KAIRO’S VIEW
Segera setelah mengantar Navita
pulang, aku memacu mobil menuju rumah Kanaya. Tadinya aku memang berniat tidak
datang ke pesta itu. Aku sudah tahu akhirnya akan begini. Kanaya pulang bahkan
mungkin sebelum acara habis. Mata itu, aku tidak akan bisa melupakan mata yang
begitu sedih melihatku bersama Navita. Sepintar apapun ia berusaha
menyembunyikan kesedihan, ia tetap tidak bisa menyembunyikannya dariku. Sialnya
bukan aku yang berada di sisinya. Melainkan si bule sipit itu.
Aku sampai di depan rumah Kanaya tepat pukul setengah dua belas malam.
Kulihat lampu kamarnya masih menyala. Aku tahu itu artinya Kanaya belum tidur.
Anak itu tidak bisa tidur dengan lampu menyala.
Aku membuka laci di dasbor. Sebuah kotak perak kecil kukeluarkan dari
sana. Aku membuka penutupnya dan kutatap benda itu sekali lagi. Benda itu
memang cukup mahal untuk kantong mahasiswa sepertiku. Aku membelinya dengan
uang yang kudapat dari bekerja di perusahaan Ayah liburan semester lalu. Karena
tidak ada kegiatan naik gunung, maka aku memutuskan untuk coba-coba kerja di
perusahaan Ayah. Awalnya sih tidak niat kerja betulan. Sebenarnya aku hanya
mencari alasan supaya bisa keluar rumah setiap hari. Aku ikut terlibat dalam
sebuah tender besar. Secara tak
kuduga, dengan penawaran yang siang-malam kubuat bersama tim, perusahaan Ayah
ternyata memenangkan tender senilai
tujuh belas milyar tersebut. Walaupun aku hanya mendapatkan 0,15 % dari total nilai
tender.
Selama ini uang sebanyak itu hanya kusimpan. Aku bingung ingin
menggunakannya untuk apa. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja aku ingin
menggunakan uangku itu. Benda hitam itu tampak berkilauan di jemariku. Dua buah
cincin titanium yang salah satunya akan kusematkan di jari manis Kanaya. Di
dalamnya pun sudah terukir nama kami masing-masing. Aku ingin menunjukkan pada
Kanaya, juga nantinya pada Navita, bahwa aku serius ingin bersama Kanaya.
Baiklah, aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu ini konyol bagi anak kuliahan
sepertiku. Hidup saja masih bergantung pada kiriman orang tua. Kau boleh
menertawaiku. Tapi aku kan tidak mungkin selamanya jadi mahasiswa. Aku pasti
lulus satu atau dua tahun lagi. Setelah itu aku baru akan melamar gadis yang
kucintai ini. Sumpah, aku benar-benar serius kali ini. Aku serius ingin melepas
gelar Don Juan-ku.
Kuselipkan kotak itu di saku belakangku, lalu ku-dial nomor Kanaya. Satu kali, dua kali, teleponku tidak direspon.
Tidak menyerah, aku langsung turun dan mengetuk pintu rumahnya. Iya, aku tahu
ini sungguh amat tidak sopan sekali. But
who the hell cares? Sedang ada seorang pria (sejati) yang berniat
menyatakan keseriusannya pada gadis yang ia cintai. Kurasa waktu pun akan
mengerti dan memaklumi.
Dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka. Kanaya
muncul dengan kaus tidur dan celana pendek. Rambutnya terlihat kusut dan
matanya… Hei! Matanya begitu sembab!
‘Nay, kamu.. –kamu gak apa-apa?’
‘Harusnya aku gak apa-apa. Ada apa kamu ke sini malam-malam?’ tanyanya
datar. Matanya menghindar untuk bertemu dengan mataku.
‘Aku mau bicara sama kamu.’
‘Kebetulan aku juga,’ ujar Kanaya cepat dan dingin. Aku mulai
menangkap firasat buruk dari gelagatnya yang aneh.
‘Oya? Kok sama? Wah ternyata kita jodoh beneran ya! Kamu mau bicara
apa?’ aku mencoba mencandainya.
Kanaya diam beberapa saat. Terlihat jelas ia seperti sedang
mengumpulkan kekuatan untuk mememuntahkan apa yang ingin ia katakan padaku.
Berkali-kali ia menarik napas panjang lalu dengan cepat mengembuskannya . ‘Aku
ingin setelah malam ini, aku gak lagi bertemu kamu sebagai pacar. Ah bukan, aku
gak mau lagi bertemu kamu sebagai pacar kedua. Aku ingin kita mengakhiri
semuanya. Aku gak mau lagi menyakiti Navita, juga menyakiti diri sendiri. Aku
ingin semuanya berakhir. Kita bisa kembali jadi sahabat atau apa. Yang pasti
aku gak mau lagi merasa sakit setiap kali lihat kamu.’
Aku termanga mendengarnya. Sumpah demi apapun aku tidak bisa mencerna
kalimat itu satu per satu. Mendadak aku seperti mikroba tanpa otak. Aku seperti
idiot. ‘Maksud kamu gimana sih? Aku gak ngerti.’
‘Kamu terlalu pintar untuk gak ngerti omonganku barusan. Aku tahu kamu
mengerti dengan sangat jelas. Aku mohon, bantu aku supaya ini semua terasa
lebih mudah.’
‘Gimana aku bisa bantu kamu sih? Bagiku ini semua sulit banget. Ini
gila. Aku gak mau ini berakhir. Kalaupun ada yang harus kuakhiri, yaitu
hubunganku dengan Navita. Bukan dengan kamu!’
‘Kairo, please. Tolong
mengerti. Akulah yang datang mengacaukan semuanya. Jadi bukan Navita yang harus
jadi korban. Aku gak mau menyakiti Navita. Aku gak bisa!’
‘Terus kamu bisa nyakitin aku? Kamu mikir gak gimana perasaanku?’
Kanaya terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan
emosi. ‘Apa kamu pernah mikir gimana perasaanku? Aku ada di posisi tersulit.
Aku harus gimana? Terus bersama kamu? Memangnya aku gak sakit lihat kamu dengan
Navita? Merelakan kamu dengan Navita juga gak bikin aku bahagia. Dua-duanya
nyakitin, Kairo! Jadi akan jauh lebih baik kalau aku sendiri yang sakit. Karena
memang aku yang menyebabkan semua ini terjadi.’
‘Kanaya, please. Kita berdua
sudah tahu resikonya sejak awal. Sedikit lagi, Nay. Kita cuman harus sabar
sedikit lagi. Aku akan mengakhiri semuanya dengan Navita. Dan kita bakal
sama-sama terus. Aku janji, Kanaya!’
Kanaya mengusap wajahnya. Kembali ia menarik napas panjang. ‘Kamu gak
perlu janji apapun. Kamu hanya perlu melepasku secara baik-baik. Percayalah ini
akan mudah. Aku mohon.’
Aku menendang tiang penyangga teras dengan kesal hingga menimbulkan
gegar. Aku hampir gila karena ini. Betul-betul aku tidak habis pikir, kerasukan
apa Kanaya ini? Kenapa tiba-tiba ia berpikir demikian? Apa dia pikir selama ini
posisiku tidak sulit? Setiap hari aku harus berakting di depan Navita, hanya
supaya aku bisa melepasnya secara baik-baik. Apa dia tidak berpikir bagaimana
tekanan yang selama ini kurasakan? Aku bertahan dengan satu gadis, hanya karena
aku takut dia akan berbuat nekat lagi begitu kutinggalkan? Sementara aku harus
menyakiti gadis yang benar-benar kucintai dan kuinginkan?
Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu di saku belakang celananku. Benda
itu. Iya, benda itu!
Kutarik keluar kotak itu dari saku belakang celanaku. Kutunjukkan
isinya persis di depan wajah Kanaya. ‘Kamu lihat ini? Di dalam cincin ini ada
nama kita. Kamu tahu artinya apa? Kamulah yang aku butuhkan! Bukan Navita,
bukan siapapun! Oke, aku memang ngasih Navita liontin mahkota, tapi bukan
berarti dia ratunya. Kamulah ratunya! Kamu lihat, malam ini juga akan
kutunjukkan cincin ini pada Navita. Supaya aku gak harus lebih lama lagi akting
di depan dia!’
‘Kairo, jangan! Aku mohon!’ Kanaya mengejarku sampai ke mobil. Kutepis
tangannya yang berusaha menghentikanku.
‘Gak ada yang bisa menghalangiku. Malam ini semuanya harus benar-benar
selesai. Aku gak mau menyakiti kamu lebih lama.’ Mesin mobil sudah kunyalakan.
Kanaya berdiri di depan pintu mobil. Bahunya bergetar hebat karena menangis.
Kuulurkan tangan menghapus air matanya. Perih sekali hatiku
menyaksikannya menangis seperti ini. Menangis karena aku menolak
meninggalkannya. Aku kembali turun dan membawa tubuh itu ke dalam dekapanku.
Membiarkannya menangis di sana. Berkali-kali kukecup puncak kepalanya. Aku
ingin ia merasakan betapa aku tidak mau meninggalkannya.
Aku melonggarkan dekapanku ketika tubuh itu berhenti bergetar. Kuusap
sisa-sisa air mata yang menggenang di pelupuk matanya. ‘Everything will be okay. Besok, selesai kuliah kamu tunggu aku di
café. Aku akan datang sebagai Kairo. I
will be totally yours. Kamu percaya aku?’
Kanaya tidak menjawab. Matanya dipejamkan erat-erat. Dan air mata
bergulir lagi dari sudut matanya. Sekali lagi aku mengecup keningnya. Kuulangi
pertanyaanku tadi. ‘Do you believe me?’
‘I do.’
***
KANAYA’S VIEW
Pagi ini harus kurelakan mataku dibubuhi eye shadow hitam buah menangis semalam. Rasa-rasanya aku tidak
ingin kuliah saja hari ini. Aku ingin menghilang saja. Aku benar-benar berharap
punya alat untuk memanggil alien. Aku ingin ikut saja dengan mereka. Ke Mars,
jupiter, asteroid, kemana saja. Asal tidak di bumi. Asal tidak menghadapi
kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi hari ini.
Tapi di rumah saja sama tidak nyamannya dengan kuliah. Lagipula aku
sudah bilang pada Kairo bahwa aku percaya padanya. Di rumah aku harus melihat
Ibu murung di depan kanvas kosong lagi. Sementara tetanggaku yang notabene Ayah
kandungku sendiri sedang bahagia-bahagianya karena akan menikah. Wahai alien,
culiklah aku!
Aku melewati perkuliahan dengan lancar. Sepertinya tidak ada
tanda-tanda Navita muncul, bersiap mencabik-cabik diriku. Atau mungkin Ibunya
yang datang untuk menamparku karena telah merebut pacar anaknya. Dan karena aku
pula anaknya saat ini terbaring di rumah sakit karena urat nadi nyaris putus
atau menenggak obat tidur. Dan belum pula aku melihat Kairo.
Aku memasuki café tempat kami pertama bertemu dulu. Lonceng
bergemerincing kecil ketika aku membuka pintu itu. Suasana café tidak terlalu
ramai seperti biasa. Singgasanaku di sudut café juga belum terisi. Hanya
beberapa mahasiswa saja yang mau mengunjungi café ini. Satu cangkir kopi di café
ini setara dengan semangkuk soto ayam plus pergedel kentang di kedai soto dekat
kampus itu. Tentu saja kedai soto lebih ramai.
Aku memesan secangkir latte.
Dengan latte art berbentuk hati karya
barista muda café ini. Aku memandangi latte
art itu dengan takjub. Aku pernah belajar membuatnya sekali. tapi bukannya
berbentuk hati, latte art-ku malah
berbentuk seperti gambar hati habis terlindas truk enam belas roda. Tanpa
sengaja aku menyenggol cangkir latte-ku
ketika mengambil menu. Cangkir itu bergetar, namun isinya tidak sampai tumpah. Latte art-nya masih utuh, hanya saja
kini terdapat garis yang memecah gambar hatinya.
Aku batal memesan makanan. Kuputuskan untuk menunggu dengan secangkir latte saja. Kembali aku menyesali
kebiasaanku yang suka terlalu on time.
Harusnya aku datang terlambat. Biar Kairo yang menungguku di sini.
Suatu perasaan aneh menyelinap di hatiku. Entah perasaan apa. Mungkin
memang aneh. Apa yang kuharapkan dari menunggunya di sini? Apa aku berharap
semalam Kairo betul-betul menemui Navita dan mengakhiri semuanya? Bukankah
semalam aku yang memohon-mohon supaya Kairo meninggalkanku saja? Gawat, aku
benar-benar jadi tidak waras.
Satu jam menunggu, batang hidung laki-laki itu belum juga tampak.
Ponselnya tidak aktif. DEG! Sedetik jantungku serasa berhenti. Lalu detik berikutnya detak jantungku berubah tidak normal. Berdebar begitu keras hingga terasa memukul-mukul seolah jantungku ingin keluar. Mendadak aku seperti merasakan Déjà vu. Aku pernah merasakan ini. Menanti laki-laki yang sama, di
tempat yang sama pula. Dan dulu aku merasakan kekecewakan karena penantian
semacam ini. Dulu ia tidak datang. Jika dulu penyebab ketidakdatangannya adalah
Navita, akankah laki-laki itu tidak datang pula karena perempuan yang sama? Oh
Tuhan!
Entah sudah berapa kali aku mendengar lonceng kecil di pintu café itu
bergemerincing. Setiap kali lonceng di pintu itu berbunyi, aku langsung
menegakkan kepala. Berharap yang kunanti kali ini betul-betul datang. Namun berkali-kali
pula aku harus kembali menunduk lesu ketika yang kulihat di pintu bukanlah
Kairo.
Dua jam, tiga jam, hingga café nyaris tutup, bahkan berhari-hari
setelahnya, laki-laki itu tidak datang. Pelukan itu, kecupan-kecupan malam itu,
gambar hati yang pecah di latte art itu,
berhari-hari aku baru menyadari pertanda itu. Laki-laki itu pergi entah kemana.
Bagai parfum yang meruap begitu saja. Membawa janji yang tidak pernah ia
tepati. Membawa kepercayaanku padanya. Kepercayaan bahwa cinta untukku memang
ada.
Berhari-hari aku berdiam diri di kamar. Kafka yang pulang ke rumah
setelah menelurkan album pun jadi tidak penting bagiku. Ayah dan Ibu yang akan
kembali menikah nyatanya tak mampu juga membuatku senang. Aku hanya peduli pada
sosok itu. Aku mencari-cari wajah itu. Bagaimana ini? Baru satu minggu dan aku
tidak mampu mengingat wajahnya dengan baik. Bagaimana bentuk hidungnya yang
kukagumi? Bagaimana cara dia menatapku dengan hangat? Kenapa aku tidak ingat?
Menghilang kemana dia?
Kampus, kelasnya, kos-kosan, bahkan ruang administrasi kusambangi
untuk mencari pertanda dimana dirinya. Hasilnya? Nihil. Aku bahkan tidak
berhasil menemukan alamat rumahnya di Bandung.
Hingga minggu-minggu berikutnya, berbulan-bulan, sampai aku menyandang
gelar Sarjana Ekonomi, laki-laki itu tidak kunjung datang. Tanpa tanda, tanpa
sebaris pesan singkat, tanpa status di facebook,
ia tidak pernah muncul. Tidak di kampus, tidak di rumahku, bahkan kontak BlackBerry Messenger-nya kini lenyap. Entah dimana dia berada, hidup atau mati, aku tak lagi tahu.
Some people are meant to fall in
love with each other, but not meant to be together. Begitu kata Kafka.
Mungkin aku dan Kairo ditakdirkan untuk saling jatuh cinta, tapi Tuhan tidak
menakdirkan aku dan dia untuk bersama. Mungkinkah memang tidak? Atau hanya
belum?
***
NOTES FROM THE AUTHOR:
Ini akhir bagian pertama. terima kasih ya untuk kalian yang sudah merelakan diri membaca khayalan tidak jelas saya ini.
untuk Devi Rachmadena , Nenny Novrita , Rika April , Surti Kanti , Mbak Gita , yang selalu nagih cerita lanjutan. mhihihi makasih yaaa *peyuk satu-satu* adek-adekku intan , deka , mbak korektorku yang selalu ngoreksi setiap typo Prieta Indah , dan untuk semua orang yang gak bisa saya link satu-satu
mohon maaf lahir dan batin untuk scriptwriter cinta fitri :))
see you on the next season. ^^