Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA BAGIAN 6 | REPLACE KEVIN WITH GLENN? UMM.. YES.

Kamar itu gelap gulita. Satu-satunya sumber cahaya yang ada hanyalah bias sinar bulan yang masuk dari daun jendela yang dibuka lebar-lebar. Kriuk. Kriuk. Hanya itu yang terdengar di sela sahut-menyahut binatang nocturnal di halaman rumah. Bermodalkan sekantong keripik pedas level lima, Raisa melampiaskan kekesalannya atas apa yang terjadi beberapa jam terakhir.

Berbagai ‘kenapa’ berjejalan di kepala Raisa. Kenapa tunangan Mia harus Kevin? Kenapa Kevin harus muncul kembali di depan matanya sebagai tunangan Mia? Kenapa harus malam ini? Kenapa harus di perayaan ulang tahun Mia yang merangkap perayaan ulang tahun dirinya dan perayaan persahabatan mereka?

Raisa tidak tahu ‘kenapa’ yang mana yang membuat dirinya kesal. Ia pun tak tahu betul apa perasaan ini bisa disebut kesal. Dan kenapa juga dirinya harus kesal? Raisa memilih tindakan Kevin ‘menggoda’ dirinya di depan teman-teman bahkan tunangan Kevin sendiri sebagai alasan yang masuk akal tentang kenapa dia kesal dengan makhluk satu itu.


Tak butuh waktu lama bagi Raisa untuk menyerah. Kantung plastik keripik itu jatuh seiring ia yang mulai terisak pelan sambil memeluk lututnya. Air matanya mengalir tanpa suara. Ia tidak bisa menahannya lagi. Fakta bahwa Kevin adalah tunangan Mia begitu menyakitkan baginya. Sampai empat jam yang lalu, ia masih yakin kalau ia sudah tidak memikirkan Kevin. Tapi melihat manusia itu berdiri di hadapannya membuat Raisa harus menjilat kembali ludahnya sendiri.

Tiba-tiba saja ia merasakan penyesalan yang amat mendalam. Kalau waktu bisa diulang, ia akan jujur setiap kali Mia bertanya apakah dirinya masih memikirkan Kevin. Setidaknya Mia tidak akan menerima pertunangan itu kalau tahu Raisa masih suka Kevin. Tapi sekarang sudah tidak ada gunanya.

Raisa bangkit ke sisi tempat tidurnya. Sekilas ia memandang kotak musik kincir angin hadiah ulang tahunnya dari Glenn. Diraihnya benda itu lalu memutar kincirnya. Dentingan lagu Happy Birthday itu seakan mendamaikan hatinya. Lama sekali Raisa memandangi seisi kamarnya. Belanda. Mia Betul. Satu-satunya alasan Raisa ingin mengunjungi negara itu adalah karena dia ada di sana. Kevin is Holland of her dream.

Raisa menatap kincir yang berputar pelan itu. ‘Sebenarnya aku ingin percaya kalo kamu yang kasih ini buatku, bukannya Glenn.’

Tiba-tiba satu ‘kenapa’ lagi muncul di kepalanya, ketika ia mengingat apa yang ia dapati saat terbangun dari tidurnya tadi. Kenapa tadi wajah Kevin begitu dekat? Mungkinkah… kecupan di mimpi itu benar-benar terjadi?

***

Sepanjang jam pelajaran pertama Senin pagi ini, Raisa hanya meringkuk di balik buku paket Bahasa Inggris miliknya. Bukannya membaca, melainkan hanya untuk menyembunyikan dirinya yang sedang ngantuk berat. Kali ini ia harus berterima kasih pada kaca mata minus yang ia kenakan karena telah berjasa menyamarkan kelopak matanya yang sembab akibat menangis sepanjang weekend. Ini kali kedua Raisa menangis hebat untuk orang yang sama.

Cewek itu belum juga beringsut dari balik buku begitu guru mata pelajaran sudah memasuki kelas. Telinganya tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang dibicarakan guru itu. Sampai ia mendengar ada suara lain yang bicara.

‘Hai semuanya! Nama saya Kevin Adrian. Siswa baru wajah lama sih buat yang udah kenal saya waktu di SMP Teladan Nusantara. Hehehe. Salam kenal ya!’

Raisa menegakkan kepalanya dengan cepat. Kantuknya minggat entah kemana. Tepat di muka kelas, sosok manusia itu berdiri sambil menebar senyum. Kelas mendadak ramai. Bukan ingar bingar, tapi ramai karena beberapa orang serentak berbisik-bisik. Raisa mendengar salah satu suara bisik-bisik dari balik punggungnya. ‘Cakep banget siiiiiiii!’

Mata Raisa nyaris melompat keluar mendapati Kevin berdiri cengengesan di muka kelasnya. Mau apa dia di sini? Tapi ia segera kembali menekuri buku paket Bahasa Inggrisnya begitu pandangan Kevin terhenti di kedua bola mata dirinya. Kevin tersenyum tipis sambil terus menatap lekat cewek yang sedang berusaha keras menghindari tatapan matanya.

‘Ngomong-ngomong, saya boleh request gak, Bu?’ tanya Kevin tiba-tiba.

Sure. Apa itu hm?’

‘Berhubung saya murid pindahan, pasti saya banyak ketinggalannya. Gak bermaksud mendiskreditkan murid lain, tapi bisa gak saya duduk sama yang paling pinter di kelas ini? Biar gampang aja gitu adaptasi dengan pelajaran di sini..’

‘Oh, iya tentu saja. Ibu juga sudah pertimbangkan itu,’ sang guru mengangguk-angguk lalu mengedarkan pandangannya, lalu kemudian, ‘Dea, kamu pindah ke sebelah Trian. Biar Kevin yang duduk dengan Raisa.’

Kevin tersenyum penuh kemenangan.

***

Sepanjang tiga jam pelajaran tadi Raisa sudah berhasil menahan diri untuk tidak mencakar wajah gantengnya itu. Begitu bel istirahat berbunyi, secepat kilat Raisa menyeret Kevin ke belakang gedung sekolah.

‘Elu!’ Telunjuk Raisa nyaris menyolok mata Kevin. ‘Ngapain lu sekolah di sini?!’

‘Ngapain? Ya buat belajar dong, Ca.. Kamu nih aneh deh. Ckckck..’

‘Ya kenapa harus di sini? Di sekolah ini? Kamu kan bisa sekolah di tempat lain? Sekolah Internasional di Jakarta banyak. Kamu gak akan kesulitan menyesuaikan diri di sana karena sistemnya hampir sama.’

Kevin celingak-celinguk, berlagak polos. Sebentar kemudian ia mengintip ke halaman sekolah, entah melihat apa, lalu kembali ke hadapan Raisa.

‘Gak ada tanda larangan buatku sekolah di sini tuh. Jadi apa salahku?’

Raisa menelan ludah. Mulutnya membuka dan menutup seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ia ragu. Matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. Kevin hafal bahasa tubuh yang satu itu: Raisa sedang gugup.

‘Emang gak ada yang larang, gua nya aja yang gak suka lu di sini!’ pungkasnya ketus.

Kevin mengernyitkan alis. Matanya menatap lekat-lekat bola mata yang sedang bergerak ke sana kemari itu. Cowok itu juga hafal makna gerakan itu: kegugupan Raisa naik satu level.

‘Oke,’ Kevin menghela napas, melemaskan otot-otot mukanya agar terlihat rileks, lalu tersenyum. ‘Jadi kamu gak suka aku sekolah di sini?’

Raisa memutar bola matanya. ‘Iya.’

Kevin melipat kedua lengannya di depan dada seraya menaikkan sebelah alisnya. ‘Kenapa?’

‘Ke-kenapa?’ Telunjuk Raisa mulai menggaruk-garuk jempolnya sendiri. Bukan gatal, tapi pertanda kalau kegugupan Raisa sudah sampai level akut. ‘Ehm.. Pertama, karena lu Kevin. Kedua, karena lu Kevin. Ketiga, karena kemarin lu bikin gua kejebak awkward moment pas ultah Mia. Lu bilang yang nggak-nggak di depan temen-temen, di depan tunangan lu yang juga sahabat gua. Keempat, karena… karena.. karena lu udah ngerebut bangku Dea di-’

‘Kamu tahu gak sih?’ sela Kevin cepat. Nada bicaranya terdengar sangat santai, tidak terintimidasi sama sekali dengan kata-kata Raisa. ‘Kadang, semakin banyak alasan orang, semakin nunjukin kalo dia lagi bohong lho.’

Raisa mendelik. ‘Sembarangan! Heh, jangan sok ta-‘

Dering ponsel Kevin memotong ucapan Raisa. Cowok itu segera menjawab telepon dan sengaja mengaktifkan loudspeaker. ‘Iya, Mia?’

‘Kamu di mana? Bukannya hari ini udah mulai masuk? Tadi aku cari ke kelas kamu gak ada. Mau ngenalin kamu sama bakso Bu Tini neeeh..’

‘Aku udah masuk kok. Kamu tunggu di kelas kamu aja, nanti aku ke sana, oke? See you!’ Telepon dimatikan. Kevin kembali menatap Raisa. Kali ini rahangnya sengaja ia keraskan, pertanda ia serius dengan kalimat yang akan ia keluarkan. ‘Aku gak tau ya, kenapa kamu gak suka aku. Yang jelas, menurutku alasan-alasan kamu tuh semuanya gak make sense. Alasanku sekolah di sini karena ada Mia. Kamu sudah tahu dia tunanganku kan? Aku menghargai kamu sebagai sahabat Mia.. dan sahabatku dulu. Tapi hanya karena kamu gak suka, tetap gak akan mengubah apa-apa. Jelas?’

Raisa terdiam.

‘Oh iya, satu lagi,’ tukas Kevin sebelum ia berlalu meninggalkan Raisa yang terpaku di tempatnya berdiri. ‘Aku masih butuh kamu ngerahasiain pertunanganku dengan Mia. Aku bakal lupain kata-kata kamu hari ini dan kuharap hubungan kita bisa lebih baik dari ini ya,’ ujar Kevin sambil mengusuk-usuk kepala Raisa yang kini mematung. ‘Bye Caca.’

***

Sepeninggal Kevin, meskipun menit demi menit berlalu, Raisa masih beku di tempatnya berdiri. Kata-kata Kevin seperti mantera ‘Stupefy’ yang membuatnya kaku. Dingin sekaligus menohok begitu tepat di hatinya.

Raisa tertawa sinis, menertawakan dirinya sendiri. Apa yang merasuki jiwanya hingga ia berani berkata demikian pada Kevin? Jawaban apa yang sebenarnya Raisa harapkan atas pertanyaan konyolnya tadi? Berharap Kevin akan bilang kalau dirinya memilih untuk bersekolah di sini karena Raisa? Tiba-tiba saja ia merasa sangat bodoh dan benar-benar malu. Raisa tertawa keras-keras seperti hilang kewarasannya. Namun tetap saja, ada rasa ngilu di hatinya yang tidak mampu ia acuhkan.

‘Kenapa juga aku harus tanya hal yang jawabannya bakal nyakitin gini? Bodoh banget kamu, Raisa!’ kutuknya sambil menyusut air matanya dengan ujung dasi.

Perutnya yang terasa pedih membuatnya sadar kalau ia belum makan sejak kemarin siang. Sambil menuju kantin Raisa memastikan tidak ada setetespun air mata tersisa di pelupuk matanya. Kalau ada orang yang melihatnya menangis, akan berabe cari-cari alasan atas pertanyaan ‘kenapa’ dari mereka. Dengan gontai Raisa memasuki kantin lalu memesan semangkuk bakso langganannya.

‘Raisa!’ seseorang meneriakinya dari salah satu sudut kantin. Lutut Raisa langsung lesu. Dari tingkat kecemprengan suara, Raisa tau siapa yang memanggil. Dengan terpaksa Raisa menoleh. Mia tengah melambaikan tangan dengan semangat. Di sebelahnya, Kevin hanya menatapnya sekilas lalu kembali menyibukkan diri dengan mangkuk baksonya. Bagus, dua orang yang paling ingin ia hindari sedang berkumpul. ‘Gabung sini! Udah penuh semua tuh mejanya!’ lanjut Mia.

Raisa mengedarkan pandangannya ke seantero kantin. Benar, sudah penuh terisi oleh wajah-wajah primata kelaparan. Perut makin pedih dan sudah tertangkap basah oleh Mia begini, satu-satunya harapan hidup Raisa adalah bergabung dengan Mia dan Kevin (dan melihat acara pacaran mereka, entah suap-suapan atau saling mengelap bibir masing-masing dengan tisu).

‘Hai,’ sapa Raisa datar. Pertunangan minta dirahasiain, tapi kemana-mana berduaan terus.

Suara Mia yang langsung menyita seluruh ruang di telinganya timbul tenggelam. Tenggelam di antara pergumulan batin yang terjadi dalam diri Raisa. Ia pun hanya menanggapi sekenanya.

‘Jadi kalian sekarang sekelas dan duduk sebangku blubububububub? Wah asyik dong! Ra, kamu harus bantuin Kevin supaya blubububububububub. Ha! Gak sia-sia punya sohib blububububububub kayak elu!’

‘Ya gitu deh,’ sahut Raisa gak nyambung. Tangannya menuangkan kecap, saos, jeruk limau, dan tiga sendok makan sambal ke dalam mangkoknya. Sambil masih menanggapi seadanya, Raisa mulai menyantap baksonya dengan lahap kalap. Sangat terburu-buru, entah karena ia sedang sangat kelaparan atau ingin cepat-cepat enyah dari hadapan dua sejoli ini.

Kevin yang mulai memerhatikan ketika Raisa menuangkan begitu banyak sambal hanya bisa mengernyitkan alis. Ia sedikit khawatir kalau-kalau Raisa tersedak atau sakit perut karena makan terlalu pedas. Belum selesai ia khawatir, tiba-tiba Raisa tersedak betulan.

Wajah Raisa merah seakan tercekik. Kerongkongan sampai hidungnya merasakan pedas yang menusuk. Beberapa kali ia batuk hingga rasanya sulit bernafas. Belum sempat Kevin menyodorkan minuman miliknya, Raisa sudah mendapatkan air untuk diminum. Seseorang memberikannya.

Kevin mendongakkan kepala. Seorang cowok bertampang indo berdiri di samping Raisa sambil mengusap-usap punggung cewek itu. ‘Udah baikan?’ tanya cowok itu. Gesturnya mencurigakan, pikir Kevin.

‘Udah. Makasih ya, Glenn,’ jawab Raisa sambil berusaha tersenyum. Wajahnya masih tampak kemerahan.

‘Makanya kalo makan pelan-pelan ya, Cantik,’ Glenn mengusap-usap puncak kepala Raisa. Membuat Raisa tetap tersipu malu, suasana hatinya yang kacau beberapa menit yang lalu seakan menguap begitu saja.

‘Duh mesranyaaaa. Berasa kantin milik berdua nih ye,’ ledek Kevin, namun nadanya terdengar sinis.

Raisa mencoba tersenyum. ‘Masa sih? Elu sama Mia juga lengket banget kayak orang pacaran.’

‘Elu.. anak baru ya? Gua gak pernah lihat elu sebelumnya,’ kata Glenn tiba-tiba, tanpa tedeng aling-aling.

Kevin hanya menaikkan alis, malas buka mulut. Ia lebih memilih lanjut menandaskan bakso pesanannya.

‘Iya, Glenn,’ Mia yang menyahut. ‘Dia temen gua sama Raisa dari SMP. Anak pindahan dari Amsterdam. Dia sekelas sama Raisa lho, sebangku lagi.’ Mia beralih ke Kevin. ‘Kevin, dia ini Glenn dari kelas dua belas IPS. Lagi PDKT sama Raisa gitu deh.’

Kontan Raisa menginjak kaki Mia keras-keras, mendengar kalimat terakhir yang Mia lontarkan. Pipi cewek itu merah padam karena malu. Sementara Glenn terlihat cuek, cenderung bangga disebut sedang PDKT dengan Raisa.

Tiba-tiba saja Kevin berdiri. Gesekan keras antara kursi dan lantai membuat tiga orang di sekelilingnya terlonjak kaget. ‘Balik kelas yuk, Mi. Udah kenyang gua.’

‘Oke deh. Yuk!’ Mia segera beranjak lalu menggaet tangan Kevin dengan cuek. Seolah kegiatan gaet-menggaet tangan cowok itu sudah menjadi kebiasaannya. Raisa memperhatikan punggung dua orang yang beranjak menjauh itu. Ngilu di hatinya kembali terasa saat melihat Kevin melingkarkan lengannya di pundak Mia. Seakan menegaskan pada Raisa kalau sekarang Kevin adalah milik Mia seorang.

‘Gua anter ke kelas, yuk,’ Glenn mengulurkan tangannya di depan Raisa.

Raisa tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum menatap Glenn, yang balik senyum kepadanya. Tanpa ragu, Raisa menyambut uluran tangan Glenn. Cewek itu baru ingat kalau belakangan ini, hatinya selalu dibuat berbunga-bunga oleh Glenn. Apalagi ketika ia mengingat hadiah romantis yang diberikan Glenn pada ulang tahunnya kemarin.

Sembari berjalan dalam genggaman tangan Glenn, Raisa mencoba menguatkan hatinya:

Dear hati, mulai hari ini, aku minta kamu untuk replace Kevin with Glenn. Aku ingin semua tentangnya digantikan oleh Glenn. Aku gak mau kamu terasa ngilu tiap ingat manusia satu itu. Aku gak mau kamu galau setiap hari tiap kali mendapati bukan tanganku yang ada di genggamannya, bukan bayanganku yang terpantul di kemilau matanya, bukan aku yang ada di balik senyum bahagianya yang menawan. Lagipula, buat apa memikirkan Kevin yang menyakitkan, kalau ada Glenn yang membahagiakan?

Raisa menghembuskan nafasnya keras-keras. Membuat Glenn menoleh kepadanya.

‘Kenapa?’

Raisa tersenyum pasti. ‘Gak apa-apa, kok. Yuk, buruan sampe kelas!’


Tidak ada cinta yang menyakitkan, kecuali jika ia tidak dinyatakan –Mayzar Listya Wardani


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar