Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BAGIAN 16 | ENDLESS END

KAIRO’S VIEW


Segera  setelah mengantar Navita pulang, aku memacu mobil menuju rumah Kanaya. Tadinya aku memang berniat tidak datang ke pesta itu. Aku sudah tahu akhirnya akan begini. Kanaya pulang bahkan mungkin sebelum acara habis. Mata itu, aku tidak akan bisa melupakan mata yang begitu sedih melihatku bersama Navita. Sepintar apapun ia berusaha menyembunyikan kesedihan, ia tetap tidak bisa menyembunyikannya dariku. Sialnya bukan aku yang berada di sisinya. Melainkan si bule sipit itu.

Aku sampai di depan rumah Kanaya tepat pukul setengah dua belas malam. Kulihat lampu kamarnya masih menyala. Aku tahu itu artinya Kanaya belum tidur. Anak itu tidak bisa tidur dengan lampu menyala.

Aku membuka laci di dasbor. Sebuah kotak perak kecil kukeluarkan dari sana. Aku membuka penutupnya dan kutatap benda itu sekali lagi. Benda itu memang cukup mahal untuk kantong mahasiswa sepertiku. Aku membelinya dengan uang yang kudapat dari bekerja di perusahaan Ayah liburan semester lalu. Karena tidak ada kegiatan naik gunung, maka aku memutuskan untuk coba-coba kerja di perusahaan Ayah. Awalnya sih tidak niat kerja betulan. Sebenarnya aku hanya mencari alasan supaya bisa keluar rumah setiap hari. Aku ikut terlibat dalam sebuah tender besar. Secara tak kuduga, dengan penawaran yang siang-malam kubuat bersama tim, perusahaan Ayah ternyata memenangkan tender senilai tujuh belas milyar tersebut. Walaupun aku hanya mendapatkan 0,15 % dari total nilai tender.

Selama ini uang sebanyak itu hanya kusimpan. Aku bingung ingin menggunakannya untuk apa. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja aku ingin menggunakan uangku itu. Benda hitam itu tampak berkilauan di jemariku. Dua buah cincin titanium yang salah satunya akan kusematkan di jari manis Kanaya. Di dalamnya pun sudah terukir nama kami masing-masing. Aku ingin menunjukkan pada Kanaya, juga nantinya pada Navita, bahwa aku serius ingin bersama Kanaya. Baiklah, aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu ini konyol bagi anak kuliahan sepertiku. Hidup saja masih bergantung pada kiriman orang tua. Kau boleh menertawaiku. Tapi aku kan tidak mungkin selamanya jadi mahasiswa. Aku pasti lulus satu atau dua tahun lagi. Setelah itu aku baru akan melamar gadis yang kucintai ini. Sumpah, aku benar-benar serius kali ini. Aku serius ingin melepas gelar Don Juan-ku.

Kuselipkan kotak itu di saku belakangku, lalu ku-dial nomor Kanaya. Satu kali, dua kali, teleponku tidak direspon. Tidak menyerah, aku langsung turun dan mengetuk pintu rumahnya. Iya, aku tahu ini sungguh amat tidak sopan sekali. But who the hell cares? Sedang ada seorang pria (sejati) yang berniat menyatakan keseriusannya pada gadis yang ia cintai. Kurasa waktu pun akan mengerti dan memaklumi.

Dan benar saja, tidak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka. Kanaya muncul dengan kaus tidur dan celana pendek. Rambutnya terlihat kusut dan matanya… Hei! Matanya begitu sembab!

‘Nay, kamu.. –kamu gak apa-apa?’

‘Harusnya aku gak apa-apa. Ada apa kamu ke sini malam-malam?’ tanyanya datar. Matanya menghindar untuk bertemu dengan mataku.

‘Aku mau bicara sama kamu.’

‘Kebetulan aku juga,’ ujar Kanaya cepat dan dingin. Aku mulai menangkap firasat buruk dari gelagatnya yang aneh.

‘Oya? Kok sama? Wah ternyata kita jodoh beneran ya! Kamu mau bicara apa?’ aku mencoba mencandainya.

Kanaya diam beberapa saat. Terlihat jelas ia seperti sedang mengumpulkan kekuatan untuk mememuntahkan apa yang ingin ia katakan padaku. Berkali-kali ia menarik napas panjang lalu dengan cepat mengembuskannya . ‘Aku ingin setelah malam ini, aku gak lagi bertemu kamu sebagai pacar. Ah bukan, aku gak mau lagi bertemu kamu sebagai pacar kedua. Aku ingin kita mengakhiri semuanya. Aku gak mau lagi menyakiti Navita, juga menyakiti diri sendiri. Aku ingin semuanya berakhir. Kita bisa kembali jadi sahabat atau apa. Yang pasti aku gak mau lagi merasa sakit setiap kali lihat kamu.’

Aku termanga mendengarnya. Sumpah demi apapun aku tidak bisa mencerna kalimat itu satu per satu. Mendadak aku seperti mikroba tanpa otak. Aku seperti idiot. ‘Maksud kamu gimana sih? Aku gak ngerti.’

‘Kamu terlalu pintar untuk gak ngerti omonganku barusan. Aku tahu kamu mengerti dengan sangat jelas. Aku mohon, bantu aku supaya ini semua terasa lebih mudah.’

‘Gimana aku bisa bantu kamu sih? Bagiku ini semua sulit banget. Ini gila. Aku gak mau ini berakhir. Kalaupun ada yang harus kuakhiri, yaitu hubunganku dengan Navita. Bukan dengan kamu!’

‘Kairo, please. Tolong mengerti. Akulah yang datang mengacaukan semuanya. Jadi bukan Navita yang harus jadi korban. Aku gak mau menyakiti Navita. Aku gak bisa!’

‘Terus kamu bisa nyakitin aku? Kamu mikir gak gimana perasaanku?’

Kanaya terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan emosi. ‘Apa kamu pernah mikir gimana perasaanku? Aku ada di posisi tersulit. Aku harus gimana? Terus bersama kamu? Memangnya aku gak sakit lihat kamu dengan Navita? Merelakan kamu dengan Navita juga gak bikin aku bahagia. Dua-duanya nyakitin, Kairo! Jadi akan jauh lebih baik kalau aku sendiri yang sakit. Karena memang aku yang menyebabkan semua ini terjadi.’

‘Kanaya, please. Kita berdua sudah tahu resikonya sejak awal. Sedikit lagi, Nay. Kita cuman harus sabar sedikit lagi. Aku akan mengakhiri semuanya dengan Navita. Dan kita bakal sama-sama terus. Aku janji, Kanaya!’

Kanaya mengusap wajahnya. Kembali ia menarik napas panjang. ‘Kamu gak perlu janji apapun. Kamu hanya perlu melepasku secara baik-baik. Percayalah ini akan mudah. Aku mohon.’

Aku menendang tiang penyangga teras dengan kesal hingga menimbulkan gegar. Aku hampir gila karena ini. Betul-betul aku tidak habis pikir, kerasukan apa Kanaya ini? Kenapa tiba-tiba ia berpikir demikian? Apa dia pikir selama ini posisiku tidak sulit? Setiap hari aku harus berakting di depan Navita, hanya supaya aku bisa melepasnya secara baik-baik. Apa dia tidak berpikir bagaimana tekanan yang selama ini kurasakan? Aku bertahan dengan satu gadis, hanya karena aku takut dia akan berbuat nekat lagi begitu kutinggalkan? Sementara aku harus menyakiti gadis yang benar-benar kucintai dan kuinginkan?

Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu di saku belakang celananku. Benda itu. Iya, benda itu!

Kutarik keluar kotak itu dari saku belakang celanaku. Kutunjukkan isinya persis di depan wajah Kanaya. ‘Kamu lihat ini? Di dalam cincin ini ada nama kita. Kamu tahu artinya apa? Kamulah yang aku butuhkan! Bukan Navita, bukan siapapun! Oke, aku memang ngasih Navita liontin mahkota, tapi bukan berarti dia ratunya. Kamulah ratunya! Kamu lihat, malam ini juga akan kutunjukkan cincin ini pada Navita. Supaya aku gak harus lebih lama lagi akting di depan dia!’

‘Kairo, jangan! Aku mohon!’ Kanaya mengejarku sampai ke mobil. Kutepis tangannya yang berusaha menghentikanku.

‘Gak ada yang bisa menghalangiku. Malam ini semuanya harus benar-benar selesai. Aku gak mau menyakiti kamu lebih lama.’ Mesin mobil sudah kunyalakan. Kanaya berdiri di depan pintu mobil. Bahunya bergetar hebat karena menangis.

Kuulurkan tangan menghapus air matanya. Perih sekali hatiku menyaksikannya menangis seperti ini. Menangis karena aku menolak meninggalkannya. Aku kembali turun dan membawa tubuh itu ke dalam dekapanku. Membiarkannya menangis di sana. Berkali-kali kukecup puncak kepalanya. Aku ingin ia merasakan betapa aku tidak mau meninggalkannya.

Aku melonggarkan dekapanku ketika tubuh itu berhenti bergetar. Kuusap sisa-sisa air mata yang menggenang di pelupuk matanya. ‘Everything will be okay. Besok, selesai kuliah kamu tunggu aku di café. Aku akan datang sebagai Kairo. I will be totally yours. Kamu percaya aku?’

Kanaya tidak menjawab. Matanya dipejamkan erat-erat. Dan air mata bergulir lagi dari sudut matanya. Sekali lagi aku mengecup keningnya. Kuulangi pertanyaanku tadi. ‘Do you believe me?’

‘I do.’

***

KANAYA’S VIEW

Pagi ini harus kurelakan mataku dibubuhi eye shadow hitam buah menangis semalam. Rasa-rasanya aku tidak ingin kuliah saja hari ini. Aku ingin menghilang saja. Aku benar-benar berharap punya alat untuk memanggil alien. Aku ingin ikut saja dengan mereka. Ke Mars, jupiter, asteroid, kemana saja. Asal tidak di bumi. Asal tidak menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi hari ini.

Tapi di rumah saja sama tidak nyamannya dengan kuliah. Lagipula aku sudah bilang pada Kairo bahwa aku percaya padanya. Di rumah aku harus melihat Ibu murung di depan kanvas kosong lagi. Sementara tetanggaku yang notabene Ayah kandungku sendiri sedang bahagia-bahagianya karena akan menikah. Wahai alien, culiklah aku!

Aku melewati perkuliahan dengan lancar. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Navita muncul, bersiap mencabik-cabik diriku. Atau mungkin Ibunya yang datang untuk menamparku karena telah merebut pacar anaknya. Dan karena aku pula anaknya saat ini terbaring di rumah sakit karena urat nadi nyaris putus atau menenggak obat tidur. Dan belum pula aku melihat Kairo.

Aku memasuki café tempat kami pertama bertemu dulu. Lonceng bergemerincing kecil ketika aku membuka pintu itu. Suasana café tidak terlalu ramai seperti biasa. Singgasanaku di sudut café juga belum terisi. Hanya beberapa mahasiswa saja yang mau mengunjungi café ini. Satu cangkir kopi di café ini setara dengan semangkuk soto ayam plus pergedel kentang di kedai soto dekat kampus itu. Tentu saja kedai soto lebih ramai.

Aku memesan secangkir latte. Dengan latte art berbentuk hati karya barista muda café ini. Aku memandangi latte art itu dengan takjub. Aku pernah belajar membuatnya sekali. tapi bukannya berbentuk hati, latte art-ku malah berbentuk seperti gambar hati habis terlindas truk enam belas roda. Tanpa sengaja aku menyenggol cangkir latte-ku ketika mengambil menu. Cangkir itu bergetar, namun isinya tidak sampai tumpah. Latte art­-nya masih utuh, hanya saja kini terdapat garis yang memecah gambar hatinya.

Aku batal memesan makanan. Kuputuskan untuk menunggu dengan secangkir latte saja. Kembali aku menyesali kebiasaanku yang suka terlalu on time. Harusnya aku datang terlambat. Biar Kairo yang menungguku di sini.

Suatu perasaan aneh menyelinap di hatiku. Entah perasaan apa. Mungkin memang aneh. Apa yang kuharapkan dari menunggunya di sini? Apa aku berharap semalam Kairo betul-betul menemui Navita dan mengakhiri semuanya? Bukankah semalam aku yang memohon-mohon supaya Kairo meninggalkanku saja? Gawat, aku benar-benar jadi tidak waras.

Satu jam menunggu, batang hidung laki-laki itu belum juga tampak. Ponselnya tidak aktif. DEG! Sedetik jantungku serasa berhenti. Lalu detik berikutnya detak jantungku berubah tidak normal. Berdebar begitu keras hingga terasa memukul-mukul seolah jantungku ingin keluar. Mendadak aku seperti merasakan Déjà vu. Aku pernah merasakan ini. Menanti laki-laki yang sama, di tempat yang sama pula. Dan dulu aku merasakan kekecewakan karena penantian semacam ini. Dulu ia tidak datang. Jika dulu penyebab ketidakdatangannya adalah Navita, akankah laki-laki itu tidak datang pula karena perempuan yang sama? Oh Tuhan!

Entah sudah berapa kali aku mendengar lonceng kecil di pintu café itu bergemerincing. Setiap kali lonceng di pintu itu berbunyi, aku langsung menegakkan kepala. Berharap yang kunanti kali ini betul-betul datang. Namun berkali-kali pula aku harus kembali menunduk lesu ketika yang kulihat di pintu bukanlah Kairo.

Dua jam, tiga jam, hingga café nyaris tutup, bahkan berhari-hari setelahnya, laki-laki itu tidak datang. Pelukan itu, kecupan-kecupan malam itu, gambar hati yang pecah di latte art itu, berhari-hari aku baru menyadari pertanda itu. Laki-laki itu pergi entah kemana. Bagai parfum yang meruap begitu saja. Membawa janji yang tidak pernah ia tepati. Membawa kepercayaanku padanya. Kepercayaan bahwa cinta untukku memang ada.

Berhari-hari aku berdiam diri di kamar. Kafka yang pulang ke rumah setelah menelurkan album pun jadi tidak penting bagiku. Ayah dan Ibu yang akan kembali menikah nyatanya tak mampu juga membuatku senang. Aku hanya peduli pada sosok itu. Aku mencari-cari wajah itu. Bagaimana ini? Baru satu minggu dan aku tidak mampu mengingat wajahnya dengan baik. Bagaimana bentuk hidungnya yang kukagumi? Bagaimana cara dia menatapku dengan hangat? Kenapa aku tidak ingat? Menghilang kemana dia?

Kampus, kelasnya, kos-kosan, bahkan ruang administrasi kusambangi untuk mencari pertanda dimana dirinya. Hasilnya? Nihil. Aku bahkan tidak berhasil menemukan alamat rumahnya di Bandung.

Hingga minggu-minggu berikutnya, berbulan-bulan, sampai aku menyandang gelar Sarjana Ekonomi, laki-laki itu tidak kunjung datang. Tanpa tanda, tanpa sebaris pesan singkat, tanpa status di facebook, ia tidak pernah muncul. Tidak di kampus, tidak di rumahku, bahkan kontak BlackBerry Messenger­-nya kini lenyap. Entah dimana dia berada, hidup atau mati, aku tak lagi tahu.

Some people are meant to fall in love with each other, but not meant to be together. Begitu kata Kafka. Mungkin aku dan Kairo ditakdirkan untuk saling jatuh cinta, tapi Tuhan tidak menakdirkan aku dan dia untuk bersama. Mungkinkah memang tidak? Atau hanya belum?



***

NOTES FROM THE AUTHOR:

Ini akhir bagian pertama. terima kasih ya untuk kalian yang sudah merelakan diri membaca khayalan tidak jelas saya ini.

untuk Devi Rachmadena , Nenny Novrita , Rika April , Surti Kanti , Mbak Gita , yang selalu nagih cerita lanjutan. mhihihi makasih yaaa *peyuk satu-satu* adek-adekku intan , deka , mbak korektorku yang selalu ngoreksi setiap typo Prieta Indah , dan untuk semua orang yang gak bisa saya link satu-satu

mohon maaf lahir dan batin untuk scriptwriter cinta fitri :))

see you on the next season. ^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN 15 | UNDANGAN, LIONTIN MAHKOTA, DAN CURHAT ROOFTOP

KANAYA’S VIEW

Undangan beramplop merah marun itu kuletakkan begitu saja di meja belajar kamarku. Undangan ulang tahun Navita yang diberikannya siang tadi. Aku bingung ingin datang atau tidak. Sudah bisa dipastikan, manusia yang satu itu pasti ada di sana. Tapi aku juga tidak enak hati kalau sampai tidak datang. 

Entah apa yang terjadi denganku. Aku sendiri, si pemilik jiwa ini tidak memahaminya. Satu-satunya yang kupahami, saat ini manusia satu itu adalah makhluk terakhir yang ingin kutemui di muka bumi ini. Entah apa alasannya. Mungkin karena kemarin dia bilang bahwa Navita mulai mencurigai statusku atas dirinya. Atau.. justru karena aku cemburu. Karena beberapa hari terakhir Kairo selalu menghabiskan waktu bersama Navita.

Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku sudah siap dengan ini. Karena sejak awal aku sudah tahu bagaimana resikonya jika jatuh cinta dengan Kairo. Ternyata benar adanya, teori jauh lebih gampang ketimbang prakteknya.

Ponselku bergetar-getar di atas meja. Getarannya membuat ponsel itu berputar seratus delapan puluh derajat. Inisial manusia itu terpampang di layar ponselku : KCK. Beberapa hari yang lalu aku berniat menggantinya jadi MCK. Tapi kuurungkan. Aku masih menyayangi makhluk satu itu.

‘Belum tidur?’ tembaknya bahkan sebelum aku sempat bilang halo.

‘Belum.’

‘Aku di depan nih. Keluar ya!’ Telepon dimatikan. Bocah itu!

Aku menyibakkan tirai. Benar saja. Di depan pagar rumahku, Ford Ranger birunya sudah bertengger. Jam di ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mau apa cowok itu menemuiku malam-malam begini? Satu-satunya cara untuk tahu adalah menemuinya.

Aku keluar dari rumah dengan niat setengah-setengah. Maksudku bukan setengah niat. Setengah niatku ingin tahu apa maksudnya menemuiku, dan setengah lagi digerakkan oleh hatiku yang rindu melihat wajahnya. Ajaib sekali aku ini. Belum sampai sejam yang lalu aku berkoar-koar tidak ingin menemuinya. Hebat sekali efek yang ditimbulkan dari dua kalimat laki-laki itu. Bisa merubah pendirian orang. Aku masuk ke dalam mobil dan mendapatinya tersenyum menatapku hangat. Harum parfumnya meruap memenuhi mobil. Harum yang selalu kurindukan.

‘Hei, Nona.’ Dia membelai rambut depanku. Ia terus tersenyum. Senyumnya membuat sendi-sendiku mendadak kaku. Sungguh aku masih belum terbiasa juga dengan perlakuannya ini.

‘Kamu ngapain malam-malam ke sini?’

Senyum di wajahnya memudar. Alisnya berkerut dan bibirnya dimajukan. ‘Memangnya gak boleh ya?’

‘Bukan begitu, tapi..’

Belum selesai aku bicara, tiba-tiba ia meraih tanganku, membenamkannya di dadanya sendiri. Sandaran mobilnya diturunkan dan ia menyandar di sana. Matanya dipejamkan rapat. ‘I miss this moment. Akhir-akhir ini kamu sering menghindar. Aku harus punya banyak ‘stok’ momen sama kamu. Biar gak kangen terus.’

‘Aku gak menghindar kok.’

Kairo tidak menjawab. Entah apa yang ia rasakan ketika memegang tanganku. Yang pasti aku yakin sekali tanganku tidak mengandung senyawa apapun yang bisa membuat seseorang tertidur. Secara hati-hati sekali, aku memerhatikan wajahnya. Ia tampak begitu innocent saat sedang tertidur. Tidak ada yang akan menyangka bahwa pria yang sedang tidur ini adalah playboy cap gajah kayang.

‘Wajahku sepuluh kali lipat lebih ganteng kan kalo lagi tidur?’ Kairo tiba-tiba bersuara. Buru-buru aku membuang muka. Alamak.

Kutarik napas mencoba rileks. ‘Kuakui, memang betul. Dan gak akan ada yang nyangka kalau malaikat yang sedang tidur ini ternyata Master membolak-balikkan perasaan wanita.’

Suasana jadi hening. Kalimat yang tadinya kulontarkan dengan bercanda berubah jadi semacam senjata pemusnah tawa. Ya elah, lagi-lagi aku salah bicara. Apa untuk ngobrol dengan seorang ‘pacar’ ada kursusnya?

Takut-takut, aku melirik Kairo. Laki-laki itu hanya diam, menekuri jemariku yang digenggamnya. Alisnya berkerut dan kepedihan tergambar jelas di gambarnya.

‘Nay,’ ia memanggilku lirih. ‘Maaf. Tanpa aku sadari, sepertinya aku sudah banyak menyakiti kamu. Aku janji secepatnya akan mengakhiri semuanya.’

Kairo berpaling menatapku. Tangannya memegangi kedua belah pipiku dan menatapku hangat. ‘Mengenai undangan ulang tahun itu, kamu gak usah datang. Aku gak mau kamu merasa.. –merasa gak enak hati di sana.’

‘Menurutmu kenapa aku harus gak enak hati? Aku harus datang. Navita sendiri yang kasih undangan ke aku. Aku gak mungkin mengabaikan.’

Lama Kairo diam. Tatapannya menghujam kedua bola mataku. Seolah mencari-cari apa yang tengah kusembunyikan darinya. ‘Kamu yakin?’

‘Gak pernah seyakin ini.’

***

Aku memasuki café yang mulai ramai itu. Dengan Baro yang selalu bersedia menemaniku kapanpun aku minta. Andai perasaan ini bisa kusetir, ingin sekali aku mencintai pria ini saja. Baro terlihat gagah dengan kemeja hitam yang dikenakannya. Wajahnya selalu tersenyum hingga aku sendiri tak mampu menebak perasaannya. Senyum yang ia lontarkan kepadaku selalu tulus. Hingga tidak berlebihan rasanya jika kukatakan senyumnya bagai aromaterapi yang menenangkan.

Lantunan musik jazz mengalun dari pengeras suara café itu. Dilantunkan dengan apik oleh home band bervokalis perempuan dari panggung kecil seperti undakan di sudut café. Sebetulnya café ini tidak terlalu ramai. Tapi tidak bisa dikatakan sepi juga. Meja-meja mulai diisi oleh beberapa anak muda. Aku hampir tidak mengenali mereka karena kebanyakan dari mereka teman kampus Navita.
                                                                                                                                               
Aku memilih duduk di sudut yang kebetulan kosong. Tempat favoritku. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas ke seluruh penjuru café. Ada beberapa perempuan yang asyik bergosip dengan heboh beberapa meter dari mejaku. Ada juga sekelompok perempuan nerd yang kutebak adalah teman-teman sekelas Navita. Bahkan di acara ulang tahun seperti ini saja mereka masih membaca buku. Dan aku melihat Navita duduk di dekat meja bartender. Ia tampak begitu murung. Alisnya berkerut-kerut. Sangat kontras dengan baju dan riasan wajahnya yang cerah. Ia terus menatapi ponselnya. Sesekali ia mendekatkan ponsel itu ke telinga lalu menjauhkannya kembali dengan sedih. Sejenak aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru café. Aha! Akhirnya kutemukan juga apa yang membuat Navita murung begitu. Kairo belum tampak batang hidungnya. Kemana anak itu? Apa dia berniat tidak datang? Ah, buru-buru kutepis kemungkinan-kemungkinan itu dari kepalaku.

Tapi kepanikanku berlanjut ketika si MC mulai memanggil Navita naik ke atas panggung dan Kairo belum juga muncul. MC yang kurang pengertian itu, dengan iringan musik dari home band,  langsung mengajak seisi café melantunkan lagu ‘tiup lilin’. Seketika aku merasa sedang menghadiri perayaan ulang tahun anak TK.

Aku tidak memerhatikan betapa heboh MC-nya, atau betapa enak tiramisu di atas panggung itu. Aku hanya memerhatikan Navita. Gadis itu tidak henti memandangi pintu café. Bukan hanya Navita, aku juga harap-harap cemas menanti kehadiran si Cassanova itu. Apa dia betul-betul serius dengan ucapannya semalam? Duh, aku bisa gila.

‘Ayo cantik, tiup lilinnya!’ si MC rada ngondek itu berkoar-koar di depan Navita. Tapi yang diajak bicara malah berdiri mematung, seolah suara cempreng MC itu hanya bisikan setan yang tak terdengar.

Tak butuh waktu lama untuk membuat air mata Navita jatuh. Dengan cepat ia meninggalkan panggung sambil mengusap air matanya. Aku sudah berdiri ingin mengejarnya ketika kulihat langkah Navita terhenti. Seseorang menahan lengannya, Kairo. Tau-tau anak itu muncul dengan wajah tanpa dosa, cengengesan. Navita bukannya lega, ia malah menghambur ke pelukan laki-laki itu sambil menangis tersedu-sedu. Seisi café bergumam. Mereka menganggap itu sebuah pemandangan yang amat romantis. Sementara bagiku, itu adalah pemandangan menyakitkan. Hanya sepersekian detik setelah menyaksikan itu, perutku mendadak mulas dan dadaku sesak.

Entah apa pemandangan berikutnya aku hampir tidak mampu menyaksikan. Mendadak seisi café menjadi blur. Suara MC yang melengking-lengking itu hanya terdengar bagai lolongan serigala yang tidak jelas. Ada apa sih dengan diriku ini? Tadi aku berharap Kairo datang dan tidak mengecewakan Navita. Sekarang, setelah laki-laki itu datang, hatiku menjadi sedih dan rasanya tidak rela melihat kebersamaan mereka.

Baro menyodorkan segelas minuman warna-warni untukku. Sepertinya dia mulai bisa membaca suasana hatiku. Mau tak mau aku berusaha santai. Tapi sayangnya aku lupa kalau menenggak habis minuman dalam satu tarikan napas ternyata mengundang kecurigaan.

‘Are you okay?’ Baro menatapku dengan cemas.

‘Aku oke. Cuman lagi haus aja.’

‘Are you sure?’

Kali ini aku mencoba tersenyum. Kutinju pelan lengan Baro. ‘Duh, aku kayak lagi ikutan kuis who wants to be a millionaire deh.’

‘Siapa yang ikutan kuis?’ Suara itu bukan berasal dari Baro. Aku sedang memerhatikan bocah itu  dan ia sedang senyum-senyum. Sama sekali tidak bersuara. Ternyata suara itu milik orang lain. Kairo. Tau-tau ia duduk di hadapan kami. Tidak sendiri, bersama Navita yang sekarang tampak begitu sumringah. Perutku mencelos lagi.

‘Hai, Kanaya. Thanks ya udah dateng.’ Navita menyapa dengan senyum sumringah bak bintang iklan pasta gigi. ‘Oh, iya. Ngomong-ngomong pacar kamu…?’

‘Baro,’ sambarku cepat. ‘Baro, ini Navita…  –pacar Kairo, dan ini Baro temenku. Kami gak pacaran.’

Navita menutup mulutnya yang termanga dengan kedua tangan. Sepertinya dia syok betulan dengan omonganku barusan. ‘Jadi kalian gak pacaran? Yah sayang banget. Padahal menurutku kalian itu serasi banget. Temen-temenku yang di meja situ,’ Navita menunjuk sekelompok cewek yang sedari tadi bergosip dengan heboh, ‘Mereka ngiri banget sama kamu. Mereka kira kalian pacaran.’

‘Oya?’ aku menanggapi sekenanya saja sementara Baro terlihat asyik lanjut bercerita dengan Navita. Sesekali aku melirik laki-laki yang satu lagi. Kampretnya, dia ternyata sedang menatapku balik sambil memainkan gelas minuman di tangannya. Buru-buru aku memalingkan muka. Apa yang dipikirkan laki-laki itu? Kenapa ia menatapku demikian? Dan ketika kulirik lagi ternyata Kairo masih menatapku seperti tadi.

‘Tadaaaaa,’ Navita memamerkan liontin perak berbentuk mahkota yang tersemat di lehernya. ‘Bagus gak, Nay?’

‘Eh? Bagus kok. Iya, bagus banget.’

‘Ini hadiah dari Kairo lho. Ternyata selera dia bagus juga.’ Masih dengan senyum terkembang, Navita berpaling menatap Kairo. ‘Makasih ya sayang.’

Laki-laki itu tampak salah tingkah. Ia hanya tersenyum gugup dan membelai rambut Navita. Entah ini kali ke berapa aku merasakan perutku mencelos. Gadis satu itu seperti sangat niat memamerkan liontin itu.

‘Oh iya, Kanaya, sebenernya aku mau minta maaf sama kamu.’ Suara Navita betul-betul mengagetkanku.

‘Eh? Minta maaf soal?’

‘Jadi beberapa hari yang lalu..’ Navita menceritakan tentang kesalahpahamannya terhadap Kairo beberapa hari yang lalu yang notabene sudah pernah kudengar sebelumnya dari pihak mempelai laki-laki. Tentang dirinya yang curiga kalau aku dan Kairo bukan sekedar sahabat. Secara pribadi, aku salut dengan intuisinya. Dia melanjutkan, ‘Aku minta maaf ya udah curiga sama kamu. Kamu tahu perempuan kan. Kadang suka buta kalo udah cemburu. Tapi kemudian aku sadar, kamu sahabatnya Kairo. Kalian nggak mungkin mengkhianati aku, terutama kamu. Karena kita sama-sama perempuan. Bener kan?’

‘Iya.’ BAM! Mendadak kepalaku seperti dipukul godam raksasa. Seketika aku merasa diriku amat…brengsek. Ya Tuhan! Apa yang telah kupikirkan selama ini? Berani-beraninya aku menusuk gadis ini dari belakang. Sebagai perempuan aku telah berkhianat padanya. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti perempuan sebaik ini? Yang membuatku merasa makin buruk adalah aku berdiam dalam tameng kebenaran yang sebenarnya tidak pernah kuperbuat. Navita merasa bersalah karena telah curiga padaku. Sementara aku, aku berlagak benar dan seperti sama sekali tidak merasa bersalah pada Navita atas apa yang telah kulakukan padanya. Sekarang kau boleh menilai aku serigala berbulu domba, musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan, apapun itu.

Pandanganku kembali mengabur. Hatiku terasa ngilu. Entah apa yang kali ini membuatnya terasa sangat sakit. Melihat Kairo yang membelai rambut Navita-kah? Atau melihat liontin yang berkilau di dada Navita? Atau mungkin sakit yang kurasakan ini adalah buah dari pengkhianatanku sendiri? Rasanya sakit sekali. Bernafaspun rasanya aku tak sanggup. Café ini mendadak terasa begitu pengap. Udara seluruh bumi inipun rasanya tidak cukup untukku bernafas.  Aku ingin pergi.

***

Aku dan Baro meninggalkan café sesaat setelah Kairo dan Navita meninggalkan meja kami. Aku sudah tidak tahan. Dadaku sesak sekali menahan rasa sakit ini sendirian. Mobil ini berhenti entah dimana, aku tak tahu. Kakiku pun menurut saja kemana Baro menggamit tanganku. Tanpa bisa kutahan, air mataku tumpah ruah di perjalanan pulang tadi. Tentu itu menciptakan tanda tanya besar di benak Baro. Mau tidak mau aku harus cerita padanya. Mungkin itu yang saat ini kubutuhkan. Aku butuh didengar. Aku butuh teman untuk berbagi. Aku tidak bisa selamanya menyimpan ini sendirian.

Semilir angin berhembus di sela-sela rambutku. Aku mengusap mata mencoba mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku berada di rooftop entah gedung apa. Tapi tempat ini sungguh menenangkan. Anginnya membuat sesak di dadaku sedikit berkurang. Lampu-lampu gedung dan jalan bagai bintang yang sedikit menghibur.

‘Duduk sini, Kan.’ Baro menarik pelan tubuhku ke sebuah undakan kecil, mendudukkanku di sana. Ia sendiri bersila di lantai tepat di hadapanku. Lagi-lagi wajahnya dihiasi senyum itu. Senyum tulus yang membuatku tenang hanya dengan menatapnya. Dari plastik yang dibawanya, ia mengeluarkan sekaleng cappucino dingin dan membukakannya untukku.

‘Ayo, mulai cerita.’ Baro menatapku bagai anak kecil yang menanti sebuah dongeng sebelum tidur.

‘Aku gak tahu harus mulai dari mana.’

Baro menunduk sebentar. ‘Oke, biar kubantu. Mm.. Ini soal Kairo?

Aku mengangguk.

‘Kamu sayang dia lebih dari sahabat? Maksudku, you felt in love with him?’ Ia bertanya dengan sangat hati-hati.

Belum sempat menjawab, air mataku sudah mewakili semua kata yang mungkin bisa kumuntahkan. Untuk sesaat Baro tidak bereaksi. Ia hanya membiarkanku menumpahkan semua kesedihan yang menyesaki dadaku. Yang ia lakukan adalah mengeluarkan sekotak tisu dari dalam plastik, membukakan untukku dan menawarkan kalau-kalau aku butuh pundaknya untuk bersandar.

‘Dia tau?’ tanya Baro ketika air mataku mulai berhenti.

Aku mengangguk untuk kedua kalinya. Lalu seperti tanpa perintah aku mulai menceritakan segalanya. Mulai dari aku yang selalu memperhatikannya datang ke café dengan berbagai macam perempuan, awal mula perkenalanku dengan Kairo, persahabatan kami, perasaanku yang makin hari makin dalam padanya,  sampai Kairo yang secara tidak sengaja tahu tentang perasaanku dan pengakuannya malam itu.

Baro berkali-kali mengusap wajahnya sendiri ketika aku selesai bercerita. Sekilas aku melihatnya menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Aku merunduk makin dalam. Sungguh, aku malu sekali dengan Baro. Aku telah menyia-nyiakan cinta yang ia tawarkan kepadaku hanya untuk menjadi orang yang menyakiti hati perempuan lain. Dan air mataku mengalir lagi.

‘Kana,’ Baro mengangkat daguku dengan telunjuknya. Diusapnya air mataku yang masih terus mengalir. Ia tersenyum dan menatapku hangat. ‘Aku gak bisa bilang kamu benar. Tapi aku juga gak berhak menyalahkanmu. Aku tahu, posisi kamu-lah yang paling sulit di sini. Aku hanya bisa bilang, kapanpun kamu butuh didengar, kamu tahu kuping siapa yang harus kamu cari.’

‘Maaf, Baro..’

‘Sstt.. kamu gak perlu minta maaf. Kamu temenku yang paling baik. So, stop it. Don’t cry anymore. Gak ada perempuan yang cantik kalo lagi nangis. Oke?’

Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Entah sudah berapa liter air mata kutumpahkan malam ini. Entah sudah berapa lama pula aku tidak menangis seperti ini. Aku pun tidak tahu kalau diriku secengeng ini. Pandanganku makin buram. Mungkin mataku pun sudah terlalu sembab karena menangis. Ajaibnya kini sesak di dadaku sudah makin berkurang. Aku merasa sedikit lega, walau belum bisa sepenuhnya.

Aku meraih jemari itu. Jemari yang memberi tisu untukku, mengusap air mataku. Kucoba memfokuskan pandanganku menatap mata kecil yang selalu ceria itu. ‘Terima kasih, ya. Dari dulu kamu-lah yang terbaik buatku. Aku harap suatu saat kamu bisa menemukan cewek yang sama tulusnya seperti kamu.’

Baro tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tersenyum tulus bahkan untukku yang telah menolak cintanya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN 14 | Bulan, Bintang, dan Playboy yang Belum Pensiun

KAIRO'S VIEW

Pukul setengah lima sore. Entah sudah berapa jam aku duduk-mangap-melongo-menguap di depan teve. Menemani Navita nonton DVD drama Korea yang baru dibelinya. Heran sekali, dulu aku tidak pernah sebosan ini menemaninya nonton drama Korea. Walau dulu aku pun tetap tidak mengerti apa yang membuatnya kadang-kadang menjerit histeris, menangis, kesal sendiri, dan tau-tau berseru unyu ‘uh, so sweet’. Dulu pula, walau aku tidak menikmati dramanya, tapi aku menikmati berbagai ekspresi yang ditunjukkan Navita selama menonton film. Entah kenapa sekarang jadi lain. Sedari tadi yang kunikmati hanyalah dua kaleng pringles rasa barbeque dan berbotol-botol jus.

Aku menguap sekali lagi. Rasanya bosan sekali menyaksikan wajah cantik cowok-cowok Korea itu. Memang sih, gadis Korea juga cantik-cantik. Tapi kurasa gadis Indonesia jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan gadis Korea tanpa operasi plastik.

‘Kamu bosen ya?’ tau-tau Navita menoleh.

Aku gelagapan. ‘Oh, eh, um.. lumayan sih, tapi..’

‘Belakangan kamu aneh deh. Kalo sama aku kamu jadi lebih sering nguap, sering gak nyambung dan bawaannya gak betah terus. Dan beberapa hari yang lalu…’ Navita menghentikan pembicaraanya. Ia diam menekuri kuku-kukunya. Alisnya berkerut-kerut, mungkin sedang menimbang-nimbang ingin lanjut bicara atau tidak.

‘Beberapa hari yang lalu?’ aku memutar tubuhnya, mendesaknya bicara.

Kegugupan Navita makin menjadi-jadi. Ia tampak berkali-kali menarik napas panjang lalu matanya dipejamkan. ‘Beberapa hari yang lalu aku lihat kamu jalan sama Kanaya di mall!’ ujarnya cepat dalam satu tarikan napas.

Aku mencoba terlihat biasa-biasa saja. Padahal kalau diukur, detak jantungku berdegup tidak normal saat ini. Mendadak aku tertawa terbahak-bahak di hadapannya. Mencoba menutupi kegugupan. Kulihat ia menatapku dengan heran. ‘Ya ampun, sayang! Aku jalan sama Kanaya kan udah biasa banget. Apanya yang aneh?’

‘Aku tau kamu, Kairo. Kemarin aku lihat.. gestur kamu, tatapan kamu itu lain. Kamu itu kayak –kayak begging banget sama dia.’

Navita menatapku penuh selidik. Aku balas menatapnya tajam. ‘Navita sayang, kamu itu kebanyakan nonton drama Korea. Kurang-kurangin deh nontonnya. Nih, kamu jadi ngawur gini.’

‘Aku gak lagi ngawur. Aku ini perempuan, aku punya feeling yang kuat. Dan feeling aku bilang sepertinya kamu dan Kanaya sekarang bukan hanya sekadar sahabat.’

Aku membuang pandangan ke arah lain. Sengaja menghindari tatapan mata Navita.

‘Kairo, kamu benar kan cuma sahabatan dengan Kanaya?’

‘Sudah waktunya aku pulang. Kamu istirahat, stop nonton DVD-nya.’

***

Sejak kemarin sore aku sengaja tidak menghubungi Navita. Aku tahu seperti apa Navita itu. Ia tipikal orang yang mudah kepikiran. Dan perkara kemarin pastilah akan tetap dia bahas begitu aku menghubunginya lebih dulu.

Aku membicarakan hal ini pada Kanaya. Gadis yang bikin aku gila itu hanya menanggapinya dengan senyuman. Parahnya dia juga bilang ingin mundur jika kehadirannya berpotensi menyakiti Navita. Dan ini yang membuatku tambah gila. Jelas sekali dia berkesimpulan bahwa menyakitiku lebih baik dari menyakiti Navita. Segitunyakah ikatan antara sesama wanita?

Pagi ini aku dikejutkan dengan gedoran keras pintu kamar kosku. Beginilah resikonya tinggal di kos-kosan putra. Beberapa orang suka tidak kira-kira kalu mengetuk pintu. Mengganggu sekali. Dengan sehelai boxer, masih mengucek mata, aku membuka pintu kamar kos.

BRUK! Tau-tau ‘tamu’-ku itu langsung menubruk dadaku dan menangis tersedu-sedu di sana. Masih dengan nyawa tercecer aku mencoba mengenali siapa gadis dalam pelukanku ini. Dari rambutnya yang panjang dan Paris Hilton yang meruap dari tubuhnya, aku tau ini Navita.

‘Hei, kamu kenapa?’ perlahan aku melepaskan dirinya dari tubuhku. Kutatap wajahnya yang basah dan terlihat begitu sedih.

Setelah bisa menguasai diri, Navita akhirnya bicara. ‘Aku mimpi buruk. Dalam mimpiku kamu meninggalkanku karena kejadian kemarin. Aku minta maaf, sayang. Aku gak bermaksud untuk gak memercayai kamu. Hanya saja, kamu tahu kan, cewek suka gak pake logika. Maafin aku ya. Aku gak mau kehilangan kamu.’

Aku memandangi Navita setengah tidak percaya. Ini sungguh berlebihan dan penuh drama. Tapi belum pernah aku didatangi perempuan sepagi ini hanya karena ia bermimpi kutinggalkan. Segitu cintanyakah gadis ini padaku? Hingga ia sendiri tidak sadar bahwa dirinya masih mengenakan kaus tidur dan sandal besar berkepala sapi. Aku melirik jam di dinding kamar kos. Ya ampun! Bahkan jam belum menunjukkan pukul enam pagi! Mendadak aku merasa benar-benar bersalah padanya. Kutarik ia merapat ke tubuhku. Hanya untuk memastikan padanya bahwa aku masih ada untuknya.

‘Apa kubilang, kurang-kurangin nonton drama,’ aku mengelus rambut panjangnya. ‘Kamu ke sini naik apa?’

Gadis itu menggeleng dalam pelukanku. ‘Aku lupa. Kayaknya naik ojek deh. Oh.. ya ampun! Ojeknya belum kubayar!’

Aku tertawa mendengarnya. ‘Segitu panikkah kamu? Sampe tukang ojek dianggurin.’ Aku menyambar kaus, dompet dan kunci mobil di meja dekat kasur lalu mengajaknya keluar dari kamar kos.

‘Habis mimpinya nyata banget. Aku bener-bener gak mau kamu pergi.’

Aku menatapnya sekali lagi. Kuulurkan tangan mengusap sisa-sisa air mata di bulu mata panjangnya. ‘It was just a dream. Aku gak ninggalin kamu.’

Ralat: Aku belum meninggalkannya. Ya, memang belum. Mungkin nanti iya. Tapi aku belum tau pastinya kapan. Yang pasti sekarang aku sedang dilanda kegalauan luar biasa. Beberapa hari yang lalu aku amat menggebu-gebu jatuh cinta pada Kanaya. Gadis itu seperti sebuah bulan baru diantara ribuan bintang. Hanya dia yang terlihat, hanya dia yang ada, hanya dia yang menarik. Namun pagi ini, Navita yang bagai bintang redup, sinarnya kembali menguat. Melihat Navita pagi-pagi sekali mendatangiku hanya karena sebuah firasat buruk, membuatku merasa –entahlah, mungkin bersalah padanya. Tapi tidak mungkin juga aku selamanya ada di antara dua wanita. Aku harus memilih. Oke, setidaknya membuat keputusan dengan siapa aku ingin bersama. Jika saat untuk memilih itu tiba, dengan siapa aku memilih untuk melanjutkan hidup? Navita yang lebih dulu hadir dalam hidupku? Atau Kanaya?

***

Seminggu setelah Navita mendatangi kos-kosanku pagi buta itu, aku merasakan suatu perubahan yang terjadi pada diri Kanaya. Mendadak ia jadi dingin. Ia seperti sengaja memberi kesan tidak tertarik tiap kali kuajak bicara. Tiba-tiba saja tugasnya jadi dua kali lipat tugasku dan yang lebih aneh, Kanaya menyempatkan diri nongkrong bareng beberapa geng sosialita kelasnya yang doyan party. Itu aneh, karena aku tau persis Kanaya yang tidak suka keramaian. Dan kegiatan berkumpul dengan geng sosialita itu tidak mungkin dilakukan di kuburan belanda. Apa dia sengaja menghindariku?

Oke, kuakui belakangan ini aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Navita. Kanaya tau itu. Aku tidak menutupi apapun darinya. Ia juga tahu apa sebabnya aku sering bersama Navita. Aku hanya tidak ingin Navita kembali curiga dan kembali mimpi yang tidak-tidak. Aku ingin segala sesuatunya kembali normal. Tujuannya hanya satu; aku ingin punya banyak waktu bersama Kanaya.

Siang ini aku sengaja tidak mengikuti mata kuliah terakhir hanya untuk bertemu si Ninja itu. Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang memacari Sakura atau Hinata yang punya jurus menghilang. Dan caraku ini ampuh, aku berhasil mencegatnya saat ia mengendap-endap di mulut koridor.

‘Gak kuliah?’ tanyanya begitu melihatku. Nada bicaranya terdengar datar-datar saja.

‘Sengaja. Mau nemuin mbak-mbak ninja yang belakangan ini suka ngilang. Sejak kapan kamu ngilmu di Konoha?’

‘Aku buru-buru. Ada janji nonton sama Baro.’

Aku membuang muka begitu nama itu disebut. Kalau hatiku ini pantai, yang tadinya indah, tenang, dan damai dengan backsound suara ombak mendadak berubah jadi tsunami yang memporak-porandakan semuanya. ‘Kamu masih jalan dengan bule sipit itu?’

‘Namanya Baro, aku sudah pernah bilang kan?’

I never care of what the hell is his name. Sadar gak kamu itu pacar siapa?’

Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Napasnya diembuskan kuat-kuat lalu ditatapnya aku dengan penuh marah. ‘Jangan membentakku tentang pacar siapa aku ini kalau kamu sendiri gak bisa tegaskan kamu itu pacar siapa!’

BAM! Kalimat itu memukul telak harga diriku. Kanaya benar. Sangat benar. Aku sendiri bahkan tidak bisa menegaskan padanya tentang statusku terhadap dirinya. Kanaya masih berdiri di hadapanku. Kemarahan itu masih tergambar dengan jelas di kedua bola matanya. Untuk merasa bersalah saja aku malu sekali rasanya.

‘Kairo!’ suara halus itu memecah keheningan di antara kami. Aku berbalik, menatap ke titik yang sama dengan arah pandangan Kanaya. Navita baru saja turun dari taksi dengan sumringah. Dan dari arah gerbang, SUV merah milik bule sipit itu terlihat memasuki halaman kampus.

See?’ Kanaya mendesis pelan padaku lalu beranjak menghampiri mobil lelaki itu.

‘Kanaya, tunggu!’ Navita setengah berlari mengejar Kanaya. Aku turut mendekat. Just to make sure bahwa gak akan terjadi aksi jambak-menjambak di halaman kampus penuh mahasiswa ini. Navita berhasil meraih lengan Kanaya dan membuatnya berhenti.

Gadis itu berbalik dengan ekspresi pura-pura kaget yang alami sekali. ‘Hei, Navita! Apa kabar? Ngapain di sini?’

‘Aku mau ngasih sesuatu sama kamu.’ Navita mengaduk-ngaduk tasnya mencari sesuatu entah apa. Beberapa detik kemudian wajahnya yang serius berubah jadi sumringah. ‘Ini dia! Aku mau ngasih undangan ultahku buat kamu.’ Navita menyodorkan sebuah amplop berwarna merah marun ke Kanaya. ‘Bukan party besar sih. Cuma makan-makan di café bareng beberapa temen deket aja. Kamu sahabat Kairo, jadi kamu wajib aku undang. ‘

‘Oke, thanks ya!’

‘Naya, tunggu!’ Lagi-lagi Navita menahan lengan Kanaya. ‘Kamu harus datang dan..’ Navita mengarahkan pandangannya ke bule sipit yang lagi melambaikan tangan pada Kanaya. 'Ajak pacar kamu.'

Kanaya hanya tersenyum lalu pergi. Tidak mengatakan ‘iya’ atau sekadar mengangguk. Aku melihat sekilas kesedihan di matanya sebelum ia berlalu. Itu membuat rasa bersalahku padanya makin menjadi-jadi.

Mendadak aku merasa perutku mulas. Terlebih lagi begitu melihat Baro memperlakukan Kanaya bagai ratu. Membukakan pintu untuk Kanaya dan gadis itu tertawa begitu lepas menanggapi –mungkin jokes atau sesuatu yang diucapkan lelaki itu. Aku kesal sekaligus mual. Dan aku juga merasa bodoh. Sebagai laki-laki, kau boleh menyebutku brengsek. Iya, ternyata aku belum pensiun. Aku masih playboy. Aku masih mempermainkan hati wanita. Kali ini dua sekaligus.  

Bulan dan Bintang itu kini bersinar sama terang di langit hatiku. Apakah aku cukup berani meredupkan salah satu diantaranya?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN 13 | SEPOTONG CERITA

KAIRO’S VIEW

Aku merasakan sensasi yang baru lagi dalam kehidupanku. Ya, kali ini sensasi yang kurasakan benar-benar luar biasa. Semua aura terasa positif. Aku tidak bisa tidur, tapi aku bangun dengan badan yang terasa begitu segar. Aku baru percaya pada jargon-jargon orang jatuh cinta bahwa jatuh cinta adalah ketika kamu tidak bisa tidur, karena kenyataan lebih indah daripada sebuah mimpi. Entah jargon itu berlaku tidak untukku yang memang insomniak parah.

Aku juga mendadak rajin. Beberapa hari ini aku berkhianat pada kios binatu dekat kos-kosan dengan mencuci sendiri pakaianku, dan entah kerasukan setan apa tiba-tiba aku membereskan kamarku yang bak kapal karam bajak laut. Aku juga baru tahu kalau ternyata jatuh cinta bisa menghidupkan naluri kepembantuan seseorang.

Setelah petualangan cintaku yang begitu panjang, akhirnya aku merasa telah sampai pada tujuan. Seperti pelari yang sudah mencapai garis finish. Atau pejuang yang mencapai kemerdekaan. Kalau kau berniat membuat daftar nama mantan pacarku, kurasa kau butuh dua lembar HVS untuk mencatat nama mantan yang kuingat. Iya, yang kuingat saja.

Kuputuskan untuk pensiun menjadi seorang cassanova. Perjalananku berhenti di Kanaya, cewek yang tak kusadari telah ‘merampok’ seluruh tempat di hatiku selama beberapa bulan terakhir ini. Awal bertemu dengannya, aku melihatnya sebagai cewek yang ‘lain’. Ketika melihatnya duduk di pojok cafe, menghabiskan waktu berjam-jam hampir setiap hari, aku merasakan sedikit ketertarikan padanya. Bukan ketertarikan seperti naksir, karena penampilannya benar-benar biasa dan tidak naksir-able. Aku tertarik dengan dia yang seperti sibuk dengan dunianya sendiri. Dia agak cuek, pikiran dan penampilannya sederhana, namun sepertinya ia amat menikmati dunianya, sendirian, nyaris tanpa teman.

Aku sempat merasa seperti telah terjadi mutasi gender dalam diriku ketika aku mulai merasakan bahwa Kanaya bukanlah teman biasa. Ya, aku benar-benar merasa seperti perempuan saja. Galau berhari-hari hanya karena mencintai sahabatku dan takut ditolak.

Namun semua kegalauan telah berakhir! Aku sudah yakin bahwa aku laki-laki tulen! Beberapa hari yang lalu telah kunyatakan pada Kanaya tentang perasaanku padanya. Aku harus banyak-banyak berterimakasih pada James. Kuakui dia memang hacker yang cukup handal. Dia yang kupaksa meretas blog itu untuk mengetahui siapa pemiliknya. Dan akhirnya, aku dan dia sama-sama tahu mengenai perasaan masing-masing.

Siang ini hujan turun lumayan deras. Dan kami terjebak dalam kemacetan yang entah sebabnya apa. Biasanya aku selalu menggerutu kalau macet begini. Namun sekarang ceritanya lain. Di sebelahku, duduk seorang perempuan aneh –dan  membuatku tergila-gila, yang tampak suka sekali menatap air hujan yang mengalir di kaca mobil. Tangannya ditempelkan ke kaca mobil seakan merasakan setiap dingin yang menjalari telapak tangannya. Senyum tak juga lepas dari wajahnya menatapi tiap tetes hujan yang mengalir di kaca mobil.

Really, i love rain.’ Gumamnya dengan mata yang kini dipejamkan.

‘Kamu itu ketemu hujan kayak ketemu boyband Korea aja. Girang amat.’

‘Ini lebih baik dari sekadar ketemu boyband Korea. Lagipula hei, sejak kapan aku suka musik Korea?’

Alamak. Aku salah kata-kata. Yang akan senang sekali kalau ketemu boyband Korea itu bukan Kanaya, tapi Navita. Takut-takut aku melirik Kanaya. Tapi sepertinya dia tidak menyadari kata-kataku. Kini giliran pipinya yang ditempelkan pada kaca mobil. Tidak ada tanda-tanda dia ngeh pada kesalahbicaraanku tadi. Aku menghela napas lega. Kuulurkan tanganku untuk mengacak rambutnya.
Sedetik saja aku tidak akan membiarkan manusia ini hilang dari hidupku.

***

Secangkir coffe latte, punya Kanaya, secangkir black coffe, punya ku, dan dua potong red velvet tersaji di meja. Dua potong red velvet itu semuanya untuk Kanaya. Sebenarnya belum cukup. Habis dari cafe aku masih harus membelikannya sekotak pizza keju ukuran large. Itu imbalan yang menurut Kanaya pantas untuk mengajaknya hang out di mall. Aku setuju-setuju saja. Apapun akan kurelakan asal aku bisa bersama dengannya. Dosaku juga sih, aku ngotot mengajaknya kemari padahal aku tahu persis Kanaya hampir tidak suka keramaian. Kalau dia terlihat berkeliaran di mall berarti ia sedang suntuk berat. Dan hari ini aku sedang bosan dengan menu monoton cafe tempat kami biasa nongkrong.

‘Hari ini apa lagi Mr. Cassanova yang hobi jalan-jalan?’ Kanaya berkata dengan mulut penuh.

‘Just another quality time with you.’

Kanaya melengos sambil tertawa. ‘Jangan sampe karena kenyang makan sepikan kamu, aku jadi gak bisa ngabisin serpihan surga ini deh.’

‘Kamu ini, tujuh dari sepuluh cewek pasti pasang muka unyu kalo cowok udah ngomong gitu.’

‘Sudah bisa dipastikan aku salah satu dari tiga cewek yang enggak.’

‘Terus yang dua lagi siapa?’

‘Ibumu dan Ibuku.’

Aku tertawa membenarkan. Dan tiba-tiba saja aku jadi merindukan Ibu. Aku mengambil ponsel di saku lalu meminjam earphone Kanaya. Setelah earphone terpasang dan kuberikan satu pada Kanaya, segera kutekan tombol 2 yang sudah di-set untuk nomor telepon Ibu. Aku hanya tersenyum saat Kanaya bertanya lewat ekspresi wajahnya.

Assalamualaikum Abangnya Ibu..’ Suara halus Ibu menyapa dengan lembut. Tidak berlebihan jika kusebut menenangkan hingga ke sumsum tulang. Kanaya hampir tersedak menahan tawa mendengar aku dipanggil demikian.

Alaikum salam. Ibu sehat?’

‘Alhamdulillah, Nak. Baru selesai mendoakan Abang, eh yang didoakan telfon. Sudah hampir dua minggu Abang tidak telfon.’

‘Hehehe maaf, Bu. Aku lagi keasyikan pacaran.’ Kanaya melotot sejadi-jadinya mendengar aku bicara seperti itu. Pipinya bersemburat kemerahan yang membuatnya makin menarik.

Pacarnya dikenalkan dong sama Ibu.’

Aku memberi isyarat agar Kanaya bicara dengan Ibu. Kanaya melotot panik dan pipinya makin merah. Ragu-ragu ia menyapa Ibu pelan. ‘Halo, Tante. Saya Kanaya.’

‘Halo juga. Ibu senang sekali akhirnya ada juga pacar Abang yang dikenalkan ke Ibu.’

‘Memangnya belum ada yang dikenalkan, Tante?’

Tuh makanya kamu harus bangga jadi cewek pertama yang kukenalin sama Ibu,’ aku menimpali.

‘Apapun itu, Ibu harap Abang tidak akan menyakiti hati perempuan. Oh iya, Kanaya, Ibu titip Kairo ya. Dia suka lupa makan kalau tidak diingatkan. Ibu harap kalian bisa saling menjaga.’

Kanaya diam. Kurasa dia bingung mau menanggapi seperti apa. Pipinya makin bersemu kemerahan. ‘Ibu ini. Kayak aku mau kawin besok aja deh,’ aku menyeletuk mencairkan kebisuan.

‘Nikah, Nak. Bukan kawin. Ngomong-ngomong Abang gak pulang dalam waktu dekat? Ibu kangen sekali.’

‘Maaf, Bu. Aku kayaknya gak bisa pulang. Banyak tugas. Aku mau cepet lulus.’

‘Wah kalau tahu jadi rajin begini, coba dari dulu saja kamu ketemu Kanaya. Oh iya, Nak. Ayah sudah pulang, Ibu mau bikinkan minum dulu.’

‘Ibu gak sopan deh. Aku yang nelfon kok Ibu yang nyudahin duluan.’

‘Assalamualaikum’  Telepon ditutup.

‘Gak nyangka! Ternyata segitu manjanya kamu kalau di rumah,’ Kanaya berkata sambil terpingkal-pingkal. ‘Aku jadi pingin ketemu Ibu kamu.’

‘Kapan-kapan kita ke Bandung deh.’

Dan ia kelihatan tertarik dengan topik ke Bandung itu. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Ibu. Aku pernah punya pacar yang ngotot ingin kenalan dengan Ibu. Aku lupa siapa, entah Siska, Patricia, atau Denisa. Tapi belum sempat mengenalkan, aku sudah kepincut cewek lain duluan.

Kanaya lanjut bertanya mengenai satu per satu keluargaku. Kuceritakan padanya bagaimana Ayah dan Ibu merupakan dua orang yang saling melengkapi dalam keluarga kami. Kalau Ayah api, Ibu adalah air. Kalau Ayah sedang marah, Ibu akan dengan tenang menyentuh pundaknya dan berkata, ‘Ayah, cukup’ dan secara ajaib Ayah akan langsung tenang. Ibu bagai poros dalam rotasi keluarga kami. Dan Ayah adalah orang yang sangat bergantung pada Ibu. Memilih pakaian, makanan, dan jadwal asupan vitamin serta obat Ayah tidak lepas dari tangan Ibu. Dalam hal berbisnis sekalipun, tidak ada satu keputusan Ayah tanpa disetujui dulu oleh Ibu.

Kuceritakan juga padanya tentang kami berempat, kakak beradik dengan nama Kota di dunia. Setiap nama memiliki arti tersendri bagi kehidupan Ayah dan Ibu.

Aku membuka folder foto di ponselku dan memperlihatkan sebuah foto kami berempat yang diambil pada momen idul fitri tahun lalu.  ‘Yang ini Paris,’ aku menunjuk perempuan bertampang tirus yang tampak enggan difoto.  ‘Lebih tua delapan tahun, kaku, introver, dan gila belajar. Lulus S2 cum laude di Perancis, eh masih kurang aja. Sekarang lagi riset entah apa buat desertasi. Menurutku sih, kayaknya dia anak pungut.’

Kanaya melotot sambil mencubiti lenganku. ‘Sembarangan aja kalo ngomong.’

Aku meringis-ringis mengelus lengan. ‘Abisan dia aneh banget. Di rumah gak ada yang kayak dia. Aku aja hampir gak pernah ngobrol sama dia. Malesin.’

‘Terus kenapa namanya Paris?’

‘Itu tempat bulan madu Ayah-Ibu.’

Aku melanjutkan ke perempuan berambut pendek di sebelah Paris. Brazil, empat tahun lebih tua dariku. Sudah pasti bisa ditebak kenapa namanya Brazil. Ayah tergila-gila dengan Tim Samba. Bertentangan denganku yang lebih suka Timnas Spanyol. Di rumah, Brazil mengambil alih peran Kakak Tertua. Karena Paris cenderung cuek, lebih suka menyendiri di kamar, menekuri buku-bukunya yang lebih tebal dari Burger King, dan tidak pernah mau tahu urusan adik-adiknya. Brazil-lah yang selalu jadi Kakak baik hati bagiku. Dia yang lebih dulu kuberitahu ketika aku dikeroyok waktu SMA. Dia juga yang sebisa mungkin mengatasi semua problemku sebelum terendus oleh hidung Ayah. Dia adalah malaikat kedua setelah Ibu dalam hidupku. Brazil juga oknum yang paling sebal melihat Paris yang tak kunjung menikah sementara Brazil sudah mantap menjadi Dokter dan kebelet menikah.

‘Ibu bilang pamali ‘melangkahi’ kakak perempuan. Nanti Paris sulit dapat jodoh. Yah, tanpa melanggar pamali pun dia sudah dipastikan sulit dapat jodoh kok.’

‘Hush! Mau dicubit lagi?’

Nah, yang satu ini nih kakak terfavorit sepanjang masa!’ aku berseru sembari menunjuk perempuan yang sedang merangkulku di foto. Wajahnya tidak terlalu jelas karena posenya yang seolah-olah ingin menciumku. ‘Namanya Adellaide, cuman beda setahun denganku. Orang bilang dia aku versi perempuan. Sifat kami sembilan puluh delapan persen sama. Dua persen yang bedain cuma gender. Dia yang paling asyik. Cantik, populer dan rada selebor. Pacarnya, beeeeh bejibun! Dia gonta-ganti pacar sama seringnya dengan ganti bra. Adel sih lebih semacem partner in crime. Aku sering pura-pura jadi ‘pacar barunya’ kalo Adel udah bosen sama pacarnya. Kalo gak kenal, orang akan mengira kami pacaran betulan.

‘Terus kenapa namanya Adellaide?’ Kanaya bertanya dengan mata yang berbinar.

‘Dulu Ayah pernah ekspansi bisnis ke sana. Ya walaupun sekarang udah enggak. Sekarang malah Adel yang kuliah di sana.’

‘Kamu sendiri? Kenapa dinamai Kairo?’

‘Karena aku spesial. Anak laki-laki yang paling ditunggu. Sama spesialnya seperti kota Kairo dalam sejarah perjalanan cinta Ayah dan Ibu.’

Jadi ceritanya waktu itu Ibu sedang menempuh pendidikan di Kairo ketika Ayah mulai merintis usahanya. Ayah sudah lama naksir Ibu sementara Ibu tidak. Suatu ketika usaha Ayah mulai berkembang dan ia punya penghasilan yang lumayan. Ia memutuskan untuk menyusul Ibu ke Kairo dan melamarnya. Satu kalipun Ayah belum pernah menginjakkan kaki di Kairo. Naik pesawat terbang saja baru pertama kali. Tidak tahu jalan, tidak bisa Bahasa Arab, berbekal selembar kertas bertuliskan Universitas Kairo, akhirnya Ayah berhasil bertemu Ibu setelah tersesat berhari-hari. Melihat itu, hati Ibu jadi tergugah dan mau menerima Ayah sebagai pendamping hidupnya.

Uh..So sweet. Ayah kamu romantis banget. Aku jadi tahu darimana bakat gombal kamu berasal.’

Aku tertawa mendengarnya. ‘Terus keluarga kamu sendiri gimana?’

Kanaya menelan potongan besar red velvet di mulutnya dengan susah payah. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. ‘Seperti yang kamu tahu, ada Ibu dan Ayah. Dan yang kamu gak tahu, ada satu kakak laki-laki. Tapi udah tiga tahun aku gak pernah ketemu dia lagi.’

Glek! Aku jadi salah tingkah mendengar itu. Kukira selama ini Kanaya anak tunggal. Aku sering ngobrol dengan Ibunya yang pelukis, dan Ayahnya yang penulis. Mereka orang tua yang keren. Dua-duanya saling berekspresi tanpa batas. Ibunya nyentrik, perokok berat, dan aku mengagumi beberapa lukisannya. Ayahnya lebih nyentrik lagi, gondrong, pecinta reggae dan berwawasan luas. Aku mengagumi kecerdasan di balik tulisan-tulisannya. Kanaya sepertinya tidak mewarisi satupun dari bakat seni orang tuanya. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang Kakaknya. Kupikir akan merusak suasana kalau aku lanjut bertanya mengenai Kakaknya.

‘Wah, kuenya udah mau abis. Kamu mau satu lagi gak?’ aku mencoba mengalihkan perhatian.

Kanaya tergelak di tempat duduknya. ‘Segitu niatnya kamu ngalihin perhatian aku. Tapi aku gak keberatan sih kalo dipesenin satu lagi. Kali ini cheesse cake ya!’

‘Dasar!’

***

Wajah Kanaya makin sumringah begitu aku keluar dari gerai pizza dengan sekotak pizza keju yang masih hangat. Aku curiga dia lebih cinta makanan daripada aku. Kulingkarkan tangan di pundaknya dan mengajaknya pulang. Kami melewati panggung musik yang digelar di mall ini. Dengar-dengar dari teman kampus, hari ini ada event musik yang lumayan besar di sini. Beberapa band dan penyanyi pendatang baru ikut serta dalam event ini. Ramai sekali karena beberapa produser dari perusahaan rekaman ternama dikabarkan akan menyaksikan event ini.

Penonton bersorak-sorak ramai begitu sebuah band alternative rock selesai tampil. Teriakan wanita memenuhi seantero mall. Aku juga pernah punya pacar yang menggilai musik rock. Hanya bertahan seminggu saja karena aku ngeri dengan perangai yang lebih sangar dari penjaga gerbang kampus.

Seorang cowok jatuh tersungkur persis di depan aku dan Kanaya. Dari penampilannya yang nyentrik, kuduga dia personil band yang baru turun dari panggung. Tadi aku melihatnya berlari-lari menghindari jangkauan cewek-cewek yang ingin menyentuhnya.

Cowok itu berdiri, lalu menatap ke arah belakangnya. Segerombol cewek tampak bergerak ke arahnya sambil bereriak histeris. Dan tanpa diduga, dengan gerakan yang cepat cowok itu menarik tangan Kanaya dan mengajaknya lari bersamanya. Tiga detik aku belum ngeh dengan gerakan yang cepat itu sampai akhirnya, ‘Anjrit! Woi berhenti lo!’

***

Sepuluh menit aku berkeliling mall dengan putus asa. Aku belum juga mendapatkan klu dimana Kanaya berada saat ini. Ponselnya yang mati turut menyumbang kecemasan luar biasa dalam hatiku. Entah kulemparkan dimana sekotak pizza keju tadi. Aku benar-benar kacau.

Aku tidak peduli beberapa orang memerhatikanku sambil berbisik-bisik. Ya, aku mungkin sudah bisa disetarakan dengan orang depresi saat ini. Entah sudah berapa kali pula aku melewati tempat yang sama, naik-turun dengan eskalator yang sama, tapi belum juga kulihat batang hidung Kanaya.

Sekali lagi kucoba men-dial nomor ponsel Kanaya. Namun hasilnya tetap sama. Aku masih belum mendapat jawaban. Beberapa restoran, toko baju, hipermarket, bahkan toilet wanita kumasuki untuk mencarinya, tapi hasilnya tetap nihil! Nihil! NIHIL! Aku malah dilempari gulungan tisu toilet oleh beberapa wanita.

Siapa laki-laki brengsek itu? Kenapa dia tiba-tiba menarik Kanaya bersamanya? Apa motifnya? Ya Tuhan! Beri sedikit petunjuk, mukjizat, wangsit, atau apa saja tentang keberadaan Kanaya!

Hampir menyerah, akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Kanaya di area parkir basement. Kalau dia masih di mall ini, hal pertama yang akan dia tuju untuk menemukanku adalah mobilku, tentu saja. Dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu aku masih mondar-mandir di depan mobilku. Kanaya belum juga muncul! Sial! Ban mobil harus rela jadi sasaran tendanganku.

‘Kairo!’ Suara itu bagai oase di padang pasir. Aku hafal suara itu dan segera tolah-toleh mencari sumbernya. Beberapa meter dari tempatku berdiri, Kanaya berjalan mendekat bersama laki-laki yang tadi menariknya. Emosiku membuncah hingga ke ubun-ubun. Aku berjalan cepat ke arahnya dan mendaratkan bogem mentah hingga laki-laki itu tersungkur.

Kanaya memekik kaget dan seketika melompat menahan tubuhku. Aku berusaha menyingkirkan Kanaya namun dengan cepat tangannya meraih wajahku. Nafasku tersengal-sengal saking kesalnya. ‘Kairo, stop! Kumohon berhenti. Aku bisa jelaskan semuanya. Ok?’

Laki-laki itu bangkit sambil memegagi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Ditatapnya aku dengan senyum sinis yang menghidupkan hasrat pingin nonjok dalam diriku. ‘Tonjokannya lumayan. Pertahanin tuh cowok kayak dia,’

***

KANAYA’S VIEW

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Salip sana-sini seakan kami sedang mengikuti kejuaraan Formula-1. Ini sih menantang maut namanya. Yang benar saja, aku belum mau mati muda. Aku belum jadi Sarjana Ekonomi, belum mencicipi dunia karir, dan belum menikah!

Sekian lama mengenal lelaki ini, belum pernah aku melihat ia marah seperti ini. Tatapannya lurus ke jalan, urat-urat wajahnya terlihat begitu tegang, dan butiran keringat memenuhi wajahnya. Padahal AC mobil sedang menyala dan dingin sekali.

‘Dia Abangku,’ aku memulai membuka suara. Laju mobil masih tinggi namun ketegangan di wajah Kairo berkurang mendengar kata-kataku. Aku lanjut bercerita.

***

Napasku ngos-ngosan mengikuti Kafka yang berlari dengan langkahnya yang besar-besar. Aku tidak mengerti dia menghindar dari siapa. Dan aku juga tidak menduga akan bertemu dia hari ini. Sudah hampir tiga tahun aku tidak pernah bertemu bahkan berkomunikasi dengan Kafka. Abangku meninggalkan rumah demi mengejar impiannya menjadi musisi terkenal.

Langkah Kafka berhenti ketika sudah mencapai rooftop. Ia membungkuk ngos-ngosan sedangkan aku lebih memilih untuk duduk bersandar di tembok. Kuperhatikan ia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penampilannya benar-benar berbeda sejak tiga tahun yang lalu. Badannya lebih berisi dengan otot lengan yang terlihat kokoh. Rambutnya hitam pekat tergerai mencapai bahu. Kupastikan rambut Kafka jauh lebih terawat dari rambutku sendiri. Tato-tatonya makin banyak. Dan sepertinya dia juga memakai eye shadow hitam.

‘Elo muncul-muncul ngajak gue lari-larian gini. Lupa ya gue paling benci olahraga?’ aku bersungut-sungut.

Sorry, baby. Emang mau abang lo ini digrepe cewek-cewek tadi?’

‘Ya lo lari aja sendirian. Kenapa gue diajak-ajak sih.’

‘Emang lo gak kangen sama gue?’ Kafka beranjak duduk di sampingku.

Aku diam sejenak berusaha mencerna apa yang terjadi hari ini. Pagi tadi, aku benar-benar berharap bisa menemukan alamat, nomor telepon, atau apapun yang bisa mengantarkanku bertemu Kafka. Kuceritakan padanya apa yang kulihat tadi pagi di teras belakang rumah; Ibu dan kanvas kosong.

Ini adalah hal langka bagiku yang terbiasa melihat Ibu melukis dengan heboh. Bisa dikatakan ini pertama kalinya aku melihat Ibu begitu murung. Belakangan aku terlalu sibuk jatuh cinta hingga tidak sempat memerhatikan perubahan Ibu. Tadi pagi kudekati Ibu, kurangkul ia dari belakang, dan kutanya apa yang membuatnya begitu murung. Dan jawaban Ibu membuatku tercekat. Dengan berlinang air mata, suaranya yang parau mengatakan, ‘Ayah akan menikah.’

Gantian Kafka yang tercekat. Seperti aku, dia tau pasti apa yang Ibu rasakan terhadap Ayah. Ibu hanya mencintai Ayah seorang, sekalipun ketok palu pengadilan agama telah memisahkan mereka.

‘Gue mohon lo pulang, bicara sama Ayah,’ aku menatapnya dengan air mata yang hampir tumpah.

Kafka hanya diam. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia sedang memikirkan ucapannya tempo hari sebelum ia pergi. Kafka bersumpah tidak akan pulang sebelum namanya sebagai musisi dikenal setidaknya oleh seribu orang. Dan aku tahu pasti dia belum jadi apa-apa saat ini.

‘Ka..’ aku menyentuh pundaknya.

‘Sebaiknya lo pulang, Kan. Cowok lo tadi pasti nyariin.’

***

CKIT! Pedal rem diinjak sedalam-dalamnya. Mobil menepi dengan cepat. Nyaris membuat jantungku melompat keluar dari rongga dada. Gila! Ini gila! Belum sempat aku melayangkan komplain, dengan gerakan cepat Kairo membuka seat belt dan menarikku ke dalam dekapannya.

Don't you ever do this again to me,’ ujarnya pelan. Dengan posisi kepalaku yang menempel di dadanya, aku bisa mendengar jelas bagaimana jantungnya berdetak amat cepat. 'I can't forgive myself if any bad thing happens to you.'

‘Kairo, sori.’

Kairo hanya diam, membenamkan wajahnya lebih dalam pada pundakku. Dan tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain balik mendekapnya, membiarkannya tenang. Setidaknya sampai detak jantung itu kembali normal.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS