Klakson mobil Kairo ber-tet-tet ria di depan rumahku keesokan paginya.
Aku mengintip dari balik tirai dengan kegembiraan yang berlebihan dan norak. Aku
bangun pagi ini dengan kurang tidur, tapi entah kenapa aku begitu semangat
dan...bahagia. Rasanya baru semalam aku dilahirkan. Entah kenapa hari ini
terasa begitu lain. Segalanya seperti baru; kebahagiaanku, semangatku, dan rasa
percaya diriku seperti berbeda sekali.
Ada menit dimana aku merasa aku bukanlah diriku yang kemarin. Aku
mandi dengan menggunakan sabun lebih banyak dari biasanya. Tadi juga sepertinya
aku empat sampai lima kali bolak-balik berkaca hanya untuk memastikan bahwa aku
sudah menyikat gigiku dengan cukup bersih. Yang lebih gila adalah aku
menghabiskan setengah jam untuk sekedar memilih baju mana yang akan kukenakan
ke kampus hari ini. Gila, ternyata adegan-adegan di sinetron itu terjadi juga
di hidupku. Dan secara ajaib, mendadak lemariku berisi bertumpuk-tumpuk pakaian
yang tak pantas aku kenakan.
Sempat terlintas ide untuk mengintip lemari pakaian Ibu. Namun
terpaksa kuurungkan mengingat Ibu tidak menggunakan deterjen dengan merek
seperti yang di iklan. Deterjen yang bisa membuat Naysilla Mirdad tetap cantik
meski dengan memakai gaun Lidya Kandou waktu gadis. Dan aku yakin satu kampus
akan syok kalau aku memakai pakaian Ibu yang ajaib. Dia pelukis, dan gaya
busananya entah berkiblat ke edgy,
gipsi, atau dukun beranak. Dengan
permsalahan kostum ini, aku baru benar-benar percaya betapa tidak masuk akalnya
kekuatan cinta itu. Bukan main.
Akhirnya aku memilih blus polos berwarna abu-abu yang kupadankan
dengan semi-jins hitam juga flatshoes berwarna
hijau tua yang senada dengan tasku. Blus yang hampir tidak pernah kupakai sejak
diberikan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Rambut pendekku kusisir dan
kuikat jadi satu. Berusaha serapi mungkin namun apa daya beberapa bagian yang
tidak terikat masih berjatuhan di tengkukku. Penampilanku tidak begitu spesial,
tapi kurasa enak dilihat dan nyaman dikenakan. Dan tidak berlebihan. Dan
sejujurnya memang hanya segitu kemampuan ‘wardrobe’-ku.
Setelah berpamitan pada Ibu, aku segera keluar dari rumah. Sejenak aku
berhenti di depan pintu, menatap Kairo yang sedang duduk di atas kap mesin
mobilnya, menungguku. Mengenakan sunglasses, ia membiarkan sinar matahari
menerpa kulitnya yang warna aslinya mulai kembali; kuning langsat. Perlahan aku
mendekatinya, menikmati siluetnya, betapa indah bentuk hidungnya. Dan aku masih
tidak percaya bahwa hari ini, aku bertemu dengan lelaki itu sebagai dua orang
yang saling jatuh cinta.
Kami telah mengakui bahwa kami berdua saling jatuh cinta. Tidak
kusangka blog yang awalnya iseng kubuat karena kegalauanku akhirnya membuat
kami membuka topeng masing-masing. Mungkin secara magis, tangan-tangan Tuhan
membuat Kairo tanpa sengaja bertemu dengan blog itu. Dan secara licik, James
berhasil membongkar siapa nama di balik blog tersebut. Sialan, kampret, dan
terima kasih James.
Aku tahu ini dosa besar mengingat Kairo masih berstatus pacar resmi
Navita. Ya, aku memang tidak pernah menyangka dan tidak juga mengharapkan akan
menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Tapi seperti yang pernah
kubilang, cinta adalah perasaan milik manusia yang manusia itu sendiri tidak
bisa mengontrolnya.
Dari awal aku sudah tau resiko mencintai Kairo. Aku juga mengerti
bahwa ia butuh waktu untuk berpisah dengan Navita secara baik-baik. Tidak
mungkin ia meninggalkan Navita begitu saja setelah apa yang terjadi dengan
Navita beberapa bulan yang lalu. Aku pun tidak ingin Kairo nantinya akan merasa
bersalah kalau Navita sampai melakukan hal seperti setelah ditinggal Rein dulu.
Jadi mau tidak mau, aku harus terima dengan posisi ‘orang ketiga’ ini. Lagipula
aku tidak terlalu yakin kalau Kairo benar-benar tertarik padaku.
‘Hei,’ katanya sambil melompat turun dari kap mobil begitu aku berdiri
di depan pagar. Dilepasnya kacamata hitam dengan bingkai lebar itu lalu
ditatapnya aku sambil tersenyum. ‘Cantik sekali.’
Aku buang muka menyembunyikan senyum. ‘Hah, akhirnya aku tahu juga alasannya
kenapa cewek-cewek segitu tergila-gilanya sama kamu. Kamu raja gombal.’
‘Lho kok gombal? Seriously,
Naya, You’re so beautiful to me.’
Aku tersenyum kecil menatapnya. ‘Kairo, please deh. Kamu gak mau
kan hari ini kita gagal kuliah karena kamu sibuk ngejer aku yang terbang
gara-gara kamu puji terus.’ Gantian Kairo yang tertawa lepas mendengarnya.
Menghindari serangan gombal yang mungkin akan datang, aku segera
membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Di luar, Kairo masih berdiri
memandangiku dengan senyum yang tak bisa kujelaskan apa artinya. Aku segera
memberi isyarat supaya ia segera masuk ke dalam mobil.
‘Sudah sarapan?’ tanyaku padanya setelah ia masuk ke dalam mobil dan
memasang seat belt.
‘Belum. Tadi mau beli nasi uduk deket kosan udah abis duluan.’
‘Ya udah, nanti sarapan sambil jalan aja,’ aku menunjukkan kotak bekal
yang kubawa.
‘Untukku? Asyik! Dapet sarapan gratis dari pacar. Kenapa gak dari dulu
aja ya aku macarin kamu. Bisa hemat duit bulanan ini sih.’
‘Sialan.’
***
Siang hari, setelah kuliah selesai, kami meninggalkan ritual 'ngafe' seperti biasa. Aku mengajaknya makan di kedai soto dekat kampusku yang selalu
ramai pengunjung. Ini tempat makan teramai seantero kampus karena aneka sotonya
yang enak dan supermurah. Sesuai dengan kasta mahasiswa yang isi kantong masih
berbanding lurus dengan gaji orang tua.
‘Kamu yakin dua gelintir manusia masih bisa masuk ke sana?’ Kairo ragu
begitu melihat tempat itu sudah disesaki bermacam manusia kelaparan.
‘Ya harus yakin dong. Ayo!’
Berdesakan, tergencet mahasiswa lain yang berbadan lebih besar, sebisa
mungkin aku menyelinap di tengah kerumunan manusia kelaparan itu. Berbekal
pengalaman dan keahlian memadai, akhirnya kami berhasil mencapai meja di sudut
kedai dengan dua porsi nasi soto yang masih mengepul.
Kairo menatapku lekat. Bibirnya menyunggingkan senyum samar yang tak
kumengerti apa artinya. Dan itu berhasil membuat wajahku terasa hangat. Ah,
sudah dipastikan sekarang pipiku bersemburat kemerahan. Terlebih lagi begitu
aku mengingat ketika berdesak-desakan tadi, tubuh tegap itu tak lepas
memproteksi diriku, berdiri di belakangku, sigap mendorong siapa saja yang
berusaha menggencetku. Itu lucu karena dia terlihat seperti abang yang sedang
menjaga adiknya. Aku jadi teringat Kafka.
‘Dapetinnya susah lho. Mau dilihatin doang sotonya?’ aku berusaha
mengalihkan perhatiannya.
Kairo masih menatapku dengan tatapan yang sama. Anak itu betul-betul
tau gimana caranya membuat wanita salah tingkah. Sialan. Aku menyendokkan satu
suapan besar soto ke dalam mulut, menghindari rasa gugupku, mencoba terlihat
sebiasa mungkin padahal jantungku sudah mau lari ke Komnas Perlindungan Organ
Dalam Manusia saking terlalu sering deg-degan karenanya.
Aku sudah hampir menghabiskan sotoku ketika tak sengaja kulirik
mangkuk soto milik Kairo masih penuh dan dia masih memandangiku seperti tadi.
‘Kamu gak suka soto ya?’
‘Suka.’
‘Terus kenapa gak dimakan?’
‘Lebih suka lihat kamu makan lahap banget kayak gak makan dua tahun
gitu.’
Aku tertawa melengos. ‘Dasar! Playboy
gitu ya. Mau makan aja pake ngegombal dulu.’
Tanpa diduga, dengan gerakan cepat Kairo mengulurkan tangannya dan mencubit
pipiku dengan gemas. ‘Kan aku udah pensiun jadi playboy-nya.’
Aku mengelus pipiku yang pedas habis dicubit olehnya. Kupelototi dia
sambil menghabiskan sisa-sisa soto di mangkukku. ‘Kamu serius gak mau makan?
Aku masih laper, buat aku aja ya!’
Bukannya protes, Kairo malah tertawa sambil mendorong mangkuk sotonya
ke arahku, ‘Makan banyak, tapi badan kurus kering begitu. Semua yang kamu makan
numpuk di pipi deh kayaknya.’
Aku nyengir sebisanya.
***
Sunyi, diam, hanya suara burung dan hembusan angin yang terdengar.
Bunyi-bunyian yang serba asing ini, sepertinya aku tidak sedang tertidur di
kamarku. Perlahan aku membuka mata. Silau. Cahaya ini terlalu terang untuk
lampu halogen kamarku.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Langit. Awan. Atap-atap rumah.
Buru-buru aku mengucek kedua mata. Astaga! Dimana ini? Aku melihat sekeliling.
Sedikit bernafas lega begitu kusadari aku masih berada dalam mobil Kairo.
Kupaksa otakku yang belum siap kerja seratus persen untuk mengingat-ingat. Tadi
selesai makan di kedai soto, seingatku Kairo mengantarku pulang dan sepertinya
aku ketiduran. Ah, aku jadi menyesal membudidayakan kebiasaan habis kenyang terbitlah
iler.
Aku menatap jam tanganku dengan pandangan yang masih kabur. Pukul
setengah empat sore. Artinya aku sudah tidur hampir dua jam. Gila! Kanaya!
Memalukan sekali anda ini! Ini hari pertama anda pulang dianter seorang pacar
dan anda ketiduran sampai dua jam! Apa tadi ada yang mencampur obat tidur ke
dalam mangkuk sotoku? Kanaya, kamu harus benar-benar mengurangi dosis nonton
sinetron.
Chill out. Aku mengatur
napas mencoba sedikit rilek lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Rumput
dan atap rumah sejauh mata memandang. Dimana ini? Rasa-rasanya ini bukan
Jakarta. Kalaupun ini Jakarta, pasti tadi aku naik mesin waktu ke puluhan tahun
yang lalu. Mana mungkin Jakarta punya padang rumput seluas perbukitan ini?
Lalu, dimana Kairo?
Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku memutuskan untuk
keluar dari mobil. Udaranya bisa dikatakan sejuk kalau dibandingkan dengan jam
empat sore di Jakarta. Matahari mengintip di balik awan dan angin yang bertiup lumayan
kencang.
Beberapa meter dari tempatku berdiri, sekelompok anak laki-laki sedang
berlomba-lomba menerbangkan layang-layang. Beberapa berteriak-teriak, beberapa
bersiul-siul memanggil angin, dan beberap lagi bersiap dengan tongkat kayu di
tangan, siap mengejar kalau-kalau ada satu layang-layang yang putus. Dan aku
mengenali satu bocah laki-laki yang sedang asyik menerbangkan layang-layang.
Mudah dikenali, karena dia satu-satunya yang berbadan besar.
‘Hei, kirain besok pagi baru bangun,’ ujarnya ketika aku mendekat.
‘Kita dimana?’
‘Masih di tanah Jawa kok, Non. Tenang aja,’ Kairo tampak senang sekali
bermain layang-layang. Seperti bocah yang masa kecilnya kurang bahagia.
Dan hatiku berdesir melihatnya. Matanya menyipit karena menantang
matahari. Peluh mengalir melalui pelipis matanya. Dia tertawa-tawa bersama
bocah-bocah dekil yang kulitnya gosong seharian terpanggang matahari. Sesekali
ia ikut berteriak dan bersiul bersama anak-anak itu. Rasa-rasanya baru kali ini
aku melihatnya tertawa seperti itu.
Tahu-tahu Kairo menoleh. Aku sudah tidak sempat mengelak lagi saat ia
menatapku sambil tersenyum. Ia menyerahkan gulungan senarnya pada seorang anak
laki-laki yang sedari tadi hanya menunggui layang-layang putus, lalu bergerak
mendekatiku.
‘Maaf ya, aku cuma bisa bawa kamu ke tempat ini.’ Kairo merebahkan
diri di atas rumput.
‘No problem. Seenggaknya
kamu gak ganggu tidur siangku,’ aku mengikutinya berbaring di rumput. ‘Ini tempat
apa?’
Kairo diam sejenak kemudian tertawa sendiri. ‘Aku punya cerita lucu di
tempat ini. Jadi dari kecil aku diasuh sama mbak-mbak cantik. Rumahnya di
perkampungan gak jauh dari sini. Pas umurku lima tahun, mbak asuhku menikah dan
aku marah. Aku ngambek pas acara nikahan si Mbak dan lari ke sini.’
‘Kamu pasti manja banget sama si Mbak. Sampe segitunya ditinggal
kawin.’
Kairo geli sendiri. ‘Sebenernya dulu aku naksir sama si Mbak. Aku
malah pernah bilang kalo si Mbak gak boleh nikah sebelum aku gede. Dulu sih aku
belum ngeh kalo naksir si Mbak sama
aja naksir tante-tante.’
‘Gak heran sih gedenya jadi playboy.
Masih kecil aja naksirnya udah sama mbak-mbak,’ aku mengikik sendiri.
Kairo menjawil pipiku pertanda protes. Ekspresi wajahnya dibuat seolah
dia ngambek betulan. ‘Kubilang kan aku udah pensiun.’
‘Pensiun darimana? Sekarang aja pacarmu dua.’
Seketika suasana jadi hening dan serba tidak enak. Kairo diam sambil
menerawang entah apa yang ada di langit. Aku mengutuki mulut sendiri yang
bicara tanpa disaring dulu. Aku tahu Kairo merasa tidak enak dengan situasi
ini. Dia merasa bersalah padaku karena belum bisa meninggalkan Navita, juga
merasa bersalah pada Navita karena tidak lagi cinta, namun tidak bisa
meninggalkannya.
Akupun merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. ‘Kelamaan di sini
aku bisa molor lagi nih. Pulang yuk!’ aku beranjak dari tempatku berbaring.
Namun tiba-tiba Kairo mencekal tanganku, menariknya pelan agar kembali
berbaring rapat di sisinya. Matanya dipejamkan, namun tangannya menggenggam erat
jemariku.
‘Sebentar lagi. Aku mohon ijin untuk berbaring di sini dengan kamu
sebentar lagi. Karena hanya dengan di sini aku merasa memiliki kamu dan kamu
memiliki aku. Langit, angin, suara burung, rumput, layang-layang, genggaman
tangan kamu, ini scene paling indah sepanjang film hidupku.’
‘Bonus teriakan girang bocah-bocah.’
‘Hadiah utamanya tetap kamu.’
Aku merasakan pandanganku mulai mengabur. Aku memejamkan mata,
berusaha agar cairan yang tidak diinginkan itu tidak merebak memenuhi mataku.
Dia benar, hanya di sini kami bisa merasa benar-benar saling memiliki secara
bebas. Aku dan dia saja. Aku ingin menangis saking penuhnya bahagia dalam
hatiku saat ini. Baru kali ini aku merasakannya.
Aku menyadari penuh bahwa kisahku dengannya bukanlah air yang pada
akhirnya sudah pasti mengalir ke laut. Bukan pula hari yang pasti bertemu
dengan senja. Kisahku mungkin bisa kuibaratkan sebagai pohon yang baru tumbuh.
Sebatang pohon tidak pernah tahu apakah ia akan terus tumbuh besar, mati
tergerus musim atau musnah dijarah tangan
manusia. Entah kemana dan bagaimana
kisah ini akan bergulir, entah akan berakhir seperti apa, satu-satunya yang aku
tahu adalah saat ini ingin kunikmati saja detik-detik yang merekam
kebersamaanku dengan dia. Aku balas
menggenggam erat tangannya. Aku ingin dia merasakan apa yang sedang aku
rasakan. Aku ingin waktu, menit, detik, rotasi bumi, berhenti saat ini juga.
Mengabadikan bahagiaku bersamanya.
2 komentar:
"Komnas Perlindungan Organ Dalam Manusia" menggelikan :D
Boleh juga ni jadi tongkrongan baru.. Baca gretongan.. :D
Kerennn ˆ⌣ˆ
hehehe makasih sudah baca mbak frenike ^_^
Posting Komentar