Kairo secara tidak kentara terus-terusan menatap layar ponselnya. Di
hadapannya kini duduk seorang perempuan yang diutus Brazil untuk menjalani
kencan buta dengannya. Heran sekali kenapa Kakaknya itu belum bosan juga mencarikan jodoh untuk
dirinya.
Tidak ada yang salah sih dengan perempuan di hadapannya ini. Namanya
Jean. Latar belakangnya luar biasa. Di usianya yang masih tergolong muda, gadis
itu sukses punya perusahaan advertising
sendiri. Suatu hal yang luar biasa bagi Kairo pribadi. Secara fisik ia pun cukup sempurna. Cantik, putih, tinggi dengan kaki
jenjangnya yang mulus. Hanya saja, Brazil keceplosan bilang kalau gadis ini
pelanggan di klinik bedah plastik miliknya. Sepanjang acara makan siang ini,
Kairo menghabiskan waktu dengan menerka-nerka bagian mana yang ‘plastik’ alias
palsu.
Sementara Kairo menjalani kencan buta dengan setengah hati, Jean
tampak begitu tertarik dengan sosok Kairo yang lebih banyak diam. Gadis itu
selalu senang jika dirinya bisa mendominasi pembicaraan. Di mata Jean, latar
belakang Kairo cukup menarik. Usianya baru dua puluh lima tahun dan ia seorang
direktur. Yang paling menarik bagi Jean adalah dengar-dengar Ayah Kairo telah
menyerahkan kepemilikan saham terbesar padanya. Tidak lupa Jean
mempertimbangkan fisik Kairo. Cukup tampan dengan hidung mancung dan sorot
matanya yang tajam. Tubuhnya terlihat proporsional walau tidak bisa dikatakan
atletis.
Awalnya Kairo lumayan tertarik ngobrol dengan gadis itu. Tapi lama
kelamaan ketertarikannya berkurang bahkan drop sampai minus. Jean memang
cantik, tapi kepribadiannya lumayan buruk. Sepuluh menit pertama mereka ngobrol
dengan santai. Sepuluh menit berikutnya Jean berteriak memaki pelayan hanya
karena sup yang ia pesan dinilai terlalu creamy.
Padahal saat memesan Jean sudah bilang bahwa supnya jangan terlalu creamy.
‘Saya bisa gemuk kalau makan
sup semacam ini. Anda tahu berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk bla bla
bla,’ pelayan itu terpaksa mendengarkan penjelasan mengenai tetek bengek
perdietan yang dijalani Jean.
‘Udahlah, kalo kamu gemuk kan tinggal nge-gym.’ Kairo menengahi dengan nada suara yang terdengar bete.
Ajaibnya Jean langsung menurut apa kata Kairo. Kemudian sepuluh menit
berikutnya Jean terang-terangan mencibir wanita di meja sebelahnya hanya karena
ia tahu persis Hermes yang dibawa wanita itu palsu. Kairo makin ingin
menenggelamkan kepala Jean di wastafel café.
‘Oh, iya. Tadi kamu bilang perusahaan kamu bergerak di bidang apa?’
Jean bertanya setelah menyeruput lemon
squash-nya.
‘Contractor and trading,’ Kairo
menjawab sekenanya. Matanya kembali melirik layar ponsel. Ia sedang
menunggu-nunggu seseorang.
‘Boleh tau hobi kamu apa?’ Jean bertanya lagi.
‘Nge-game.’
‘Papi!’ suara anak kecil itu membuat kepala Kairo tegak. Giby segera
berlari menuju tempat Kairo duduk, diiringi supir yang mengantarnya.
‘Hei, sayang!’ Kairo langsung membawa Giby ke pangkuannya.
Jean mengerjap-ngerjapkan mata seakan tidak percaya. Apa anak kecil itu tadi bilang? Papi?
Bukankah Kairo ini masih lajang?
‘Daritadi gua mau ngenalin lu sama seseorang. Dia penting banget buat
gua,’ Kairo mengelus kepala Giby. ‘Namanya Giby. She’s my daughter.’
Alis Jean naik. Mulutnya menganga lebar sehingga mungkin untuk orang
memasukkan bola golf ke dalam mulutnya. ‘Your..
daughter? Tunggu dulu,’ Jean mencoba mengingat-ingat. ‘Bukannya dia anak
dr. Brazil?’
Kairo menunduk menyembunyikan senyum. ‘Untuk yang orang ketahui, dia
memang anak Brazil. Tapi sebenarnya dia anak gua. Gua titip dia di kartu
keluarga Brazil karena gua belum married.’
Jean menghembuskan napas dengan keras. Minatnya untuk pendekatan lebih
jauh dengan Kairo langsung turun drastis. Sementara Kairo menyibukkan diri
menyuapi Giby dengan makanan. Jean mengeluarkan bedaknya dari dalam tas. Mimpi apa gua kencan buta sama duda anak
satu.
***
Kairo memasuki kondominiumnya dengan tampang kusut sementara gadis
kecil dalam gendongannya nampak bersandar karena lelah. Suasana tampak berbeda
ketika ia memasuki tempat tinggalnya itu. Tempat yang biasanya sepi, kini riuh
sekali. Suara dua orang perempuan sedang bergosip berlomba-lomba dengan suara
televisi yang tak kalah berisik. Menyesal sekali Kairo tidak mengganti password kondominiumnya.
‘Kok udah pulang, Bang? Gimana blind
date-nya? Sukses?’ Brazil langsung memberondong Kairo. Giby melompat turun
dari gendongannya lalu menghampiri kakeknya yang sedang menonton tivi.
Kakak-kakaknya ini memang sangat suka melakukan 'arisan keluarga' mendadak.
‘Please ya, Kak. Gua minta
lu stop beneran ngatur blind date buat
gua.’
‘Lho, memangnya kenapa? I think
Jean is perfect enough. Dia cantik, smart,
mandiri, dan mapan. Kurang bagus apa coba?’
‘Gua bilang juga apa. Lu bakal dapet capek aja cariin calon istri buat
Kai. Dia tuh gagal move on akut,’
Adel nyeletuk sambil asyik ngemil kentang goreng.
‘Duh, gua gak peduli ya Kairo gagal move on kek, apa kek. Yang pasti gua pengin adek gua ada yang
ngurusin. That’s it. Nih ya lu
lihat,’ Brazil beralih ke dapur mengambil tempat sampah kering dan
menunjukkannya di depan muka Adel. ‘Nih, mau sampe kapan dia makan junk food tiap hari begini?’
Adel melongokkan kepala melihat isi tempat sampah itu. Benar saja,
isinya berbagai bungkus aneka junk food. Barangkali
semua brand junk food ada di tempat
sampah itu. Melihat dari jumlahnya yang sangat banyak, sudah bisa dipastikan dapur di pent house ini dibuat dengan sia-sia.
‘Gua tau maksud lu baik. Tapi lu gak tau kan siapa aja yang udah gua
kencanin?’
Kairo mengempaskan diri di sofa dan menarik napas panjang. Pikirannya memutar kembali beberapa pengalaman terburuknya kencan buta dengan wanita.
***
Katrina
Brazil mengatur kencan buta untuk Kairo dengan gadis ini sekitar dua
bulan yang lalu. Tentu saja ini bukan yang pertama kalinya. Mereka dinner di
sebuah small private room di salah
satu restoran ternama. Melihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan Brazil, Kairo tahu seberapa niat Kakaknya itu mencarikan calon istri untuk dirinya. Sesuai dengan kriteria wanita yang ia tanyakan pada
Kairo, gadis ini tentu saja cantik. Kairo mengakui Kate begitu cantik saat
sedang tertawa. Kulitnya yang coklat eksotis khas wanita Indonesia didapat dari
profesinya sebagai pelari nasional.
Sepuluh menit pertama, Kairo merasa kali ini pilihan Brazil agak
lumayan. Gadis di hadapannya ini berwawasan amat luas. Apalagi ketika mereka
saling bertukar pengalaman menjelajah Indonesia. Kairo yang semasa kuliah
adalah mahasiswa pecinta alam cukup terkesima dengan fakta bahwa Kate bahkan sudah
menjamah Jaya Wijaya.
Sepuluh menit berikutnya Kairo mulai merasakan gejala yang aneh.
Penciumannya terganggu oleh suatu bau yang amat menusuk hidung. Ya, setelah diusut, ternyata..... Kate bau ketek. Sepertinya Kate mengalami keringat berlebih. Mungkin karena ia
atlet namun jarang merawat diri sehingga bau keteknya amat sangat tidak sedap. Atau ia mengalami cacat enzim atau semacamnya sehingga bau keteknya mampu membunuh segerombolan banteng Asia.
Sepuluh menit berikutnya Kairo mulai tertekan. Ruangan kecil dan
ber-AC ini makin mendesak masuk bau itu ke dalam hidungnya. Kairo bingung harus
bernapas atau tidak. Lima menit berikutnya, Kairo sudah terbaring di ambulans dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia pingsan karena asmanya (terpaksa) kambuh.
Danisha
Sekitar sebulan yang lalu, Brazil mengatur kencan buta untuk Kairo
dengan gadis ini. Kali ini sesuai dengan kriteria wanita idaman Kairo
selanjutnya; mandiri. Namun mungkin persepsi Kairo dengan Brazil tentang
‘mandiri’ itu beda.
Kairo menelan ludah ketika pertama bertemu Danisha. Gadis itu berambut
pendek nyaris cepak. Wajahnya sangar dan terkesan ingin menelan manusia.
Suaranya besar bak doraemon baru akil baligh.
‘Kamu udah kerja?’ Kairo bertanya takut-takut.
‘Sudah,’ jawab Danisha sambil memandanginya tajam.
‘Oh gitu,’ Kairo hampir kehilangan suara. ‘Kerja dimana?’
‘Pelatih security.’ Glek!
Kairo menelan ludah. Anjrit! Pantas aja
serem begini. Kairo tidak sampai setengah jam bertemu Danisha. Baru bertemu
saja ia sudah ngeri, apalagi kalau sampai menjalin hubungan dengannya? Salah
sedikit, bisa-bisa tulang belikat Kairo remuk di tangan pacar sendiri.
Kalla
Kencan butanya yang satu ini tidak mungkin Kairo lupakan. Kali ini
Brazil menyesuaikan dengan kriteria wanita idaman Kairo yang lain; apa adanya.
Kalla memang betul-betul apa adanya, literally. Bahkan
cenderung cuek dengan dunia sekitarnya. Penampilannya tidak fashionable, badannya tidak
proporsional, dan selera makannya luar biasa.
Kairo melongok sejadi-jadinya saat Kalla memesan main course ketiga. Ia sendiri bahkan belum menghabiskan setengah
dari steik yang ia pesan. Kali ini Kalla memesan lobster bakar saus madu
setelah menandaskan bebek peking dan ayam panggang mentega.
Seisi restoran berbisik-bisik menyaksikan ‘kepolosan’ Kalla dalam
melahap makanan. Sebagian bahkan tidak segan-segan menertawainya. Tapi Kalla
cuek saja. Ia terus-terusan makan seakan besok ia akan dikirim ke kutub utara.
Kairo menunduk sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya dari tatapan pengunjung
restoran.
‘Kairo, aku boleh pesen fried
calamari nggak?’ Kalla bertanya dengan mulut penuh.
Kairo tersenyum, hampir bisa dibilang meringis. Ia memberi isyarat
dengan tangan memperbolehkan Kalla memesan apa yang ia mau. Nafsu makannya jadi
hilang. Kalla ini benar-benar luar biasa. Lebih luar biasa lagi ketika Kairo menatap
angka yang tertera di bil yang diberikan pelayan. Satu juta tiga ratus lima
puluh ribu rupiah.
Selomitha
Kali ini orang pilihan Brazil cukup ‘normal’. Selomitha benar-benar
wanita idaman Kairo; good looking, good
attitude, good brain. Kairo hampir tertarik melanjutkan kencan buta ini
kalau saja Selomitha bukan..
‘Kamu yakin kita gak pernah ketemu sebelumnya?’ Selomitha menatap
Kairo dengan hina.
‘Sorry?’
Selomitha melengos tak percaya. ‘Benar juga. Mana mungkin seorang
Kairo ingat dengan gadis yang ia pacari. Apalagi gadis yang ia sakiti dulu.’
Kairo mengernyitkan alisnya dengan bingung. Ia benar-benar tidak
mengerti kemana arah pembicaraan Selomitha ini.
Baiklah, mari kubantu. Apa kamu ingat tiga orang cewek, satu geng pula, yang
kamu pacari dan kamu putuskan dalam waktu yang bersamaan?’
Kairo terkesiap. Dahinya berkerut-kerut pertanda ia sedang berpikir
keras. Tiga orang cewek? Sepertinya aku tahu sesuatu mengenai itu. Mungkinkah dia..
astaga! Mungkinkah dia ini Mitha yang dulu kupacari bersamaan dengan Siska dan
Gina? Kairo memandangi Selomitha dengan ngeri. Ia sendiri lupa bagaimana
persisnya wajah Mitha waktu ia pacari dulu. Wah, ternyata
dulu aku benar-benar
.
Mitha tertawa sarkastik. ‘The
world is really spinning. Seorang Kairo yang dulu palyboy setengah mampus sekarang harus kencan buta segala untuk
cari istri? Hahaha ternyata karma itu benar-benar ada!’
Jadilah kencan buta siang itu sebagai ajang pertanggungjawaban
dosa-dosa Kairo di masa lalu.
***
Adel dan Brazil memandangi Kairo dengan wajah menahan tawa. Brazil
betul-betul tidak menyangka gadis-gadis yang dikenalkannya pada Kairo begitu
aneh. Dan tawa mereka meledak begitu melihat wajah Kairo ditekuk sedemikian
rupa.
‘Terus yang lu temuin hari ini, kurangnya dimana?’ tanya Brazil. Ia hampir tersedak karena tertawa.
‘Menurut lu? Kalo dia oke-oke aja, gak mungkin gua SMS supir lu untuk
bawa Giby nemuin gua.’
‘Ya ampun! Jadi lu masih pake jurus ‘duda anak satu’ itu?’ Adel
melonjak dari tempatnya duduk.
Kairo mengangguk bete. ‘Jean bukan tipikal cewek yang mau nerima cowok
buy one get one free. Makanya gua
pakai Giby buat bikin dia ilfeel.’
‘Ah, elu. Mentang-mentang dosa Giby masih gua yang nanggung, seenaknya
aja lu didik anak gua buat ngebo’ong.’
Kali ini giliran Kairo yang tertawa puas. ‘Ada gunanya juga ya Giby lu
jejelin ftv tiap hari. Dia makin jago akting. Gua yakin pas udah gede nanti dia
bakal jadi pesinetron terkenal.’ Kairo memang punya sebuah jurus andalan kalau dia tidak srek dengan wanita yang ditemuinya. Dengan kekuatan handphone, dia akan segera mengirim pesan pada supir pribadi Kakaknya untuk mengantarkan Giby ke tempat ia kencan. Untungnya, bocah kecil itu sudah sangat terlatih menjalankan perannya. Namun tidak sedikit juga 'modal' yang dikeluarkan Kairo untuk keponakan kecilnya itu.
‘Sialan,’ Brazil melemparkan bantal kursi ke wajah Kairo. ‘By the way, minggu ini Ayah, Adel, sama
gua mau nengokin Paris. Dia kan baru lahiran anak pertama. Sambil liburan lah
ke Paris. Kapan lagi gua bisa cuti. Lu ikut gak?’
‘Ke Paris ya? Duh, kayaknya gua gak bisa ikut. Jadwal gua lagi padet banget. Ada
dua open bid yang gua harus hadiri.
Minggu ini juga mau ada kick off proyek gua di Sumatera. ‘
‘Proyek Drilling Rig kemarin ya, Bang?’ Ayah yang sedang nonton tivi
bersama Giby tau-tau menimpali.
‘Iya, Ayah. Rencananya minggu ini aku sama tim ikut ke site sekalian mengawal Rig yang bakal
operasi di sana.’
‘Pakai jalur darat?’
‘No choice, lagipula udah
lama gak road trip. Hehehe’
‘Hei, jangan kerja mulu! Kesehatan juga harus dijaga. Vitamin dari gua
udah abis belum?’ Brazil langsung memeriksa lemari tempat ia menyimpan
obat-obatan dan vitamin untuk Kairo. Ia mengecek botol vitamin yang
diberikannya sebulan yang lalu. Tidak berkurang. Kairo nyengir saja begitu
kakaknya itu menatapnya dengan tatapan medusa.
‘Eh, gua cabut dulu ya!’ Adel buru-buru beranjak sambil menatap jam
tangannya. ‘Gua ada janji mau skin
treatment. Masih sejam lagi sih, tapi takut telat nanti.’
‘Mau gua anter gak?’ tanya Kairo.
‘Gak usah. Gua bawa mobil tadi,’ Adel buru-buru mengambil tas lalu
mengecup pipi adik laki-lakinya itu. ‘See
you next week!’
***
Adellaide masih terburu-buru begitu keluar dari elevator. Kaki-kakinya
bergerak cepat sementara mata dan tangannya sibuk berkirim pesan dengan pemilik
salon kecantikan langganannya. Wanita satu ini memang sangat tepat waktu. Saking
terburu-burunya ia sampai tidak sadar ada orang di depannya.
Bruk! Ponsel Adel jatuh menghantam keramik ketika ia bertubrukan
dengan orang itu. Baterai, dan casing-nya
berhamburan. Yang ditubruk langsung merasa bersalah dan memunguti satu persatu
serpihan ponsel milik Adel.
‘Maaf sekali, saya tadi
kurang hati-hati. Maaf ya,’ wanita yang memungut ponsel Adel berulang kali
minta maaf.
Adel mengambil serpihan ponsel yang diberikan wanita itu lalu
memandanginya sambil mengingat-ingat. ‘Kamu.. –ah iya! Kamu Kanaya kan? Still remember me?’
Kanaya mencoba mengingat-ingat wajah di depannya ini. Hidung mancung,
dan sorot matanya yang tajam itu sepertinya tidak asing bagi Kanaya. ‘Ah iya! Saya
ingat. Kak Adel kan?’
Adel mengibaskan tangannya. ‘Jangan panggil ‘Kak’ dong. Kita cuman
beda setahun ini. Maaf juga ya, tadi aku buru-buru banget soalnya. Kamu gak
kenapa-napa kan? Gak ada yang sakit kan?’
‘Gak apa-apa, Kak.. eh, maksudku, Adel. Aku tadi juga gak lihat kamu.’
Kanaya menunjuk berkas-berkas di tangannya.
‘Kamu.. tinggal di sini?’
Kanaya mengangguk pasti. ‘Mau mampir ke tempatku?’
‘No, no, lain kali aja. Eh,
tapi kalo kamu lagi ada waktu, mau gak ngobrol-ngobrol sebentar? Coffe shop deket sini aja, oke?’
***
‘Thank you,’ ujar Adel saat
pelayan mengantarkan secangkir green tea miliknya,
dan secangkir caramel machiato milik
Kanaya. ‘Jadi kamu udah berapa lama sama Dika?’
‘Belum setahun sih, tapi ya you
know, setiap hari dia bikin aku merasa like
we were old friends.’
‘How sweet,’ Adel memasang
tampang envy. ‘Tapi, ada satu hal
yang perlu aku bilang sama kamu.’
‘What exactly is that?’
‘Something that Kairo will never
tell you.’
0 komentar:
Posting Komentar