Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NEW SEASON BAGIAN 5 | SEMAKIN JAUH


Kairo berdiri mematung di depan pintu apartemen bertuliskan angka 173 itu. Sudah lima belas menit ia tidak beranjak dari tempat itu. Hanya berdiri, memandangi pintu dengan perasaan campur aduk. Hatinya senang dengan fakta bahwa sekarang ia tahu kemana harus mencari Kanaya. Namun di sisi lain hatinya juga diliputi kekalutan.

Dari mulut sahabatnya ia baru tahu bahwa Kanaya tinggal di gedung apartemen ini sejak lulus kuliah karena orang tuanya memutuskan untuk tinggal di Ubud. Kondominium itu milik kakak laki-laki Kanaya. Empat tahun yang lalu albumnya sukses besar. Ia menikah setahun setelah mencapai ketenaran dan memberikan apartemen itu pada Kanaya.

Setahun yang lalu Kairo menempati sebuah pent house di gedung apartemen ini setelah kantor pusat perusahaan ia pindahkan ke Jakarta. Letaknya hanya lima lantai di atas apartemen Kanaya. Yang paling membuatnya kalut adalah bagaimana bisa setahun ini ia tidak pernah sekalipun bertemu dengan Kanaya? Bagaimana mungkin setahun ini ia merasa amat jauh dengan Kanaya padahal mereka tinggal di gedung yang sama?

Ada apa ini? Beberapa hari yang lalu aku sangat percaya diri dengan teori konspirasi alam. Aku percaya bahwa alam telah berkonspirasi untuk mempertemukanku kembali dengannya. Tapi kenyataan ini.. Kenyataan ini seperti mematahkan teoriku. Rupanya alam telah lebih dulu berkonspirasi untuk tidak mempertemukanku dengannya.. Padahal jarak kami tak kurang dari satu menit naik lift. Aku bahkan mencarinya sampai jauh.. Kebingungan.. Menunggu.. Berharap.. Bahkan hampir putus asa.. Sementara  ia hanya beberapa meter dari telapak kakiku berpijak.. Kanaya, masihkah alam menjodohkan aku dengan kamu?

***

Minggu pagi Kanaya kembali diusik. Kali ini bukan Dika penyebabnya. Sepucuk undangan yang hampir ia lupakan membuatnya harus meninggalkan ritual bangun siang di hari libur. Undangan pernikahan dari James, teman kuliahnya. Manusia yang secara tidak langsung pernah berjasa menyatukan ia dengan Kairo dulu.

Sekali lagi ia mematut diri di cermin ketika bel berbunyi. Ia tahu siapa yang menekan bel. Secara kebetulan, perempuan yang dinikahi James adalah salah seorang karyawan yang bekerja di divisi yang dipimpin Dika. Dari layar kecil di dinding dekat pintu, ia bisa melihat Dika berdiri di depan pintu yang terekam oleh kamera CCTV. Seperti biasa, ia selalu tampan mengenakan setelan apapun. Kali ini ia memakai setelan jas abu-abu yang dipadukan dengan kemeja hitam dan sepatu pantofel, tanpa dasi. Kanaya sedikit terkejut dengan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan gaun hitam dengan sentuhan pita berwarna abu-abu di bagian pinggulnya. Tidak direncanakan bahwa setelan yang mereka kenakan berwarna senada.

‘Hai,’ sapa Dika ketika pintu di buka. Ia terdiam sejenak. Matanya bergerak-gerak meneliti Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tersenyum mendapati jari manis Kanaya dihiasi cincin bertahta berlian pemberiannya semalam. Tak lama kemudian ia tertawa kecil sambil membuang muka. ‘Sial, aku masih juga deg-degan lihat kamu cantik begini.’

Kanaya menonjok pelan lengan Dika. ‘Jangan bikin aku blushing deh.’

‘Oke, berangkat sekarang?’

***

Gedung tempat resepsi pernikahan James berlangsung sudah ramai dipenuhi tamu undangan. Resepsi dilaksanakan lebih pagi karena akad nikah sudah dilaksanakan hari Jumat yang lalu. Mereka mengusung konsep standing party. Tamu undangan berbaur satu sama lain. Bebas bergerak ke sana kemari mencicipi hidangan yang disediakan.

Resepsi pernikahan itu tak ubahnya reuni dadakan bagi Kanaya. Beberapa kali ia berpapasan dengan teman kuliahnya. Temu-kangen, saling mengenalkan pasangan, dan nostalgia. Ada beberapa yang bahkan sudah membawa momongan. Manis sekali. Sementara bagi Dika, resepsi pernikahan itu bak sebuah gathering perusahaan. Beberapa kali ia harus menyapa rekan kerja atau sekedar membalas salam dari beberapa bawahannya. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal siapa yang digandeng oleh bos muda itu.

Di tengah keramaian itu, mata Kanaya tak sengaja menangkap sosok laki-laki yang ia kenal. Tertawa-tawa dengan beberapa teman yang tadi ditemui Kanaya. Laki-laki itu Kairo. Ah, tentu saja laki-laki itu ada di sini. Kenapa Kanaya lupa memperkirakan akan bertemu dengannya di sini? James adalah semacam partner in crime bagi Kairo. Tapi… ia tidak sendirian. Di sisinya berdiri seorang gadis amat cantik berambut indah. Tinggi semampai, tampak sangat anggun dengan gaun yang memamerkan keindahan kulit serta punggungnya. Gadis itu tampak sangat intim dengan Kairo. Bahkan Kanaya melihat lengan Kairo digamit dengan mesra olehnya. Sesekali Kairo membisikinya sesuatu lalu gadis itu ikut tertawa bersama Kairo. Dasar Cassanova KW! Ternyata ia masih belum meninggalkan jabatan 'playboy'-nya! Rasa-rasanya belum dua minggu sejak laki-laki itu bilang ia belum bisa melupakanku!

Tiba-tiba Kairo berpaling. Matanya bertemu dengan mata Kanaya yang sedang memerhatikannya. Hanya sepersekian detik karena Kanaya buru-buru memalingkan muka. Alamak, malu sekali rasanya kedapatan sedang memerhatikan orang lain.

Sementara itu Dika terlalu asyik bercengkrama dengan beberapa rekan bisnisnya. Entah mereka membicarakan apa. Yang berhasil ditangkap telinga Kanaya hanya beberapa kata saja. Kick off meeting, MoU, open bid, bla bla bla. Sisanya Kanaya tidak ngeh lagi begitu pembicaraan mulai merambah ke hal-hal berbau internal perusahaan. Itu tak urung membuat Kanaya jadi sedikit badmood. Ia merasa seperti jatuh ke planet lain. Bagai menonton alien berbicara saja. Bahasa dan istilah mereka lain, bahkan jokes mereka pun lain. Rasanya ingin ada lubang besar yang menyedotnya ke dalam bumi.

‘Aku mau cari dessert dulu ya,’ Kanaya membisiki Dika ketika ia mulai tidak nyaman.

‘Mau kutemani?’

Kanaya menggeleng. Ia segera saja menuju meja dessert. Tidak adil memang kalau ia harus menarik diri seperti ini. Sementara sejak tadi Dika enjoy saja diajak berkeliling menemui teman-teman Kanaya. Laki-laki itu selalu tersenyum bahkan ketika Kanaya dan teman-temannya membahas tentang masa perkuliahan mereka dulu yang Dika sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Tapi Kanaya bukan Dika. Ia masih orang yang tidak gampang berbaur dengan orang lain.

Mood Kanaya sedikit menjadi baik begitu ia dihadapi dengan berbagai jenis dessert. Lava cake, custard, mousse, puding, rasa-rasanya Kanaya ingin menghabiskan semuanya. Pertama-tama ia mengeksekusi lava cake. Matanya mengerjap-ngerjap begitu rasa manis coklat pecah di mulutnya. Cake pertama habis, ia kemudian menjatuhkan pilihan pada orange custard puding. Sensasi jeruk yang menyegarkan langsung memenuhi mulutnya.

‘Biar kutebak, kamu pasti lagi bete,’ suara itu membuat Kanaya langsung menelan custard yang tengah meleleh di mulutnya. Ia sedikit gugup mendapati Kairo tengah mengisi piringnya dengan puding jagung tepat di sebelah tempatnya berdiri.

‘Oh kamu udah alih profesi jadi cenayang?’ Kanaya menjawab sekenanya. 

Sounds good. Mungkin kalo usahaku gak berjalan mulus, aku bisa pake ide kamu itu,’ Kairo balik menjawab sekenanya.

Kanaya memasang tampang ala pelanggan restoran kelamaan nunggu makanan. Perasaannya kembali buruk begitu melihat manusia satu itu. Ia sendiri tidak yakin apa sebenarnya yang membuat perasaannya jadi buruk. Karena Dika yang terlalu asyik ngobrol dengan rekan kerjanya-kah? Atau… karena melihat Kairo bersama seorang gadis? Pilihan kedua itu rasanya mustahil. Kanaya yakin sekali ia sudah tidak menyimpan perasaan pada Kairo.

Seriously, Naya, kamu lagi bete beneran?’

‘Menurut kamu?’

‘Berdasarkan apa yang kupelajari dari habbit kamu, jawabannya sih iya. Karena setahuku kamu akan makan terus-terusan kalau lagi bete. Am I right?’

Kanaya meletakkan kembali piringnya di meja. ‘Kamu kayaknya perlu belajar kalau manusia itu kadang harus bisa terima kalau pendapatnya salah. Biar gak kayak kamu ini, sok tahu.’

Kairo menatap Kanaya tak percaya. Ia tersenyum sarkastik mendengar kata-kata yang keluar dari mulut manis itu. ‘Kamu juga kayaknya harus belajar terima kalau pendapat orang lain tentang kamu mungkin benar. Kalau menurutmu pendapatku salah, kenapa kamu harus marah?’ Kairo meletakkan piringnya di meja. Langkahnya terhenti ketika ia baru berjalan dua langkah. ‘Ah iya, aku punya firasat kalau kata-kataku ini bisa mengurangi bete kamu. FYI, gadis yang bersamaku itu Adel, kakakku. Aku pernah cerita soal Adel kan? Tenang aja Nona, orang yang menguasai hatiku tetap kamu kok.’

***

Perasaan Kanaya bukannya bertambah baik setelah mendengar kata-kata Kairo tadi. Ia melamun sepanjang sisa acara memikirkan kata-kata Kairo. Ia malu pada diri sendiri telah berpikir yang tidak-tidak. Empat tahun yang lalu, foto yang ditunjukkan Kairo kepadanya tak menampakkan wajah Adel secara jelas. Wajar saja dirinya tidak ingat. Tunggu dulu! Kenapa dia harus menjelaskan padaku? Apa menurutnya aku badmood gara-gara dirinya? Kalau benar begitu artinya dia pede sekali! Apa peduliku tentang siapa gadis yang dibawanya?

Are you okay? Kulihat wajah kamu gak happy. Did I do something wrong?’ Dika bertanya dengan kedua alis bertaut.

No, not at all,’ Kanaya menggeleng cepat.

Dika diam sejenak. Otaknya dengan cepat berpikir tentang apa saja yang ia lakukan tiga puluh menit terakhir. Lalu tiba-tiba wajahnya diliputi rasa bersalah. ‘Duh, Kana maaf ya. Kamu merasa dicuekin ya gara-gara aku kebanyakan ngobrol sama teman kantorku?’

Kanaya menyentuh pelan lengan Dika. ‘Aku gak apa-apa, Mr. Always Afraid of Hurting. Aku agak pusing aja. Too crowded here, I think.’

‘Kita pulang, oke?’ Dika melirik jam tangannya. ‘Udah siang juga nih. Aku mau nganter nyokap ke Bandung. Ikut yuk!’

‘Lain kali aja ya. Hari ini aku agak pusing. Mungkin karena kurang tidur or something.’

‘Ya udah, kita pamit sama tuan rumah dulu.’

***

James merangkul Kairo begitu lama ketika laki-laki itu hendak berpamitan. Ia cukup lama bersahabat dengan manusia satu itu. Cukup lama untuk tau hampir seluruh perjalanan penting dalam hidup sahabatnya itu.

‘Gila ya! Gak nyangka gua yang nikah duluan. Gua kira lu yang nikah duluan sama Kana. Tapi nyatanya kalian malah ke resepsi gua bawa pasangan masing-masing.’ James tertawa sambil menyeka setitik air yang hampir mengalir di sudut matanya.

Kairo ikut tertawa ingat masa kuliah dulu. Ingat bahwa James secara tidak langsung berjasa menyatukan dirinya dengan Kanaya.

By the way, Lu beneran udah rela kalo Kanaya dilamar sama bos istri gua?’

Kairo tertawa kecil. ‘Gua sih gak usah elu pikirin. Gua segini keren mustahil gak dapet istri. Harusnya elu sujud syukur, Mes. Sekalian mandi kembang tujuh rupa pake aer tujuh sumur. Tampang pas-pasan kayak lu syukur-syukur dapet istri cantik.’

‘Sialan lu,’ James menonjok pelan lengan Kairo. ‘Tapi gua tetep berharap lu cepet dapet jodoh. Entah itu balik ke Kanaya atau dapet cewek lain.’

‘Gua aminin yang pertama.’ Kairo merangkul James sekali lagi. Ia segera pamit begitu melihat antrean di belakangnya sudah sangat panjang. Tidak lucu kalau dia dikeroyok tamu di tengah pesta seperti ini.

Adel yang berdiri di belakang Kairo tersenyum tulus ketika memberi selamat pada James. ‘Selamat ya! Dan terima kasih selama ini sudah jadi teman baik adikku.’

‘Wah, kenapa lu gak pernah bilang punya Kakak cakep begini, Kai?’

Kairo menonjok pelan lengan James lalu segera membawa Adel berlalu dari 'singgasana' James dan istrinya. Adel tersenyum penuh arti menatap Kairo. Ia tahu apa yang diucapkan Kairo pada James tadi benar-benar ia harapkan. Perasaannya campur aduk menatap belahan jiwanya itu. Tidak disangka adiknya yang sangat manja sekarang jadi jauh lebih dewasa.

‘Kenapa lu senyam-senyum?’ Kairo mengernyitkan alis.

Belum sempat Kairo mendengar jawaban Adel, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Kairo menoleh dan mendapati Dika nyengir, berdiri persis di belakangnya. Hati Kairo mencelos begitu tak sengaja matanya melihat lengan Dika dengan luwes melingkari pinggang Kanaya. Sepertinya laki-laki itu sudah melakukannya sesering ia menarik napas.

‘Hoi, bro! Gua daritadi sih lihat elu. Tapi kayaknya lu sibuk ngobrol gitu jadi gak gue sapa,’ Kairo mengangkat tinjunya ke udara.

Dika mengadu tinjunya dengan Kairo sambil tertawa. Lalu mata Dika beralih ke gadis yang berdiri di sebelah Kairo. Dika tersenyum. Ia tentu saja hafal dengan orang itu. Kairo versi perempuan.

‘Hai,’ Adel tersenyum mengulurkan tangannya pada Dika.

‘Adellaide! How’s life?’ Dika tak hanya menjabat tangan Adel, namun ia merangkulnya dengan akrab layaknya teman lama yang baru bertemu.

Very well,’ Adel membalas. Namun tiba-tiba senyumnya memudar ketika melihat gadis yang bersama Dika. Ia hafal wajah itu. Wajah yang tidak mungkin dia lupa. Bagaimana bisa lupa kalau dinding kamar adiknya dipenuhi oleh wajah gadis itu? Ia melepaskan diri dari Dika lalu menatap Kairo menuntut jawaban.

Kairo paham arti tatapan mata Adel. Ia mengangguk perlahan dan berusaha tidak kentara. Bagaimanapun juga Dika masih belum tahu hubungannya dengan Kanaya dulu. Adel pun paham dengan maksud Kairo.

‘Del, kenalin nih calon istri gua. Namanya..’

‘Kanaya,’ Adel memotong kata-kata Dika.

‘Ah, iya. Gua lupa kalo Kana sahabatan sama Karyo. Kalian pasti udah saling kenal lah.'

Hati Adel tiba-tiba terasa pedih. Ia tahu betul apa arti Kanaya bagi Kairo. Sudah empat tahun Kairo menyimpan kerinduan pada gadis itu. Empat tahun pula Kairo tidak membuka hatinya pada gadis lain. Dan penantian itu sia-sia saja. Hati Kairo yang kosong tetap tidak terisi. Rindu yang dalam itu tak akan ada ujungnya. Kanaya kembali bukan untuk mengisi hati Kairo yang kosong. Tidak juga untuk mengobati rindu di hati Kairo. Ia kembali dengan hati yang telah terisi. Apa tadi Dika menyebutnya? Calon istri? Ya, seperti tidak ada tempat lagi bagi Kairo di hatinya. Adel menggigit bibirnya menahan air mata. Kenapa cinta tak juga datang pada Kairo?

Adel menatap Kairo sekali lagi begitu Dika dan Kanaya sudah berlalu. Laki-laki itu tersenyum. Tapi Adel yakin, dirinya tahu apa yang sedang Kairo rasakan.

'Dia udah bahagia, Del. Gua gak bisa apa-apa selain ikut bahagia melihatnya.'

***

Kanaya menatap kosong sisa-sia titik air di jendela apartemennya. Sejak di pesta pernikahan James hingga kini, ia merasa ada sesuatu yang asing dalam hatinya. Entah apa itu, Kanaya sendiri tak paham. Dan itu bukan tentang Dika, tetapi manusia yang satu lagi. Ada apa dengan diri Kanaya hari ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sudah ia tegaskan perasaannya pada Kairo? Lalu.. kenapa ia seakan marah begitu melihat Kairo bersama gadis lain? Mungkinkah..

Srek! Kanaya menutup gorden dengan perasaan marah. Itu hal paling tidak mungkin terjadi.

... bagi sebagian orang, mencintai memang tidak harus memiliki. walau terdengar menyakitkan dan tidak masuk akal, kadang kita juga harus merelakan orang yang kita cintai bahagia, meskipun kita sendiri harus menelan kepahitan..



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar