Sudah lebih dari seminggu Raisa
mencoba membiasakan diri dengan kehadiran manusia satu itu tak kurang dari
setengah meter jaraknya setiap hari, di kelas. Ia mulai terbiasa kembali dengan
aroma parfumnya yang maskulin nan semerbak seperti menghabiskan satu botol
sekali semprot, yang tidak pernah berubah sejak terakhir kali Raisa membaui
aromanya saat SMP dulu. Ia mulai terbiasa dengan suara renyahnya yang sesekali
bernyanyi-nyanyi kecil, di sela pergantian jam pelajaran. Telinganya pun mulai
harus terbiasa kembali dipanggil dengan nama Caca.
Namun tidak bisa Raisa pungkiri
bahwa hatinya belum bisa terbiasa. Walaupun kemarin ia sudah mantap berjanji
untuk menendang Kevin dari hatinya dan menggantikannya dengan Glenn, tetap saja
praktek tidak semudah teori dan niatnya. Ia belum terbiasa ketika Kevin
mengajak bicara, sekadar bertanya pelajaran atau bertanya PR. Ia belum terbiasa
ketika cowok itu menjahilinya dengan melepas ikat rambutnya, atau ketika cowok
itu mengajaknya makan bersama di kantin –bertiga dengan Mia.
Seperti pagi ini, Kevin mendapati
Raisa duduk mantap di bangku, tertelungkup di meja dengan … headphone putih bertengger di kepalanya.
Raisa baru teringat cara jitu untuk menghindari seseorang. Cara yang ia dapat
dari seseorang beberapa tahun lalu.
Belum habis lagu Coldplay yang sedang Raisa dengar,
seseorang mengetuk headphone-nya.
Kevin. ‘Lihat PR kimia dong?’ ujarnya sumringah, begitu Raisa mencopot headphone di kepalanya.
Raisa langsung menggeser buku
tulis yang sudah ia siapkan di atas meja, praktis tanpa suara. Ia kembali
memasang headphone dan membesarkan
volumenya. Cari aman.
Belum satu menit, Kevin kembali
merecokinya. ‘Caca, lihat soal nomer enam deh. Kok jawabanku beda sama kamu ya?
Coba jelasin dong?’
Dengan malas Raisa menarik kedua
buku tulis di meja Kevin. Ia memerhatikan sejenak, hingga tak lama kemudian
kedua alisnya mengernyit. ‘Rumusnya bener, elu kurang teliti ngitung hasil
akhirnya.’
Bibir Kevin membentuk huruf O,
tanpa suara. Raisa sudah kembali asyik mendengarkan lagu. Sekali lagi Kevin
mengetuk alat pendengar di telinga Raisa.
‘Apa lagi?’ tanya Raisa ketus.
‘Kamu kenapa sih? Sengaja
ngehindarin aku ya?’ tembak Kevin langsung.
‘Kenapa juga gua harus ngehindar
dari elu? ‘ jawab Raisa super jutek, bertepatan dengan bel masuk yang secara
tidak langsung menyelesaikan perdebatan mereka berdua.
***
Jam di dinding kelas menunjukkan
bahwa bel istirahat pertama akan berdering sepuluh menit lagi, namun wajah
Raisa sudah pucat pasi. Bulir-bulir keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Lambungnya terasa sangat perih dan kepalanya mulai pusing. Setengah jam
terakhir ia habiskan dengan mengutuk-ngutuk tindakannya yang untuk pertama
kalinya ikut-ikutan program diet Mamanya, yang mengharuskan dirinya tidak
mengonsumsi kalori sejak lima belas jam yang lalu.
Kevin yang menyadari gelagat aneh
Raisa sejak lima menit yang lalu, mulai khawatir. Lima menit yang lalu ia
melihat Raisa berkali-kali meremas roknya sendiri, seperti sedang menahan
sakit. Beberapa kali pula ia melihat cewek itu menyeka keringat di pelipisnya. Tanpa
pikir panjang, Kevin menyambar tangan Raisa yang masih sibuk meremas roknya
sendiri. Ia terperanjat, begitu pula Raisa. Sontak ia menoleh, mendapati Kevin
memegangi tangannya.
‘Ya ampun, Caca, kamu pucet
banget! Tangan kamu juga dingin. Kamu sakit? Hm? Cepetan bilang ke aku, apanya
yang sakit?’ ujar Kevin setengah berbisik.
Raisa menarik tangannya dengan
keras. ‘Gua gak apa-apa, gak usah lebay deh.’
‘Kok lebay sih? Kamu itu pucet
beneran!’
‘Kevin, Raisa, ada apa ribut-ribut?’
tanya Guru, dengan mata nyaris melompat dari rongganya.
‘Gak ada apa-apa, Bu,’ pungkas
Kevin cepat.
***
Begitu bel istirahat berbunyi,
Kevin langsung menyambar tangan Raisa, hendak mengajaknya ke kantin. Tapi cewek
itu ngotot tak bergeming di tempat duduknya.
‘Caca, gak usah keras kepala deh.
Kamu itu pucet, keringet dingin. Kamu harus makan sekarang, kalo enggak kamu
bisa pingsan!’ Kevin mempererat cengkraman tangannya, saat Raisa berusaha
melepaskan tangannya dari Kevin dengan sisa tenaga yang dia punya.
‘Apa sih? Sok tau lu! Gua emang
lagi gak enak badan aja! Kalo elu laper, ya makan aja sendiri, atau sama Mia
sana!’
Kevin memejamkan matanya, mencoba
tetap berkepala dingin, meskipun hatinya sudah sangat panas berkali-kali
menerima penolakan. Entah sejak kapan Raisa yang ia kenal lembut berubah
menjadi sangat keras kepala seperti ini.
Tanpa Raisa diduga, tiba-tiba
Kevin menekuk lututnya, berlutut di sisi tempat duduk Raisa. Dengan wajah putus
asa, Kevin berkata pelan, ‘Aku gak tau kenapa kamu selalu ketus sama aku, tapi please, kali iniiii aja, kamu mau aku
ajak makan di kantin. Setelah ini aku janji gak akan ganggu kamu lagi. I’ll act like I’m unseen to you, I promise.
So.. please?’
Bola mata Raisa bergerak kesana
kemari. Dengan tindakan Kevin berlutut di sisinya itu sukses bikin dirinya jadi
pusat perhatian seisi kelas, terutama kaum hawa yang sejak awal sudah menggebet
Kevin.
‘Oke, oke, gua mau. Elu puas?’
ujar Raisa ketus. Ia terpaksa mengiyakan karena ingin buru-buru enyah dari
tatapan-tatapan curiga kaum-kaum hawa di kelasnya.
Kevin tersenyum puas, sekaligus
pedih. Namun yang jadi prioritasnya sekarang adalah memberi asupan makanan
untuk cewek keras kepala itu sebelum hal yang tidak Kevin inginkan terjadi. Raisa
berjalan cepat di depannya. Namun belum lima langkah keluar dari pintu kelas,
gadis itu roboh di pangkuan Kevin yang dengan sigap menangkap tubuh lunglai
nya.
***
Tergopoh-gopoh, tangan kiri Kevin
membawa satu plastik besar berisi roti, sementara tangan kanannya membawa segelas
susu hangat, menuju tempat Raisa berada. Segera setelah berlari-lari membopong
Raisa ke UKS, dan memastikan cewek itu ditangani dengan baik oleh petugas tadi,
Kevin sesegera mungkin berlari ke kantin. Yang dikhawatirkan Kevin benar, Raisa
pucat karena belum makan entah sejak kapan.
Tapi tiba-tiba saja langkah Kevin
terhenti persis ketika ia hendak masuk ke ruang UKS. Dari pintu yang sedikit
terbuka, ia bisa melihat bahwa Raisa sudah siuman. Raisa tidak sendirian di
sana. Ada Mia yang terus memegangi tangannya dengan cemas, sementara Raisa
tengah makan sesuatu yang disuapi oleh … Glenn.
Kevin tersenyum kecut, memandangi
segelas susu dan roti-roti yang ia bawa. Kenapa
juga aku harus repot? Tentu aja Raisa sudah punya Glenn yang bantuannya
diterima dengan senang hati. Kamu siapa sih Kevin? Cuman TUNANGAN temannya.
Dengan pilu, sekali lagi Kevin
melihat ke dalam. Raisa sedang tersenyum dan mengucapkan sesuatu yang terbaca
seperti ‘terima kasih’ kepada Glenn yang sepertinya baru selesai menyuapinya.
Senyum yang sudah tidak pernah lagi Kevin lihat. Senyum Raisa yang tulus, yang
rasanya mampu memadamkan kobaran api sekalipun. Kevin menghembuskan nafas
keras-keras. Aku ini tunangan Mia.
***
‘Yakin, Ra, mau ke kelas? Badan
lu masih lemes gitu,’ kata Mia khawatir.
Raisa mengulurkan tangannya,
menarik pipi sohib kentalnya itu. ‘Gua gak pa-pa Miaaaa. Tadi kan udah makan,
sekarang gua sama kuatnya sama kuda peliharaan bokap lu.’
‘Iya deh, iyaaaa. Apalagi makannya tadi
disuapin sama gebetan tuh, jadi cepet deh sembuhnya.’
Glenn tampak tersipu, namun ia
mulai terbiasa dengan ledekan-ledekan Mia itu. ‘Tuh, mukanya Raisa udah bisa
merah, udah gak pucet kayak tadi,’ balas Glenn sambil memerhatikan wajah Raisa
yang bersemu merah, karena malu.
‘Kalo gitu, gua ke kelas duluan
ya. Berabe kalo telat, abis gurunya killer,’
ujar Glenn kemdian. ‘Cepet sembuh ya, Cantik,’ tambahnya pada Raisa.
‘Iya. Sekali lagi makasih ya,
Glenn, udah nungguin.’
‘Iya, santai aja.’
‘Cieeeee.. ada yang bakal jadian
nih bentar lagi,’ ledek Mia setelah punggung Glenn menghilang di balik pintu.
‘Akhirnyaaaa masa jomblo enam belas tahun sohib gua ini bakal segera berakhir!
Ooooh senangnyaaa hati Miaaa.’
‘Dasar aneh!’ cibir Raisa sambil
beranjak turun dari kasur.
Mia masih ramai meledek saat
mereka hendak keluar dari UKS. Tiba-tiba langkah Raisa terhenti. Matanya
menangkap sesuatu yang ganjil di dalam tong sampah yang terletak di sisi pintu
UKS.
‘Siapa sih yang ngebuang roti
sebanyak ini? Lihat deh, Mi,’ Raisa menunjuk sekantong plastik roti yang dienyakkan
ke dalam tong sampah, berikut gelas plastik bening bertutup, berisi susu
cokelat yang sisinya masih berembun, pertanda masih hangat.
‘Eh? Iya, ya. Siapa sih yang
buang? Gak sayang uang apa?’ kata Mia sebal.
‘Hmm, ya udah . Kita balik ke
kelas aja, yuk!’
Mereka melenggang pergi
meninggalkan tong sampah penuh roti itu. Namun di ujung jalan, ada sesuatu,
entah apa, yang membuat hati Raisa terasa aneh saat melirik tong sampah yang
ada jauh di belakangnya.
***
Ada sesuatu yang ganjil bagi
Raisa, sejak hari dimana ia pingsan kemarin. Tiba-tiba saja hidupnya di kelas
berlangsung damai dan senyap. Tidak ada lagi Kevin yang selalu mengajak bicara
meskipun hanya basa-basi tanya PR dan pelajaran yang Raisa tau bahwa Kevin
sudah sangat paham dengan otak cerdasnya itu. Tidak ada lagi Kevin yang
basa-basi mengajaknya ke kantin, meskipun tau akan ditolak. Tiap kali bel
istirahat berdering, cowok itu langsung melesat ke kantin tanpa banyak bicara.
Sepertinya Kevin memang
betul-betul ingin menepati janjinya. Ia tidak lagi mengganggu Raisa. Yang
membuat Raisa makin yakin adalah mendadak Kevin kembali muncul dengan headphone yang selalu melekat di telinganya.
Walau pernah Raisa tidak sengaja mendapati bahwa alat pendengar tersebut tidak
dicolokkan ke gadget manapun. Bagus
deh, pikir Raisa senang.
‘Hai Raisa,’
Raisa yang sedang berkutat dengan
buku langsung mendongak, merasa kenal dengan suara yang menyapanya. Glenn
tau-tau muncul di kelasnya. Sesuatu yang baru kali ini dilakukannya. Suara
bisik-bisik ramai mulai terdengar. Sementara di sebelah Raisa, Kevin terlihat
cuek dengan asyik bermain virtual drum di
ponsel pintarnya.
‘Oh, Glenn! Hai! Kamu –ngapain di
sini?’
Glenn tersenyum lalu dengan
santai duduk di meja Raisa. ‘Kok nanya sih? Ya nyamperin kamu dong.’
Dahi Kevin mengernyit. Ia mulai
garuk-garuk telinga, memastikan bahwa tadi ia tidak salah dengar; Raisa dan Glenn, sejak kapan mereka mulai
ber-aku-kamu?
‘Yeee.. tadi di kantin juga
ketemu. Yang lain dong alasannya.’
‘Mau gimana lagi? Memang itu kok
tujuanku,’ Glenn meraih kotak pensil Raisa, memain-mainkannya sambil
menimbang-nimbang kalimat apa yang sebaiknya ia ucapkan. ‘Ngg.. itu.. mm..
entar siang jalan yuk!’
‘Heh?’ Raisa mengernyitkan dahi.
Glenn tidak sadar bahwa tadi ia mengucapkannya terlalu cepat, hingga Raisa
tidak menangkap apa yang baru saja diucapkannya. ‘Kamu ngomongnya cepet banget,
aku gak ngeh.’
‘Entar siang, pulang sekolah..
kita jalan yuk,’ Glenn mengulangi dengan lebih pelan. ‘Aku drop kamu ke rumah dulu, kamu pamitan sama nyokap, terus kita
langsung jalan.’
Raisa terdiam sejenak. Pikirannya
melayang jauh ke dapur rumahnya. Jalan sama cowok bukan ide yang bagus menurut
Mama. Meskipun kadang kelewat gaul, tapi kadang Mamanya masih berpikir kuno.
Melarang anak gadisnya pacaran, salah satunya.
‘Jangan pacaran dulu! Jaman
sekarang otak cowok pada mesum semua. Nanti kamu hamil! Pokoknya jangan ya!’
begitu kalimat andalan Mama kalau Raisa ‘menyinggung’ soal pacaran.
‘Raisa? Halooo,’ Glenn
mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Raisa. ‘Kok ngelamun? Gak bisa ya?’
‘Eh? Bisa kok, bisa. Tapi
langsung jalan aja deh, gak usah pulang ke rumah dulu. Soalnya.. ngg..
soalnya,’ Raisa memelankan suaranya, ‘Soalnya nyokap pasti gak ngebolehin kalo
aku pamit jalan sama cowok.’
‘Gitu?’ Alis Glenn berkerut,
heran. ‘Emang gak apa-apa? Nanti kamu dimarahin lho.’
‘Makanya jangan ketahuan,’ Raisa
nyengir dengan polos.
Secara samar, Kevin
menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda heran. Sebesar itukah arti Glenn bagi Raisa? Sampai-sampai rela berbohong pada Mamanya demi jalan dengan cowok itu? Ini mulai gak beres, pikir
Kevin.
Promise is a big word.. It either makes something, or it breaks everything.. Promise means EVERYTHING, but once it is broken, sorry means NOTHING..
0 komentar:
Posting Komentar