Kairo berdiri mematung di depan pintu apartemen bertuliskan angka 173 itu.
Sudah lima belas menit ia tidak beranjak dari tempat itu. Hanya berdiri,
memandangi pintu dengan perasaan campur aduk. Hatinya senang dengan fakta bahwa
sekarang ia tahu kemana harus mencari Kanaya. Namun di sisi lain hatinya juga
diliputi kekalutan.
Dari mulut sahabatnya ia baru tahu bahwa Kanaya tinggal di gedung apartemen ini
sejak lulus kuliah karena orang tuanya memutuskan untuk tinggal di Ubud. Kondominium
itu milik kakak laki-laki Kanaya. Empat tahun yang lalu albumnya sukses besar.
Ia menikah setahun setelah mencapai ketenaran dan memberikan apartemen itu pada
Kanaya.
Setahun yang lalu Kairo menempati sebuah pent house di gedung apartemen ini setelah kantor pusat perusahaan ia
pindahkan ke Jakarta. Letaknya hanya lima lantai di atas apartemen Kanaya. Yang
paling membuatnya kalut adalah bagaimana bisa setahun ini ia tidak pernah
sekalipun bertemu dengan Kanaya? Bagaimana mungkin setahun ini ia merasa amat
jauh dengan Kanaya padahal mereka tinggal di gedung yang sama?
Ada apa ini? Beberapa hari yang
lalu aku sangat percaya diri dengan teori konspirasi alam. Aku percaya bahwa
alam telah berkonspirasi untuk mempertemukanku kembali dengannya. Tapi
kenyataan ini.. Kenyataan ini seperti mematahkan teoriku. Rupanya alam telah
lebih dulu berkonspirasi untuk tidak mempertemukanku dengannya.. Padahal jarak
kami tak kurang dari satu menit naik lift. Aku bahkan mencarinya sampai jauh..
Kebingungan.. Menunggu.. Berharap.. Bahkan hampir putus asa.. Sementara ia hanya beberapa meter dari telapak kakiku
berpijak.. Kanaya, masihkah alam menjodohkan aku dengan kamu?
***
Minggu pagi Kanaya kembali diusik. Kali ini bukan Dika penyebabnya.
Sepucuk undangan yang hampir ia lupakan membuatnya harus meninggalkan ritual
bangun siang di hari libur. Undangan pernikahan dari James, teman kuliahnya.
Manusia yang secara tidak langsung pernah berjasa menyatukan ia dengan Kairo
dulu.
Sekali lagi ia mematut diri di cermin ketika bel berbunyi. Ia tahu
siapa yang menekan bel. Secara kebetulan, perempuan yang dinikahi James adalah salah
seorang karyawan yang bekerja di divisi yang dipimpin Dika. Dari layar kecil di
dinding dekat pintu, ia bisa melihat Dika berdiri di depan pintu yang terekam
oleh kamera CCTV. Seperti biasa, ia selalu tampan mengenakan setelan apapun.
Kali ini ia memakai setelan jas abu-abu yang dipadukan dengan kemeja hitam dan
sepatu pantofel, tanpa dasi. Kanaya sedikit terkejut dengan fakta bahwa dirinya
sedang mengenakan gaun hitam dengan sentuhan pita berwarna abu-abu di bagian
pinggulnya. Tidak direncanakan bahwa setelan yang mereka kenakan berwarna
senada.
‘Hai,’ sapa Dika ketika pintu di buka. Ia terdiam sejenak. Matanya
bergerak-gerak meneliti Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia
tersenyum mendapati jari manis Kanaya dihiasi cincin bertahta berlian
pemberiannya semalam. Tak lama kemudian ia tertawa kecil sambil membuang muka.
‘Sial, aku masih juga deg-degan lihat kamu cantik begini.’
Kanaya menonjok pelan lengan Dika. ‘Jangan bikin aku blushing deh.’
‘Oke, berangkat sekarang?’
***
Gedung tempat resepsi pernikahan James berlangsung sudah ramai
dipenuhi tamu undangan. Resepsi dilaksanakan lebih pagi karena akad nikah sudah
dilaksanakan hari Jumat yang lalu. Mereka mengusung konsep standing party. Tamu undangan berbaur satu sama lain. Bebas
bergerak ke sana kemari mencicipi hidangan yang disediakan.
Resepsi pernikahan itu tak ubahnya reuni dadakan bagi Kanaya. Beberapa
kali ia berpapasan dengan teman kuliahnya. Temu-kangen, saling mengenalkan
pasangan, dan nostalgia. Ada beberapa yang bahkan sudah membawa momongan. Manis
sekali. Sementara bagi Dika, resepsi pernikahan itu bak sebuah gathering perusahaan. Beberapa kali ia
harus menyapa rekan kerja atau sekedar membalas salam dari beberapa bawahannya.
Sebagian besar dari mereka sudah mengenal siapa yang digandeng oleh bos muda
itu.
Di tengah keramaian itu, mata Kanaya tak sengaja menangkap sosok laki-laki yang ia
kenal. Tertawa-tawa dengan beberapa teman yang tadi ditemui Kanaya. Laki-laki
itu Kairo. Ah, tentu saja laki-laki itu ada di sini. Kenapa Kanaya lupa memperkirakan akan bertemu dengannya di sini? James adalah semacam partner in crime bagi Kairo. Tapi… ia tidak sendirian. Di sisinya berdiri seorang gadis amat
cantik berambut indah. Tinggi semampai, tampak sangat anggun dengan gaun yang
memamerkan keindahan kulit serta punggungnya. Gadis itu tampak sangat intim
dengan Kairo. Bahkan Kanaya melihat lengan Kairo digamit dengan mesra olehnya.
Sesekali Kairo membisikinya sesuatu lalu gadis itu ikut tertawa bersama Kairo. Dasar Cassanova KW! Ternyata ia masih belum meninggalkan jabatan 'playboy'-nya! Rasa-rasanya belum dua minggu
sejak laki-laki itu bilang ia belum bisa melupakanku!
Tiba-tiba Kairo berpaling. Matanya bertemu dengan mata Kanaya yang
sedang memerhatikannya. Hanya sepersekian detik karena Kanaya buru-buru
memalingkan muka. Alamak, malu sekali rasanya kedapatan sedang memerhatikan
orang lain.
Sementara itu Dika terlalu asyik bercengkrama dengan beberapa rekan
bisnisnya. Entah mereka membicarakan apa. Yang berhasil ditangkap telinga
Kanaya hanya beberapa kata saja. Kick off
meeting, MoU, open bid, bla bla
bla. Sisanya Kanaya tidak ngeh lagi
begitu pembicaraan mulai merambah ke hal-hal berbau internal perusahaan. Itu
tak urung membuat Kanaya jadi sedikit badmood.
Ia merasa seperti jatuh ke planet lain. Bagai menonton alien berbicara saja.
Bahasa dan istilah mereka lain, bahkan jokes
mereka pun lain. Rasanya ingin ada lubang besar yang menyedotnya ke dalam
bumi.
‘Aku mau cari dessert dulu
ya,’ Kanaya membisiki Dika ketika ia mulai tidak nyaman.
‘Mau kutemani?’
Kanaya menggeleng. Ia segera saja menuju meja dessert. Tidak adil memang kalau ia harus menarik diri seperti ini.
Sementara sejak tadi Dika enjoy saja
diajak berkeliling menemui teman-teman Kanaya. Laki-laki itu selalu tersenyum
bahkan ketika Kanaya dan teman-temannya membahas tentang masa perkuliahan
mereka dulu yang Dika sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Tapi Kanaya bukan Dika. Ia masih orang yang tidak gampang berbaur dengan orang lain.
Mood Kanaya sedikit menjadi
baik begitu ia dihadapi dengan berbagai jenis dessert. Lava cake, custard, mousse,
puding, rasa-rasanya Kanaya ingin menghabiskan semuanya. Pertama-tama ia
mengeksekusi lava cake. Matanya
mengerjap-ngerjap begitu rasa manis coklat pecah di mulutnya. Cake pertama habis, ia kemudian
menjatuhkan pilihan pada orange custard puding.
Sensasi jeruk yang menyegarkan langsung memenuhi mulutnya.
‘Biar kutebak, kamu pasti lagi bete,’ suara itu membuat Kanaya
langsung menelan custard yang tengah meleleh
di mulutnya. Ia sedikit gugup mendapati Kairo tengah mengisi piringnya dengan
puding jagung tepat di sebelah tempatnya berdiri.
‘Oh kamu udah alih profesi jadi cenayang?’ Kanaya menjawab sekenanya.
‘Sounds good. Mungkin kalo
usahaku gak berjalan mulus, aku bisa pake ide kamu itu,’ Kairo balik menjawab
sekenanya.
Kanaya memasang tampang ala pelanggan restoran kelamaan nunggu
makanan. Perasaannya kembali buruk begitu melihat manusia satu itu. Ia sendiri
tidak yakin apa sebenarnya yang membuat perasaannya jadi buruk. Karena Dika
yang terlalu asyik ngobrol dengan rekan kerjanya-kah? Atau… karena melihat
Kairo bersama seorang gadis? Pilihan kedua itu rasanya mustahil. Kanaya yakin
sekali ia sudah tidak menyimpan perasaan pada Kairo.
‘Seriously, Naya, kamu lagi
bete beneran?’
‘Menurut kamu?’
‘Berdasarkan apa yang kupelajari dari habbit kamu, jawabannya sih iya. Karena setahuku kamu akan makan
terus-terusan kalau lagi bete. Am I
right?’
Kanaya meletakkan kembali piringnya di meja. ‘Kamu kayaknya perlu
belajar kalau manusia itu kadang harus bisa terima kalau pendapatnya salah.
Biar gak kayak kamu ini, sok tahu.’
Kairo menatap Kanaya tak percaya. Ia tersenyum sarkastik mendengar
kata-kata yang keluar dari mulut manis itu. ‘Kamu juga kayaknya harus belajar
terima kalau pendapat orang lain tentang kamu mungkin benar. Kalau menurutmu
pendapatku salah, kenapa kamu harus marah?’ Kairo meletakkan piringnya di meja.
Langkahnya terhenti ketika ia baru berjalan dua langkah. ‘Ah iya, aku punya
firasat kalau kata-kataku ini bisa mengurangi bete kamu. FYI, gadis yang bersamaku
itu Adel, kakakku. Aku pernah cerita soal Adel kan? Tenang aja Nona, orang yang menguasai hatiku tetap kamu kok.’
***
Perasaan Kanaya bukannya bertambah baik setelah mendengar kata-kata
Kairo tadi. Ia melamun sepanjang sisa acara memikirkan kata-kata Kairo. Ia malu
pada diri sendiri telah berpikir yang tidak-tidak. Empat tahun yang lalu, foto
yang ditunjukkan Kairo kepadanya tak menampakkan wajah Adel secara jelas. Wajar saja dirinya tidak ingat. Tunggu dulu! Kenapa dia harus menjelaskan
padaku? Apa menurutnya aku badmood
gara-gara dirinya? Kalau benar begitu artinya dia pede sekali! Apa peduliku
tentang siapa gadis yang dibawanya?
‘Are you okay? Kulihat wajah
kamu gak happy. Did I do something
wrong?’ Dika bertanya dengan kedua alis bertaut.
‘No, not at all,’ Kanaya
menggeleng cepat.
Dika diam sejenak. Otaknya dengan cepat berpikir tentang apa saja yang
ia lakukan tiga puluh menit terakhir. Lalu tiba-tiba wajahnya diliputi rasa
bersalah. ‘Duh, Kana maaf ya. Kamu merasa dicuekin ya gara-gara aku kebanyakan
ngobrol sama teman kantorku?’
Kanaya menyentuh pelan lengan Dika. ‘Aku gak apa-apa, Mr. Always Afraid of Hurting. Aku agak
pusing aja. Too crowded here, I think.’
‘Kita pulang, oke?’ Dika melirik jam tangannya. ‘Udah siang juga nih.
Aku mau nganter nyokap ke Bandung. Ikut yuk!’
‘Lain kali aja ya. Hari ini aku agak pusing. Mungkin karena kurang tidur or something.’
‘Ya udah, kita pamit sama tuan rumah dulu.’
***
James merangkul Kairo begitu lama ketika laki-laki itu hendak
berpamitan. Ia cukup lama bersahabat dengan manusia satu itu. Cukup lama untuk
tau hampir seluruh perjalanan penting dalam hidup sahabatnya itu.
‘Gila ya! Gak nyangka gua yang nikah duluan. Gua kira lu yang nikah
duluan sama Kana. Tapi nyatanya kalian malah ke resepsi gua bawa pasangan
masing-masing.’ James tertawa sambil menyeka setitik air yang hampir mengalir
di sudut matanya.
Kairo ikut tertawa ingat masa kuliah dulu. Ingat bahwa James secara
tidak langsung berjasa menyatukan dirinya dengan Kanaya.
‘By the way, Lu beneran udah
rela kalo Kanaya dilamar sama bos istri gua?’
Kairo tertawa kecil. ‘Gua sih gak usah elu pikirin. Gua segini keren
mustahil gak dapet istri. Harusnya elu sujud syukur, Mes. Sekalian mandi
kembang tujuh rupa pake aer tujuh sumur. Tampang pas-pasan kayak lu
syukur-syukur dapet istri cantik.’
‘Sialan lu,’ James menonjok pelan lengan Kairo. ‘Tapi gua tetep
berharap lu cepet dapet jodoh. Entah itu balik ke Kanaya atau dapet cewek
lain.’
‘Gua aminin yang pertama.’ Kairo merangkul James sekali lagi. Ia
segera pamit begitu melihat antrean di belakangnya sudah sangat panjang. Tidak
lucu kalau dia dikeroyok tamu di tengah pesta seperti ini.
Adel yang berdiri di belakang Kairo tersenyum tulus ketika memberi
selamat pada James. ‘Selamat ya! Dan terima kasih selama ini sudah jadi teman
baik adikku.’
‘Wah, kenapa lu gak pernah bilang punya Kakak cakep begini, Kai?’
Kairo menonjok pelan lengan James lalu segera membawa Adel berlalu
dari 'singgasana' James dan istrinya. Adel tersenyum penuh arti menatap Kairo. Ia tahu apa yang
diucapkan Kairo pada James tadi benar-benar ia harapkan. Perasaannya campur
aduk menatap belahan jiwanya itu. Tidak disangka adiknya yang sangat manja
sekarang jadi jauh lebih dewasa.
‘Kenapa lu senyam-senyum?’ Kairo mengernyitkan alis.
Belum sempat Kairo mendengar jawaban Adel, seseorang menepuk pundaknya
dari belakang. Kairo menoleh dan mendapati Dika nyengir, berdiri persis di
belakangnya. Hati Kairo mencelos begitu tak sengaja matanya melihat lengan Dika
dengan luwes melingkari pinggang Kanaya. Sepertinya laki-laki itu sudah
melakukannya sesering ia menarik napas.
‘Hoi, bro! Gua daritadi sih
lihat elu. Tapi kayaknya lu sibuk ngobrol gitu jadi gak gue sapa,’ Kairo
mengangkat tinjunya ke udara.
Dika mengadu tinjunya dengan Kairo sambil tertawa. Lalu mata Dika
beralih ke gadis yang berdiri di sebelah Kairo. Dika tersenyum. Ia tentu saja
hafal dengan orang itu. Kairo versi perempuan.
‘Hai,’ Adel tersenyum mengulurkan tangannya pada Dika.
‘Adellaide! How’s life?’
Dika tak hanya menjabat tangan Adel, namun ia merangkulnya dengan akrab
layaknya teman lama yang baru bertemu.
‘Very well,’ Adel membalas.
Namun tiba-tiba senyumnya memudar ketika melihat gadis yang bersama Dika. Ia
hafal wajah itu. Wajah yang tidak mungkin dia lupa. Bagaimana bisa lupa kalau
dinding kamar adiknya dipenuhi oleh wajah gadis itu? Ia melepaskan diri dari
Dika lalu menatap Kairo menuntut jawaban.
Kairo paham arti tatapan mata Adel. Ia mengangguk perlahan dan
berusaha tidak kentara. Bagaimanapun juga Dika masih belum tahu hubungannya
dengan Kanaya dulu. Adel pun paham dengan maksud Kairo.
‘Del, kenalin nih calon istri gua. Namanya..’
‘Kanaya,’ Adel memotong kata-kata Dika.
‘Ah, iya. Gua lupa kalo Kana sahabatan sama Karyo. Kalian pasti udah
saling kenal lah.'
Hati Adel tiba-tiba terasa pedih. Ia tahu betul apa arti Kanaya bagi
Kairo. Sudah empat tahun Kairo menyimpan kerinduan pada gadis itu. Empat tahun
pula Kairo tidak membuka hatinya pada gadis lain. Dan penantian itu sia-sia
saja. Hati Kairo yang kosong tetap tidak terisi. Rindu yang dalam itu tak akan
ada ujungnya. Kanaya kembali bukan untuk mengisi hati Kairo yang kosong. Tidak
juga untuk mengobati rindu di hati Kairo. Ia kembali dengan hati yang telah
terisi. Apa tadi Dika menyebutnya? Calon istri? Ya, seperti tidak ada tempat
lagi bagi Kairo di hatinya. Adel menggigit bibirnya menahan air mata. Kenapa cinta tak juga datang pada Kairo?
Adel menatap Kairo sekali lagi begitu Dika dan Kanaya sudah berlalu. Laki-laki itu tersenyum. Tapi Adel yakin, dirinya tahu apa yang sedang Kairo rasakan.
'Dia udah bahagia, Del. Gua gak bisa apa-apa selain ikut bahagia melihatnya.'
***
Kanaya menatap kosong sisa-sia titik air di jendela apartemennya. Sejak di pesta pernikahan James hingga kini, ia merasa ada sesuatu yang asing dalam hatinya. Entah apa itu, Kanaya sendiri tak paham. Dan itu bukan tentang Dika, tetapi manusia yang satu lagi. Ada apa dengan diri Kanaya hari ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sudah ia tegaskan perasaannya pada Kairo? Lalu.. kenapa ia seakan marah begitu melihat Kairo bersama gadis lain? Mungkinkah..
Srek! Kanaya menutup gorden dengan perasaan marah. Itu hal paling tidak mungkin terjadi.
***
Kanaya menatap kosong sisa-sia titik air di jendela apartemennya. Sejak di pesta pernikahan James hingga kini, ia merasa ada sesuatu yang asing dalam hatinya. Entah apa itu, Kanaya sendiri tak paham. Dan itu bukan tentang Dika, tetapi manusia yang satu lagi. Ada apa dengan diri Kanaya hari ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sudah ia tegaskan perasaannya pada Kairo? Lalu.. kenapa ia seakan marah begitu melihat Kairo bersama gadis lain? Mungkinkah..
Srek! Kanaya menutup gorden dengan perasaan marah. Itu hal paling tidak mungkin terjadi.
... bagi sebagian orang, mencintai memang tidak harus memiliki. walau terdengar menyakitkan dan tidak masuk akal, kadang kita juga harus merelakan orang yang kita cintai bahagia, meskipun kita sendiri harus menelan kepahitan..
0 komentar:
Posting Komentar