KANAYA’S VIEW
Ternyata selama ini aku salah. Sejak pertemuan pertama dengannya beberapa bulan yang lalu, kukira aku orang yang paling
mengerti Kairo. Kukira aku yang paling tau dia. Belakangan ini Kairo
bener-bener jadi aneh. Pertama, dia jadi kehilangan jati diri hanya karena
seorang cewek yang dicintainya setengah hidup. Kedua, kenapa dia harus
marah-marah begitu aku tidak punya waktu untuknya? Toh, aku cuman SAHABATNYA,
seperti yang selalu dia katakan! Selama ini aku yang selalu dia lupakan. Selama
ini aku juga yang selalu dia tinggalkan. Tubuhnya, hatinya, bahkan waktunya
semua untuk Navita. Lalu kenapa dia harus protes begitu kini aku sibuk dengan
duniaku sendiri? Tidak bersamanya melainkan bersama Baro, cinta monyetku yang
tiba-tiba muncul.
Ngomong-ngomong ‘delfy boy’-ku
yang dulu gendut sekarang udah keren. Pipinya yang dulu chubby sekarang udah berubah jadi rahang kokoh yang dihiasi dua
buah lesung pipi yang membuatnya manis saat senyum. Badan gempalnya berubah
jadi tubuh tinggi proporsional yang atletis. Hasil olahraga rutin yang
dijalaninya selama di Amerika. Dan dia atlet basket sekarang.
Beberapa hari ini aku selalu bersama Baro. Berjalan di sisinya
membuatku merasa.. beruntung. Gimana tidak. Setiap kali jalan, aku bisa melihat
cewek-cewek menatap mupeng padanya dan menatapku dengan tatapan
ini-pembantu-ngapain-ikutan-jalan-sama-majikan. Meskipun udah berubah ganteng
bin keren begitu, sifat Baro masih tetap manis terhadapku. Ah.. sweet sekali lah.
Kuakui, di satu sisi yang lain aku agak senang melihat Kairo marah
begitu. Apa itu artinya dia merasa kehilanganku? Apa itu artinya dia mulai
merasa kalau aku berarti di hidupnya? Begitukah? PLAK! Kanaya, jangan senang
dulu kamu!
***
KAIRO’S VIEW
Sebagai sahabat yang baik, keesokan paginya kuhampiri Kanaya seusai
kelasnya bubar. Aku seorang insomniak parah dan semalam suntuk aku tidak tidur
memikirkan ini. Baiklah, aku mengakui selama ini memang benar akulah yang
meninggalkannya duluan. Dan aku baru tahu bagaimana rasanya dilupakan sahabat
sendiri. Aku sudah terlalu biasa dengan Kanya yang selalu ada setiap aku butuh.
Dan ketika dia tidak ada, aku jadi seperti, entahlah, mungkin boleh kusebut
kehilangan. Suatu kehilangan yang cukup besar.
‘Hai,’ kusapa dia yang tampak terkejut dengan kemunculanku di depan
ruang kuliahnya.
‘Hai,’ balasnya tanpa ketertarikan. Terdengar seperti sekadar ucapan,
sebuah ‘Hai’ yang hanya dieja, bukan sapaan. Berdasarkan riwayat ke-playboy-anku, ini pertanda bahwa ini
cewek masih marah padaku.
‘Sorry.’
‘Sorry buat apa?’
‘Buat teleponku semalem yang gak ngenakin. Aku sadar kok selama ini
aku yang gak sengaja lupain kamu duluan.’
Kutatap wajah Kanaya. Dia balas menatapku dengan tampang
ini-anak-kesambet-apaan-tadi-pagi. ‘Oke, dimaafin.’
Nah, ini yang aku selalu suka dari Kanaya. Dia orang yang pemaaf
banget. Dia paling tidak suka dengan masalah yang diperumit. Kalau satu kata
‘maaf’ udah keluar, tidak ada alasan baginya untuk tidak memaafkan. Belum ada
satu kata maaf dariku yang tidak dia terima.
‘Cafe yuk?’ aku mengajaknya.
Kanaya tampak berpikir sejenak. Jangan-jangan dia sudah punya janji duluan dengan bule sipit itu. Tunggu dulu.. Ah, iya ini hari Sabtu.
Kanaya tampak berpikir sejenak. Jangan-jangan dia sudah punya janji duluan dengan bule sipit itu. Tunggu dulu.. Ah, iya ini hari Sabtu.
‘Ayok deh. Udah lama juga gak ngafe bareng kamu.’ Dia mengatakannya
sambil tersenyum dengan manis. Aih, sepertinya baru kali ini aku lihat dia
senyum semanis ini. Langsung kurangkul saja bahunya dan berjalan menuju cafe.
Tapi tunggu deh, kenapa mendadak aku jadi gerogi jalan bareng Naya?
Kenapa sekarang rasanya jadi gak nyaman gini? Aku jadi sedikit gerah dan berkeringat. Dan
jantungku juga sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya. Apa ini efek kopi
hitam yang kuminum tadi pagi ya? Ah entahlah.
***
Aku mentrakir Kanaya sirloin
steak favoritnya. Tahu kenapa dia lebih suka sirloin dari tenderloin? Karena
sirloin lebih gede dari tenderloin. Dan di cafe ini, kentang gorengnya lebih
banyak kalo pesen sirloin steak. Dasar cewek rakus!
Aku memperhatikannya mengiris daging dengan penuh semangat. Membawa potongan
daging berlumur saus keemasan itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya dengan
mata terpejam seolah menikmati setiap rasa dari makanan yang dikunyahnya. Lalu
katanya, ‘Cintaaaa banget deh sama daging sapiiiii!’
Aku tertawa mendengarnya. Dia terlihat sangat berlebihan. Namun bagiku
itu sangat.. sangat apa ya? Manis mungkin. Lalu mataku menangkap kilatan di
matanya tiap kali dia bicara. Juga caranya menutup mulut dengan punggung tangan
tiap kali dia tertawa. Dan hey, kenapa aku baru melihat kalau bulu matanya
begitu panjang dan lentik?
‘Kamu pake mascara ya?’ tanyaku padanya.
Kanaya terlihat kaget. Diturunkannya pisau dan garpu lalu ia sendiri
meraba-raba bulu matanya. ‘Ah, iya nih. Aku jadi korban make up barunya Fanya.
Mereka bilang, ‘Kana, kamu itu harus
dandan kalo mau jalan sama Baro.’ Gitu deh. Ngeselin ya? Baronya aja gak
ribet.’
‘Jadi tadinya kamu mau pergi sama cowok kamu itu?’ aku mulai badmood.
‘Setengah jam lagi sih.’ Lalu dia meneruskan makan.
Sementara aku hanya bisa melampiaskan mood-ku yang jelek pada sirloin steak tidak berdosa di hadapanku.
Ada apa sih denganku ini? Kenapa mood-ku
jadi buruk tiap kali dengar Kanaya sebut-sebut nama orang itu? Apa aku masih
kesal karena si Baro-Baro itu mengalahkanku di pertandingan basket lalu? Atau aku
kesal karena Kanaya yang selalu sibuk dengan orang itu?
***
Pukul setengah tujuh malam aku menjemput Navita di rumahnya. Aku
mencoba melupakan perasaan aneh yang kurasakan sepanjang siang dengan berada di
dekat orang yang kucintai. Dan benar saja, mood-ku
langsung berubah baik begitu melihatnya keluar dari pintu rumah. Cantik dan
anggun dengan dress berpotongan
simpel. Dia selalu cantik di mataku.
Aku mendaratkan kecupan ringan di puncak kepalanya. ‘Miss me?’
‘Not you, but every single thing
about you.’
Aku tersenyum menatapnya. Ya, kali ini sepertinya dia bisa memperbaiki
mood-ku. Aku meraih pundaknya lalu
mengajaknya menuju mobil.
Sudah menjadi kebiasaan, seperti anak muda lainnya, setiap malam
minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Sekadar nonton, makan, atau
sesekali menemaninya belanja. Beruntungnya aku bahwa Navita bukan tipikal cewek
yang gila belanja. Dompetku pernah menjerit saat aku berpacaran dengan
Patricia. Dia ratunya orang gila belanja. Malah kadang aku dan Navita hanya
menghabiskan malam minggu di rumahnya, DVD marathon atau membaca tulisannya.
Sebetulnya malam ini aku belum punya rencana mau menghabiskan malam
minggu dimana dengan Navita. Tujuanku hanya menghabiskan malam minggu
bersamanya. Setelah berputar-putar sebentar, akhirnya mobil berhenti di
pelataran parkir sebuah cafe di sebuah kawasan yang ramai dikunjungi anak muda.
Terlebih lagi malam minggu begini. Aku menyukai tempat ramai, apalagi dengan
suasana hati yang sedikit mendung seperti ini.
Aku turun dari mobil. Mebukakan pintu untuk Navita, dan kurangkul
bahunya sambil berjalan masuk ke dalam cafe. Kami duduk di sebuah meja dekat
dinding. Dari tempat ini, kami bisa melihat seluruh penjuru ruangan cafe. Tak
lama duduk, seorang pelayan datang. Aku mengikuti saja menu yang dipesan
Navita, chicken schnitzel with fresh
salad.
Kami mulai mengobrol apa saja sambil menunggu pesanan datang. Aku
dengan santai mendengarkannya bercerita tentang bindernya yang berisi kumpulan
puisi tiba-tiba hilang dua hari yang lalu. Ya, dia sudah menceritakannya padaku
dengan berurai air mata. Bukannya berlebihan, tapi kau tahu, Navita sangat
mencintai sastra. Dan yang paling dia gilai adalah puisi. Aku pernah membaca
puisi-puisi itu. Ditulis dan dikumpulkannya sejak ia masih SMP. Wajar saja
kalau Navita sedih bukan main.
‘Dan kamu tahu gak? Ternyata kumpulan puisiku itu ditemukan oleh
dosenku! Dan coba tebak apa reaksinya,’ ujarnya padaku dengan mata
berbinar-binar.
Aku pura-pura berpikir sejenak. ‘Dia bilang puisi kamu bagus dan
nyaranin kamu buat nawarin kumpulan puisi itu ke penerbit.’
Navita menutup mulutnya dengan telapak tangan. ‘Honey, kok kamu tahu sih?’ Dia terlihat sangat excited.
‘Lho kamu gak tau kalo aku dukun?’
Navita memajukan bibirnya pertanda sebal. Aku mencubit dagunya dengan
gemas. ‘Bercanda. Gini deh, semua orang yang baca puisi kamu pasti tau kalo
kamu berbakat.’
Navita kembali tersenyum. ‘Hehehe. Eh, tapi masa terus dosenku nyuruh
aku nemuin temennya yang kerja di penerbitan.’
‘Ya, bagus dong. Kamu temuin aja. Nanti aku temenin deh.’ Bersamaan
dengan itu, pesanan kami sudah datang. Kami melanjutkan pembicaraan sambil
menikmati makanan masing-masing.
Navita terlihat bersemangat dengan wacana ‘pembukuan’ kumpulan puisi
miliknya. Aku terus mendengarkannya bicara sambil mengunyah chicken schnitzel-ku.
‘Kuliah kamu gimana? Masih sering bolos?’
‘Duh, gak usah bahas kuliahku deh. Kacau banget.’
‘Lho kenapa? Pak Bambang lagi?’ tanyanya sambil mengunyah potongan
besar daging ayam. Pak Bambang itu adalah dosen yang sentimennya paling tinggi
terhadapku.
‘Iya, masa iya Pak Bambang...’ tiba-tiba kalimat yang akan kuucapkan
menggantung di lidahku begitu mataku menangkap sesosok perempuan yang terlihat
begitu manis dengan gaun coklat muda. Rambut pendeknya yang dibiarkan jatuh di
bahunya. Duduk di salah satu meja cafe dengan seorang laki-laki. Tiba-tiba perasaanku
menjadi aneh. Perutku mencelos dan jantungku berdegup sedikit lebih kencang.
Ada rasa sakit di sekitar dadaku yang tidak bisa kugambarkan letak persisnya
dimana.
Perempuan itu Kanaya. Dia terlihat sedang berbincang asyik dengan bule
sipit yang amat kubenci itu. Sesekali si bule itu mengulurkan garpunya. Mungkin
bermaksud menyuapi Kanaya. Dan itu membuatku benar-benar... jijik dan marah.
‘...Kairo? haloo..’ Aku segera menyadari bahwa Navita sedang
melambai-lambaikan tangannya persis di depan wajahku. Wajahnya memandangiku
dengan penuh ingin tahu. ‘Kamu kenapa sih?’
‘Oh.. ng.. nggak, aku gak kenapa-kenapa. Kamu habisin cepet
makanannya. Mendadak aku sulit bernafas.’
‘Astaga! Kamu sakit?’ Navita mengulurkan tangannya bermaksud menyentuh
dahiku.
Aku menepisnya pelan. ‘Hanya sulit bernafas kok.’
‘Ya udah kita ke rumah sakit sekarang.’
‘Nggak usah. Aku cuman butuh istirahat aja kok. Kamu jangan kuatir.’
Kupaksakan bibirku untuk menarik senyum.
Navita memandangiku dengan kekhawatiran penuh. Jujur, aku senang
melihat betapa khawatirnya dia akan keadaanku. Tapi di sisi lain, perasaan
tidak enak di dadaku ini lebih besar. Aku tidak mengerti kenapa.
‘Baiklah, kita pulang.’
***
Entah sudah berapa batang atau mungkin bungkus rokok yang sudah
kuhabiskan malam ini. Pikiranku ruwet memikirkan perasaan aneh dalam diriku
beberapa hari ini. Orang-orang yang mengenalku mungkin akan tertawa melihatku
nampak seperti ABG labil begini. Kairo, Cassanova yang sekali menjentikkan
tangan bisa mendapatkan perempuan manapun yang ia mau, kini galau hanya karena
seorang perempuan yang mungkin menurut orang tidak seberapa.
Satu bulan yang lalu mungkin aku masih berpikir bahwa Kanaya bukanlah
apa-apa jika dibandingkan dengan Navita. Navita cantik, tutur katanya manis,
dan ia wanita cerdas. Sementara Kanaya adalah perempuan yang membedakan bedak
dengan tepung saja ia mungkin tidak tahu, tidak pandai bertutur kata dan cuek
setengah mati. Kalau Navita bisa menangis begitu melihat anak kucing ekornya
terjepit, Kanaya tidak akan peduli sekalipun badak Sumatera mati ditabrak
persis di depan biji matanya.
Aku mungkin baru mengenalnya beberapa bulan saja. Tapi aku tahu dan
yakin bahwa dia teman yang baik. Dan tanpa kusadari dia sudah jadi bagian
terpenting dalam hidupku. Dia yang cuek rela mengomeliku habis-habisan karena
selalu bolos kuliah. Dia rela tidak tidur untuk menemaniku yang insomnia. Dia
mendengar semua curhatku bahkan mungkin di saat ia sendiri ingin didengar.
Beberapa hari terakhir aku selalu merasa aneh bila bersamanya. Aku
merasa kurang nyaman. Jantungku selalu berdegup lebih kencang dari biasanya.
Terlebih lagi jika melihat caranya menutup mulut dengan punggung tangan ketika
tertawa.
Beberapa hari terakhir, aku juga merasa marah tiap kali mendengar
Kanaya menyebutkan nama mantan cinta monyetnya itu. Terlebih lagi jika melihat
mereka bersama-sama seperti beberapa jam yang lalu. Aku merasa seperti tidak
rela melihat tawa renyah Kanaya ia perlihatkan pada pria itu.
Dan beberapa hari terakhir juga aku mulai berpikir, sepertinya Kanaya
menjadi lebih segala-galanya dibanding Navita. Dia terlihat begitu manis di
mataku.
Sepertinya aku baru sadar sekarang. Aku sadar kenapa selama ini aku
sangat tidak menyukai Baro. Aku sadar kenapa selama ini aku tidak suka melihat
Kanaya bersama dengan bule sipit itu. Aku baru sadar kalau sepertinya... aku..cemburu.
0 komentar:
Posting Komentar