Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN SEMBILAN : Pengakuan (Bagian Satu) *banyak banget bagiannya mbak?*


KANAYA’S VIEW

Ternyata selama ini aku salah. Sejak pertemuan pertama dengannya beberapa  bulan yang lalu, kukira aku orang yang paling mengerti Kairo. Kukira aku yang paling tau dia. Belakangan ini Kairo bener-bener jadi aneh. Pertama, dia jadi kehilangan jati diri hanya karena seorang cewek yang dicintainya setengah hidup. Kedua, kenapa dia harus marah-marah begitu aku tidak punya waktu untuknya? Toh, aku cuman SAHABATNYA, seperti yang selalu dia katakan! Selama ini aku yang selalu dia lupakan. Selama ini aku juga yang selalu dia tinggalkan. Tubuhnya, hatinya, bahkan waktunya semua untuk Navita. Lalu kenapa dia harus protes begitu kini aku sibuk dengan duniaku sendiri? Tidak bersamanya melainkan bersama Baro, cinta monyetku yang tiba-tiba muncul.

Ngomong-ngomong ‘delfy boy’-ku yang dulu gendut sekarang udah keren. Pipinya yang dulu chubby sekarang udah berubah jadi rahang kokoh yang dihiasi dua buah lesung pipi yang membuatnya manis saat senyum. Badan gempalnya berubah jadi tubuh tinggi proporsional yang atletis. Hasil olahraga rutin yang dijalaninya selama di Amerika. Dan dia atlet basket sekarang.

Beberapa hari ini aku selalu bersama Baro. Berjalan di sisinya membuatku merasa.. beruntung. Gimana tidak. Setiap kali jalan, aku bisa melihat cewek-cewek menatap mupeng padanya dan menatapku dengan tatapan ini-pembantu-ngapain-ikutan-jalan-sama-majikan. Meskipun udah berubah ganteng bin keren begitu, sifat Baro masih tetap manis terhadapku. Ah.. sweet sekali lah.

Kuakui, di satu sisi yang lain aku agak senang melihat Kairo marah begitu. Apa itu artinya dia merasa kehilanganku? Apa itu artinya dia mulai merasa kalau aku berarti di hidupnya? Begitukah? PLAK! Kanaya, jangan senang dulu kamu!

***

KAIRO’S VIEW

Sebagai sahabat yang baik, keesokan paginya kuhampiri Kanaya seusai kelasnya bubar. Aku seorang insomniak parah dan semalam suntuk aku tidak tidur memikirkan ini. Baiklah, aku mengakui selama ini memang benar akulah yang meninggalkannya duluan. Dan aku baru tahu bagaimana rasanya dilupakan sahabat sendiri. Aku sudah terlalu biasa dengan Kanya yang selalu ada setiap aku butuh. Dan ketika dia tidak ada, aku jadi seperti, entahlah, mungkin boleh kusebut kehilangan. Suatu kehilangan yang cukup besar.

‘Hai,’ kusapa dia yang tampak terkejut dengan kemunculanku di depan ruang kuliahnya.

‘Hai,’ balasnya tanpa ketertarikan. Terdengar seperti sekadar ucapan, sebuah ‘Hai’ yang hanya dieja, bukan sapaan. Berdasarkan riwayat ke-playboy-anku, ini pertanda bahwa ini cewek masih marah padaku.

Sorry.’

Sorry buat apa?’

‘Buat teleponku semalem yang gak ngenakin. Aku sadar kok selama ini aku yang gak sengaja lupain kamu duluan.’

Kutatap wajah Kanaya. Dia balas menatapku dengan tampang ini-anak-kesambet-apaan-tadi-pagi. ‘Oke, dimaafin.’

Nah, ini yang aku selalu suka dari Kanaya. Dia orang yang pemaaf banget. Dia paling tidak suka dengan masalah yang diperumit. Kalau satu kata ‘maaf’ udah keluar, tidak ada alasan baginya untuk tidak memaafkan. Belum ada satu kata maaf dariku yang tidak dia terima.

‘Cafe yuk?’ aku mengajaknya.

Kanaya tampak berpikir sejenak. Jangan-jangan dia sudah punya janji duluan dengan bule sipit itu. Tunggu dulu.. Ah, iya ini hari Sabtu.

‘Ayok deh. Udah lama juga gak ngafe bareng kamu.’ Dia mengatakannya sambil tersenyum dengan manis. Aih, sepertinya baru kali ini aku lihat dia senyum semanis ini. Langsung kurangkul saja bahunya dan berjalan menuju cafe.

Tapi tunggu deh, kenapa mendadak aku jadi gerogi jalan bareng Naya? Kenapa sekarang rasanya jadi gak nyaman gini?  Aku jadi sedikit gerah dan berkeringat. Dan jantungku juga sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya. Apa ini efek kopi hitam yang kuminum tadi pagi ya? Ah entahlah.

***

Aku mentrakir Kanaya sirloin steak favoritnya. Tahu kenapa dia lebih suka sirloin dari tenderloin? Karena sirloin lebih gede dari tenderloin. Dan di cafe ini, kentang gorengnya lebih banyak kalo pesen sirloin steak. Dasar cewek rakus!

Aku memperhatikannya mengiris daging dengan penuh semangat. Membawa potongan daging berlumur saus keemasan itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya dengan mata terpejam seolah menikmati setiap rasa dari makanan yang dikunyahnya. Lalu katanya, ‘Cintaaaa banget deh sama daging sapiiiii!’

Aku tertawa mendengarnya. Dia terlihat sangat berlebihan. Namun bagiku itu sangat.. sangat apa ya? Manis mungkin. Lalu mataku menangkap kilatan di matanya tiap kali dia bicara. Juga caranya menutup mulut dengan punggung tangan tiap kali dia tertawa. Dan hey, kenapa aku baru melihat kalau bulu matanya begitu panjang dan lentik?

‘Kamu pake mascara ya?’ tanyaku padanya.

Kanaya terlihat kaget. Diturunkannya pisau dan garpu lalu ia sendiri meraba-raba bulu matanya. ‘Ah, iya nih. Aku jadi korban make up barunya Fanya. Mereka bilang, ‘Kana, kamu itu harus dandan kalo mau jalan sama Baro.’ Gitu deh. Ngeselin ya? Baronya aja gak ribet.’

‘Jadi tadinya kamu mau pergi sama cowok kamu itu?’ aku mulai badmood.

‘Setengah jam lagi sih.’ Lalu dia meneruskan makan.

Sementara aku hanya bisa melampiaskan mood-ku yang jelek pada sirloin steak tidak berdosa di hadapanku. Ada apa sih denganku ini? Kenapa mood-ku jadi buruk tiap kali dengar Kanaya sebut-sebut nama orang itu? Apa aku masih kesal karena si Baro-Baro itu mengalahkanku di pertandingan basket lalu? Atau aku kesal karena Kanaya yang selalu sibuk dengan orang itu?

***

Pukul setengah tujuh malam aku menjemput Navita di rumahnya. Aku mencoba melupakan perasaan aneh yang kurasakan sepanjang siang dengan berada di dekat orang yang kucintai. Dan benar saja, mood-ku langsung berubah baik begitu melihatnya keluar dari pintu rumah. Cantik dan anggun dengan dress berpotongan simpel. Dia selalu cantik di mataku.

Aku mendaratkan kecupan ringan di puncak kepalanya. ‘Miss me?’
Not you, but every single thing about you.’
Aku tersenyum menatapnya. Ya, kali ini sepertinya dia bisa memperbaiki mood-ku. Aku meraih pundaknya lalu mengajaknya menuju mobil.

Sudah menjadi kebiasaan, seperti anak muda lainnya, setiap malam minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Sekadar nonton, makan, atau sesekali menemaninya belanja. Beruntungnya aku bahwa Navita bukan tipikal cewek yang gila belanja. Dompetku pernah menjerit saat aku berpacaran dengan Patricia. Dia ratunya orang gila belanja. Malah kadang aku dan Navita hanya menghabiskan malam minggu di rumahnya, DVD marathon atau membaca tulisannya.

Sebetulnya malam ini aku belum punya rencana mau menghabiskan malam minggu dimana dengan Navita. Tujuanku hanya menghabiskan malam minggu bersamanya. Setelah berputar-putar sebentar, akhirnya mobil berhenti di pelataran parkir sebuah cafe di sebuah kawasan yang ramai dikunjungi anak muda. Terlebih lagi malam minggu begini. Aku menyukai tempat ramai, apalagi dengan suasana hati yang sedikit mendung seperti ini.

Aku turun dari mobil. Mebukakan pintu untuk Navita, dan kurangkul bahunya sambil berjalan masuk ke dalam cafe. Kami duduk di sebuah meja dekat dinding. Dari tempat ini, kami bisa melihat seluruh penjuru ruangan cafe. Tak lama duduk, seorang pelayan datang. Aku mengikuti saja menu yang dipesan Navita, chicken schnitzel with fresh salad.

Kami mulai mengobrol apa saja sambil menunggu pesanan datang. Aku dengan santai mendengarkannya bercerita tentang bindernya yang berisi kumpulan puisi tiba-tiba hilang dua hari yang lalu. Ya, dia sudah menceritakannya padaku dengan berurai air mata. Bukannya berlebihan, tapi kau tahu, Navita sangat mencintai sastra. Dan yang paling dia gilai adalah puisi. Aku pernah membaca puisi-puisi itu. Ditulis dan dikumpulkannya sejak ia masih SMP. Wajar saja kalau Navita sedih bukan main.

‘Dan kamu tahu gak? Ternyata kumpulan puisiku itu ditemukan oleh dosenku! Dan coba tebak apa reaksinya,’ ujarnya padaku dengan mata berbinar-binar.

Aku pura-pura berpikir sejenak. ‘Dia bilang puisi kamu bagus dan nyaranin kamu buat nawarin kumpulan puisi itu ke penerbit.’

Navita menutup mulutnya dengan telapak tangan. ‘Honey, kok kamu tahu sih?’ Dia terlihat sangat excited.
‘Lho kamu gak tau kalo aku dukun?’

Navita memajukan bibirnya pertanda sebal. Aku mencubit dagunya dengan gemas. ‘Bercanda. Gini deh, semua orang yang baca puisi kamu pasti tau kalo kamu berbakat.’

Navita kembali tersenyum. ‘Hehehe. Eh, tapi masa terus dosenku nyuruh aku nemuin temennya yang kerja di penerbitan.’

‘Ya, bagus dong. Kamu temuin aja. Nanti aku temenin deh.’ Bersamaan dengan itu, pesanan kami sudah datang. Kami melanjutkan pembicaraan sambil menikmati makanan masing-masing.

Navita terlihat bersemangat dengan wacana ‘pembukuan’ kumpulan puisi miliknya. Aku terus mendengarkannya bicara sambil mengunyah chicken schnitzel­-ku.

‘Kuliah kamu gimana? Masih sering bolos?’

‘Duh, gak usah bahas kuliahku deh. Kacau banget.’

‘Lho kenapa? Pak Bambang lagi?’ tanyanya sambil mengunyah potongan besar daging ayam. Pak Bambang itu adalah dosen yang sentimennya paling tinggi terhadapku.

‘Iya, masa iya Pak Bambang...’ tiba-tiba kalimat yang akan kuucapkan menggantung di lidahku begitu mataku menangkap sesosok perempuan yang terlihat begitu manis dengan gaun coklat muda. Rambut pendeknya yang dibiarkan jatuh di bahunya. Duduk di salah satu meja cafe dengan seorang laki-laki. Tiba-tiba perasaanku menjadi aneh. Perutku mencelos dan jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Ada rasa sakit di sekitar dadaku yang tidak bisa kugambarkan letak persisnya dimana.

Perempuan itu Kanaya. Dia terlihat sedang berbincang asyik dengan bule sipit yang amat kubenci itu. Sesekali si bule itu mengulurkan garpunya. Mungkin bermaksud menyuapi Kanaya. Dan itu membuatku benar-benar... jijik dan marah.

‘...Kairo? haloo..’ Aku segera menyadari bahwa Navita sedang melambai-lambaikan tangannya persis di depan wajahku. Wajahnya memandangiku dengan penuh ingin tahu. ‘Kamu kenapa sih?’

‘Oh.. ng.. nggak, aku gak kenapa-kenapa. Kamu habisin cepet makanannya. Mendadak aku sulit bernafas.’

‘Astaga! Kamu sakit?’ Navita mengulurkan tangannya bermaksud menyentuh dahiku.

Aku menepisnya pelan. ‘Hanya sulit bernafas kok.’

‘Ya udah kita ke rumah sakit sekarang.’

‘Nggak usah. Aku cuman butuh istirahat aja kok. Kamu jangan kuatir.’ Kupaksakan bibirku untuk menarik senyum.

Navita memandangiku dengan kekhawatiran penuh. Jujur, aku senang melihat betapa khawatirnya dia akan keadaanku. Tapi di sisi lain, perasaan tidak enak di dadaku ini lebih besar. Aku tidak mengerti kenapa.

‘Baiklah, kita pulang.’

***

Entah sudah berapa batang atau mungkin bungkus rokok yang sudah kuhabiskan malam ini. Pikiranku ruwet memikirkan perasaan aneh dalam diriku beberapa hari ini. Orang-orang yang mengenalku mungkin akan tertawa melihatku nampak seperti ABG labil begini. Kairo, Cassanova yang sekali menjentikkan tangan bisa mendapatkan perempuan manapun yang ia mau, kini galau hanya karena seorang perempuan yang mungkin menurut orang tidak seberapa.

Satu bulan yang lalu mungkin aku masih berpikir bahwa Kanaya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Navita. Navita cantik, tutur katanya manis, dan ia wanita cerdas. Sementara Kanaya adalah perempuan yang membedakan bedak dengan tepung saja ia mungkin tidak tahu, tidak pandai bertutur kata dan cuek setengah mati. Kalau Navita bisa menangis begitu melihat anak kucing ekornya terjepit, Kanaya tidak akan peduli sekalipun badak Sumatera mati ditabrak persis di depan biji matanya.

Aku mungkin baru mengenalnya beberapa bulan saja. Tapi aku tahu dan yakin bahwa dia teman yang baik. Dan tanpa kusadari dia sudah jadi bagian terpenting dalam hidupku. Dia yang cuek rela mengomeliku habis-habisan karena selalu bolos kuliah. Dia rela tidak tidur untuk menemaniku yang insomnia. Dia mendengar semua curhatku bahkan mungkin di saat ia sendiri ingin didengar.

Beberapa hari terakhir aku selalu merasa aneh bila bersamanya. Aku merasa kurang nyaman. Jantungku selalu berdegup lebih kencang dari biasanya. Terlebih lagi jika melihat caranya menutup mulut dengan punggung tangan ketika tertawa.

Beberapa hari terakhir, aku juga merasa marah tiap kali mendengar Kanaya menyebutkan nama mantan cinta monyetnya itu. Terlebih lagi jika melihat mereka bersama-sama seperti beberapa jam yang lalu. Aku merasa seperti tidak rela melihat tawa renyah Kanaya ia perlihatkan pada pria itu.

Dan beberapa hari terakhir juga aku mulai berpikir, sepertinya Kanaya menjadi lebih segala-galanya dibanding Navita. Dia terlihat begitu manis di mataku.

Sepertinya aku baru sadar sekarang. Aku sadar kenapa selama ini aku sangat tidak menyukai Baro. Aku sadar kenapa selama ini aku tidak suka melihat Kanaya bersama dengan bule sipit itu. Aku baru sadar kalau sepertinya... aku..cemburu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar