KANAYA’S VIEW
Baring hadap kanan, lalu baring hadap kiri. Baring hadap kanan lagi,
lalu baring hadap kiri lagi. Entah sudah berapa kali ‘ritual’ itu kujalani.
Tapi mata ini tidak kunjung terpejam. Ini cukup mengherankan bagi aku yang biasanya
jam sembilan malam saja sudah terkapar di atas kasur. Pikiranku tidak bisa
kosong saat ini. Aku masih saja memikirkan kenapa Kairo harus selama itu pulang
ke Bandung.
Aku duduk. Berbaring. Duduk lagi. Lalu berdiri, mencoba lari-lari
kecil di tempat berharap capek bisa mengundang kantuk untuk datang. Tapi
rasanya sia-sia saja. Lalu kuputuskan untuk beralih pada televisi di kamar
tidurku. Kunyalakan, lalu mencari-cari saluran tivi yang menayangkan acara
bagus. Biasanya aku selalu ketiduran kalau menonton tivi. Mungkin saja cara ini
ampuh. Tapi, lagi-lagi mataku justru asyik menonton Posseidon yang entah sudah berapa kali ditayangkan oleh saluran
tivi ini.
Sesekali aku mengalihkan pandangan pada layar BlackBerry-ku. Mengecek recent
update(s), kalau-kalau saja ada tanda-tanda aktivitas dari kontak BBM milik
Kairo. Tapi nihil. Bahkan kontaknya tidak aktif. Facebook dan twitter-nya sama sekali tidak di-update.
Samar-samar di luar rumah, aku mendengar sebuah mobil berhenti.
Sepertinya persis di depan pagar rumahku. Mungkin tamunya Pemilik agensi model
yang tinggal persis depan rumahku. Tapi pikiran tentang tamu Bos Agensi Model
itu sirna setelah kudengar gembok pagar rumahku bergelontang pelan. Aku menekan
tombol mute pada remote. Kudengar langkah kakiknya semakin dekat dengan rumahku. Siapa
yang bertamu dengan memanjat pagar malam-malam begini? Apa mungkin...pencuri?
Aku meraih tongkat baseball
milik kakak yang kuletakkan di samping lemari pakaianku. Jaga-jaga saja kalu
sampai benar yang datang adalah pencuri. Tak lama kemudian, kudengar pintu
diketok dengan perlahan. Otakku kembali berpikir, mungkinkah pencuri mengetuk
pintu dengan sopan? Ya, meskipun tamu juga tidak bisa dikatakan sopan kalau
bertamu pada jam segini, hampir jam sepuluh malam.
Aku menyandarkan tongkat baseball
pada sofa dan perlahan membuka pintu. Kosong. Tidak ada orang di depan pintu.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari tanda-tanda kehadiran seseorang namun
hasilnya nihil. Siapa sih yang iseng tengah malam begini?
Tiba-tiba seonggok kotak kaca berisi kura-kura melayang di depan
wajahku. Jantungku hampir copot dengan gerakan yang amat cepat itu. Berdiri di
hadapanku, bocah sipit bertubuh tinggi itu mengikik melihat ekspresi wajahku.
‘Baro! Jahil amat sih! Kalo aku jantungan terus mati gimana?’ Aku mencubiti
lengannya yang kokoh dengan kesal. Bukannya berhenti, Baro malah makin tertawa
sampai membungkuk saking senangnya.
‘Iyaaaa iyaaa ampuuun Kanaaa! Ampuuun!’ Baro sampai tersengal-sengal
ketika aku mencubiti, memukul, dan mencakar lengannya. ‘Coba ngelamar jadi bodyguard Obama deh, pasti kamu
diterima,’ sungutnya sambil mengelus-elus lengan.
‘Kamu ngapain ngagetin orang malem-malem?’
Baro menunduk sambil tersenyum. Tangannya menyodorkan kotak kaca
berisi kura-kura. Dari motifnya, seperti ini jenis kura-kura Brazil yang pernah
kulihat di tivi. ‘Ini namanya kura-karo. Buat kamu.’
Aku meraih kotak-kaca yang diberi pita ungu itu dan mengangkatnya di
udara. Memutar-mutar kotak itu dan memperhatikannya isinya bak menerawang uang
palsu.
‘Kamu tau nggak kenapa namanya kura-karo? Kura karena dia kura-kura.
Karo itu KAnaya dan baRO. Jadi kura-karo ini peliharaan kita berdua.’
‘Lucu deh kura-kurannya. Kayaknya ini hewan pertama yang aku suka
deh.’
‘Oh ya? Aku senang kalu kamu suka.’
Aku menatapnya yang nampak canggung berdiri di hadapanku. Mulutku jadi
gatal untuk bertanya. ‘Kamu kenapa? Kayak mau sidang skripsi deh, gugup bener.’
Baro terdiam cukup lama. Ia meremas-remas jemarinya lalu sesekali
menggaruk bagian belakang kepalanya yang –aku tahu- sesungguhnya tidak gatal
sama sekali.
‘Kana, sebelumnya aku minta maaf karena bilang ini ke kamu,’ Baro
berhenti sejenak. Menarik nafas panjang, lalu melanjutkan, ‘Aku mau bilang kalo
sejak SMP dulu dan sampai sekarang aku selalu suka kamu. Tidak pernah berubah.’
Aku tersenyum menatap laki-laki di hadapanku ini. Baro hampir satu
dekade tinggal di New York, dan dia juga atlet basket dengan otot-otot yang
kokoh, bagaimana bisa ia tetap jadi cowok sepolos ini? Kalau saja aku lebih
dulu bertemu dengannya kembali daripada bertemu dengan Kairo, mungkin aku akan
dengan sangat senang hati bilang kalau aku juga suka padanya. Tapi kenyataannya
lain.
‘Baro..’
‘No, Kana. Malam ini aku
cuman pengin mengungkapkan perasaanku. Waktuku di Jakarta tinggal kurang dari
sebulan lagi dan aku gak cukup yakin bisa memendam ini lebih lama. Suatu hari
nanti, kalau kamu merasakan hal yang sama, aku harap kamu gak akan sungkan
untuk bilang.’
Mendengar itu, aku merentangkan tanganku lebar-lebar untuk lelaki
tampan dengan hati yang luar biasa ini. Aku benar-benar salut padanya. Dia
memang tidak pernah berubah. Hatinya tetap sebaik dulu, waktu ia dengan besar
hati mau berteman denganku yang dianggap aneh dan tidak menarik.
‘Terima kasih sudah mengungkapkan perasaan kamu, Baro,’ gumamku dalam
dekapannya. Kubenamkan dalam-dalam wajahku di dadanya yang kokoh. Hal itu
dibalasnya dengan dekapan yang semakin erat. Sungguh, nyaman dan hangat sekali
berada dalam dekapan laki-laki ini. Mungkin karena aku berada sedikit lebih dekat
dengan hati yang jadi sumber kebaikannya.
‘KANAYA!’ sentakan itu membuatku kaget untuk kedua kalinya malam ini. Sontak
aku melepaskan diri dari Baro. Aku hafal suara itu. Itu suara Kairo. Di antara
temaram lampu taman, Kairo melintasi halaman rumahku dengan langkah yang cepat.
Ketika sudah berdiri di hadapanku, barulah aku melihat ekspresi wajah orang
yang paling kucari seminggu terakhir ini; entah marah atau kesal, alisnya
berkerut menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Tangannya memegang, mungkin
bisa dibilang mencengkram beberapa lembar HVS.
‘Aku perlu bicara sama kamu BERDUA,’ ia menekan aksennya pada kata
‘berdua’. Kali ini tatapannya dialihkan ke Baro.
‘Baiklah. Kana, aku pulang dulu ya!’ Sekilas Baro menggosokan telapak
tangannya ke puncak kepalaku. Membuat alis Kairo –menurut sudut pandangku- menjadi makin
berkerut. Dia terus menatapku dengan ekspresi seperti itu.
Aku? Kau mau tanya bagaimana perasaanku? Ya aku sih... SENANG BUKAN
MAIN! Sungguh, aku senang sekali melihatnya berdiri di hadapanku, sehat
walafiat, sempurna, tidak kurang satu apapun. Dalam hati aku berulang kali
mengucapkan syukur kepada Tuhan. Kecemasan, kekhawatiranku sirna sudah.
Digantikan dengan senang, bahagia, girang, dan kalau saja aku tidak pandai
menguasai diri, saat ini mungkin aku sudah melompat memeluk tubuhnya saking
bahagianya aku melihat dirinya lagi.
‘Ngapain kamu pelukan sama orang itu?’ tanya Kairo setelah mobil Baro meninggalkan
pagar rumahku.
‘Orang itu punya nama lho. Dan namanya Baro.’
‘Aku gak tanya namanya siapa. Yang aku tanya kenapa kamu peluk-pelukan
sama orang itu tengah malam begini?!’
‘Lha kamu sendiri? Kenapa tiba-tiba tengah malam muncul depan rumahku
dengan ekspresi gak ngenakin setelah seminggu menghilang gitu aja?’
Kairo diam. Tapi tangannya menyodorkan lembaran kertas yang sedari
tadi ia pegang. Aku mengambil kertas itu sambil menatapnya bingung. Kulihat
satu per satu apa yang kira-kira tertulis di lembaran kertas itu.
Dan...astaga!!! Ternyata kertas itu berisi tulisan di blogku! Ya Tuhan!
Bagaimana ini? Aku memang bodoh menuliskan namanya pada posting terakhir yang
aku buat. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak mengira bahwa dia akan menemukan
blog itu! Seingatku aku benar-benar menyembunyikan semua informasi mengenai
admin blog itu. Bagaimana dia bisa tahu?
Aku menatap Kairo dengan canggung. Lidahku kelu bahkan untuk sekedar
menyangkal. Kupaksakan diri untuk bersuara meski akhirnya terdengar seperti
orang gagu belajar bicara. ‘Kairo..ini..’
‘Apa betul brokeneconomist.blogspot.com
itu punya kamu?’
Aku tertunduk menatap jari-jari kakiku. ‘Kairo.. itu.. tidak begitu.
anu.. aku..’
‘Kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak,’ tegasnya mantap.
‘Tidak.. maksudku iya.. eh tapi tidak begitu juga.’
Tidak sabar, dengan kedua tangannya ia meraih kepalaku dan memaksa mataku
untuk bertemu dengan tatapannya. Aku menatap kedua bola mata itu dan sekejap
saja aku merasa pertahananku akan runtuh.
‘Jawab aku dengan jelas dan jujur. Apa betul itu blog kamu?’
Aku menepis kedua tangannya lalu kembali tertunduk. ‘Iya betul. Dan
maaf.’
‘Maaf?’ Nada bicaranya terdengar sedikit marah. ‘Untuk apa kamu minta
maaf? Untuk tidak jujur? Untuk suka padaku dan tidak bilang? Atau untuk
mengkhianati persahabatan kita?’
Aku hanya mampu berdiri mematung tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Untuk semuanyalah aku meminta maaf padamu. Untuk tidak jujur, untuk suka padamu
dan tidak bilang, dan untuk mengkhianati statusku sebagai sahabat kamu! Mungkin
juga atas kesalahan terbesarku yang telah berani-beraninya menyukai kamu!
‘Kamu tahu apa yang paling membuatku marah?’ Ia menurunkan
intonasinya. Diangkatnya perlahan daguku dengan telunjuknya. Sorot matanya
telah berubah. Meneduhkan. Membuatku yang sudah jatuh cinta, menjadi
jatuh-tersungkur-terseok-seok cinta kepadanya.
‘Yang paling membuatku marah adalah aku sampai harus menghilang,
membenci diriku sendiri karena kupikir.. I
love my bestfriend while she doesn’t. And it pains me so much.’
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Jantungku berdetak tiga kali
lebih cepat dari biasanya sampai kukira akan meledak. Dadaku disesaki dengan berbagai macam perasaan; terkejut, senang, tidak percaya, dan takut. iya, aku takut. Ini seperti mimpi, namun terlalu nyata jika kusebut sebagai mimpi. Apa tadi aku benar-benar tertidur saat sedang menonton Posseidon?
‘Yes, Kanaya.. Definitely, I
love you as a man. I’ve just realized that you mean the world to me. I’m sorry
for letting you wait for me for so long.’
‘Kairo.. tanggal berapa ini?’ Bibirku sungguh bergetar saat
mengucapkannya. Semua sendiku kini terasa kaku.
Mata Kairo membesar maksimal. Ia tampak begitu kaget dan terhina. ‘What?! Aku tengah malam nyetir sendirian
dari Bandung untuk nyatain perasaan ke kamu dan kamu cuman nanya tanggal
berapa?’
‘Nggak, bukan begitu. Aku hanya ingin memastikan bahwa ini bukan April
mop.’
Sontak Kairo tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu meraih kepalaku dan mencium
keningku dengan gemas. ‘I never deal with
April Mop.’
Jantungku rasanya merosot ke mata kaki. Sungguh aku baru tahu rasanya
‘ditembak’ oleh orang yang sudah lama kau sukai itu seperti sedang naik wahana roller coaster. Terlebih lagi saat roller coaster meluncur dari ketinggian
puluhan meter. Kalau biasanya kupu-kupu dalam perutku hanya menari-nari tiap
kali aku menatapnya, kali ini ia jaipongan sambil salto dan mungkin maraton
sepuluh putaran. Sungguh kontras dengan saat Baro menyatakan perasaannya padaku
beberapa menit yang lalu. Tunggu dulu, hei, ada apa denganku malam ini? Hari
apa ini? Zodiakku apa? Apa menurut ramalan zodiak hari ini adalah hari keberuntungan untuk zodiakku? Kenapa malam ini, dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempat yang
sama pula, dua orang laki-laki yang berbeda menyatakan perasaannya padaku?
Tapi aku tidak bisa langsung senang. Sesuatu tiba-tiba muncul di
pikiranku. Sesuatu yang bisa menghancurkan mood
baikku malam ini. Sesungguhnya aku tak ingin merusak suasana dengan
menanyakan ini, namun tanpa komando dari otak, seperti di luar kesadaran,
mulutku langsung melontarkan pertanyaan begitu saja, ‘Lalu.. bagaimana dengan
Navita?’
Kairo mengatupkan rahangnya. Ia maju satu langkah lebih dekat padaku,
lalu memantapkan tatapannya pada bola mataku. Kedua tangannya memegangi lenganku
dengan yakin. Dan kata-kata yang muncul berikutnya benar-benar kuprediksi akan
membuatku mendadak lumpuh total. ‘Kanaya Alvira, aku cinta kamu sekarang. Untuk
saat ini, apa kamu cukup dengan terus berada di sisiku saja?’
0 komentar:
Posting Komentar