Sabtu pagi, Raisa masih betah ngendon di pos satpam
sekolahnya. Walaupun bel akan berbunyi tak kurang dari lima menit lagi. Ia
masih betah meladeni Pak Satpam bermain catur sambil ngemil ubi goreng yang
dibawa Pak Satpam dari rumahnya. Sementara Pak Satpam juga terlalu asyik dengan
permainan catur sehingga lupa bahwa ia sudah harus menutup gerbang lima menit
sebelum bel berbunyi.
Di depannya, Pak Satpam tengah serius memikirkan ke
koordinat mana bidak caturnya akan ia gerakkan. Bidak raja miliknya
berkali-kali nyaris meregang nyawa diserang bidak ratu dan benteng milik Raisa.
Mereka sudah hampir menyelesaikan permainan. Posisi Pak Satpam sedang
genting-gentingnya. Raja miliknya hanya memiliki satu petak untuk selamat. Tapi
jika ia menggeser raja ke petak itu, maka selangkah lagi bagi Raisa untuk
mengalahkan dirinya. Sejauh ini, Raisa bukan lawan yang enteng bagi Bapak satu
itu. Dari semua murid yang pernah bermain catur bersamanya, hanya Raisa-lah
yang berhasil mengalahkan dirinya.
Diam-diam, Raisa melirik jam tangannya dengan cemas.
Waktu yang ia punya tinggal dua menit lagi. ‘Nyerah nih Pak?’ guraunya sambil
menyeruput teh manis jatahnya.