Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA BAGIAN 7 | JANJI

Sudah lebih dari seminggu Raisa mencoba membiasakan diri dengan kehadiran manusia satu itu tak kurang dari setengah meter jaraknya setiap hari, di kelas. Ia mulai terbiasa kembali dengan aroma parfumnya yang maskulin nan semerbak seperti menghabiskan satu botol sekali semprot, yang tidak pernah berubah sejak terakhir kali Raisa membaui aromanya saat SMP dulu. Ia mulai terbiasa dengan suara renyahnya yang sesekali bernyanyi-nyanyi kecil, di sela pergantian jam pelajaran. Telinganya pun mulai harus terbiasa kembali dipanggil dengan nama Caca.

Namun tidak bisa Raisa pungkiri bahwa hatinya belum bisa terbiasa. Walaupun kemarin ia sudah mantap berjanji untuk menendang Kevin dari hatinya dan menggantikannya dengan Glenn, tetap saja praktek tidak semudah teori dan niatnya. Ia belum terbiasa ketika Kevin mengajak bicara, sekadar bertanya pelajaran atau bertanya PR. Ia belum terbiasa ketika cowok itu menjahilinya dengan melepas ikat rambutnya, atau ketika cowok itu mengajaknya makan bersama di kantin –bertiga dengan Mia.

Seperti pagi ini, Kevin mendapati Raisa duduk mantap di bangku, tertelungkup di meja dengan … headphone putih bertengger di kepalanya. Raisa baru teringat cara jitu untuk menghindari seseorang. Cara yang ia dapat dari seseorang beberapa tahun lalu.


Belum habis lagu Coldplay yang sedang Raisa dengar, seseorang mengetuk headphone-nya. Kevin. ‘Lihat PR kimia dong?’ ujarnya sumringah, begitu Raisa mencopot headphone di kepalanya.

Raisa langsung menggeser buku tulis yang sudah ia siapkan di atas meja, praktis tanpa suara. Ia kembali memasang headphone dan membesarkan volumenya. Cari aman.

Belum satu menit, Kevin kembali merecokinya. ‘Caca, lihat soal nomer enam deh. Kok jawabanku beda sama kamu ya? Coba jelasin dong?’

Dengan malas Raisa menarik kedua buku tulis di meja Kevin. Ia memerhatikan sejenak, hingga tak lama kemudian kedua alisnya mengernyit. ‘Rumusnya bener, elu kurang teliti ngitung hasil akhirnya.’

Bibir Kevin membentuk huruf O, tanpa suara. Raisa sudah kembali asyik mendengarkan lagu. Sekali lagi Kevin mengetuk alat pendengar di telinga Raisa.

‘Apa lagi?’ tanya Raisa ketus.

‘Kamu kenapa sih? Sengaja ngehindarin aku ya?’ tembak Kevin langsung.

‘Kenapa juga gua harus ngehindar dari elu? ‘ jawab Raisa super jutek, bertepatan dengan bel masuk yang secara tidak langsung menyelesaikan perdebatan mereka berdua.

***

Jam di dinding kelas menunjukkan bahwa bel istirahat pertama akan berdering sepuluh menit lagi, namun wajah Raisa sudah pucat pasi. Bulir-bulir keringat dingin mengalir di pelipisnya. Lambungnya terasa sangat perih dan kepalanya mulai pusing. Setengah jam terakhir ia habiskan dengan mengutuk-ngutuk tindakannya yang untuk pertama kalinya ikut-ikutan program diet Mamanya, yang mengharuskan dirinya tidak mengonsumsi kalori sejak lima belas jam yang lalu.

Kevin yang menyadari gelagat aneh Raisa sejak lima menit yang lalu, mulai khawatir. Lima menit yang lalu ia melihat Raisa berkali-kali meremas roknya sendiri, seperti sedang menahan sakit. Beberapa kali pula ia melihat cewek itu menyeka keringat di pelipisnya. Tanpa pikir panjang, Kevin menyambar tangan Raisa yang masih sibuk meremas roknya sendiri. Ia terperanjat, begitu pula Raisa. Sontak ia menoleh, mendapati Kevin memegangi tangannya.

‘Ya ampun, Caca, kamu pucet banget! Tangan kamu juga dingin. Kamu sakit? Hm? Cepetan bilang ke aku, apanya yang sakit?’ ujar Kevin setengah berbisik.

Raisa menarik tangannya dengan keras. ‘Gua gak apa-apa, gak usah lebay deh.’

‘Kok lebay sih? Kamu itu pucet beneran!’

‘Kevin, Raisa, ada apa ribut-ribut?’ tanya Guru, dengan mata nyaris melompat dari rongganya.

‘Gak ada apa-apa, Bu,’ pungkas Kevin cepat.

***

Begitu bel istirahat berbunyi, Kevin langsung menyambar tangan Raisa, hendak mengajaknya ke kantin. Tapi cewek itu ngotot tak bergeming di tempat duduknya.

‘Caca, gak usah keras kepala deh. Kamu itu pucet, keringet dingin. Kamu harus makan sekarang, kalo enggak kamu bisa pingsan!’ Kevin mempererat cengkraman tangannya, saat Raisa berusaha melepaskan tangannya dari Kevin dengan sisa tenaga yang dia punya.

‘Apa sih? Sok tau lu! Gua emang lagi gak enak badan aja! Kalo elu laper, ya makan aja sendiri, atau sama Mia sana!’

Kevin memejamkan matanya, mencoba tetap berkepala dingin, meskipun hatinya sudah sangat panas berkali-kali menerima penolakan. Entah sejak kapan Raisa yang ia kenal lembut berubah menjadi sangat keras kepala seperti ini.

Tanpa Raisa diduga, tiba-tiba Kevin menekuk lututnya, berlutut di sisi tempat duduk Raisa. Dengan wajah putus asa, Kevin berkata pelan, ‘Aku gak tau kenapa kamu selalu ketus sama aku, tapi please, kali iniiii aja, kamu mau aku ajak makan di kantin. Setelah ini aku janji gak akan ganggu kamu lagi. I’ll act like I’m unseen to you, I promise. So.. please?’

Bola mata Raisa bergerak kesana kemari. Dengan tindakan Kevin berlutut di sisinya itu sukses bikin dirinya jadi pusat perhatian seisi kelas, terutama kaum hawa yang sejak awal sudah menggebet Kevin.

‘Oke, oke, gua mau. Elu puas?’ ujar Raisa ketus. Ia terpaksa mengiyakan karena ingin buru-buru enyah dari tatapan-tatapan curiga kaum-kaum hawa di kelasnya.

Kevin tersenyum puas, sekaligus pedih. Namun yang jadi prioritasnya sekarang adalah memberi asupan makanan untuk cewek keras kepala itu sebelum hal yang tidak Kevin inginkan terjadi. Raisa berjalan cepat di depannya. Namun belum lima langkah keluar dari pintu kelas, gadis itu roboh di pangkuan Kevin yang dengan sigap menangkap tubuh lunglai nya.

***

Tergopoh-gopoh, tangan kiri Kevin membawa satu plastik besar berisi roti, sementara tangan kanannya membawa segelas susu hangat, menuju tempat Raisa berada. Segera setelah berlari-lari membopong Raisa ke UKS, dan memastikan cewek itu ditangani dengan baik oleh petugas tadi, Kevin sesegera mungkin berlari ke kantin. Yang dikhawatirkan Kevin benar, Raisa pucat karena belum makan entah sejak kapan.

Tapi tiba-tiba saja langkah Kevin terhenti persis ketika ia hendak masuk ke ruang UKS. Dari pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat bahwa Raisa sudah siuman. Raisa tidak sendirian di sana. Ada Mia yang terus memegangi tangannya dengan cemas, sementara Raisa tengah makan sesuatu yang disuapi oleh … Glenn.

Kevin tersenyum kecut, memandangi segelas susu dan roti-roti yang ia bawa. Kenapa juga aku harus repot? Tentu aja Raisa sudah punya Glenn yang bantuannya diterima dengan senang hati. Kamu siapa sih Kevin? Cuman TUNANGAN temannya.

Dengan pilu, sekali lagi Kevin melihat ke dalam. Raisa sedang tersenyum dan mengucapkan sesuatu yang terbaca seperti ‘terima kasih’ kepada Glenn yang sepertinya baru selesai menyuapinya. Senyum yang sudah tidak pernah lagi Kevin lihat. Senyum Raisa yang tulus, yang rasanya mampu memadamkan kobaran api sekalipun. Kevin menghembuskan nafas keras-keras. Aku ini tunangan Mia.
***

‘Yakin, Ra, mau ke kelas? Badan lu masih lemes gitu,’ kata Mia khawatir.

Raisa mengulurkan tangannya, menarik pipi sohib kentalnya itu. ‘Gua gak pa-pa Miaaaa. Tadi kan udah makan, sekarang gua sama kuatnya sama kuda peliharaan bokap lu.’

 ‘Iya deh, iyaaaa. Apalagi makannya tadi disuapin sama gebetan tuh, jadi cepet deh sembuhnya.’

Glenn tampak tersipu, namun ia mulai terbiasa dengan ledekan-ledekan Mia itu. ‘Tuh, mukanya Raisa udah bisa merah, udah gak pucet kayak tadi,’ balas Glenn sambil memerhatikan wajah Raisa yang bersemu merah, karena malu.

‘Kalo gitu, gua ke kelas duluan ya. Berabe kalo telat, abis gurunya killer,’ ujar Glenn kemdian. ‘Cepet sembuh ya, Cantik,’ tambahnya pada Raisa.

‘Iya. Sekali lagi makasih ya, Glenn, udah nungguin.’

‘Iya, santai aja.’

‘Cieeeee.. ada yang bakal jadian nih bentar lagi,’ ledek Mia setelah punggung Glenn menghilang di balik pintu. ‘Akhirnyaaaa masa jomblo enam belas tahun sohib gua ini bakal segera berakhir! Ooooh senangnyaaa hati Miaaa.’

‘Dasar aneh!’ cibir Raisa sambil beranjak turun dari kasur.

Mia masih ramai meledek saat mereka hendak keluar dari UKS. Tiba-tiba langkah Raisa terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang ganjil di dalam tong sampah yang terletak di sisi pintu UKS.

‘Siapa sih yang ngebuang roti sebanyak ini? Lihat deh, Mi,’ Raisa menunjuk sekantong plastik roti yang dienyakkan ke dalam tong sampah, berikut gelas plastik bening bertutup, berisi susu cokelat yang sisinya masih berembun, pertanda masih hangat.

‘Eh? Iya, ya. Siapa sih yang buang? Gak sayang uang apa?’ kata Mia sebal.

‘Hmm, ya udah . Kita balik ke kelas aja, yuk!’

Mereka melenggang pergi meninggalkan tong sampah penuh roti itu. Namun di ujung jalan, ada sesuatu, entah apa, yang membuat hati Raisa terasa aneh saat melirik tong sampah yang ada jauh di belakangnya.

***

Ada sesuatu yang ganjil bagi Raisa, sejak hari dimana ia pingsan kemarin. Tiba-tiba saja hidupnya di kelas berlangsung damai dan senyap. Tidak ada lagi Kevin yang selalu mengajak bicara meskipun hanya basa-basi tanya PR dan pelajaran yang Raisa tau bahwa Kevin sudah sangat paham dengan otak cerdasnya itu. Tidak ada lagi Kevin yang basa-basi mengajaknya ke kantin, meskipun tau akan ditolak. Tiap kali bel istirahat berdering, cowok itu langsung melesat ke kantin tanpa banyak bicara.
Sepertinya Kevin memang betul-betul ingin menepati janjinya. Ia tidak lagi mengganggu Raisa. Yang membuat Raisa makin yakin adalah mendadak Kevin kembali muncul dengan headphone yang selalu melekat di telinganya. Walau pernah Raisa tidak sengaja mendapati bahwa alat pendengar tersebut tidak dicolokkan ke gadget manapun. Bagus deh, pikir Raisa senang.

‘Hai Raisa,’

Raisa yang sedang berkutat dengan buku langsung mendongak, merasa kenal dengan suara yang menyapanya. Glenn tau-tau muncul di kelasnya. Sesuatu yang baru kali ini dilakukannya. Suara bisik-bisik ramai mulai terdengar. Sementara di sebelah Raisa, Kevin terlihat cuek dengan asyik bermain virtual drum di ponsel pintarnya.

‘Oh, Glenn! Hai! Kamu –ngapain di sini?’

Glenn tersenyum lalu dengan santai duduk di meja Raisa. ‘Kok nanya sih? Ya nyamperin kamu dong.’

Dahi Kevin mengernyit. Ia mulai garuk-garuk telinga, memastikan bahwa tadi ia tidak salah dengar; Raisa dan Glenn, sejak kapan mereka mulai ber-aku-kamu?

‘Yeee.. tadi di kantin juga ketemu. Yang lain dong alasannya.’

‘Mau gimana lagi? Memang itu kok tujuanku,’ Glenn meraih kotak pensil Raisa, memain-mainkannya sambil menimbang-nimbang kalimat apa yang sebaiknya ia ucapkan. ‘Ngg.. itu.. mm.. entar siang jalan yuk!’

‘Heh?’ Raisa mengernyitkan dahi. Glenn tidak sadar bahwa tadi ia mengucapkannya terlalu cepat, hingga Raisa tidak menangkap apa yang baru saja diucapkannya. ‘Kamu ngomongnya cepet banget, aku gak ngeh.’

‘Entar siang, pulang sekolah.. kita jalan yuk,’ Glenn mengulangi dengan lebih pelan. ‘Aku drop kamu ke rumah dulu, kamu pamitan sama nyokap, terus kita langsung jalan.’

Raisa terdiam sejenak. Pikirannya melayang jauh ke dapur rumahnya. Jalan sama cowok bukan ide yang bagus menurut Mama. Meskipun kadang kelewat gaul, tapi kadang Mamanya masih berpikir kuno. Melarang anak gadisnya pacaran, salah satunya.

‘Jangan pacaran dulu! Jaman sekarang otak cowok pada mesum semua. Nanti kamu hamil! Pokoknya jangan ya!’ begitu kalimat andalan Mama kalau Raisa ‘menyinggung’ soal pacaran.

‘Raisa? Halooo,’ Glenn mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Raisa. ‘Kok ngelamun? Gak bisa ya?’

‘Eh? Bisa kok, bisa. Tapi langsung jalan aja deh, gak usah pulang ke rumah dulu. Soalnya.. ngg.. soalnya,’ Raisa memelankan suaranya, ‘Soalnya nyokap pasti gak ngebolehin kalo aku pamit jalan sama cowok.’

‘Gitu?’ Alis Glenn berkerut, heran. ‘Emang gak apa-apa? Nanti kamu dimarahin lho.’

‘Makanya jangan ketahuan,’ Raisa nyengir dengan polos.

Secara samar, Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda heran. Sebesar itukah arti Glenn bagi Raisa? Sampai-sampai rela berbohong pada Mamanya demi jalan dengan cowok itu? Ini mulai gak beres, pikir Kevin.


Promise is a big word.. It either makes something, or it breaks everything.. Promise means EVERYTHING, but once it is broken, sorry means NOTHING..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar