***
Mengenakan setelan olahraga berwarna senada dengan yang dikenakan
Dika, Kanaya pasrah duduk di sebelah Dika yang sedang mengemudi. Separuh jiwaya
terkungkung di badan, separuhnya lagi masih berada di kasur. Mandi tidak juga
membuat dirinya tampak lebih fresh. Dika
bukannya tidak paham dengan ketidaksukaan Kanaya akan olahraga. Hanya saja hari
ini sangat penting. Ia ingin sekali
menghabiskan hari ini bersama gadis itu.
Rintik hujan mulai reda. Mereka tiba di sebuah padang golf yang luas
nan indah. Hijaunya rumput, indahnya danau buatan, perlahan membuat wajah Kanaya berubah
cerah. Hampir setiap hari melihat pemandangan Jakarta yang macet, menekuri
layar komputer dan berkas-berkas, pemandangan hijau seperti ini jadi semacam
oase di tengah gurun bagi mata Kanaya.
‘Kamu kenapa baru sekarang sih ngajak aku ke sini? Ini keren! Aku langsung jatuh cinta sama tempat ini.’
seru Kanaya ketika turun dari mobil.
Dika tertawa kecil sambil menurunkan tas stik golf-nya yang sebesar
anak beruang grizzly. ‘You hate doing sport, remember?’
Dengan wajah yang berseri-seri, Kanaya menuju teeing ground sambil berlari kecil. Dika hanya geleng-geleng kepala
melihat tingkah Kanaya yang mendadak seperti anak TK diajak ke Disneyland. Terlihat norak memang, namun itu membuat Dika senang. Perlahan ia menghembuskan nafas lega. Syukurlah Kanaya menyukai tempat ini.
‘Wah! Jadi ini calonnya Dika?’ beberapa orang laki-laki langsung
menyambut mereka ketika tiba di teeing
ground. Kebanyakan dari mereka seusia dengan Dika.
‘Iya dong,’ Dika melingkarkan tangannya di pundak Kanaya. Ia berdehem-dehem lalu membuat suaranya jadi lebih berat. ‘Baiklah
saudara-saudara sekalian yang sebagian besar masih jomblo, perkenalkan ini
Kanaya, bakal calon bini gua. Insya Allah. Amin.’
Ucapan Dika itu disambut gelak tawa. Kanaya menunduk menyembunyikan
wajahnya yang sepertinya mulai memerah. Butuh beberapa menit bagi Kanaya untuk
berkenalan satu per satu dengan teman-teman Dika. Selalu ada celetukan yang
dilontarkan tiap kali mereka berjabat tangan. Dari mulai Dika pakai dukun apa,
Dika pakai jurus gombal yang mana, sampai yang meyakinkan apakah Kanaya tidak
sedang menderita rabun senja.
‘Kanaya, you should be a great
woman,’ ujar salah seorang yang seingat Kanaya bernama Borneo. ‘Lu bisa
bikin si Don Juan wanna be ini insaf.
Akhirnya cewek-cewek di pesta merdeka dari gangguan dan gombalan basi si Tengik
ini.’
‘Hmm.. padahal dalem hati lu mau bilang ‘Thank Kanaya, akhirnya gua bebas dari anceman jadi bujang lapuk!’’
Dika balas meledek.
Paham betul Kanaya bagaimana Dika. Laki-laki itu selalu dan suka
sekali jadi pusat perhatian dimanapun ia berada. Ia selalu suka dengan pesta
dan keramaian. Kontras sekali dengan kepribadian Kanaya yang selalu berusaha
menjadi yang terabaikan. Jika tempat dimana Dika berpijak adalah pusat, maka
tempat dimana Kanaya berpijak adalah pojokan yang tersembunyi. Kehadiran Dika
mau tak mau membawa perubahan besar bagi Kanaya. Kemana Dika pergi, kecuali
urusan pekerjaan, ia tak pernah tak menyertakan Kanaya di sisinya. Reuni, gathering sana-sini, pesta sana-sini,
Kanaya sudah mulai terbiasa.
‘Tapi kamu harus hati-hati lho, Kanaya,’ laki-laki lain bernama Alfred
sedikit mendekatkan tubuhnya ke Kanaya seraya berkata pelan. ‘Korban PHP dia
suka balas dendam.’
Kanaya tertawa mendengarnya. ‘Tenang, Mister. Saya udah terlatih kok.’
Kanaya juga paham sekali dengan apa yang dimaksud Alfred. Dua bulan
pertama kedekatannya dengan Dika, seringkali ia terima telepon gelap atau
sekedar SMS nyasar yang tidak ada angin tidak ada hujan tau-tau mencaci
dirinya. Mungki sifat Dika yang sangat ‘ramah’ terhadap banyak perempuan
seringkali membuat mereka salah paham. Sebagian mengira bahwa Dika semacam naksir
pada mereka. Bagaimana tidak? Perempuan mana yang tidak salah paham kalau
seorang laki-laki, tampan pula, mau-mau saja mengantar-jemput dan sesekali
ngajak dinner atau nonton? Kanaya sampai tidak bisa menerka
ada berapa banyak mantan pacar Dika.
‘Tadi gua liat si Jean ‘ngerumput’ juga. Hati-hati lho. Yang satu itu
dendamnya masih membara.’
‘Cukup meracuni pikiran pacar gua wahai saudara-saudara sebangsa dan
sesama pecinta golf. Gua mau ngegolf dulu. BER-DU-A’
‘Yaelah songongnya yang punya pacar.’
***
Dika memulai dengan menjelaskan satu persatu peralatan golf yang ia
bawa. Kanaya mendengarkan setiap penjelasan dengan sangat antusias. Dalam
permainan golf hanya butuh klab (stik golf) dan bola golf. Juga pasak sebagai
peralatan tambahan. Ada tiga jenis klab yang biasa digunakan dalam permainan
golf. Wood untuk pukulan jarak jauh, Iron untuk pukulan jarak menengah, dan Putter untuk melakukan putting di atas green. Green adalah area putting
dimana pemain harus memasukkan bola ke dalam hole menggunakan putter. Untuk
permulaan, Dika menyodorkan sebuah klab jenis wood kepada Kanaya.
‘Pertama, kamu harus melakukan tee
shot dari sini.’ Dika kembali menjelaskan secara garis besar jenis-jenis
pukulan pada permainan golf. Teeing shot adalah
pukulan awal yaitu memukul bola pada tee (pasak)
yang dilakukan di atas teeing ground.
Approaching shot adalah pukulan yang dilakukan untuk mencapai green. Putting adalah pukulan untuk
memasukkan bola ke dalam hole. Putting adalah
pukulan tersulit bagi sebagian besar pegolf.
‘Oh, iya. Kamu harus pakai sarung tangan.’ Dika memakaikan sarung pada
tangan kiri Kanaya. Lalu ia mengambil posisi berdiri persis di belakang Kanaya.
Gadis itu sedikit gugup ketika merasakan tubuh Dika tak berjarak dengan
punggungnya.
‘Untuk main golf, kuda-kuda kamu harus bener. Supaya pukulan kamu
nanti bagus.’ Dika mengatur posisi kaki Kanaya agar mendapatkan kuda-kuda yang
baik dan benar. Kemudian ia mengajarkan pada Kanaya bagaimana memegang dan mengayunkan
klab dengan benar supaya pukulan yang dihasilkan bagus.
‘Kita di hole par empat.
Kamu harus melakukan sekali teeing shot, sekali
approaching shot, dan seenggaknya dua
kali putting. Lebih sedikit pukulan
lebih baik. So, tee shot kamu harus
jauh. Kamu pukul ke arah bendera kuning itu. Get
it, baby?’
‘Oke, kayaknya aku bisa. Let me
try it myself.’
Dika sedikit menjauhkan tubuhnya dari Kanaya. Gadis itu mengatur
kuda-kuda sedemikian rupa lalu mencoba mengayunkan klab dua kali sebelum
memukul bola. Wush! Kanaya menyipitkan mata melihat apakah bola jatuh cukup
dekat dengan green. Namun kemudian
alisnya berkerut ketika sadar Dika tengah mengikik-ngikik di belakangnya.
‘Sayang, bolanya masih di tee.’
***
Kanaya baru mau berhenti main golf ketika matahari mulai tinggi. Gadis
itu tampak sangat menikmati ‘kursus kilat’ main golf-nya pagi ini. Ia sampai
lupa kalau tadi Dika telah merusak ritual Sabtu-Minggu paginya. Dika tersenyum
puas melihat Kanaya tampak senang.
‘Minggu depan kita harus ke sini lagi. Kita harus bertanding!’ ujar
Kanaya berapi-api ketika turun dari golf
car.
‘Hmm.. yakin bisa ngalahin aku? Hole
in one aja belum bisa,’ ledek Dika. Hole
in one adalah memasukkan bola dari teeing
ground hanya dengan satu pukulan.
‘Dua kali latihan lagi, aku pasti udah lebih hebat dari kamu,’ Kanaya
berkata mantap.
Dika meraih kepala gadis itu lalu mencium puncaknya dengan gemas. ‘Uh,
bau matahari. Eh, kamu tunggu di mobil ya. Aku mau ke toilet dulu.’
Kanaya menunduk menyembunyikan senyum. Ia selalu suka tiap Dika
melakukan kebiasaan itu; mencium puncak kepalanya. Bersama Dika, Kanaya
sedikit-banyak jadi tahu bagaimana rasanya jadi putri dalam negeri dongeng.
Ternyata ia tidak perlu menjadi seorang putri untuk mendapatkan seorang
Pangeran.
Kanaya melanjutkan perjalanan menuju mobil Dika. Ia menyeret tas stik
golf yang besarnya hampir tiga perempat tubuhnya sendiri. Sesekali ia tersenyum
mengingat hari ini. Akhirnya ada satu jenis olahraga yang ia sukai. Ia segera
membuka bagasi mobil dan mengenyakkan tas stik golf besar itu di sana. Kanaya kaget
sampai hampir terjungkal begitu selesai menutup bagasi . Tiba-tiba di depannya
sudah berdiri dua perempuan yang tidak Kanaya kenal. Yang satu sangat cantik
bak selebriti Korea, yang satu berambut pendek nyaris cepak yang tidak kalah
cantiknya. Dua orang itu tersenyum. Meskipun senyum itu tidak menunjukkan
keramahan.
‘Kamu yang dateng ke sini bareng Dika?’ tanya si selebriti Korea.
‘Saya,’ Kanaya menjawab dengan ragu. ‘Ada apa ya?’
Si selebriti Korea melengos dengan kentara sekali. Ia berdecak heran
sambil kemudian memerhatikan Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki bak
seorang fashion police profesional.
‘Ternyata Dika beneran lagi kena sindrom drama Korea.’
‘Sindrom drama Korea? Apaan tuh, Jean?’ tanya si rambut cepak. Jadi ini yang namanya Jean, pikir
Kanaya.
‘Masa lu gak tau sih? Di drama Korea kan sering banget tuh cowok cakep
dan tajir naksir cewek gak seberapa.’
Glek! Kanaya menelan ludah. Jean memelototi Kanaya sampai-sampai
Kanaya khawatir mata gadis itu akan mencelat keluar dari rongganya. Baru kali
ini dirinya berhadapan langsung dengan perempuan dari masa lalu Dika. Terlebih
lagi begitu Kanaya melirik tas berisi klab yang tergantung di bahu Jean. Gadis
itu tadi menyebut-nyebut soal drama Korea. Apa nanti ia akan bernasib seperti
Geum Jan Di yang di-bully habis-habisan?
Apa ia akan dipentung pakai klab? Atau ia akan jadi seperti Gil Ra Im yang di-bully secara verbal karena tidak sesuai
kasta Kim Joo Won?
‘Wah ada acara ramah tamah nih,’ Dika muncul dengan wajah polos. ‘Jadi
Jean udah kenalan sama pacar gua?’
Jean melengos untuk kedua kalinya. ‘Gua sih gak
minat kenalan. Tadinya gua cuman mau ngasih saran ke elu supaya rajin-rajin bawa
cewek kucel lu ini ke salon. Masa iya lu highclass sementara penampilan pacar lu kayak…
ya you know what I mean.’
Dika tersenyum ramah. ‘Thanks for your concern. Tapi gimana ya? Gua takut ngajak Kanaya ke
salon. Dia begini aja gua udah tergila-gila. Gimana kalo dia perawatan ini itu?
Bisa-bisa gua gila beneran.’
Jean melengos untuk ketiga kali. Matanya
mengerjap-ngerjap tak percaya mendengar kata-kata Dika.
‘Lagi pula ya, Jean, daripada duitnya abis buat ke
salon. Mending ditabung lah buat nambahin modal nikah. Biaya nikah mahal lho.
Lamaran, sewa gedung, sewa EO, belum catering
service-nya. Apalagi nanti kalo
udah punya anak. Beli susu, biaya pendidikan, asuransi kesehatan. Aduh, rambut
gua bisa botak seiring botaknya dompet gua. Eh, iya. Entar kalo gua nikah elu
jangan gak dateng ya! Amplopnya yang gede. Kan duit elu banyak. Itung-itung
ngebalikin modal nikah gua lah. Jangan lupa…’ belum sempat Dika melanjutkan
kalimatnya, Jean dan temannya sudah melenggang pergi.
‘Eh, Jean! Gua belum selesai ngomong nih!’
Kanaya mencubit pelan bagian perut Dika. ‘Ada-ada
aja sih!’
Dika menggosok-gosok bagian perutnya yang dicubit
sambil cengengesan. ‘Ngeladenin orang gila emang mesti gila juga.’
Mau tak mau Kanaya tergelak. ‘By
the way, si Jean itu kayaknya dendam berat. Dosa apa kamu sama mantan kamu
itu?’
‘Hei, dia bukan mantan pacarku! She’s
just obsessed with me. Asal kamu tahu ya, aku baru dua kali jatuh cinta;
sama cinta pertamaku dan kamu. Diantara keduanya, aku baru pacaran satu kali.’
Kanaya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Namun tak lama
kemudian tawanya meledak sejadi-jadinya. ‘Sumpah, itu jokes paling gak masuk akal yang pernah aku denger dari kamu!’
Dika menaikkan sebelah alisnya. ‘Hm.. ini nih. Orang serius dibilang
bercanda, orang bercanda dibilang serius. Problem.’
***
Kanaya berputar-putar di kamarnya sendiri. Sesekali ia menempelkan
telinga ke daun pintu untuk mendengar apa yang sedang dikerjakan Dika di luar.
Manusia itu telah membajak apartemennya sejak pukul lima sore, sepulangnya
mereka dari rangkaian panjang acara hari itu. Makan siang di café, melakukan
relaksasi, karaoke –tidak, mendengarkan Dika bernyanyi selama tiga jam. Kanaya
si empunya apartemen justru dikurung di dalam kamar bak seorang tawanan.
Jam di dinding kamarnya sudah hampir menunjukkan pukul tujuh malam.
Entah apa yang sedang dikerjakan Dika. Kanaya sudah bingung mau melakukan apa
lagi. Menonton tivi, mandi, baca buku, tidak juga mengalihkannya dari rasa
penasaran. Diteleponnya Dika sekali lagi.
‘Kamu lagi ngapain sih?’
‘Just dress up and get yourself
ready to be a Princess. Okay? Stop questioning!’ Tut! Telepon dimatikan.
Kanaya melirik kotak besar dengan pita coklat di atas kasurnya. Haruskah ia
mengenakan gaun itu?
***
Entah sudah berapa kali Kanaya mematut diri depan cermin. Tidak
disangka tube dress warna peach ini pantas ia kenakan. ia juga
beberapa kali memastikan bahwa make up-nya
tidak terlalu tebal. Jantung Kanaya
berdegup sedikit lebih kencang ketika bunyi ‘klik’ terdengar dari pintu
kamarnya. Itu artinya ia sudah boleh keluar dari kamarnya. Perlahan Kanaya
memutar knop pintu dan keluar dari kamarnya.
Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan begitu melihat apa yang
sudah dilakukan Dika terhadap apartemennya. Sofa-sofa disingkirkan. Semua lampu dimatikan. Sumber
cahaya yang ada hanya dari deretan lilin yang disusun membentuk jalan dari
pintu kamarnya menuju sebuah meja makan lengkap dengan tiga buah lilin panjang di atasnya. Wangi
bunga mawar meruap di seluruh penjuru ruangan. Entah berapa batang mawar yang harus berkorban malam ini. Dika menutupi jalan yang ditapaki Kanaya dengan kelopak mawar merah. Ini
seperti dongeng yang jadi kenyataan.
Kanaya berjalan dengan gugup. Kakinya sedikit gemetar. Bukan karena higheels yang ia kenakan terlalu tinggi,
tapi karena pemandangan apartemennya ini. Juga karena laki-laki yang sedang berdiri
menunggu dirinya di ujung sana. Dika menunggunya dengan sebuket mawar merah di
tangan. Ia bahkan mengenakan tuksedo betulan. Bukan Aryadika Widiyono namanya
kalau tidak berlebihan seperti ini. Tapi mau tak mau, laki-laki itu berhasil
membuat hatinya terasa hangat. Wajah Dika seratus kali lebih tampan di tengah
temaram lilin yang meneranginya.
'This is for you,' Dika menyerahkan buket mawar itu padanya.
‘Kamu.. ‘ Kanaya kehilangan kata-kata ketika bertatap muka dengan
Dika.
‘First, kita makan dulu ya.
Ternyata masak dan beres-beres seharian itu bikin laper berat.’
***
‘Ini sirloin steak paling
enak yang pernah mampir ke lidahku. Ah senangnya punya pacar jago masak.
Kayaknya aku harus mulai melupakan Chef Arnold. See? I have Chef Aryadika!’ seru Kanaya setelah mengelap mulutnya
dengan serbet.
‘Nice to hear it.’ Dika
tersenyum dari balik gelas wine-nya. Sesungguhnya ia sedang deg-degan setengah
mati. Di saku dalam tuksedonya, tersimpan sebuah kotak cincin yang akan ia
tawarkan pada Kanaya. Apalagi kini gadis itu tengah menatapnya dengan mata yang
berkilauan. Sialan, ternyata aku masih
deg-degan juga, umpat Dika dalam hati.
Ia tidak boleh gagal. Malam ini sudah ia rencanakan sejak seminggu
yang lalu. Ia bahkan kursus kilat agar bisa memasak sirloin steak yang enak untuk Kanaya. Malam ini adalah malam yang
sangat penting. Setidaknya bagi Dika.
Setelah berkali-kali merapalkan doa dalam hati, akhirnya Dika
memberanikan diri membuka suara. Dikeluarkannya cincin itu, lalu diletakkannya
di depan Kanaya. ‘Today is the day. Hari
kedua ratus.’
Hari kedua ratus? Ah, Kanaya bahkan sudah lupa kalau kesepakatan
seperti itu pernah ada. Seperti ada yang menekan tombol rewind, otak Kanaya langsung berputar ke malam dua ratus hari lalu.
***
Malam itu adalah minggu ketiga Kanaya mulai intens berhubungan dengan
Dika, sejak ia menyapanya di basement beberapa waktu lalu. Mereka menghabiskan malam minggu dengan menyaksikan sebuah konser Jazz
dari bangku VVIP. Malam itu Dika tampak gelisah. Ia lebih banyak diam dan beberapa
kali Kanaya mendapatinya tengah menyeka keringat. Sangat mengherankan mengingat
kepribadian Dika yang sangat pede, ramai dan suka bicara.
Konser sudah hampir berakhir ketika Dika mulai membuka suara. ‘Kanaya,
mungkin kamu gak akan percaya apa yang bakal aku bilang,’ Dika berhenti
sejenak. ‘Sejak kamu menutup teleponku pagi itu, aku mulai berpikir apakah kamu
orangnya. Kamu bikin kinerjaku berantakan akhir-akhir ini. Di tengah meeting, pikiranku sering kali blank karena ingat tatapan mata kamu. Kantong mataku jadi besar karena hampir setiap
malam aku sulit tidur memikirkan bagaimana caranya masuk ke kehidupan kamu.
Tiba-tiba kamu muncul di mana-mana. Di berkasku, di monitor PC-ku, di piring
makanku, bahkan wajah klien-klienku berubah jadi wajah kamu. Aku rasa aku
hampir gila.’
Ragu-ragu Dika meraih tangan Kanaya. Ditatapnya mata Kanaya dengan
segenap perasaannya. ‘Kana, maukah kamu keluar dari imajinasiku? Bertanggungjawablah
karena kamu sudah bikin aku hampir gila.’
Terkejut, tapi Kanaya berusaha tenang. Hati-hati ia menarik pelan
tangannya. Ia balik menatap mata Dika. ‘Aku gak yakin dengan perasaanku
sendiri.’
Dari mulut Kanaya mengalirlah kisah empat tahun yang lalu. Tentang
laki-laki yang membuatnya selalu menunggu tanpa kepastian. Tentang laki-laki
yang telah memangkas bunga yang baru akan mekar di hatinya. Tentang dirinya
yang masih belum bisa melupakan meski tahu itu hanya akan membuat hatinya
bertambah sakit.
Dika tersenyum tulus. ‘Aku tahu. Aku gak akan maksa kamu untuk balas
perasaanku. Terima kasih kamu sudah jujur.’
Laki-laki itu diam sesaat. Tidak bisa dipungkiri ia menelan kekecewaan
cukup besar dalam hatinya. Suara si penyanyi Jazz itu terdengar sayup-sayup
bagai menyanyi dari seberang Pulau Jawa. Seorang Aryadika Widiyono yang tidak
pernah mengalami penolakan dari segi apapun untuk pertama kalinya ditolak
cintanya oleh seorang wanita. Namun kemudian Dika tertawa kecil. ‘Sial, aku
terpaksa harus ke psikiater deh.’
‘Dika,’ Kanaya menyebut namanya dengan lirih. Gadis itu tampak
menimbang-nimbang. Tak dipungkiri beberapa hari ini ia begitu menikmati
pertemanan dengan Dika. Laki-laki itu memperlakukannya dengan sempurna. Tapi
sampai saat ini ia masih dalam tahap ‘nyaman’ bersama Dika. Hanya itu. Apa
mungkin bersama dengannya sedikit lebih lama, bisa membuat Kanaya bisa membuka
hatinya lagi untuk orang lain? Kanaya menghela napas. Ditatapnya Dika
dalam-dalam. ‘Mm.. Boleh aku belajar mencintai kamu?’
Mata Dika membesar. Secercah harapan kembali muncul. Gadis itu memberi
lampu hijau untuk dirinya. Dika menghembuskan napas pelan. Ia sekuat mungkin menahan
diri sendiri agar tidak memekik senang. ‘Belajar mencintai aku?’
‘Aku tahu ini terdengar aneh. Tapi aku ingin belajar mencintai kamu.
Mungkin kamulah orang yang bisa menarikku lepas dari keterikatanku dengan masa
lalu. Beri aku waktu dua ratus hari untuk melupakan masa lalu dan menapaki masa
depan dengan kamu.’
Dika kembali memberanikan diri meraih jemari Kanaya. ‘Baiklah, aku
akan bantu kamu belajar. Kamu bisa belajar sampai kapanpun. Dua ratus, tiga
ratus hari, gak masalah. Aku akan ajari gimana cara mencintaiku. Di hari kedua ratus nanti, kamu bisa memutuskan apakah kamu sudah bisa menerimaku sepenuhnya. Kamu bebas memilih untuk meninggalkanku atau terus berada di sisiku.’
'Baiklah. Terima kasih kamu sudah mau mengajariku,' Kanaya tersenyum lega. Dika pun tak kalah leganya.
‘Jadi.. kita
pacaran?’ Dika memastikan sekali lagi.
Kanaya mengangguk pasti. ‘Kita pacaran.’
‘Yes!’ Dika meninju udara
penuh semangat. Ia tertawa lega sekaligus senang. Dengan tidak tahu malu ia
menyolek penonton di depan dan sebelahnya. ‘Mas, mbak, saya baru jadian nih
sama cewek di sebelah saya! Akhirnya saya diterima juga! THANKS GOD!’
***
Kanaya masih tersenyum mengingat bagian yang terakhir. Dua ratus hari
yang lalu ia masih tidak terbiasa dengan tindak-tanduk Dika yang spontan.
Sekarang rasa-rasanya ia sudah sangat terbiasa bahkan kadang ia merindukan
kespontanan Dika kala ia harus ditinggal dinas ke sana-sini.
Dika mencoba santai. Dalam hatinya ia menguatkan hati untuk
kemungkinan terburuk. Hari ini ia sengaja ingin menghabiskan waktu dengan
Kanaya. Kalaupun malam ini mereka harus berpisah, setidaknya Dika punya memori
yang cukup manis untuk dikenang. ‘Jadi.. gimana hasil belajar kamu?’.
Kata-kata Dika membangunkan Kanaya dari lamunan panjang. Ditatapnya
mata laki-laki itu. Kegalauan terpancar jelas dari sorot matanya. Kanaya meraih
jemari Dika dan menggenggamnya erat. ‘Sepertinya kamu guru yang baik. Bahkan sebelum hari kedua ratus, aku sudah tahu jawabannya. Setiap hari aku merasa bahagia karena mencintai kamu dan kamu mencintaiku. Sekarang
bagiku masa lalu tidak lebih dari peristiwa yang sudah berlalu. Masa lalu gak
akan bisa kembali.’
‘Masa lalu memang gak bisa kembali. Tapi orang dari masa lalu bisa
kembali.’
Kanaya mempererat genggamannya. ‘Aku sudah bersama kamu. Kamu nyata, kamu ada, kamu mencintaiku,
apalagi yang aku cari? Aku yakin kamulah masa depanku.'
‘So,’ Dika beranjak dari
kursinya. Meraih cincin di depan Kanaya lalu berlutut ala Pangeran dalam
dongeng. ‘Putri Kanaya, jadilah tunanganku. Sembuhkanlah kegilaan Pangeran
Aryadika lebih lama lagi.’
Kanaya tertawa kecil. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya.
Cincin itu telah disematkan. Berkilauan dengan indah diterpa cahaya lilin.
Kanaya bisa merasakan kebahagian membuncah di dadanya. ‘Kamu bukan hanya aku inginkan, tapi juga sangat kubutuhkan. Terutama...'
‘Terutama?’ tanya Dika ragu. Alisnya berkerut menunggu kelanjutan dari kata-kata Kanaya.
‘Terutama untuk ngembaliin bentuk apartemenku seperti semula! Tanggung jawab! Kamu udah bikin apartemenku berantakan banget. Hah! Bakal
capek banget pasti ngeberesinnya!’
***
Pukul setengah sebelas malam Dika baru keluar dari apartemen Kanaya.
Ia masih terlihat segar meski baru selesai menyapu, mengepel, dan membereskan
apartemen kekasihnya yang ia ‘sulap’ habis-habisan. Padahal di rumah sendiri
saja ia tidak pernah tahu dimana letak sapu disimpan.
Dika baru keluar dari lift ketika tubuhnya bertubrukan dengan
seseorang. Tuksedo yang ia sampirkan di lengan jatuh ke lantai. Laki-laki yang
menubruknya menunduk lebih dulu mengambil tuksedonya yang jatuh.
'Sorry,' ujar laki-laki itu sambil menyodorkan tuksedo Dika.
Dan terkejutlah Dika ketika melihat siapa yang tadi menubruknya.‘Karyo? Ngapain lu di sini malem-malem?’
‘Gua tinggal di sini woi. Harusnya gua yang nanya. Ngapain lu keliaran
di sini malem-malem? Jangan bilang kalo di belakang Naya lu jadi simpenan
tante-tante ya!’ Kairo menyerocos tanpa jeda.
Dika tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menoyor kepala Kairo.
‘Otak mesum! Gua habis dari tempatnya Kana lah. Dia kan tinggal di sini juga.’
‘Jadi.. -jadi selama ini Kanaya tinggal satu gedung sama gua?’
0 komentar:
Posting Komentar