Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN DUABELAS | Scene Paling Indah


Klakson mobil Kairo ber-tet-tet ria di depan rumahku keesokan paginya. Aku mengintip dari balik tirai dengan kegembiraan yang berlebihan dan norak. Aku bangun pagi ini dengan kurang tidur, tapi entah kenapa aku begitu semangat dan...bahagia. Rasanya baru semalam aku dilahirkan. Entah kenapa hari ini terasa begitu lain. Segalanya seperti baru; kebahagiaanku, semangatku, dan rasa percaya diriku seperti berbeda sekali.

Ada menit dimana aku merasa aku bukanlah diriku yang kemarin. Aku mandi dengan menggunakan sabun lebih banyak dari biasanya. Tadi juga sepertinya aku empat sampai lima kali bolak-balik berkaca hanya untuk memastikan bahwa aku sudah menyikat gigiku dengan cukup bersih. Yang lebih gila adalah aku menghabiskan setengah jam untuk sekedar memilih baju mana yang akan kukenakan ke kampus hari ini. Gila, ternyata adegan-adegan di sinetron itu terjadi juga di hidupku. Dan secara ajaib, mendadak lemariku berisi bertumpuk-tumpuk pakaian yang tak pantas aku kenakan.

Sempat terlintas ide untuk mengintip lemari pakaian Ibu. Namun terpaksa kuurungkan mengingat Ibu tidak menggunakan deterjen dengan merek seperti yang di iklan. Deterjen yang bisa membuat Naysilla Mirdad tetap cantik meski dengan memakai gaun Lidya Kandou waktu gadis. Dan aku yakin satu kampus akan syok kalau aku memakai pakaian Ibu yang ajaib. Dia pelukis, dan gaya busananya entah berkiblat ke edgy, gipsi, atau dukun beranak.  Dengan permsalahan kostum ini, aku baru benar-benar percaya betapa tidak masuk akalnya kekuatan cinta itu. Bukan main.

Akhirnya aku memilih blus polos berwarna abu-abu yang kupadankan dengan semi-jins hitam juga flatshoes berwarna hijau tua yang senada dengan tasku. Blus yang hampir tidak pernah kupakai sejak diberikan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Rambut pendekku kusisir dan kuikat jadi satu. Berusaha serapi mungkin namun apa daya beberapa bagian yang tidak terikat masih berjatuhan di tengkukku. Penampilanku tidak begitu spesial, tapi kurasa enak dilihat dan nyaman dikenakan. Dan tidak berlebihan. Dan sejujurnya memang hanya segitu kemampuan ‘wardrobe’-ku.

Setelah berpamitan pada Ibu, aku segera keluar dari rumah. Sejenak aku berhenti di depan pintu, menatap Kairo yang sedang duduk di atas kap mesin mobilnya, menungguku. Mengenakan sunglasses, ia membiarkan sinar matahari menerpa kulitnya yang warna aslinya mulai kembali; kuning langsat. Perlahan aku mendekatinya, menikmati siluetnya, betapa indah bentuk hidungnya. Dan aku masih tidak percaya bahwa hari ini, aku bertemu dengan lelaki itu sebagai dua orang yang saling jatuh cinta.

Kami telah mengakui bahwa kami berdua saling jatuh cinta. Tidak kusangka blog yang awalnya iseng kubuat karena kegalauanku akhirnya membuat kami membuka topeng masing-masing. Mungkin secara magis, tangan-tangan Tuhan membuat Kairo tanpa sengaja bertemu dengan blog itu. Dan secara licik, James berhasil membongkar siapa nama di balik blog tersebut. Sialan, kampret, dan terima kasih James.

Aku tahu ini dosa besar mengingat Kairo masih berstatus pacar resmi Navita. Ya, aku memang tidak pernah menyangka dan tidak juga mengharapkan akan menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Tapi seperti yang pernah kubilang, cinta adalah perasaan milik manusia yang manusia itu sendiri tidak bisa mengontrolnya.

Dari awal aku sudah tau resiko mencintai Kairo. Aku juga mengerti bahwa ia butuh waktu untuk berpisah dengan Navita secara baik-baik. Tidak mungkin ia meninggalkan Navita begitu saja setelah apa yang terjadi dengan Navita beberapa bulan yang lalu. Aku pun tidak ingin Kairo nantinya akan merasa bersalah kalau Navita sampai melakukan hal seperti setelah ditinggal Rein dulu. Jadi mau tidak mau, aku harus terima dengan posisi ‘orang ketiga’ ini. Lagipula aku tidak terlalu yakin kalau Kairo benar-benar tertarik padaku.

‘Hei,’ katanya sambil melompat turun dari kap mobil begitu aku berdiri di depan pagar. Dilepasnya kacamata hitam dengan bingkai lebar itu lalu ditatapnya aku sambil tersenyum. ‘Cantik sekali.’

Aku buang muka menyembunyikan senyum. ‘Hah, akhirnya aku tahu juga alasannya kenapa cewek-cewek segitu tergila-gilanya sama kamu. Kamu raja gombal.’

‘Lho kok gombal? Seriously, Naya, You’re so beautiful to me.’

Aku tersenyum kecil menatapnya. ‘Kairo, please deh. Kamu gak mau kan hari ini kita gagal kuliah karena kamu sibuk ngejer aku yang terbang gara-gara kamu puji terus.’ Gantian Kairo yang tertawa lepas mendengarnya.

Menghindari serangan gombal yang mungkin akan datang, aku segera membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Di luar, Kairo masih berdiri memandangiku dengan senyum yang tak bisa kujelaskan apa artinya. Aku segera memberi isyarat supaya ia segera masuk ke dalam mobil.

‘Sudah sarapan?’ tanyaku padanya setelah ia masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt.

‘Belum. Tadi mau beli nasi uduk deket kosan udah abis duluan.’

‘Ya udah, nanti sarapan sambil jalan aja,’ aku menunjukkan kotak bekal yang kubawa.

‘Untukku? Asyik! Dapet sarapan gratis dari pacar. Kenapa gak dari dulu aja ya aku macarin kamu. Bisa hemat duit bulanan ini sih.’

‘Sialan.’

***

Siang hari, setelah kuliah selesai, kami meninggalkan ritual 'ngafe' seperti biasa. Aku mengajaknya makan di kedai soto dekat kampusku yang selalu ramai pengunjung. Ini tempat makan teramai seantero kampus karena aneka sotonya yang enak dan supermurah. Sesuai dengan kasta mahasiswa yang isi kantong masih berbanding lurus dengan gaji orang tua.
               
‘Kamu yakin dua gelintir manusia masih bisa masuk ke sana?’ Kairo ragu begitu melihat tempat itu sudah disesaki bermacam manusia kelaparan.

‘Ya harus yakin dong. Ayo!’

Berdesakan, tergencet mahasiswa lain yang berbadan lebih besar, sebisa mungkin aku menyelinap di tengah kerumunan manusia kelaparan itu. Berbekal pengalaman dan keahlian memadai, akhirnya kami berhasil mencapai meja di sudut kedai dengan dua porsi nasi soto yang masih mengepul.

Kairo menatapku lekat. Bibirnya menyunggingkan senyum samar yang tak kumengerti apa artinya. Dan itu berhasil membuat wajahku terasa hangat. Ah, sudah dipastikan sekarang pipiku bersemburat kemerahan. Terlebih lagi begitu aku mengingat ketika berdesak-desakan tadi, tubuh tegap itu tak lepas memproteksi diriku, berdiri di belakangku, sigap mendorong siapa saja yang berusaha menggencetku. Itu lucu karena dia terlihat seperti abang yang sedang menjaga adiknya. Aku jadi teringat Kafka.

‘Dapetinnya susah lho. Mau dilihatin doang sotonya?’ aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

Kairo masih menatapku dengan tatapan yang sama. Anak itu betul-betul tau gimana caranya membuat wanita salah tingkah. Sialan. Aku menyendokkan satu suapan besar soto ke dalam mulut, menghindari rasa gugupku, mencoba terlihat sebiasa mungkin padahal jantungku sudah mau lari ke Komnas Perlindungan Organ Dalam Manusia saking terlalu sering deg-degan karenanya.

Aku sudah hampir menghabiskan sotoku ketika tak sengaja kulirik mangkuk soto milik Kairo masih penuh dan dia masih memandangiku seperti tadi.

‘Kamu gak suka soto ya?’

‘Suka.’

‘Terus kenapa gak dimakan?’

‘Lebih suka lihat kamu makan lahap banget kayak gak makan dua tahun gitu.’

Aku tertawa melengos. ‘Dasar! Playboy gitu ya. Mau makan aja pake ngegombal dulu.’

Tanpa diduga, dengan gerakan cepat Kairo mengulurkan tangannya dan mencubit pipiku dengan gemas. ‘Kan aku udah pensiun jadi playboy-nya.’

Aku mengelus pipiku yang pedas habis dicubit olehnya. Kupelototi dia sambil menghabiskan sisa-sisa soto di mangkukku. ‘Kamu serius gak mau makan? Aku masih laper, buat aku aja ya!’

Bukannya protes, Kairo malah tertawa sambil mendorong mangkuk sotonya ke arahku, ‘Makan banyak, tapi badan kurus kering begitu. Semua yang kamu makan numpuk di pipi deh kayaknya.’

Aku nyengir sebisanya.

***

Sunyi, diam, hanya suara burung dan hembusan angin yang terdengar. Bunyi-bunyian yang serba asing ini, sepertinya aku tidak sedang tertidur di kamarku. Perlahan aku membuka mata. Silau. Cahaya ini terlalu terang untuk lampu halogen kamarku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Langit. Awan. Atap-atap rumah. Buru-buru aku mengucek kedua mata. Astaga! Dimana ini? Aku melihat sekeliling. Sedikit bernafas lega begitu kusadari aku masih berada dalam mobil Kairo. Kupaksa otakku yang belum siap kerja seratus persen untuk mengingat-ingat. Tadi selesai makan di kedai soto, seingatku Kairo mengantarku pulang dan sepertinya aku ketiduran. Ah, aku jadi menyesal membudidayakan kebiasaan habis kenyang terbitlah iler.

Aku menatap jam tanganku dengan pandangan yang masih kabur. Pukul setengah empat sore. Artinya aku sudah tidur hampir dua jam. Gila! Kanaya! Memalukan sekali anda ini! Ini hari pertama anda pulang dianter seorang pacar dan anda ketiduran sampai dua jam! Apa tadi ada yang mencampur obat tidur ke dalam mangkuk sotoku? Kanaya, kamu harus benar-benar mengurangi dosis nonton sinetron.

Chill out. Aku mengatur napas mencoba sedikit rilek lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Rumput dan atap rumah sejauh mata memandang. Dimana ini? Rasa-rasanya ini bukan Jakarta. Kalaupun ini Jakarta, pasti tadi aku naik mesin waktu ke puluhan tahun yang lalu. Mana mungkin Jakarta punya padang rumput seluas perbukitan ini? Lalu, dimana Kairo?

Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Udaranya bisa dikatakan sejuk kalau dibandingkan dengan jam empat sore di Jakarta. Matahari mengintip di balik awan dan angin yang bertiup lumayan kencang.

Beberapa meter dari tempatku berdiri, sekelompok anak laki-laki sedang berlomba-lomba menerbangkan layang-layang. Beberapa berteriak-teriak, beberapa bersiul-siul memanggil angin, dan beberap lagi bersiap dengan tongkat kayu di tangan, siap mengejar kalau-kalau ada satu layang-layang yang putus. Dan aku mengenali satu bocah laki-laki yang sedang asyik menerbangkan layang-layang. Mudah dikenali, karena dia satu-satunya yang berbadan besar.

‘Hei, kirain besok pagi baru bangun,’ ujarnya ketika aku mendekat.

‘Kita dimana?’

‘Masih di tanah Jawa kok, Non. Tenang aja,’ Kairo tampak senang sekali bermain layang-layang. Seperti bocah yang masa kecilnya kurang bahagia.

Dan hatiku berdesir melihatnya. Matanya menyipit karena menantang matahari. Peluh mengalir melalui pelipis matanya. Dia tertawa-tawa bersama bocah-bocah dekil yang kulitnya gosong seharian terpanggang matahari. Sesekali ia ikut berteriak dan bersiul bersama anak-anak itu. Rasa-rasanya baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu.

Tahu-tahu Kairo menoleh. Aku sudah tidak sempat mengelak lagi saat ia menatapku sambil tersenyum. Ia menyerahkan gulungan senarnya pada seorang anak laki-laki yang sedari tadi hanya menunggui layang-layang putus, lalu bergerak mendekatiku.

‘Maaf ya, aku cuma bisa bawa kamu ke tempat ini.’ Kairo merebahkan diri di atas rumput.

No problem. Seenggaknya kamu gak ganggu tidur siangku,’ aku mengikutinya berbaring di rumput. ‘Ini tempat apa?’

Kairo diam sejenak kemudian tertawa sendiri. ‘Aku punya cerita lucu di tempat ini. Jadi dari kecil aku diasuh sama mbak-mbak cantik. Rumahnya di perkampungan gak jauh dari sini. Pas umurku lima tahun, mbak asuhku menikah dan aku marah. Aku ngambek pas acara nikahan si Mbak dan lari ke sini.’

‘Kamu pasti manja banget sama si Mbak. Sampe segitunya ditinggal kawin.’

Kairo geli sendiri. ‘Sebenernya dulu aku naksir sama si Mbak. Aku malah pernah bilang kalo si Mbak gak boleh nikah sebelum aku gede. Dulu sih aku belum ngeh kalo naksir si Mbak sama aja naksir tante-tante.’

‘Gak heran sih gedenya jadi playboy. Masih kecil aja naksirnya udah sama mbak-mbak,’ aku mengikik sendiri.

Kairo menjawil pipiku pertanda protes. Ekspresi wajahnya dibuat seolah dia ngambek betulan. ‘Kubilang kan aku udah pensiun.’

‘Pensiun darimana? Sekarang aja pacarmu dua.’

Seketika suasana jadi hening dan serba tidak enak. Kairo diam sambil menerawang entah apa yang ada di langit. Aku mengutuki mulut sendiri yang bicara tanpa disaring dulu. Aku tahu Kairo merasa tidak enak dengan situasi ini. Dia merasa bersalah padaku karena belum bisa meninggalkan Navita, juga merasa bersalah pada Navita karena tidak lagi cinta, namun tidak bisa meninggalkannya.

Akupun merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. ‘Kelamaan di sini aku bisa molor lagi nih. Pulang yuk!’ aku beranjak dari tempatku berbaring. Namun tiba-tiba Kairo mencekal tanganku, menariknya pelan agar kembali berbaring rapat di sisinya. Matanya dipejamkan, namun tangannya menggenggam erat jemariku.

‘Sebentar lagi. Aku mohon ijin untuk berbaring di sini dengan kamu sebentar lagi. Karena hanya dengan di sini aku merasa memiliki kamu dan kamu memiliki aku. Langit, angin, suara burung, rumput, layang-layang, genggaman tangan kamu, ini scene paling indah sepanjang film hidupku.’

‘Bonus teriakan girang bocah-bocah.’

‘Hadiah utamanya tetap kamu.’

Aku merasakan pandanganku mulai mengabur. Aku memejamkan mata, berusaha agar cairan yang tidak diinginkan itu tidak merebak memenuhi mataku. Dia benar, hanya di sini kami bisa merasa benar-benar saling memiliki secara bebas. Aku dan dia saja. Aku ingin menangis saking penuhnya bahagia dalam hatiku saat ini. Baru kali ini aku merasakannya.

Aku menyadari penuh bahwa kisahku dengannya bukanlah air yang pada akhirnya sudah pasti mengalir ke laut. Bukan pula hari yang pasti bertemu dengan senja. Kisahku mungkin bisa kuibaratkan sebagai pohon yang baru tumbuh. Sebatang pohon tidak pernah tahu apakah ia akan terus tumbuh besar, mati tergerus musim  atau musnah dijarah tangan manusia. Entah kemana dan bagaimana kisah ini akan bergulir, entah akan berakhir seperti apa, satu-satunya yang aku tahu adalah saat ini ingin kunikmati saja detik-detik yang merekam kebersamaanku dengan dia.  Aku balas menggenggam erat tangannya. Aku ingin dia merasakan apa yang sedang aku rasakan. Aku ingin waktu, menit, detik, rotasi bumi, berhenti saat ini juga. Mengabadikan bahagiaku bersamanya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

"Komnas Perlindungan Organ Dalam Manusia" menggelikan :D

Boleh juga ni jadi tongkrongan baru.. Baca gretongan.. :D

Kerennn ˆ⌣ˆ

dontknowwhoiam mengatakan...

hehehe makasih sudah baca mbak frenike ^_^

Posting Komentar