12 September 2014
Another scene dimana saya harus terburu-buru menuju kota Palembang
karena sebuah telepon..
Another ICU room..
Another scene dimana saya lihat orang yang berarti dalam hidup saya
terbaring koma dengan sejumlah selang terhubung dengan tubuhnya..
Another sirine ambulance
yang melukai hati saya..
Another bendera tanda yang membuat perut saya mencelos ketika
menjejakkan kaki di halaman rumah..
Malam itu saya tiba di rumah
sakit sekitar pukul 22.17 WIB setelah menempuh perjalanan hampir enam jam lamanya.
Beliau sudah terbaring tak bersuara, tak juga ada gerakan. Hanya bunyi mesin
penanda detak jantung (entah apalah itu namanya) dan dadanya yang naik turun yang menunjukkan bahwa beliau
masih bernafas, masih ada, masih bersama saya, masih bersama kami..
Tapi beliau sudah tidak bisa
bicara, entah bisa atau tidak mendengar saya. Mama sudah peringatkan saya untuk
jangan menangis, tapi ya tidak bisa. Saya pilu sekali ketika melihat
perawat-perawat itu memompa oksigen lewat mulutnya. Pilu sekali rasanya melihat
beliau, bahkan untuk bernafas pun tidak bisa lagi ia lakukan sendiri..
Padahal biasanya meski usianya sudah
81 tahun, apapun selalu beliau kerjakan sendiri selagi masih mampu. Tapi
terakhir, ia tidak lagi sempat memasang sendiri bendera merah putih dan
umbul-umbul untuk memperingati HUT RI seperti biasa. Ia hanya meminta saya
untuk melakukannya. Karena pada 15 Agustus 2014, ia mulai jatuh sakit..
Malam itu, tangis pecah di kamar
ICU RS BARI Palembang pada pukul 23.57 WIB. Ketika dokter berwajah oriental itu
menyatakan bahwa beliau sudah meninggal dunia meskipun tim dokter telah
berusaha semaksimal mungkin.
Gak pernah terbayangkan bahwa scene seperti di sinetron itu akan saya alami di dunia nyata. Ketika dokter mengucapkan kalimat klise “semaksimal mungkin” itu. Namun tentu tidak sedrama seperti di sinetron. Ekspresi wajah si dokter ternyata biasa-biasa saja. Tidak sok ikutan sedih seperti yang di sinetron. Biasanya pula kalau di sinetron, pasien sempet sadar, sempet berpesan panjang lebar, kalo pesannya udah selesai, barulah ia menghembuskan napas terakhir. Andai scene yang saya alami se-sinetron itu, mungkin perasaan saya akan lebih baik daripada ini..
Gak pernah terbayangkan bahwa scene seperti di sinetron itu akan saya alami di dunia nyata. Ketika dokter mengucapkan kalimat klise “semaksimal mungkin” itu. Namun tentu tidak sedrama seperti di sinetron. Ekspresi wajah si dokter ternyata biasa-biasa saja. Tidak sok ikutan sedih seperti yang di sinetron. Biasanya pula kalau di sinetron, pasien sempet sadar, sempet berpesan panjang lebar, kalo pesannya udah selesai, barulah ia menghembuskan napas terakhir. Andai scene yang saya alami se-sinetron itu, mungkin perasaan saya akan lebih baik daripada ini..
15 September 2014
Pertanyaan pertama setelah Yai
tutup usia : HOW DO I LIVE WITHOUT HIM?
Dua puluh dua tahun hidup, saya
tidak pernah lama berada jauh dari pandangan matanya. Dua puluh dua tahun,
hidup saya bergantung pada beliau.Saya sudah sangat sangat terbiasa hidup dengannya..
Semalam, setelah tahlilan malam
ke-3, keluarga mulai membereskan kamar yang ditinggalkan beliau. Dimulai dari
setumpuk pakaian di lemari kesayangannya. Yang sampai akhir hayatnya, ia tetap
mempercayakan saya untuk menyimpan kunci lemarinya itu. Malam itu, kunci lemari
beliau saya serahkan kepada keluarga..
Pakaian, sarung, peci, koleksi
helm ketika ia masih bekerja sebagai Karyawan Pertamina, hingga foto-foto yang
beliau simpan telah dikeluarkan. Hati saya mendadak pilu kembali ketika
menemukan foto-foto ini..
![]() |
saya anak kecil yang pakai baju putih, dipangku pria. dialah Yai saya |
![]() |
Yai memegangi saya ketika jenazah Alm. Papa dimasukkan ke liang kubur.. |
Yang bikin pilu adalah dulu saya
selalu merasa diperlakukan tidak adil jika dibandingkan dengan perlakuan beliau
terhadap adik saya, Gita. Sejak kecil saya selalu merasa beliau tidak pernah
menyayangi saya. Menyesal sekali saya ketika melihat foto di atas. Foto itu
diambil beberapa hari setelah Papa meninggal pada Maret 1996. Ternyata
sejak Papa meninggal, beliau telah bersigap menjaga saya. Menyesal sekali saya
baru melihat kembali foto tersebut hari ini. Menyesal sekali saya baru melihat
bahwa, oh, ternyata Yai juga sayang dan perhatian sama saya. Mungkin pilu hatinya ketika memangku saya
saat itu. Bagaimana tiga orang cucunya yang masih amat kecil, telah
ditinggalkan oleh orang yang akan mengajarkan mereka tentang dunia. Sejak Papa
meninggal, beliaulah yang mengambil tugas Papa, mengajari kami tentang dunia..
Darinya saya belajar banyak..
Darinya saya belajar tentang
pentingnya memperjuangkan sesuatu..
Saya ingat betul, waktu saya
masih SD, Yai tidak pernah mengijinkan kami untuk bolos barang sehari saja.
Sakit pun, kalau masih bisa berdiri, kami tetap harus sekolah. Bukan karena
kejam, saya tahu bahwa itu cara beliau untuk tidak membuat kami jadi manja.
Hujan deras pun beliau masih bersedia mengantarkan kami pergi ke sekolah.
Dengan motor bututnya, dan sepotong jas hujan. Apapun akan ia lakukan asal kami
bisa tiba di sekolah.
Saat menulis ini, penyesalan
menyesaki dada saya. Dulu saya sempat malu diantar-jemput beliau dengan motor
bututnya karena seorang teman pernah melontarkan ejekan kepada saya mengenai
motor butut Yai. Dulu saya sempat gak mau diantar sampai ke dalam halaman
sekolah saking malunya. Ya Allah, kalau saya diijinkan memutar waktu, saya mau
sekali kembali ke masa itu dan dengan bangga duduk di belakang boncengan beliau..
Darinya saya belajar tentang apa
itu cinta..
Cinta baginya mungkin bukanlah
sesuatu yang bisa ia ungkapkan dengan mudah. Ingat ketika Nyai masih hidup, ia
jarang terlihat mesra. Bahkan mengobrol dengan nada yang enak pun mereka tidak
pernah. Nada bicara Yai selalu terdengar seperti orang yang sedang marah ketika
bicara dengan Nyai. Tapi saya tahu bahwa Yai sangat bergantung pada Nyai. Hanya
Nyai yang mengerti apa mau Yai, apa yang dia suka dan yang tidak. Apa makanan
kesukaan Yai. Apa yang tidak dan yang boleh Yai makan. Hingga ketika Nyai
meninggalkannya terlebih dahulu pada 08 Juli 2008, saya bisa melihat bahwa Yai telah
kehilangan separuh dari jiwanya.
Saya ingat bagaimana beliau tidak
ingin beranjak dari sisi pusara Nyai, ketika Nyai baru dimakamkan. Beliau tidak
menangis, tidak. Beliau hanya terlihat seperti seorang laki-laki yang
kehilangan dunianya. Saya ingat bahwa beliau sering berlama-lama ketika ziarah
ke makam Nyai. Membersihkan semuanya sampai benar-benar bersih. Lama beliau
selalu mengusap-usap batu nisan Nyai sambil berkomat-kamit entah berpesan apa.
Saya ingat bagaimana beliau selalu panik ketika belum berziarah, beliau pernah
bilang ke saya bahwa beliau khawatir Nyai akan marah kalau beliau belum juga
datang.
Kepada saya pun, beliau tidak
pernah menunjukkan rasa sayangnya. Ketika saya punya prestasi, beliau tidak
pernah menunjukkan rasa bangganya. Beliau sangat marah ketika saya resign tempo hari. Tapi beliau tidak
menunjukkan rasa senangnya ketika saya kembali dapat pekerjaan. Ia selalu
berkata pada saya bahwa saya harus jadi manusia yang bernilai, agar orang-orang
bisa menghargai saya.
Ketika saya berkerja di
perusahaan yang baru, setiap bulan saya selalu memberi “jatah jajan” untuk
beliau. Yang saya sesali adalah belakang saya banyak sekali keperluan tak
terduga. Hingga ketika ia meminta uang lebih, saya gak bisa kasih banyak. Saya
bahkan beberapa kali menjadi sensitif ketika beliau bertanya soal uang. Nyesek
rasanya ketika ingat akan hal ini. Andai saya tahu tak bisa berlama-lama lagi
bersama beliau, saya akan kasih semua isi kantong saya ke beliau dan
mengesampingkan keperluan saya sendiri. Ya Allah nyesek sumpah.
Adek saya, Gita, mungkin adalah
pengecualian untuk “ketidak-menunjukkan-cintaan” Yai. Gita mungkin cucu
kesayangannya. Dulu saya sering merasa diperlakukan tidak adil karena Yai dan
Nyai lebih sayang Gita, dan saya tidak disayang. Tapi setelah dewasa saya
ngerti. Yai dan Nyai mencurahkan kasih sayang lebih kepada Gita, karena
Gita-lah yang paling sebentar merasakan kasih sayang Papa. Adek saya baru
berumur 10 bulan ketika Papa meninggalkan kami selamanya.
Kalau makan enak, Yai pasti
menyisihkan makanannya untuk Gita. Beliau tau Gita sangat hobi makan. Ketika
Gita mulai hidup di perantauan, beliau selalu menanyakan Gita lewat saya. Kalau
Gita sakit, beliau pasti kepikiran. Bertanya setiap hari sampai saya bilang
Gita sudah sehat. Sampai akhir hayat, beliau selalu memikirkan gita. Bahkan
ketika beliau mulai sakit, beliau minta saya untuk tidak lupa mengabari Gita.
Ketika Idul Fitri, dan anak-anaknya yang jauh dari pandangan matanya belum menelepon, sekadar mohon maaf lahir dan bathin atau mengabari akan mudik atau tidak, Yai akan berlagak tidak peduli. Yai selalu berlagak tidak butuh, padahal saya yakin dalam hatinya ia sedang menunggu. Pernah suatu ketika, seorang anaknya bilang bahwa ia akan mudik, Yai menunggu di depan pintu dengan sabar. Ia bahkan melewatkan makan malam. Namun anaknya tak kunjung datang. Sampai lewat jam sebelas malam, ia baru menyerah dan masuk ke kamarnya sambil menelan kecewa. Saya ingat, saya dan Kakak saya, menitikkan air mata malam itu, tidak tega melihat kekecewaan yang ia alami.
Ia mungkin terlihat sebagai orang paling kejam. Ia mungkin terlihat sebagai orang paling cuek. Tapi beliaulah manusia paling penyayang yang pernah saya lihat, selain Nyai. Ia tidak pernah melupakan mereka yang melupakannya. Ia tidak pernah kehilangan rasa bangga atas mereka yang selalu mengabaikannya..
Darinya saya belajar segala hal..
Dengan bangga saya bilang bahwa
Yai saya adalah orang paling cerdas yang pernah saya temui. Meski hanya seorang lulusan SMA, tapi Yai tahu dan bisa segalanya. Apapun saya tanya
ke beliau, gak pernah saya gak dapat jawaban. Masalah pelajaran, masalah
kehidupan, Bahasa Inggris, bahkan kadang saya bertanya tentang politik kepada
beliau. Yai saya bisa melakukan apapun yang manusia bisa pada umumnya. Soal
listrik ngerti, saya pernah diajari beliau bagaimana cara membetulkan stop
kontak listrik ketika kabelnya putus atau mungkin terbakar. Di rumah, saya
orang yang selalu beliau beri informasi mengenai instalasi listrik di rumah.
Kabel mana yang harus dicabut dan dicolok ketika menyalakan gen-set. Sekring mana yang harus diganti
kalau sebagian lampu putus secara bersamaan.
Soal pertukangan beliau ngerti,
soal otomotif ngerti, soal olahraga ngerti, soal musik ngerti. Dulu beliau
sesekali bermain piano ketika organ klasik di rumah masih bagus. Ketika adik
saya bawa biola ke rumah, kami sempat meminta beliau coba main, karena beliau
pernah bilang bisa bermain biola. Dan beliau memang bisa walau mungkin gak
mahir. Setidaknya permainan beliau lebih
mulus dari permainan adek saya.
Beliau suka musik keroncong dan
sering nonton acara keroncong setiap hari Senin atau Selasa malam di TVRI.
Beliau juga hobi nonton kuis Family 100 dan suka kesal lihat Tukul Arwana yang
suka ngabis-ngabisin durasi dengan gimmick
gak penting. Suka geregetan juga lihat peserta yang gak bisa jawab pertanyaan.
Beliau juga doyan nonton kuis Berpacu Dalam Melodi ketika masih tayang di TVRI.
Yang bikin saya nyesek adalah kami belum sempat kembali nonton bareng kuis
Berpacu Dalam Melodi yang sekarang tayang lagi di NET.
Saya mungkin cucu paling kurang
ajar yang pernah dia punya. Dosa saya mungkin paling banyak dibanding anak-cucu
yang lain. Saya orang yang paling sering mendebat beliau, membantah, bahkan kadang
bikin beliau marah. Nyesek sekali di dada kalau ingat betapa sering saya bikin
salah sama beliau. Ya Allah, gimana lagi caranya saya harus minta maaf sama
beliau. Saya nangis garuk-garuk tanah pusara beliau pun rasanya gak cukup lagi.
Saya terakhir ketemu Yai tanggal
22 Agustus 2014. Saat itu beliau masih menjalani perawatan di RS AR Bunda
Prabumulih. Beliau memang sehat wal afiat. Hanya saja ada pembengkakan di
saluran prostatnya. Entahlah saya gak ngerti juga. Wajah dan fisik Yai masih
segar bugar saat itu. Beliau masih sempat-sempatnya tanya kunci lemari yang
saya simpan dan bertanya apakah saya sudah menelpon Gita dan memberi tahu bahwa
Yai akan dirujuk ke Palembang.
Yang lucu saat itu, Yai masih
sempat-sempatnya bercanda..
Me : Yai, tadi kemejanya ganti gak?
Yai : Ganti dong, ini kan udah di kota, malu dong kalo gak
ganti baju. Mana tadi susternya cantik, malu kan kalo bajunya jelek. Hehehe
Me : Selfie dulu kalo
gitu!
![]() |
abaikan muka saya, please |
Saya sempat foto-foto beberapa
kali dengan beliau. Saya berniat untuk membuatnya rileks, supaya beliau tidak
stres karena harus kembali berpindah rumah sakit. Siang itu, ketika saya
mengunjungi beliau di Prabumulih, beliau hendak berangkat ke kota Palembang,
karena peralatan di Prabumulih kurang memadai untuk melakukan operasi besar.
Sebelum beliau berangkat, saya menyalami beliau, berpesan supaya beliau jangan
banyak pikiran. “Anggap saja Yai sedang liburan,” kata saya. Lalu saya minta
ijin untuk mencium pipi beliau. Mungkin untuk yang pertama dan terakhir kali setelah saya
tidak lagi menjadi anak kecil yang masih wajar mencium dan dicium.
![]() |
tetaplah tersenyum seganteng ini selama di sana... |
![]() |
sebelum berangkat ke Palembang dari RS AR Bunda |
Ketika beliau masih rawat jalan
di Palembang. Saya beberapa kali bicara dengan beliau lewat telepon. Namun seminggu terakhir
setelah dia berhasil dioperasi, saya tidak pernah menelepon. Jumat pagi, 12
September 2014, itu terakhir kali saya mendengar suaranya di telepon. Nada
bicaranya masih terdengar ceria, tapi sudah gak nyambung lagi. Beliau mengadu
pada saya kalo di sana, beliau diperlakukan seperti anak kecil saja. Turun dari
kasur pun tidak boleh. Saya bilang, “Lho, Yai kan habis operasi. Jadi memang
gak boleh banyak gerak. Kalo berdarah terus, kapan dong Yai boleh pulang.”
Saya juga merengek-rengek ingin
mereka cepat pulang karena saya sudah tiga minggu hanya tinggal berdua dengan
adek di rumah.
Rencananya, Sabtu, 13 September
2014, saya akan mengunjungi beliau ke Palembang. Karena kata Mama yang menjaga
beliau di sana, Yai sangat bandel. Maunya turun dari tempat tidur terus,
padahal nggak boleh. Jadi rencananya, biar saya dan yang lain yang bicara
padanya. Siapa tahu didengar.
Tapi Jumat sore, tiba-tiba kami
ditelepon. Yai sudah tak sadarkan diri karena ada pendarahan di otak. Ketika
sampai di rumah sakit, saya gak bisa menahan diri untuk tidak menangis begitu
melihat beliau. Matanya terkatup rapat. Jemarinya tak lagi merespon ketika saya
genggam. Pupus harapan untuk bisa berbicara dengan beliau. Sebenarnya, waktu
masih di Inderalaya, air mata saya sudah mengalir tanpa bisa ditahan ketika
Mama telepon dan bilang bahwa menurut dokter, hanya mukjizat yang bisa
menyembuhkan Yai. Pendarahan di otaknya sudah menyebar, dan gak mungkin lagi
dioperasi karena faktor usia.
Saya berbisik memanggil beliau,
saya genggam tangannya, tapi tangannya hanya tergeletak kaku meski masih hangat. Saya hanya
bisa minta maaf, tanpa tahu apakah beliau memaafkan saya atau enggak. Untuk
pertama kalinya, saya membisikinya, bilang betapa sebenarnya saya sayang pada
beliau. Tanpa beliau, saya gak tahu nasib saya akan gimana. Tanpa beliau,
mungkin saya gak bisa menjadi seperti sekarang..
Saya sudah mengikhlaskan
kepergiannya. Because life must go on. And the world will keep on moving even when i take a rest just for a few second. Hanya saja, masih sesak terasa kalau saya ingat
kesalahan-kesalahan saya terhadap Yai.
Hati saya sedih melihat Mama
menangis dan bilang, “Ya Allah, Bapak saya sudah gak ada lagi.”
Saya dekati Mama dan bilang,
“Mah, kan Mama masih punya 4 anak yang jaga Mama.” Dalam hati saya menambahkan,
“Kami bertiga bahkan sudah tidak punya Bapak saat usia Mbak Teta belum genap
tujuh tahun, Mah.”
Sekarang saya, dan keluarga yang
lain, harus mulai terbiasa menjalani kehidupan yang baru tanpa Yai. Kami sayang
Yai, tapi Allah lebih sayang padanya. 81 tahun, rasa-rasanya sudah cukup
petualangan Yai di sini. Saya tahu beliau sudah sangat lelah. Sekarang saatnya
beliau beristirahat. Semoga saja beliau sudah cukup puas karena sebulan terakhir,
seluruh perhatian dan kasih sayang anak, cucu, dan cicitnya tercurah penuh
padanya. Sekarang, tenang dan berbahagialah di sana. Semoga di sana tidak ada
lagi rasa sakit. Semoga di sana hanya ada bahagia. Semoga Allah berkenan
mempertemukan Yai dengan Nyai. Agar kalian bahagia berdua dalam cinta yang
abadi.
Kecuali saya mungkin amnesia
nanti, saya gak akan pernah melupakan Yai. Gak akan mungkin bisa juga. Yai
adalah bagian penting dalam perjalanan hidup saya. Yai adalah bagian dari
orang-orang yang membuat saya merasa harus terus berjuang.
Walau sekarang saya gak bisa melihat Yai lagi, kita gak bisa nonton kuis bareng lagi, tapi semoga Allah menyediakan tempat
yang lebih layak bagi Yai di alam sana, yang nyaman, plus tivi untuk Yai tetap nonton kuis di sana...
Mohon maafkanlah saya, ampuni
saya, yang banyak dosa ini.. ampuni saya yang kurang ajar ini.. ampuni saya
yang tidak tahu berterima kasih ini..
![]() |
kenangan terakhir bersama beliau, Idul Fitri 2014 |
Lebaran kemarin adalah momen terakhir yang kami lewati bersama beliau yang masih sehat wal afiat. Lebaran kemarin kami banyak berfoto meski tak semua anak dan cucu datang mengunjunginya. Sekarang Yai sudah tidak perlu menunggu, Yai sudah tidak perlu lagi kecewa..
Terima kasih, Yai-ku, atas semua
cinta, dedikasi, kasih sayang, dan bimbinganmu selama ini..
Saya, Mayzar Listya Wardani,
ingin beritahu dunia bahwa saya sayang sekali pada Yai.. Meskipun sekarang
mungkin sudah sangat terlambat dan tidak ada gunanya lagi untuk diungkapkan..
Pendopo, 17 September 2014,
ditulis dengan segenap cinta untuk laki-laki terhebat dalam hidup saya..
![]() |
peristirahatan terakhir beliau |
Ungkapkanlah cinta secepatnya jika memang ada, karena kadang kesempatan-lah yang tidak selalu ada..
2 komentar:
mewekkkk nian aku baco ini asliii
Thank you sudah baco yukkk
Posting Komentar