Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Cerita cinta gue dulu :D ( Bagian Satu )

Hai, nama gue Mayzar Listya Wardani. Orang-orang biasa manggil gue Zar atau Jar versi kurang ajarnya. Ada juga beberapa yang manggil gue May. Duh plis deh, gue gak suka banget dipanggil begitu. Kesannya kayak nama gue Maymunah ato Maysaroh gitu. Di rumah gue biasa dipanggil Tya, tapi seiring dengan era globalisasi yang beranjak ke era digital ini, gue jadi dipanggil Mijar atao Mi.
Saat nulis ini gue masih berwujud remaja sembilan belas tahun. Gue tinggal di kota kecamatan kecil. Karena kota ini gak muncul di peta, jadi sebut aja gue tinggal di Kota Suka-suka. Sorry nih The Changcuter, gak ada maksud buat ngejiplak lirik lagu lo. Kenapa gue memilih nama Kota Suka-suka? Karena penduduk kota ini memang suka ngelakuin hal sesuka-suka mereka. Misalnya nih, harga bakso di kota besar paling mahal ya delapan ribu. Tapi di Suka-suka jangan harap bisa dapet bakso enak dengan harga segitu. Lalu lintas di kota ini cukup plong, nyaris gak pernah macet, kecuali di bagian Pasar Tradisional menjelang lebaran. Saking suka-sukanya, di kota ini semua orang bebas berkendara, termasuk anak TK. Gak perlu SIM, gak perlu helm, bahkan motor berspion bukannya jadi contoh, malah jadi bahan tertawaan.
            Gue menghabiskan pendidikan gue dari TK sampe SMA di kota ini. Di sekolah swasta paling keren yang menyandang nama perusahaan besar yang menguasai hampir seluruh bagian kota Suka-suka. Makanya orang yang gue kenal ya ‘itu-itu aja’.
            Ini cerita pengalaman gue dengan makhluk bernama laki-laki yang banyak gue alami pas gue masih SMP. Sebenernya gue masih ragu mau ngepost ini apa kagak. Gue lagi ngitungin rambut, post enggak post enggak post enggak. oke kelamaaan. O iya, gue hampir lupa. Di setiap cerita gue nanti, bakalan ada beberapa tokoh penting yakni beberapa perempuan gila, primata-primata tak berperasaan berlabel sohib gue, Utik, Awiek, Anty, dan Ina. Semua nama di dalam tulisan ini ( kecuali nama gue ) sengaja gue bikin fiktif untuk mencegah hal-hal yang nggak diinginkan.
            Orait, sebelum lo masuk ke bagian berikutnya dari tulisan ancur gue ini, ada baiknya lo tarik napas dalem-dalem lalu keluarin. Lakukan sebanyak tiga kali. Sumpah, gue gak tau fungsi perintah gue tadi itu apa. Yang kebelet silahkan ke belakang dulu. Yang laper, monggo makan dulu. Yang mau mandi, ya mandi. Yang mau tidur, ya tidur. Yang gak mau baca, ya harus mau baca. Lha?
            Yok yok dibantu-bantu yak, bin salabin jadi apa, prok prok prok. Sorry Pak Tarno.

ini bagian pertama:

POTTER ( First Boyfriend )

Gue percaya, setiap cewek di dunia ini ditakdirkan berjodoh dengan satu cowok. Tapi siapa, gimana, dan kapan jodoh itu akan datang, nobody knows. Gue juga yakin, setiap ABG yang baru mulai masuk masa puber, pasti punya rasa ketertarikan dengan lawan jenis. Dan sebagai ABG normal, gue juga mengalaminya. Gue memulai debut naksir-naksiran gue dari kelas enam SD. Sebagai ABG bertampang pas-pasan, gue suka gak kira-kira naksir cowok. Yang pertama gue taksir adalah schoolmate gue dari TK, oke sebut saja dia Potter. Doi cute, smart with glasses, religious, bit ashame, pokonya charming banget lah. Berawal dari keisengan gue nulis di shared diary gue and the gank dulu. Di situ gue nulis –jelasnya- gue naksir Potter. Padahal awalnya gue cuma iseng. Eh, gak taunya gue kepincut beneran.
            Memasuki masa SMP, gue satu kelas lagi dengan doi. Gue juga intens contact dengannya. Tapi gue juga gak mau nunjukin kalo gue naksir, dan doi juga gak nyadar kalo gue suka curi-pandang-norak dengan doi.
            Ada Anty, salah satu anggota geng gue SD dulu. Doi lumayan deket dengan si Potter. Denger-denger sih, Potter suka curcol gitu deh ama dia. Dan dengan kurang ajarnya, Anty bilang ke Potter kalo gue naksir doi, tentunya jauh di luar jangkauan kuping gue. Beberapa hari setelah pembocoran aib itu, sikap Potter berubah. Doi jadi lebih diem dan suka ngejauh.
            ’Mi, Potter tau lho, lo naksir dia,’ kata Anty pas jam istirahat.
            ’Hah? Kok Bisa?’ tanya gue panik. Siapa yang gak panik plus malu kalo lo ke-gap naksir oleh yang ditaksir?
            ’Gue yang kasih tau,’ jawab Anty santai.
            ’Anjrit, kenapa lo kasih tau?!’ Sumpah ya, kalo waktu itu pembunuhan gak dilarang (sekarang juga masih dilarang) udah gue gorok si Anty pake celurit tukang kebun sekolah, gue potong-potong terus gue rebus sampe ancur.
            ’Abis gue gemes lihat lo. Mo sampe nenek gue perawan lagi juga, Potter gak bakal pernah tau perasaan lo ke dia.’ Yak teman-teman, Anty ini penganut paham ’cinta itu kayak kentut’ dengan filosofi ditahan sakit, dikeluarin lega.. Dan menurutnya, kenaksiran gue ini termasuk cinta terpendam kelas akut yang bakal nyebabin gue sakit hati kronis berkepanjangan kalo gak buru-buru diungkapin. Dan gue sebagai ABG dengan tampang pas-pasan dan bergengsi tinggi, cukup tau diri dan lebih memilih untuk naksir diam-diam serta kentut diam-diam. Tapi niat mulia gue untuk naksir diam-diam ini mati berdarah-darah di tangan seorang jagal bernama Anty, temen baik gue.
            Beberapa hari kemudian, gue ikut PERSAMI (Perkemahan Sabtu Minggu) di sekolah. Ya, di kota Suka-suka yang kecil, pramuka dan perkemahan masih menjadi sesuatu yang asyik banget. Secara di sini gak ada Mal, Waterboom, apalagi arena boling. Hubungan gue dengan Potter sudah mulai mencair. Gue udah mulai bercanda-canda lagi dengan doi dan doi kayaknya udah mulai nunjukkin gelagat-gelagat ‘aneh’. Menjelang malam, dalam perjalanan gue menunaikan tugas mulia (baca: ke toilet), gue dicegat Potter di jalan.
            ‘Kenape lo?’ kata gue rada sewot. Siapa yang gak sewot kalo lagi kebelet?
            ‘Duduk dulu deh, gue mo ngomong.’ Dan gue duduk berhadap-hadapan dengan dia.
            ‘Ngomong apa?’
            ‘Gue suka lo, lo suka gak?’ Man, gue ngerasa lagi berhadapan dengan sales panci yang lagi promosi barang, ‘Ibu suka Ibu ambil. Suka yang merah atau hitam? Keunggulan produk kami selain bisa dipakai memasak, juga bisa dipakai untuk nampol orang.’
            Gue menelan ludah, berharap itu bisa ngurangi rasa kebelet gue yang semakin menjadi-jadi. ‘Suka sih, tapi…’
            ‘Suka atau gak?’ desaknya lagi. Sales panci muncul lagi di halusinasi gue,’Mo ambil gak Bu?’
            ‘Ya suka, tapi..’
            ‘Suka kan? Jawab iya aja susah banget. Ya udah, bagus deh kalo iya.’ That’s it. Begitu doang peristiwa bersejarah gue, detik-detik gue pertama kali ditembak cowok. Nothing special;, no roses, no romantic words, no feeling. Yang terakhir gue terka sendiri. Karena hari-hari berikutnya justru lebih buruk dari yang gue bayangkan. Gue gak melihat dia sebagai cowok yang naksir gue, seperti yang gue lihat dari cowok-cowok yang macarin Anty. Jahatnya, gue mikir kalo dia terpaksa nembak gue, dengan Anty sebagai tersangka pemaksaan tersebut.
            Gue sadar sendiri, ini salah gue. Gue terlalu seneng pas dia bilang suka, tanpa gue bisa nangkep kejujuran di matanya. Gue terlalu grogi natap matanya (ceileehhh). Bukannya takut pingsan, gue lebih takut pipis di celana saking groginya.
            Tiga minggu kemudian, Adit, sohibnya Potter, nyamperin gue di depan kelas. Man, padahal gue sama Potter juga sekelas.
            ‘Potter mau putus, Mi,’ katanya dengan takut-takut, takut gue ngamuk dan ngegrauk mukanya. GUE DIPUTUSIN.
            ‘Oh, ya udah. Kita putus,’ kata gue mencoba untuk serileks mungkin. Padahal dalam hati gue udah burning abis. Ini gue juga bingung, cowok gue siapa, yang bilang putus siapa. Yang bikin gue kesel bukan bagian gue digugat putus sama Potter, tapi kepengecutan doi yang gak mau bilang langsung ke gue, melainkan lewat utusan kerajaannya.
            My first love broke my heart for the first time’  gitu kata Justin Bieber. Gue menentang Jason Mraz di sini. Karena dia bilang, ‘I’m lucky I’m in love with my bestfriend.’ Sedangkan gue sama sekali gak lucky. Setelah peristiwa itu, hubungan gue gak pernah baik dengan doi. Bukan berarti kalo gue ketemu doi terus gue tampol, nggak, gue gak se-pshyco itu. Kami hanya putus komunikasi untuk waktu yang lama. Kalaupun ketemu di koridor, gue dan doi hanya sekedar menarik bibir satu senti, atau ngangkat alis.
            Belakangan gue agak menyesal kenapa gue bisa-bisanya naksir dengan temen baik gue. Dan dari sini gue belajar untuk gak ‘Gas Pol’ dalam menaksir cowok, dan juga untuk gak naksir (lagi) dengan temen sendiri. 


to be continued..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar