KANAYA’S VIEW
Aku belum bertemu lagi dengan Kairo sejak makan siang di cafe waktu
itu. Hampir seminggu ia tidak menampakkan diri di hadapanku. Kuhampiri ke
kelasnya, James bilang dia sudah seminggu tidak masuk kuliah. Ada apa dengan
anak itu? Apa dia sedang kena masalah? Atau jangan-jangan dia sedang buron? Ah,
tidak. Jangan sembarang kamu, Kanaya! Gila saja.
Awalnya kupikir ia sengaja menjauh dariku. Tapi kenapa dia mendadak
ingin menjauhiku? Seingatku saat pertemuan terakhir itu kami baik-baik saja.
Bahkan dia mentraktirku steak. Aku benar-benar bingung sampai akhirnya siang
ini Navita meneleponku. Iya, Navita. Pacarnya sendiripun tidak tahu dimana
keberadaan anak itu. Aku kembali berpikir, jangan-jangan benar dia sedang
buron.
Tapi setahuku Kairo tidak punya kriteria buronan polisi. Buronan
wanita mungkin iya. Setahuku dia memang perokok berat tapi ia tidak pernah
berurusan dengan minuman keras atau obat-obatan terlarang. Membunuh orang?
Rasanya tidak mungkin. Berarti mungkin iya sedang mengalami kemungkinan kedua,
jadi buronan wanita. Tapi wanita yang mana? Setahuku Kairo sudah insyaf sejak
ditinggal Navita beberapa waktu yang lalu.
Seorang diri, aku memutuskan untuk mendatangi kos-kosannya sepulang
kuliah. Aku pernah ke sana beberapa kali hanya untuk memenuhi permintaan Kairo dibuatkan mi instan. Anak itu manja sekali. Dia selalu lupa makan kalau tidak
diingatkan. Bukan tidak sering aku melihatnya memberi uang secara cuma-cuma
pada pemilik cafe langganan kami; memesan makanan mahal, tapi tidak disentuh
sama sekali.
Aku tiba di depan kos-kosannya yang terletak tak jauh dari kampus.
Kos-kosan itu berupa rumah berlantai dua, terlihat seperti rumah susun dengan
pintu berjejer. Aku langsung menaiki tangga. Kamar kos Kairo terletak persis di
sebelah tangga lantai dua. Lantai dua terlihat sepi. Aku sedikit bergidik
mengingat kos-kosan ini umumnya dihuni
laki-laki. Tapi mengingat penampilanku yang sama sekali tidak menarik bagi pria katarak sekalipun, aku urung
khawatir.
Aku mengetuk pintu kamarnya. Satu kali, tidak ada jawaban. Aku
mengetuk pintu sambil memanggil-manggil si empunya kamar kos, tidak juga ada
jawaban. Aku beralih ke jendela. Sial pula gordennya tertutup rapat.
‘Cari Kairo, Neng?’ Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku
sedikit kaget dibuatnya. Terlebih lagi begitu aku membalikkan badan, melihat
orang itu hanya mengenakan boxer dan bertelanjang dada, membawa seember pakaian
basah di tangannya.
‘Aduh, maaf. Saya baru selesai mandi dan nyuci,’ ujarnya seperti tahu
bahwa aku tidak nyaman dengan penampilannya. ‘Kairo teh pulang ke Bandung. Itu
lihat sendiri mobilnya tidak ada.’
Aku melongokkan kepala ke arah yang ditunjuk cowok kurus kering
setengah bugil itu. Benar, mobil double
cabin-nya memang tidak nampak di halaman kos-kosan.
‘Mas tau kenapa dia pulang ke Bandung? Apa ada masalah?’
‘Waduh saya tidak tahu pastinya, Neng. Saya permisi dulu, mau jemur
pakaian.’
Aku mempersilakan cowok kurus itu pergi. Kutatap pintu kamar itu
sekali lagi. Berharap tiba-tiba si penghuni kamar keluar sambil teriak,
‘KETIPU!’ Tapi rasa-rasanya percuma saja. Lima menit aku memandanginya, pintu
itu tetap bergeming.
Aku menuruni tangga dengan sejuta pertanyaan berseliweran di kepala.
Dia pulang ke Bandung? Kenapa dia tiba-tiba pulang ke Bandung? Kenapa begitu
lama? Apa keluarganya di sana sedang ada masalah? Kenapa pula dia tidak cerita
padaku? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang akan menghabiskan energiku untuk
dipikirkan. Ah anak itu, dia selalu sukses membuatku galau.
***
KAIRO’S VIEW
Masih dengan aroma kemarin sore alias belum mandi, aku duduk di
pinggir jendela kamarku di Bandung. Jam di meja kecil dekat tempat tidurku
menunjukkan pukul setengah dua siang. Artinya sudah hampir enam jam aku duduk
di sini, tidak melakukan apa-apa, hanya bengong seperti ayam kena kelor.
Kudengar pintu kamarku dibuka dengan pelan. Aku hanya menoleh sekilas.
Kulihat Ibu tersenyum dengan nampan penuh makanan di tangannya. Ibu selalu
begitu kalau aku tidak kunjung turun dari kamar untuk makan siang. Beliau tipikal
Ibu-ibu baik kalau di sinetron. Meskipun usianya kini sudah hampir mencapai
separo abad, tapi Ibu tetap cantik dengan jilbabnya.
Kalau Ayah tokoh antagonis, bagiku Ibu adalah tokoh protagonis dalam
‘sinetron’ hidupku. Kalau Ayah diibaratkan sebagai Ibu Tirinya Cinderella, Ibu
adalah Ibu Peri yang selalu menghibur dan membuat masalahku terasa mudah.
Tunggu dulu, berarti aku Cinderella? Ah, tidak. Ganti saja perumpamaannya.
Ayahku tipikal orang berwatak keras. Berdasarkan cerita Ibu, Ayah
sudah sangat kenyang makan asam garam kehidupan. Berangkat dari anak seorang
Janda petani miskin, dengan ketangguhan yang didasari tekad yang besar, kini
Ayah sudah menjadi salah seorang pengusaha yang cukup sukses. Kesimpulanku,
kerasnya kehidupan yang ia jalani dahululah yang bertanggung jawab penuh atas
watak keras yang dimiliki Ayah.
Biasanya, kalau Ayah marah, Ibulah yang akan jadi ‘pengacara’ yang
akan selalu membela kami. Ah ralat, bukan ‘kami’, karena diantara empat orang
anak Ayah, akulah yang paling bandel. Maklum saja, aku satu-satunya anak lelaki
di keluargaku.
Kembali ke Ibu, ia sekarang duduk di hadapanku. Memandangiku dengan
senyumnya yang mampu menenangkan macan ngamuk sekalipun. Tapi aku anaknya, aku
tahu itu pandangan menyelidik. Dan dia Ibuku, sudah sangat dipastikan dia tahu
bahwa aku sedang punya ‘masalah’. Ibu mana yang tidak ingin tahu jika anaknya
yang sudah keasyikan dengan kehidupan Jakarta, tiba-tiba pulang dengan wajah
murung dan berhari-hari sembunyi di kamar.
‘Abang belum mau cerita juga sama Ibu?’ Ibu menatapku sambil
tersenyum. Abang, begitulah aku selalu dipanggil di rumah. Abang adalah
panggilan bagi kakak laki-laki orang Sumatera Selatan, daerah asal Ibuku. Aneh
memang, aku anak bungsu dan justru dipanggil ‘Abang’.
Tangan Ibu mulai menggerakkan sendok, bersiap menyuapiku. Iya, aku
anak yang sangat dimanja. Ada masalah?
‘Cerita apa sih, Bu,’ ujarku asal. Mulutku langsung menyambar suapan
Ibu. Enak.
‘Abang..Abang.. kayak ada gitu hal yang gak Ibu tahu dari kamu. Pasti
masalah perempuan deh.’
Aku berhenti mengunyah. Curiga, jangan-jangan selama ini Ibu keturunan
paranormal. Disekak begitu aku langsung nyeplos bicara. ‘Kayaknya aku kena
karma deh, Bu.’
Ibu menurunkan sendok di tangannya. Ditatapnya mataku dalam-dalam.
Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. ‘Kenapa Abang bisa bilang begitu?’
‘Ya abis, selama ini aku selalu gonta-ganti cewek, mutusin si A demi
pacaran sama si B, dan mungkin menyakiti hati mereka. Dan sekarang, aku baru
tau gimana rasanya jatuh cinta dan gak kesampaian. Mungkin aku kelihatan
seperti kaum jahiliyah, memuja batu, dan batu itu hanya diam.’ Sial, aku
benar-benar terdengar seperti ABG cewek setelah mengucapkan kalimat itu.
‘Memangnya Abang sudah menyatakan perasaan?’
Aku terdiam sejenak. ‘Justru itu, Bu. Untuk menyatakan perasaan aja
aku gak punya keberanian. Masalahnya, yang kutaksir ini sahabatku.
Syukur-syukur dia punya perasaan yang sama. Nah kalo enggak? Pacaran enggak
jadi, persahabatan kami bisa hancur. Dan aku gak akan bisa sama-sama dia lagi.’
Ibu tersenyum sambil menyodorkan air minum kepadaku. ‘Sejak kapan anak
Ibu yang paling ganteng ini takut ditolak cewek? Ibu kasih tau rahasia deh.
Dulu, Ibu itu gak suka banget sama Ayahmu. Tentu kamu tahu gimana sifat Ayah.
Dia gak kenal kata menyerah. Dia kerja terus dan terus demi bisa memenuhi
‘standar’ laki-laki yang menurut kakekmu pantas jadi suami Ibu. Melihat itu Ibu
jadi tersanjung dan mulai simpati pada Ayah. Kamu tahu intinya apa?’
Aku menatap Ibu dengan penuh penasaran.
‘Intinya ketika kamu menyukai seseorang, tunjukkan bahwa kamu memang
suka. Tunjukkan bahwa kamu pantas untuk diterima. Ditolak tidak masalah. Karena
ditolak rasanya jauh lebih baik daripada menyimpan perasaan itu sendiri. Karena
setidaknya kamu sudah berusaha untuk ‘menang’, bukannya sembunyi dan memilih
untuk jadi pengecut.’
‘Wuidih, kata-kata Ibu keren deh. Nanti aku tulis di twitter ya.’
Ibu meraih kepalaku dan mencium puncaknya. Beruntungnya aku memiliki
beliau. Aku tidak pernah malu diperlakukan Ibu seperti anak kecil begini.
Karena tentu ada orang yang tidak seberuntung aku, merasakan kasih sayang yang
begitu besar dari seorang Ibu. Dan pada dasarnya, seorang anak tidak akan
pernah berhenti menjadi anak. Seorang anak tidak akan pernah dewasa di mata
Ibunya. Dan hingga saat ini, aku masih begitu menikmati peranku menjadi anak
Ibu.
‘I love you, Ibu,’ gumamku
dalam pelukannya.
‘I love you too, Kairo, anak
kesayangan Ibu.’
***
Setelah berbicara dengan Ibu, aku memutuskan besok akan kembali ke
Jakarta. Bukan itu sih alasan utamanya, tapi karena Ayah sudah hampir kebakaran
jenggot melihatku santai-santai di rumah sementara tanggung jawab pendidikan di
Jakarta terlantarkan. Kalau mau Ford Ranger-ku di sita dan uang bulanan
dipotong empat puluh persen, ya silakan saja memperpanjang masa bolos.
Di tepi jendela kamarku, aku duduk bersila di atas sebuah sofa empuk,
menghadapi notebook yang sudah
terhubung dengan jaringan wi fi rumahku. Iseng, tanganku mengetikkan alamat blog si ahli ekonomi yang sudah
kuhafal betul pada address bar. Koneksinya sedikit lamban. Butuh beberapa detik
untuk menampilkan halaman blog itu secara utuh. Ada sebuah posting baru yang
dipublikasikan... beberapa jam yang lalu.
KEMBALI
Entah apa harus kusebut perasaan ini..
Galau? Sepertinya terlalu ‘anak
muda’
Kosong? Tapi aku masih bisa
bernafas..
Atau hampa? Sesak?
Menyedihkan?
Dia menghilang..
Tanpa pertanda, firasat, maupun
pesan..
Dan aku, sistem kehidupanku jadi
terganggu
Karena bagian dari ‘sistem’
tersebut hilang..
Kau bayangkan saja jika sebuah
motor, businya hilang..
Apakah motor itu bisa berjalan?
Tidak.
Kau bayangkan saja jika aku
Samson Betawi, dan dia bulu ketekku
Ketika bulu ketekku raib dibabat
orang, apa Samson Betawi masih kuat?
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Jangankan untuk menyebutkan apa
perasaan ini..
Untuk merasakannya saja apakah
aku pantas?
Aku merasa kehilangan atas apa
yang sesungguhnya tidak pernah aku miliki..
Yang aku miliki hanya ragaku dan
perasaanku padanya saja..
Raganya? Hatinya? Milik orang
lain.
Miris sungguh..
Ketika manusia adalah pemilik
sebuah cinta, namun ia sendiri tidak mampu menyetir, mengarahkan, dan menentukan
kemana cinta ini akan menuju.
Kalau saja bisa, aku tentu akan
memilih cinta ini kutujukan saja pada dia yang punya cinta padaku..
Aku ini.. bicara seperti ada
orang yang mencintaiku saja..
Hei kamu..
Tidak cukupkah kamu tidak
mencintaiku saja?
Jangan menghilang tanpa jejak
dari hidupku seperti ini..
Aku cukup jika bisa melihat kau
setiap hari, merasakan kehadiranmu, menyaksikan kau hidup, tertawa setiap
hari..
Tidak peduli siapa di sisimu,
asal aku bisa melihat kau ada, bagiku cukup..
Ya, cinta untuk seorang pengecut
sepertiku adalah cukup dengan itu.
Memang aku akan selalu menelan
sakit setiap kali melihat senyummu, bahagiamu, yang bukan karenaku melainkan
karenanya..
Tapi aku lebih memilih untuk
merasakan sakit
Asalkan kau kembali..
Kairo..
Aku mengucek kedua mata berulang-ulang kali. Zooming in lalu zooming out hingga
berulang-ulang memastikan bahwa mataku memang tidak salah. Aku mengeja lima
huruf pada kata terakhir pelan-pelan. K-A-I-R-O. Kairo. Benar, sepertinya
memang tidak salah. Aku jadi sedikit bekeringat. Apa Kairo yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah.... Kairo Chandra Kinanta? Aku? Kalau benar Kairo yang
dimaksud adalah betul aku, lalu... Siapa pemilik blog ini?
Aku meraba-raba saku celana mencari ponsel. Aku harus menghubungi
James sekarang. Segera ku-dial nomor ponsel James yang sudah ku-setting di panggilan cepat.
Kuketuk-ketukkan jari sambil menunggu telepon diangkat oleh James.
‘Halo..’ sapa James dengan malas.
‘Mes, lo harus bantuin gue.’
0 komentar:
Posting Komentar