Kamar itu gelap gulita.
Satu-satunya sumber cahaya yang ada hanyalah bias sinar bulan yang masuk dari
daun jendela yang dibuka lebar-lebar. Kriuk. Kriuk. Hanya itu yang terdengar di
sela sahut-menyahut binatang nocturnal di halaman rumah. Bermodalkan sekantong
keripik pedas level lima, Raisa melampiaskan kekesalannya atas apa yang terjadi
beberapa jam terakhir.
Berbagai ‘kenapa’ berjejalan di
kepala Raisa. Kenapa tunangan Mia harus Kevin? Kenapa Kevin harus muncul
kembali di depan matanya sebagai tunangan Mia? Kenapa harus malam ini? Kenapa
harus di perayaan ulang tahun Mia yang merangkap perayaan ulang tahun dirinya
dan perayaan persahabatan mereka?
Raisa tidak tahu ‘kenapa’ yang
mana yang membuat dirinya kesal. Ia pun tak tahu betul apa perasaan ini bisa
disebut kesal. Dan kenapa juga dirinya harus kesal? Raisa memilih tindakan
Kevin ‘menggoda’ dirinya di depan teman-teman bahkan tunangan Kevin sendiri
sebagai alasan yang masuk akal tentang kenapa dia kesal dengan makhluk satu
itu.
Tak butuh waktu lama bagi Raisa untuk
menyerah. Kantung plastik keripik itu jatuh seiring ia yang mulai terisak pelan
sambil memeluk lututnya. Air matanya mengalir tanpa suara. Ia tidak bisa
menahannya lagi. Fakta bahwa Kevin adalah tunangan Mia begitu menyakitkan
baginya. Sampai empat jam yang lalu, ia masih yakin kalau ia sudah tidak
memikirkan Kevin. Tapi melihat manusia itu berdiri di hadapannya membuat Raisa
harus menjilat kembali ludahnya sendiri.
Tiba-tiba saja ia merasakan
penyesalan yang amat mendalam. Kalau waktu bisa diulang, ia akan jujur setiap
kali Mia bertanya apakah dirinya masih memikirkan Kevin. Setidaknya Mia tidak
akan menerima pertunangan itu kalau tahu Raisa masih suka Kevin. Tapi sekarang
sudah tidak ada gunanya.
Raisa bangkit ke sisi tempat
tidurnya. Sekilas ia memandang kotak musik kincir angin hadiah ulang tahunnya
dari Glenn. Diraihnya benda itu lalu memutar kincirnya. Dentingan lagu Happy Birthday itu seakan mendamaikan
hatinya. Lama sekali Raisa memandangi seisi kamarnya. Belanda. Mia Betul.
Satu-satunya alasan Raisa ingin mengunjungi negara itu adalah karena dia ada di
sana. Kevin is Holland of her dream.
Raisa menatap kincir yang
berputar pelan itu. ‘Sebenarnya aku ingin percaya kalo kamu yang kasih ini
buatku, bukannya Glenn.’
Tiba-tiba satu ‘kenapa’ lagi
muncul di kepalanya, ketika ia mengingat apa yang ia dapati saat terbangun dari
tidurnya tadi. Kenapa tadi wajah Kevin
begitu dekat? Mungkinkah… kecupan di mimpi itu benar-benar terjadi?
***
Sepanjang jam pelajaran pertama
Senin pagi ini, Raisa hanya meringkuk di balik buku paket Bahasa Inggris
miliknya. Bukannya membaca, melainkan hanya untuk menyembunyikan dirinya yang
sedang ngantuk berat. Kali ini ia harus berterima kasih pada kaca mata minus
yang ia kenakan karena telah berjasa menyamarkan kelopak matanya yang sembab
akibat menangis sepanjang weekend. Ini
kali kedua Raisa menangis hebat untuk orang yang sama.
Cewek itu belum juga beringsut
dari balik buku begitu guru mata pelajaran sudah memasuki kelas. Telinganya
tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang dibicarakan guru itu. Sampai ia
mendengar ada suara lain yang bicara.
‘Hai semuanya! Nama saya Kevin
Adrian. Siswa baru wajah lama sih buat yang udah kenal saya waktu di SMP
Teladan Nusantara. Hehehe. Salam kenal ya!’
Raisa menegakkan kepalanya dengan
cepat. Kantuknya minggat entah kemana. Tepat di muka kelas, sosok manusia itu
berdiri sambil menebar senyum. Kelas mendadak ramai. Bukan ingar bingar, tapi
ramai karena beberapa orang serentak berbisik-bisik. Raisa mendengar salah satu
suara bisik-bisik dari balik punggungnya. ‘Cakep banget siiiiiiii!’
Mata Raisa nyaris melompat keluar
mendapati Kevin berdiri cengengesan di muka kelasnya. Mau apa dia di sini? Tapi ia segera kembali menekuri buku paket
Bahasa Inggrisnya begitu pandangan Kevin terhenti di kedua bola mata dirinya.
Kevin tersenyum tipis sambil terus menatap lekat cewek yang sedang berusaha
keras menghindari tatapan matanya.
‘Ngomong-ngomong,
saya boleh request gak, Bu?’ tanya
Kevin tiba-tiba.
‘Sure. Apa itu hm?’
‘Berhubung saya murid pindahan, pasti
saya banyak ketinggalannya. Gak bermaksud mendiskreditkan murid lain, tapi bisa
gak saya duduk sama yang paling pinter di kelas ini? Biar gampang aja gitu
adaptasi dengan pelajaran di sini..’
‘Oh, iya tentu saja. Ibu juga
sudah pertimbangkan itu,’ sang guru mengangguk-angguk lalu mengedarkan
pandangannya, lalu kemudian, ‘Dea, kamu pindah ke sebelah Trian. Biar Kevin
yang duduk dengan Raisa.’
Kevin
tersenyum penuh kemenangan.
***
Sepanjang tiga jam pelajaran tadi
Raisa sudah berhasil menahan diri untuk tidak mencakar wajah gantengnya itu.
Begitu bel istirahat berbunyi, secepat kilat Raisa menyeret Kevin ke belakang
gedung sekolah.
‘Elu!’
Telunjuk Raisa nyaris menyolok mata Kevin. ‘Ngapain lu sekolah di sini?!’
‘Ngapain? Ya
buat belajar dong, Ca.. Kamu nih aneh deh. Ckckck..’
‘Ya kenapa harus di sini? Di
sekolah ini? Kamu kan bisa sekolah di tempat lain? Sekolah Internasional di
Jakarta banyak. Kamu gak akan kesulitan menyesuaikan diri di sana karena
sistemnya hampir sama.’
Kevin celingak-celinguk, berlagak
polos. Sebentar kemudian ia mengintip ke halaman sekolah, entah melihat apa,
lalu kembali ke hadapan Raisa.
‘Gak ada
tanda larangan buatku sekolah di sini tuh. Jadi apa salahku?’
Raisa menelan ludah. Mulutnya
membuka dan menutup seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ia ragu. Matanya
berkedip lebih cepat dari biasanya. Kevin hafal bahasa tubuh yang satu itu:
Raisa sedang gugup.
‘Emang gak
ada yang larang, gua nya aja yang gak suka lu di sini!’ pungkasnya ketus.
Kevin mengernyitkan alis. Matanya
menatap lekat-lekat bola mata yang sedang bergerak ke sana kemari itu. Cowok
itu juga hafal makna gerakan itu: kegugupan Raisa naik satu level.
‘Oke,’ Kevin menghela napas,
melemaskan otot-otot mukanya agar terlihat rileks, lalu tersenyum. ‘Jadi kamu
gak suka aku sekolah di sini?’
Raisa memutar
bola matanya. ‘Iya.’
Kevin melipat kedua lengannya di
depan dada seraya menaikkan sebelah alisnya. ‘Kenapa?’
‘Ke-kenapa?’ Telunjuk Raisa mulai
menggaruk-garuk jempolnya sendiri. Bukan gatal, tapi pertanda kalau kegugupan
Raisa sudah sampai level akut. ‘Ehm.. Pertama, karena lu Kevin. Kedua, karena
lu Kevin. Ketiga, karena kemarin lu bikin gua kejebak awkward moment pas ultah Mia. Lu bilang yang nggak-nggak di depan
temen-temen, di depan tunangan lu yang juga sahabat gua. Keempat, karena…
karena.. karena lu udah ngerebut bangku Dea di-’
‘Kamu tahu gak sih?’ sela Kevin cepat.
Nada bicaranya terdengar sangat santai, tidak terintimidasi sama sekali dengan
kata-kata Raisa. ‘Kadang, semakin banyak alasan orang, semakin nunjukin kalo
dia lagi bohong lho.’
Raisa
mendelik. ‘Sembarangan! Heh, jangan sok ta-‘
Dering ponsel Kevin memotong
ucapan Raisa. Cowok itu segera menjawab telepon dan sengaja mengaktifkan loudspeaker. ‘Iya, Mia?’
‘Kamu di mana? Bukannya hari ini
udah mulai masuk? Tadi aku cari ke kelas kamu gak ada. Mau ngenalin kamu sama
bakso Bu Tini neeeh..’
‘Aku udah masuk kok. Kamu tunggu
di kelas kamu aja, nanti aku ke sana, oke? See
you!’ Telepon dimatikan. Kevin kembali menatap Raisa. Kali ini rahangnya
sengaja ia keraskan, pertanda ia serius dengan kalimat yang akan ia keluarkan.
‘Aku gak tau ya, kenapa kamu gak suka aku. Yang jelas, menurutku alasan-alasan
kamu tuh semuanya gak make sense. Alasanku
sekolah di sini karena ada Mia. Kamu sudah tahu dia tunanganku kan? Aku
menghargai kamu sebagai sahabat Mia.. dan sahabatku dulu. Tapi hanya karena
kamu gak suka, tetap gak akan mengubah apa-apa. Jelas?’
Raisa
terdiam.
‘Oh iya, satu lagi,’ tukas Kevin
sebelum ia berlalu meninggalkan Raisa yang terpaku di tempatnya berdiri. ‘Aku
masih butuh kamu ngerahasiain pertunanganku dengan Mia. Aku bakal lupain
kata-kata kamu hari ini dan kuharap hubungan kita bisa lebih baik dari ini ya,’
ujar Kevin sambil mengusuk-usuk kepala Raisa yang kini mematung. ‘Bye Caca.’
***
Sepeninggal Kevin, meskipun menit
demi menit berlalu, Raisa masih beku di tempatnya berdiri. Kata-kata Kevin
seperti mantera ‘Stupefy’ yang
membuatnya kaku. Dingin sekaligus menohok begitu tepat di hatinya.
Raisa tertawa sinis, menertawakan
dirinya sendiri. Apa yang merasuki jiwanya hingga ia berani berkata demikian
pada Kevin? Jawaban apa yang sebenarnya Raisa harapkan atas pertanyaan
konyolnya tadi? Berharap Kevin akan bilang kalau dirinya memilih untuk bersekolah
di sini karena Raisa? Tiba-tiba saja ia merasa sangat bodoh dan benar-benar
malu. Raisa tertawa keras-keras seperti hilang kewarasannya. Namun tetap saja,
ada rasa ngilu di hatinya yang tidak mampu ia acuhkan.
‘Kenapa juga aku harus tanya hal
yang jawabannya bakal nyakitin gini? Bodoh banget kamu, Raisa!’ kutuknya sambil
menyusut air matanya dengan ujung dasi.
Perutnya yang terasa pedih
membuatnya sadar kalau ia belum makan sejak kemarin siang. Sambil menuju kantin
Raisa memastikan tidak ada setetespun air mata tersisa di pelupuk matanya.
Kalau ada orang yang melihatnya menangis, akan berabe cari-cari alasan atas pertanyaan ‘kenapa’ dari mereka.
Dengan gontai Raisa memasuki kantin lalu memesan semangkuk bakso langganannya.
‘Raisa!’ seseorang meneriakinya
dari salah satu sudut kantin. Lutut Raisa langsung lesu. Dari tingkat
kecemprengan suara, Raisa tau siapa yang memanggil. Dengan terpaksa Raisa
menoleh. Mia tengah melambaikan tangan dengan semangat. Di sebelahnya, Kevin
hanya menatapnya sekilas lalu kembali menyibukkan diri dengan mangkuk baksonya.
Bagus, dua orang yang paling ingin ia hindari sedang berkumpul. ‘Gabung sini!
Udah penuh semua tuh mejanya!’ lanjut Mia.
Raisa mengedarkan pandangannya ke
seantero kantin. Benar, sudah penuh terisi oleh wajah-wajah primata kelaparan.
Perut makin pedih dan sudah tertangkap basah oleh Mia begini, satu-satunya
harapan hidup Raisa adalah bergabung dengan Mia dan Kevin (dan melihat acara
pacaran mereka, entah suap-suapan atau saling mengelap bibir masing-masing
dengan tisu).
‘Hai,’ sapa
Raisa datar. Pertunangan minta
dirahasiain, tapi kemana-mana berduaan terus.
Suara Mia yang langsung menyita seluruh
ruang di telinganya timbul tenggelam. Tenggelam di antara pergumulan batin yang
terjadi dalam diri Raisa. Ia pun hanya menanggapi sekenanya.
‘Jadi kalian sekarang sekelas dan
duduk sebangku blubububububub? Wah asyik dong! Ra, kamu harus bantuin Kevin
supaya blubububububububub. Ha! Gak sia-sia punya sohib blububububububub kayak
elu!’
‘Ya gitu deh,’ sahut Raisa gak
nyambung. Tangannya menuangkan kecap, saos, jeruk limau, dan tiga sendok makan
sambal ke dalam mangkoknya. Sambil masih menanggapi seadanya, Raisa mulai
menyantap baksonya dengan lahap kalap. Sangat terburu-buru, entah karena
ia sedang sangat kelaparan atau ingin cepat-cepat enyah dari hadapan dua sejoli
ini.
Kevin yang mulai memerhatikan
ketika Raisa menuangkan begitu banyak sambal hanya bisa mengernyitkan alis. Ia
sedikit khawatir kalau-kalau Raisa tersedak atau sakit perut karena makan
terlalu pedas. Belum selesai ia khawatir, tiba-tiba Raisa tersedak betulan.
Wajah Raisa merah seakan
tercekik. Kerongkongan sampai hidungnya merasakan pedas yang menusuk. Beberapa
kali ia batuk hingga rasanya sulit bernafas. Belum sempat Kevin menyodorkan
minuman miliknya, Raisa sudah mendapatkan air untuk diminum. Seseorang
memberikannya.
Kevin mendongakkan kepala.
Seorang cowok bertampang indo berdiri di samping Raisa sambil mengusap-usap
punggung cewek itu. ‘Udah baikan?’ tanya cowok itu. Gesturnya mencurigakan,
pikir Kevin.
‘Udah. Makasih ya, Glenn,’ jawab
Raisa sambil berusaha tersenyum. Wajahnya masih tampak kemerahan.
‘Makanya kalo makan pelan-pelan
ya, Cantik,’ Glenn mengusap-usap puncak kepala Raisa. Membuat Raisa tetap
tersipu malu, suasana hatinya yang kacau beberapa menit yang lalu seakan
menguap begitu saja.
‘Duh mesranyaaaa. Berasa kantin
milik berdua nih ye,’ ledek Kevin, namun nadanya terdengar sinis.
Raisa mencoba tersenyum. ‘Masa
sih? Elu sama Mia juga lengket banget kayak orang pacaran.’
‘Elu.. anak baru ya? Gua gak
pernah lihat elu sebelumnya,’ kata Glenn tiba-tiba, tanpa tedeng aling-aling.
Kevin hanya menaikkan alis, malas
buka mulut. Ia lebih memilih lanjut menandaskan bakso pesanannya.
‘Iya, Glenn,’ Mia yang menyahut.
‘Dia temen gua sama Raisa dari SMP. Anak pindahan dari Amsterdam. Dia sekelas sama
Raisa lho, sebangku lagi.’ Mia beralih ke Kevin. ‘Kevin, dia ini Glenn dari
kelas dua belas IPS. Lagi PDKT sama Raisa gitu deh.’
Kontan Raisa menginjak kaki Mia
keras-keras, mendengar kalimat terakhir yang Mia lontarkan. Pipi cewek itu
merah padam karena malu. Sementara Glenn terlihat cuek, cenderung bangga
disebut sedang PDKT dengan Raisa.
Tiba-tiba saja Kevin berdiri.
Gesekan keras antara kursi dan lantai membuat tiga orang di sekelilingnya
terlonjak kaget. ‘Balik kelas yuk, Mi. Udah kenyang gua.’
‘Oke deh. Yuk!’ Mia segera
beranjak lalu menggaet tangan Kevin dengan cuek. Seolah kegiatan gaet-menggaet
tangan cowok itu sudah menjadi kebiasaannya. Raisa memperhatikan punggung dua
orang yang beranjak menjauh itu. Ngilu di hatinya kembali terasa saat melihat
Kevin melingkarkan lengannya di pundak Mia. Seakan menegaskan pada Raisa kalau
sekarang Kevin adalah milik Mia seorang.
‘Gua anter ke kelas, yuk,’ Glenn
mengulurkan tangannya di depan Raisa.
Raisa tersadar dari lamunannya.
Ia tersenyum menatap Glenn, yang balik senyum kepadanya. Tanpa ragu, Raisa
menyambut uluran tangan Glenn. Cewek itu baru ingat kalau belakangan ini,
hatinya selalu dibuat berbunga-bunga oleh Glenn. Apalagi ketika ia mengingat
hadiah romantis yang diberikan Glenn pada ulang tahunnya kemarin.
Sembari berjalan dalam genggaman
tangan Glenn, Raisa mencoba menguatkan hatinya:
Dear hati, mulai hari ini, aku minta kamu untuk replace Kevin with Glenn. Aku ingin semua tentangnya digantikan oleh Glenn. Aku gak mau kamu terasa ngilu tiap ingat manusia satu itu. Aku
gak mau kamu galau setiap hari tiap kali mendapati bukan tanganku yang ada di
genggamannya, bukan bayanganku yang terpantul di kemilau matanya, bukan aku
yang ada di balik senyum bahagianya yang menawan. Lagipula, buat apa memikirkan
Kevin yang menyakitkan, kalau ada Glenn yang membahagiakan?
Raisa menghembuskan nafasnya
keras-keras. Membuat Glenn menoleh kepadanya.
‘Kenapa?’
Raisa tersenyum pasti. ‘Gak
apa-apa, kok. Yuk, buruan sampe kelas!’
Tidak ada cinta yang menyakitkan, kecuali jika ia tidak dinyatakan –Mayzar
Listya Wardani
0 komentar:
Posting Komentar