Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NEW SEASON : BAGIAN III | DIHEMPAS KE MASA DEPAN


Balita perempuan itu nampak bersandar mantap di bahu kokoh laki-laki yang menggendongnya. Matanya masih berbinar-binar meskipun pertunjukan Disney World sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Tak lelah mulutnya bicara mengenai Mermaid, Belle, Cinderella, dan Snow White yang masih terekam jelas di ingatannya. Meskipun laki-laki yang menggendong tadi tentunya belum lupa dengan pertunjukan tadi, tapi ia terlihat balik menanggapi dengan senang.

‘Cinderellanya cantik ya. Mirip Giby,’ ujarnya sambil memain-mainkan kerah baju laki-laki itu.

‘Yeeeee.. Cinderella sih langsing, gak bulet kayak Giby.’

‘Giby gak bulet tau! Kata Mammie Giby nih cuman semok aja. Orang berat Giby cuman dua puluh empat.’ Ya, yang tidak gadis kecil itu ketahui adalah angka dua puluh empat itu cukup ‘besar’ untuk ukuran bocah tiga tahun.

Laki-laki itu tertawa mendengarnya. Namun tiba-tiba ia meringis karena merasakan ‘sentakan’ kecil di bagian bawah perutnya. Menyebalkan sekali dapat panggilan alam di tengah mol seperti ini. Dengan langkah dipercepat bahkan hampir berlari, laki-laki itu segera mencari toilet terdekat.

‘Giby tunggu di sini bentar ya.’ Laki-laki itu menurunkan Giby di depan pintu toilet pria. Si Gadis Kecil itu hanya mengangguk-angguk sok ngerti. ‘Don’t go anywhere! Get it?’

‘Yes, I do,’ Gadis itu menjawab dengan gaya centil khas balita.

Giby menunggu dengan sabar. Dari duduk, berdiri, goyang kanan, goyang kiri, lari ke kanan, lari ke kiri, sudah ia lakukan. Hanya butuh setengah menit untuk membuat tangannya ditolakkan ke pinggang pertanda ia mulai bosan. Lalu tiba-tiba matanya menangkap sesosok wajah yang ia kenal. Wajah gadis yang selalu ia kenali dari puluhan foto yang dipajang di kamar pria dewasa yang bersamanya tadi. Tapi gadis itu tak melihatnya. Ia berlalu begitu saja ketika melewati Giby tadi. Dengan rasa penasarannya yang begitu membuncah, Giby segera berlari mengikuti gadis itu.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki tadi keluar dari toilet sambil menggulung lengan kemejanya. Terkejutlah ia begitu mendapati Giby tidak ada di sana. ‘Mampus! Anak orang hilang di tengah mol!’

***

Kanaya menelusuri mol sendirian. Tadinya ia berencana nonton dengan Dika. Sayangnya, tiga puluh menit sebelum jam bubaran kantor, Mr. So Busy itu mendadak kedatangan tamu Vendor dari Palembang. Sudah datang jauh-jauh begitu, mana mungkin Dika menunda-nunda pertemuan. Lagipula ia sudah kenal baik dengan Bos Kontraktor itu.

Kanaya melabuhkan langkahnya di sebuah kedai es krim dan memesan satu porsi es krim cappucino favoritnya. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada anak kecil yang menguntit dirinya. Ia baru menyadari itu ketika si anak kecil menyentuh pelan kakinya.

Ya ampun! Anak siapa ini? Kanaya terlonjak kaget begitu melihat balita gempal itu berdiri persis di belakangnya. Kanaya celingukan berharap di dekatnya ada siapa saja yang ‘mengklaim’ bahwa bocah ini anaknya. Kanaya menatap anak itu sekali lagi. Menggemaskan, pikirnya. Anak ini, Kanaya seperti pernah melihatnya. Tapi dimana ya? Anak teman kantornya-kah? Entahlah. Tapi ia yakin sekali pernah melihat bocah gempal dengan rambut ikalnya yang panjang ini.

‘Hei, nama kamu siapa?’ Kanaya berjongkok, menyamaratakan tinggi badannya dengan bocah itu.

‘Gibraille Kanaya Ailsyaqeena,’ ujarnya dengan gaya bicara yang lucu sambil memainkan ujung rambutnya. Dalam hati Kanaya berusaha menahan diri untuk tidak menggigit pipi montok anak itu. Lucu banget! Culik boleh gak sih? teriak Kanaya dalam hati. Tunggu dulu, Kanaya meyakinkan diri bahwa anak itu tadi menyebutkan ‘Kanaya’ dalam namanya.

‘Wah, nama kita sama! Nama Tante Kanaya juga.’

‘Giby tau kok. Soalnya nama Giby itu diambil dari nama Tante. Tante Kanaya kan pacar Om Babang. Om nya Giby.’

‘Hah? Om Bambang?’ Kanaya mengernyitkan alis. Bambang siapa? Setau dirinya, ia hanya pacaran dengan Dika. Nama lengkap Dika adalah Aryadika Widyono. Tidak ada ‘Bambang-Bambang’-nya. Dan Dika juga tidak punya keponakan. Dika anak tunggal dari kedua orang tuanya yang juga anak tunggal. Kanaya hanya geleng-geleng kepala melihat bocah cantik di hadapannya ini.

‘Giby sama siapa ke sini? Kok sendirian?’

‘Sama Om Babang. Tapi Om nya lagi ke toilet.’

‘Giby!’ Seorang laki-laki tau-tau menarik bocah itu ke dalam gendongannya. Aroma tubuhnya langsung menyeruak dan membuat Kanaya sedikit tersentak. Ia hafal betul aroma ini. ‘Om cariin kamu daritadi! Kan udah dibilangin jangan kemana-mana!’

‘Kairo?’ Seperti autopilot, mulut Kanaya melontarkan nama itu ketika ia melihat wajahnya. Ah iya! Kanaya baru ingat. Anak kecil ini yang ia lihat digendong Kairo beberapa hari yang lalu.

Yang disebut namanya menoleh dan sama terkejutnya. Sedari tadi ia tidak menyadari siapa yang berjongkok di sebelah Giby saking paniknya ia mencari bocah itu. Diturunkannya kembali bocah itu lalu ditatapnya si pemilik suara yang selalu ia rindukan itu.. ‘Kanaya?’

Kanaya tertawa sarkastik seakan tidak percaya. Otaknya mengingat-ingat kata-kata Kairo beberapa detik yang lalu. Laki-laki itu menyebut dirinya ‘om’. ‘Jadi kamu Om Bambang?’

Kairo tergelak. ‘Bukan Bambang, Naya. Tapi Babang. Kalo di rumah aku kan dipanggil Abang. Lupa?’

‘Ah iya.’ Kanaya manggut-manggut. ‘Jadi... Giby ini keponakan kamu?’

‘Iya. Anaknya Brazil. Kenapa? Kamu pikir Giby anakku? Ouch.. Please. Segitu bokap-bokap-nya kah mukaku ini? Yang benar aja! Aku masih available.

Kanaya tertawa melihat wajah Kairo ditekuk sedemikian rupa. Dalam hatinya ia merasa masih ada yang janggal. Apa katanya tadi? Dia available?

‘Ngomong-ngomong kamu sendirian? Tumben amat mau ngemol sendiri. Biasanya juga mesti disogok dulu.’

‘Tadinya mau nonton sama Dika. Tapi ya, you know.. Susah janjian sama Mr. So Busy. Paling sebentar lagi dia nyusul. Kamu berdua aja? Ngapain di sini? Belajar jadi bapak?’

Kairo tertawa kecil. Ditatapnya Kanaya dengan yakin. ‘Jadi masih belum yakin nih sama teori konspirasi alam?’

Kanaya kembali tertawa. Sesaat ia terdiam begitu melihat Kairo tertawa memamerkan gigi crossbite nya yang dulu selalu membuat hati Kanaya berdesir. Lalu Kanaya kembali tertawa, tidak percaya begitu menyadari bahwa hatinya lempeng saja melihat laki-laki itu tertawa.

‘Om, Giby mau mandi bola!’ suara Balita itu menyadarkan keduanya bahwa mereka tidak hanya berdua.

***

Secangkir latte, secangkir kopi hitam, dan sepotong red velvet tersaji di antara keduanya sementara Giby asyik bergelut dengan bola dan terowongan di taman bermain anak yang letaknya berseberangan dengan café.

‘Kamu tahu, aku kayak lagi naik mesin waktu,’ Kairo membuka suara. Matanya menekuri tepian cangkir kopi miliknya. ‘Empat tahun lalu aku pernah di sini. Hidangan yang sama, sudut yang sama dan aku hampir gak percaya bisa berada di sini lagi dengan gadis yang sama.. –dengan kamu.’

‘Yang tidak lagi sama hanya gaya berpakaian kita. Dan… status kita satu sama lain.’

Kairo mengangkat wajahnya. ‘Status kita memang udah beda. Tapi di sini,’ Kairo menunjuk dadanya sendiri, ‘yang ada di sini tetap seperti empat tahun yang lalu.’

Kanaya menggelengkan kepalanya. Ia masih belum juga mendapat klu tentang orang di hadapannya ini. ‘Kamu dan Navita.. –kalian bukannya sudah menikah?’

Kali ini Kairo melengos dengan sedikit kesal. ‘Jadi selama ini kamu pikir aku pergi karena memilih Navita?’

Mendengar nada bicara Kairo yang sedikit lebih tinggi, Kanaya sedikit tersentak. Itu membuat dirinya langsung dikuasai emosi. ‘Memangnya kamu berharap aku mikir gimana? Mikir kalo kamu mendadak diculik alien ke Saturnus or somewhere else? Atau kamu berharap aku mikir kalo sebenarnya kamu superhero yang secara mendadak harus nolong orang di Gaza? Tell me, what I should thought about you!’

Kairo diam. Ia hanya diam menatap Kanaya yang bertanya dengan penuh emosi. Kairo mungkin tahu apa yang gadis itu rasakan. Kairo juga tahu apa yang sebenarnya ingin gadis itu tanyakan. Ibarat kerupuk disiram air, keberaniannya bertemu dengan gadis ini menjadi menciut setelah mendengar kata-kata itu. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Empat tahun bukanlah waktu yang tidak sedikit. Selama ini Kairo tidak pernah benar-benar mencari. Ketika ia rindu, ketika ia mencari, kebingungannya untuk menjawab apa, kenapa, dan bagaimana juga makin besar. Dan itu akan membuat Kairo dilemparkan kembali pada pergumulan batin yang menyiksanya empat tahun silam.

‘Naya,’ Kairo melembutkan tatapannya, pun merendahkan nada bicaranya. ‘Terkadang ada hal yang kamu tidak perlu tahu, tapi cukup dimengerti. Yang kamu perlu tahu adalah dulu, sekarang... kuharap sampai nanti, I never stop loving you. Yang perlu kamu mengerti adalah aku gak mungkin pergi tanpa alasan. Everything happens for a reason. But not everybody knows the reason.’

Kanaya memejamkan matanya rapat-rapat. Kembali berputar film di benaknya tentang bagaimana ia menjalani hari-hari dalam kebingungan empat tahun terakhir ini. Bagaimana setiap kali mendengar mobil berhenti di depan rumahnya, ia selalu melongkokkan kepala keluar jendela. Yang ia harapkan adalah laki-laki itu muncul dan kembali ke kehidupannya. Sampai akhirnya ia bosan kecewa dan memutuskan pindah ke apartemen setelah Ayah-Ibunya menikah kembali dan hidup di Ubud. Jadi ia tidak perlu mendengar suara mobil berhenti. Pun ketika pintu apartemennya diketuk, ia yakin bahwa yang mengetuk bukanlah Kairo.

Bagaimana setiap kali ponselnya berdering, ia selalu bergegas menatap layarnya. Berharap yang tertera di layar adalah nama yang selalu ia tanya pada Tuhan dimana keberadaanya. Namun nama itu tak kunjung muncul di layar ponselnya. Sampai akhirnya ia lelah berharap dan memutuskan mengganti nomor ponselnya. Jadi ia tidak perlu berharap tiap kali ponselnya berdering.

Bagaimana setiap kali aroma parfum itu menyeruak, ia akan seperti orang kesurupan mencari kesana kemari dan kembali tak menemukan jawaban. Sampai akhirnya ia lelah mencari dan memilih untuk tidak menemukan dan ditemukan. Dan hari ini, untuk tahu alasan kenapa hidupnya empat tahun terakhir ini begitu menyedihkan saja ia tidak berhak.

Kanaya menghembuskan napasnya kuat-kuat. ‘Tapi bagiku semuanya sudah gak penting. Semuanya sudah berlalu. Aku sudah meninggalkan hidupku yang lama. I’ve found the right man. I’ve found my future.’

Kairo tersenyum pedih. ‘Bagi kamu semuanya sudah berlalu. Tapi bagiku semuanya sama. Aku gak pernah pergi dari tempatku empat tahun yang lalu. Dari dulu sampai sekarang, semuanya tetap tentang kamu.’

Kairo melanjutkan, kali ini dengan senyum penuh ketulusan, ‘Tapi aku senang kamu sudah menemukan your Mr. Right. Aku tahu gimana Dika. Mainan saja dia jaga betul, apalagi cewek yang dia cinta. Aku lega bisa memastikan kalau kamu bahagia dengan Dika.’

‘I am.’

Mata keduanya bertemu dalam kepedihan. Entah kepedihan apa yang Kanaya rasakan. Ia sendiri tak paham. Sedetik hatinya lega, akhirnya penantian akan jawaban itu resmi berakhir. Namun sedetik kemudian, hatinya merasakan sedihnya perpisahan. Mungkin inilah perpisahan mereka yang sebenarnya. Raga Kanaya mungkin berpisah dengan Kairo empat tahun yang lalu. Tapi baru hari ini ia merasakan bahwa hati mereka telah resmi berpisah.

Begitupun Kairo. Ia merasakan pedih yang amat menyesakkan. Dari naik mesin waktu ke masa lalu, ia seolah dihempas ke masa depan. Di masa lalu gadis itu memang miliknya. Tapi tidak di masa depan. Ia harus kehilangan ketika telah menemukan. Ia mungkin telah kehilangan raga Kanaya empat tahun yang lalu. Tapi hari ini ia harus merelakan diri kehilangan hati gadis itu. Mungkin untuk selamanya. Ditambah fakta bahwa ia harus rela menganut paham pengecut bahwa ‘cinta tak harus memiliki’. Bukan karena ia tidak ingin memiliki cintanya, ia hanya tidak mampu merebut cinta itu dari sahabatnya, separuh bagian jiwanya. Laki-laki mungkin bisa saja selingkuh dari pacarnya, tapi laki-laki sejati tidak akan mengkhianti sahabatnya.

'Naya, my heart locked out. The only one who have the key is you. Only you. And will never changed.'

***

‘Om, kok Tante Kanaya sama Om ganteng yang lain?’ tanya Giby begitu melihat Kanaya kini digandeng mesra oleh Dika, laki-laki yang ia sebut om ganteng. Ia bersandar lelah di bahu Kairo. Tubuhnya basah penuh keringat saat keluar dari taman bermain.

‘Giby, Tante Kanaya sudah bukan pacar om lagi.’ Diciumnya pipi montok bocah menggemaskan itu.

‘Oooooh..’ Giby ber-oh panjang. Matanya menerawang entah memikirkan apa.

‘Terus om gak punya pacar?’

‘Bukannya gak punya, cuman Om belum mau pacaran.’

‘Ooooooh..’ Giby ber-oh lagi. ‘Mammie bilang om itu gagal move on! Emang move on itu apa sih Om?’

‘Duh, Brazil! Anak lo jangan diajak nonton sinetron napaaaa!’


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NEW SEASON : BAGIAN II | TEORI KONSPIRASI ALAM


Kairo masih juga tidak memercayai apa yang sedang ia lihat. Ia tampak begitu terkejut. Gadis yang selama empat tahun ini ia cari, tiba-tiba datang begitu saja di hadapannya, di tempat yang tidak pernah ia prediksikan. Sehat, cantik, dengan setelan kerja berwarna pink salem. Begitu pun dengan Kanaya. Kanaya juga tidak percaya pada apa yang ia lihat. Baru beberapa jam yang lalu laki-laki itu ia lihat dari kejauhan, bersama anak dan istrinya. Lalu sekarang, laki-laki itu berdiri persis di hadapannya. Sehat, gagah, tetap tampan dengan setelan jas hitam, kemeja merah marun, tanpa dasi.

Keduanya merasakan sunyi yang amat dingin. Masing-masing sibuk menyelami kenangan empat tahun lalu yang masih tersimpan apik di benak keduanya. Padahal di antara dua orang itu, ada Dika yang sedang terkekeh-kekeh dengan kebetulan ini. Ia hampir tidak percaya saat Kairo alias Karyo bilang bahwa ia dan Kanaya adalah sahabat semasa kuliah. Benar-benar kebetulan yang aneh!

‘Aku jadi mikir, kayaknya aku sama kamu itu jodoh beneran deh, sayang. Aku pacaran sama kamu, dan ternyata kita sahabatan dengan orang yang sama! Kurang jodoh apa coba?’ Dika terlihat begitu senang. Sepertinya kue berangka tujuh belas yang dibawa Kanaya tidak begitu berarti dibanding ‘kejutan’ yang satu ini. Sementara Kanaya hanya tersenyum canggung dan menyentuh pelan tangan Dika. Pemandangan itu tak urung membuat raut di wajah Kairo berubah tegang.

Dika mengangkat lengan kirinya melihat jam. ‘Abis ini lu kosong kan, Yok? Dinner bertiga, yuk! Yah itung-itung ngerayain ultah gua deh!’

‘Males ah! Masa iya gua ngekor orang pacaran!’

Come on, Yok! Lagian gua udah lama gak ngobrol banyak sama lu. Dan dari keterkejutan lu berdua tadi, gua yakin lu orang udah lama juga gak ketemu. Lu tau gua kan? Gua gak suka penolakan. Pokoknya lu gak boleh minggat kemana-mana dulu. Kalo gak persahabatan kita selesai!’

‘Lu kayak anak gadis aja ngancem-ngancem! Oke gua ikut. Tapi awas ya mesra-mesraan depan gua!’

‘Hahaha dasar jomblo sirik lu! Eh, gua ke toilet dulu. Cewek gua jangan lu macem-macemin!’

Kanaya mengernyitkan alis mendengar kata-kata Dika barusan. Jomblo sirik? Jomblo? Jomblo apanya? Jelas-jelas tadi siang, dengan mata kepala yang seratus persen waras ia melihat Kairo bersama anak-istrinya.

Sepeninggal Dika, suasana makin sunyi dan dingin. Entah karena AC, atau karena kebekuan yang terbentuk secara alamiah di antara keduanya. Dan ketika mata Kanaya tanpa sengaja bertumbukan dengan tatapan Kairo, Ia mendapati laki-laki itu tengah menatapnya hangat.

Heels.. Rambut panjang.. Make Up.. Rok..’ Kairo memerhatikan Kanaya dari ujung rambut sampai ujung kaki. ‘Kalo bukan karena mata kamu yang tetep sama, aku hampir gak mengenali kamu. Kamu jadi.. –jauh lebih cantik.’

Kanaya memang berubah jika dibandingkan dengan penampilannya empat tahun lalu. Rambut pendeknya berubah menjadi rambut panjang terawat. Badan kurus keringnya dulu telah berubah menjadi langsing berisi. Yang lebih gawat lagi, gaya berpakaiannya yang dulu kacau sekarang jadi lebih trendy.

Kanaya tersenyum samar. ‘Kamu juga berubah. Jadi lebih rapi dan terlihat dewasa.’

Kairo juga bisa dikatakan berevolusi. Kalau dulu dia suka pakai yang lecek-lecek dan nyeni, sekarang ia sudah membiasakan diri dengan celana katun, kemeja, dan sesekali pakai jas. Sorot matanya makin tajam. Mungkin itu efek dari tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari empat tahun yang lalu.

Kairo balik tersenyum. Ia seperti tidak bisa menahan diri. Hari ini, ia merasa seperti ada sesuatu hal gaib yang menarik ujung-ujung bibirnya hingga ia tidak bisa berhenti tersenyum. Ia sangat bahagia. Bahagia bisa melihat mata itu lagi. Meskipun sekarang mata itu tidak lagi berbinar untuk dirinya, tapi Kairo tetap bahagia. Ia bahagia hanya dengan melihat matanya.

‘Apa-apaan nih senyum-senyum? Pada ngomongin gua ya?’ suara renyah Dika menarik Kairo kembali ke daratan kesadaran. Kairo hanya menanggapinya dengan melengos. Hafal mati ia dengan tabiat Dika yang selalu Ge-Er itu.

Tanpa menghiraukan entah apa tanggapan Kairo, Dika segera menyibukkan diri dengan dua onggok lilin yang menancap di atas kue. Ia mencabut lilin tersebut dan membungkusnya dengan sebuah tisu.

‘Cuman cewek gua nih yang masih nganggep gua tujuh belas. Cuman sama dia juga gua berasa delapan tahun lebih muda.’ Lalu disimpannya lilin itu di laci meja kerjanya. ‘Langsung yuk, entar macet.’ Dengan luwes, tangannya segera melingkari pinggang Kanaya. Tak urung itu membuat Kairo sedikit tertohok dan menelan ludah.

Dika berhenti sebentar di depan meja kerja sekretarisnya, Anita. Sekedar memberitahu Anita untuk membawa pulang kue ulang tahun di ruang kerjanya. Kanaya kenal baik Anita. Ia adalah seorang janda muda beranak satu yang sangat solehah. Pakaiannya selalu modis meskipun berhijab. Satu-satunya alasan kenapa Anita belum jadi korban serangan rayuan dan tebar pesona Dika adalah karena energi merayu Dika sudah habis untuk mengejar Kanaya.

Kairo memerhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Yang laki-laki tangannya melingkari pinggang si perempuan. Yang perempuan, terlihat bahagia berada di sisi si laki-laki. Sebuah pemandangan yang indah, sekaligus menyakitkan. Dalam hati ia cukup senang dengan fakta bahwa Kanaya menjalani hidup dengan sangat baik. Ia bahkan bertemu laki-laki sebaik Dika. Luar biasa. Ternyata benar kalau bumi ini berputar. Hidup pun berputar. Empat tahun yang lalu, mungkin beginilah yang Kanaya rasakan. Kanaya harus berpura baik-baik saja menyaksikan kebersamaan Kairo dengan Navita. Kini, Kairo lah yang harus merasa panas, sesak, meskipun turut bahagia melihat kebersamaan Dika dan Kanaya. Sialan, ternyata karma itu beneran ada.

***

Restoran Italia di sebuah hotel berbintang menjadi lokasi kedua reuni dadakan tiga makhluk itu. Dika dan Kairo rasanya tak habis-habis bercerita tentang masa kecil mereka di Bandung. Keduanya saling membongkar aib. Kairo bersemangat menceritakan bagaimana jeleknya Dika waktu kecil. Dekil, gosong, dan ingusan. Tak mau kalah, Dika pun membongkar borok-borok Kairo masih kecil. Bagaimana cengeng dan manjanya laki-laki itu semasa kecil. Tentu tak lupa ia mengumumkan kebiasaan Kairo yang masih ngompol dan minum susu pakai dot sampai kelas tiga SD. Kanaya mendengarkan sambil mengunyah steak yang sudah dipotongkan Dika terlebih dahulu. Sesekali ia tertawa begitu keduanya saling melempar hinaan.

Seleranya tidak berubah, batin Kairo yang sesekali melirik ke gadis di hadapannya. Gadis itu masih menyukai steik. Ekspresi wajahnya ketika pepper sauce lumer di mulutnya tetap sama. Sebersit senyum terulas di bibir Kairo ketika ia menyeruput kopinya.

Seleranya tidak berubah, batin Kanaya yang matanya tak sengaja menangkap gambar laki-laki itu menyeruput kopi hitam. Kebiasaan dirinya yang tidak pernah menyentuh makanan saat sedang ngobrol pun masih tetap sama.

‘Sayang, ceritain ke aku deh aib Karyo waktu kuliah. Pasti segambreng kan, yang? Iya kan?’ Dika mengalihkan tatapannya ke Kanaya yang sedang asyik mengunyah daging. Yang diajak bicara terlihat sedikit bingung. Matanya yang bulat membelalak. Membuat mimiknya terlihat sangat lucu.

‘Setauku sih dia playboy  banget. Itu aib dia yang paling menonjol,’ ujar Kanaya setelah berhasil menelan potongan daging di mulutnya. Sama sekali tidak menyadari bahwa kata-katanya membuat kairo sedikit tersentak.

‘Oh ya? Tuh kan bener apa kataku! Karyo ini udah bakat playboy dari kecil. Masa iya mbak-mbak asuhnya aja ditaksir!’ Dika berkata dengan menggebu-gebu. Laki-laki yang satu ini memang sangat suka bicara. Kanaya sempat heran dengan fakta bahwa Dika belum juga direkrut jadi presenter acara gosip atau penyiar radio.

‘Siska, Mitha, Gina, Patricia, Sastha, banyak banget mantan pacarnya! Mantan-mantan dia kalo dikumpulin bisa bikin dua grup marawis,’ Kanaya menambahkan sambil terkekeh-kekeh bersama Dika.

Kairo menegakkan badannya. Posisi badannya sedikit dicondongkan ke Kanaya. ‘Kamu masih inget semua ya. Berarti masih inget juga dong siapa pacar terakhir yang aku cinta banget?’

Kanaya mengerjap-ngerjapkan mata, kaget dengan pertanyaan yang ditujukan ke arahnya. Terlebih lagi mata itu menatapnya dengan tajam, tapi penuh makna. Entah apa tujuan manusia satu itu menatap Kanaya demikian.

‘Eh, umm.. ya Navita lah! Siapa lagi? Eh iya, tadi siang aku ketemu loh sama Navita. Apa kabar dia? Udah berapa bulan kandungannya? Tadi aku gak sempat ngobrol karena dia buru-buru.’

Kairo mengernyitkan alis. ‘Navita baik-baik aja. Kalo gak salah kandungannya udah delapan bulan.’

‘Nah kebetulan banget!’ Suara heboh Dika memecah kebisuan. ‘Sayang, tadi siang Karyo bilang kalo empat tahun lalu dia punya cewek yang dia cintaaaa banget. Tuh, cincin yang harusnya dia kasih empat tahun lalu aja masih dia bawa-bawa. Empat tahun lalu kamu masih kuliah kan? Dia pelit banget ngasih tau aku. Kamu tahu gak siapa ceweknya? Penasaran nih!’

Kanaya terdiam mendengar kalimat Dika yang memberondongnya. Cincin? Rasa-rasanya ia tidak asing dengan kisah itu. Kisah cincin yang tidak pernah diberikan si laki-laki. Oh tidak! Jangan bilang cincin yang itu! Jangan bilang cincin yang diperlihatkan laki-laki itu padanya empat tahun yang lalu! Jangan bilang kalau dia masih menyimpan cincin yang tidak pernah ia berikan itu!

Dan dunia seakan ingin berkhianat padanya. Saat melirik laki-laki di hadapannya itu, Kanaya mendapatinya sedang memegangi dua buah cincin hitam yang terikat di rantai kalung yang ia kenakan. Betul-betul cincin yang sama dengan yang pernah ia lihat empat tahun yang lalu. Kalau memang betul nama dirinyalah yang ada di cincin itu, kenapa empat tahun yang lalu ia tidak muncul? Kenapa laki-laki itu muncul kembali setelah Kanaya telah memberikan hati sepenuhnya pada Dika?

‘Hei! Sayang? Kok bengong? Kamu gak tahu ya?’ Dika menyentuh pelan tangan Kanaya. Ditatapnya Kanaya dengan bingung.

Kanaya menggeleng lalu balas menggenggam tangan Dika. ‘Kayaknya aku gak tahu cewek mana yang Kairo maksud. Yang aku tahu, empat tahun bukan waktu yang singkat. Kalaupun dia ketemu lagi sama cewek itu, mungkin itu semua udah gak ada gunanya. Karena waktu terus berjalan. Begitu juga dengan perasaan. Mungkin masing-masing juga sudah punya kehidupan sendiri. Jadi kenangan ya tinggal kenangan. Cuman sejarah yang gak akan pernah terulang.'

'Tuh, dengerin! Lu udah harus move on, Yok!'

Kairo mengulum senyum sambil menyeruput kopinya. Sejenak ia menunduk diam, lalu kembali ditatapnya Kanaya tepat di kedua bola matanya. ‘Bukankah kita boleh punya pendapat masing-masing? Bumi memang terus berjalan. Yang mungkin kamu lupa adalah teori bahwa bumi itu bulat. Meskipun dia mungkin udah berlalu dari kehidupanku, kalau aku diam dan menunggu di titik awal, suatu saat dia kan kembali lagi ke titik itu. Dan menurutku jodoh adalah misteri. Kamu juga lupa kalau alam bisa berkonspirasi sedemikian rupa meski manusia menolak. Dan aku masih percaya, dia dan aku adalah jodoh. So we’ll see, biarlah konspirasi alam yang bekerja.’

Duniaku berhenti ketika aku tak lagi bisa menemukan kamu. Waktuku berhenti ketika ia tak lagi menyatukan aku dan kamu. Tapi kau terus berjalan. Kau terus berjalan empat tahun lamanya sementara aku diam. Aku hanya diam dan menunggu, bermodalkan kepercayaan bahwa suatu saat aku akan bertemu lagi denganmu. Hari ini, alam telah berkonspirasi untuk mempertemukan aku denganmu. Kau tahu? Aku makin percaya kalau kau dan aku memang ditakdirkan untuk menjadi kita.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NEW SEASON : BAGIAN I | REUNI


Gadis itu tengah menjelaskan program perusahaannya pada seorang nasabah perempuan ketika telepon di belakangnya tak kunjung berhenti berdering. Ia sengaja mengabaikan telepon itu mengingat reputasi nasabah di hadapannya ini masuk dalam kategori ‘bawel’ tingkat advance. Belum ada dua menit menjelaskan, Gadis itu sudah dijejali berbagai pertanyaan. Apa untungnya bagi perusahaan kalau ia ikut dalam program itu? Apa dampaknya bagi perusahaan kalau ia ikut dalam program itu? Apa yang menjamin bahwa perusahaannya tidak akan merugi sepeserpun kalau ikut program itu? Sebagai Costumer Relation yang handal dan terlatih, gadis itu berhasil menjawab dengan cekatan.

‘Diangkat dong teleponnya mbak! Bunyi terus gitu kan berisik!’ cetus nasabah bertubuh gemuk itu sambil berkipas-kipas, seolah tak puas seluruh pertanyaannya berhasil dijawab dengan kompeten oleh gadis itu.

‘Mohon maaf, ditunggu sebentar ya, Ibu,’ ujarnya dengan nada bicara yang terlatih. Khas pegawai-pegawai bank. Begitu berbalik, gadis itu langsung menekuk mukanya sedemikian rupa pertanda ia sudah sangat gondok dengan Ibu-Ibu gendut di depannya ini.

‘…Selamat siang, dengan Kanaya, ada yang bisa saya bantu?’

‘Ikan sayaaaaang! Lama banget sih angkat telepon? Sibuk banget ya?’ Suara renyah dan terdengar amat manja itu, Kanaya sudah hafal sekali.

‘Ya begitulah, Pak Yadi. Ada yang bisa saya bantu?’

‘Sialan, aku dipanggil Yadi! Kamu itu ya, namaku AR-YA-DI-KA. Tega-teganya nama keren pacarmu ini diganti Yadi!’

Kanaya mengulum bibirnya menahan senyum. Ia membayangkan betapa lucu wajah pacarnya itu saat mencak-mecak dipanggil Yadi. Awal pacaran Kanaya selalu memanggilnya Dika. Hanya saja beberapa waktu yang lalu Dika menceritakan pada Kanaya mengenai seorang sahabat masa kecilnya di Bandung yang selalu memanggilnya Yadi. Kanaya jadi sering memanggilnya Yadi. Sebenarnya itu dosa Dika sendiri. Dika punya kebiasaan merubah nama indah teman-temannya. Seperti Kanaya, pacarnya sendiri harus rela namanya diubah jadi Ikan.

‘Mbak, pacarannya nanti aja dong! Saya nunggu nih!’ Ibu-ibu gemuk itu memandangi Kanaya dengan judes.

Kanaya memberikan sedikit isyarat agar si Ibu-Ibu mau bersabar sedikit lagi. ‘Maaf, Pak. Saya lagi agak crowded, bisa telepon lima belas menit lagi?’

‘Sibuk ya? Mm..pasti nasabah galak. Segalak apa sih?’

Advance.’

‘Wohooooo.. gawat. Ya udah. Nanti pulang bareng dong?’

‘Maaf Pak Yadi, sepertinya tidak bisa.’

‘Hmm..’ Dika menggerutu manja. ‘Lembur lagi ya? Ih gak asyik banget deh kantor kamu. Emang gak ada dispensasi ya bagi karyawan yang mau ngerayain ulang tahun pacar? Makan siang nanti ada janji sama klien, pulang ngantor kamunya lembur. Payah ih!’

Kamu sih enak, jabatan udah tinggi, gerutu Kanaya dalam hati. ‘Baik kalau begitu, terima kasih sudah menghubungi. Selamat siang!’

Buru-buru Kanaya menutup telepon. Lagi-lagi ia terpaksa menunduk menyembunyikan senyum. Kelakuan pacarnya itu memang aneh. Mereka belum terlalu lama berpacaran. Delapan bulan lalu, Kanaya dimutasi ke kantor pusat yang jaraknya hanya beberapa lantai di bawah kantor Dika. Selain Ibu-Ibu gendut tadi, Dika juga nasabah ‘bawel’ tingkat advance. Bedanya, nasabah yang satu ini bukannya cerewet, tapi doyan merayu dan tebar pesona. Maklum saja, ia seorang SCM manager muda di sebuah perusahaan minyak yang tentunya mapan, tampan, tipikal menantu idaman ibumu banget.

Awal bertemu, Dika amat penasaran dengan Costumer Relation kaku nan jutek yang berani menutup teleponnya ketika ia sedang bicara. Berdasarkan pengalaman Dika, tidak ada cewek yang menutup telepon ketika dipuji suaranya indah. Belum pernah ada yang menolak Dika. Makanya ia cukup syok ketika Kanaya tidak segan menutup teleponnya. Keesokan harinya Dika sengaja datang ke Bank untuk mencari tau, karyawan mana yang berani menutup teleponnya itu. Dika kembali melancarkan aksinya; merayu dan tebar pesona dengan Kanaya. Hasilnya? Dika malah diusir. Dan Kanaya dapat teguran karena itu.

Butuh dua bulan bagi Dika untuk jatuh-dicuekin-bangkit-dicuekin mengejar CR jutek itu. Entah kenapa, semakin diabaikan, Dika makin penasaran dengan gadis itu. Namun akhirnya, Dika berhasil mendapatkan hati gadis itu justru ketika ia berhenti mengejarnya. Suatu siang, Kanaya secara kebetulan bertemu dengan Dika saat makan siang di sebuah cafĂ© dekat kantor. Kanaya merasakan sesuatu yang lain di hatinya ketika melihat laki-laki itu terlihat santai ngobrol dan tertawa-tawa dengan beberapa orang OB kantornya. Ketika kebanyakan karyawan biasa terlihat gengsi bergaul dengan OB, Dika yang jabatannya tinggi justru terlihat senang berbaur dengan mereka. Setelah acara makan-makan itu selesai, Dik pula-lah yang membayar dan tak segan menjadi ‘supir’ bagi mereka. Bagi Kanaya itu sangat tidak sesuai dengan kelakuan Dika yang biasanya. Orang yang selalu necis dan narsis itu, jadi terlihat berbeda. Aryadika, si Cassanova wanna be yang doyan tebar pesona itu ternyata berhati mulia. Beberapa kali pula Kanaya memergoki Dika memfungsikan SUV Porsche nya sebagai kendaraan antar-jemput Karyawan. Office boy, office girl, karyawan yang kebetulan tidak bawa kendaraan, Dika biasanya dengan senang hati memberikan tumpangan.

Dika, yang sebetulnya masih menggebu-gebu ingin mendekati Kanaya tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika suatu sore Kanaya menyapanya ketika bertemu di area parkir basement. Tidak lama sejak itu, akhirnya Kanaya memberi kepercayaan untuk Dika masuk ke dalam ruang hatinya. Tentunya setelah Kanaya menceritakan kepada Dika mengenai pengalaman terakhirnya pacaran yang membuat dirinya hampir tidak percaya bahwa cinta memang ada untuknya. Dika tidak berjanji, namun ia memastikan dirinya tidak akan menyakiti Kanaya seperti seseorang di masa lalunya.

Hari ini adalah hari ulang tahun Dika. Kanaya sengaja menolak tawaran Dika makan siang bareng. Ia juga sengaja bilang bahwa hari ini akan lembur. Ia makin tersenyum membayangkan betapa senangnya Dika diberi kejutan nanti. Uh, rasanya Kanaya sudah tidak sabar.

***

‘Mbak, mau ambil kue pesanan saya kemarin. Atas nama Kanaya,’ ujarnya pada gadis pelayan toko.

‘Kanaya?’ Seseorang menyentuh lengannya dari samping. Kanaya menoleh. Ia termanga seakan tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Dompetnya sampai jatuh ke lantai karenanya.

Dengan cepat Kanaya memungut kembali dompetnya dan kembali berdiri. ‘Navita? Apa kabar?’ Kanaya memerhatikan Navita dari ujung rambut sampai ujung kaki. Terlebih lagi di bagian perutnya yang membesar.

‘Alhamdulillah, Naya. Bayiku juga sehat.’ Navita mengelus-ngelus perutnya yang amat besar itu. Seorang pelayan toko menyerahkan bungkusan kepada Navita. Dengan cepat Navita membayar pesanannya.

‘Kamu sendirian?’ Kanaya bertanya. Sesungguhnya ia berharap menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Tentang misteri laki-laki yang menghilang empat tahun yang lalu. Mungkinkah mereka sekarang sudah.. menikah?

Navita tersenyum. ‘Bareng suamiku. Dia nunggu di bawah. Eh, aku duluan ya?’

***

Kanaya keluar dari toko kue langganannya dengan sumringah. ‘Janji dengan klien’ yang ia maksud adalah mengambil pesanan kue ulang tahun Dika. Sebenarnya cara seperti ini hanyalah surprise ala-ala ABG. Tapi mengingat pengalaman pacarannya yang sangat payah, hanya ini yang Kanaya tahu tentang bagaimana caranya membuat kejutan untuk pacar.

Saat sedang santai berjalan sambil menenteng plastik di tangan kanannya, dari lantai dua, mata Kanaya tak sengaja menangkap dua sosok yang amat ia kenal sedang mengobrol bersisian di lantai dasar. Sosok yang hampir enam bulan ini tidak pernah ia ingat lagi. Dika menyita setiap celah pikirannya, hingga tak ada celah lagi untuk sosok itu.

Yang ia lihat adalah Navita… bersama Kairo! Awalnya ia hanya mengenali perempuan berperut besar itu dari lantai dua. Namun setelah diperhatikan, ternyata ia pun mengenali sosok laki-laki yang berbicara dengannya. Aneh sekali. Setelah hampir empat tahun, tiba-tiba saja hari ini dua orang itu muncul. Posisi Kanaya memang tidak bisa dikatakan dekat, tapi ia mampu melihat dengan jelas. Navita dengan perutnya yang sangat besar, membawa sekantong belanjaan. Sementara Kairo tampak mengenakan kemeja merah marun, menggendong seorang anak perempuan kecil.

Jadi dia suami Navita, batin Kanaya. Terjawab sudah pertanyaan yang ia ingin tahu jawabannya selama ini. Ternyata selama ini mereka bersama. Ternyata hari itu Kairo telah memilih Navita. Ternyata mereka sudah hidup bahagia dan hampir memiliki dua orang anak. Air mata Kanaya kembali menetes. Kali ini bukan pedih, ia justru merasa lega. Sebuah beban yang selama ini menyesaki dadanya mendadak terangkat. Tak disangka ia bahagia melihat dua orang itu. Ia bahagia telah menemukan jawaban itu. Tidak ada lagi alasan untuknya menunggu Kairo. Terlebih lagi kini ia memiliki Dika di sisinya. Dan secara tak diduga, rasa sakit yang dulu ia rasakan ketika memikirkan Kairo kini sudah tidak ada. Buru-buru Kanaya menghapus air matanya. Terima kasih, Tuhan.

***

Laki-laki itu celingak-celinguk di kantor yang amat besar itu. Siapa orang Indonesia yang tidak tahu perusahaan minyak ini? Tentu saja kantornya begitu besar. Hampir separo gedung ini diisi oleh perusahaan ini berikut unit bisnis dan anak perusahaannya. Dan ia yakin betul, pintu di hadapannya inilah yang ditunjukkan resepsionis tadi; ruang manajer SCM. Tadinya ia ingin langsung pulang setelah menandatangani kontrak pengadaan jasa yang dimenangkannya beberapa hari yang lalu. Namun saat membaca-baca kontrak kerja tadi, tak sengaja ia mendengar nama manajer SCM disebut oleh seorang karyawan; Aryadika Widiyono. Ia tak begitu yakin, namun ia kenal betul dengan nama itu.

Laki-laki itu mengetuk pintu. Setelah mendengar respon dari si pemilik ruangan, ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan berukuran 4 x 6 meter itu tampak bersih dan terawat. Satu set meja kerja besar lengkap dengan perangkat komputer tertata apik. Di sisi ruangan lain, terdapat satu set sofa besar lengkap dengan dekorasi vas bunga nan cantik. Lukisan-lukisan tertata rapi di dinding ruangan. Air conditioner membuat ruangan ini tambah nyaman dan sejuk. Siapapun yang berada di ruangan ini, akan tahan hingga berjam-jam.

Sementara dari meja kerja yang besar itu, Dika memerhatikan laki-laki yang memasuki ruangannya. Ia yakin belum pernah bertemu dengan orang ini. Tapi rasa-rasanya, mata dalam dengan sorot mata tajam itu tidak asing. Begitu pula laki-laki yang baru memasuki ruangan itu. Kalau saja ia tidak lebih dulu mengetahui namanya, mungkin ia tidak akan mengenali laki-laki di kursi besar itu. Melihat bocah itu menjadi dewasa, mapan, dan tampan, rasanya ia ingin protes. Bocah itu tumbuh menjadi pria yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Wajah dekil nan ingusannya berubah jadi wajah tampan dengan helaian rambut halus nan rapi di sekitar rahangnya.

‘Yadi?’ laki-laki itu sudah tidak tahan lagi.

Dika membelalak. Mulutnya menganga ingin mengucapkan sesuatu yang masih ia ingat-ingat. Lalu tak lama kemudian. ‘Kampret! Karyo!’

Dika segera bangkit dari kursinya dan merangkul sahabat lamanya itu. Keduanya seakan tak percaya akan bertemu dalam format setelan jas di sebuah kantor. Mengingat masa lalu, waktu bermain mereka habiskan di kolam ikan milik tetangga, bersepeda panas-panasan, dan sesekali memecahkan kaca rumah orang ketika bermain kasti.

‘Kampret! Gua gak rela lu sekarang manajer. Gila! Kemana perginya ingus lu? Kenapa jadi ganteng begini? Makan apaan lu di Amrik?’ Karyo masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Melihat bundel kontrak di tangan Karyo, Dika tidak kalah mencak-mencak. ‘Sialan! Gua juga gak rela kali lu jadi pengusaha! Menang tender puluhan ‘M’, di bawah manajemen gua pula! Banyak duit lu sekarang. Pantesan panu di muka lu ilang semua, yok!’

Karyo tergelak. ‘Kalo itu sih fitnah. Gua udah dari dulu ganteng! Dan gua masih gak rela ya lo panggil Karyo.’

‘Emangnya gua sudi lu panggil Yadi? Gara-gara elu, cewek gua sekarang ikutan manggil gua Yadi tauk!’

Mereka melanjutkan nostalgia ngalor-ngidul setelah Dika mengajaknya duduk di sofa. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Waktu mereka kelas tiga SD, Dika sekeluarga pindah ke Jakarta. Mereka hanya sesekali berkomunikasi via telepon. Terlebih lagi saat lulus SMA, Dika melanjutkan kuliah ke Amerika. Kalau dihitung-hitung sudah hampir tujuh belas tahun mereka tidak pernah bertemu. Dan Karyo tidak percaya akan apa yang baru saja dikatakan Dika. Dika punya pacar? Pacarnya seorang pegawai Bank pula!

‘Pake pelet apaan lu? Mana ceweknya? Gua mau lihat! Pasti katarak!’

‘Enak aja! Gua pake inner and outer handsome tauk! Gak ada lu ketemu cewek gua! Entar lu naksir sama Ikan gua!’ Dika tergelak-gelak. Entah kenapa hari ini rasanya ia senang sekali.

‘Astaga! Nama cewek sendiri aja lu rusak!’

‘Nah elu? Berapa cewek lu sekarang?’

Kali ini Karyo diam. Tangannya meraba kalung yang ia kenakan. Kalung yang selalu ia pakai sejak empat tahun yang lalu. Yang spesial bukan kalungnya, tapi dua buah cincin titanium yang menjadi liontinnya. Ia tersenyum menatap sebuah nama yang tertulis di balik salah satu cincin itu.


‘Kakak-kakak gua sih masih aktif ngatur acara kencan buta buat gue. Tapi kayaknya cinta gua abis di cewek yang namanya ada di cincin ini.’

‘Siapa? Sini gua lihat!’ tangan Dika terulur ingin menggapai cincin di kalung Karyo. Namun seperti biasa, sejak mereka kecil dulu, Karyo selalu lebih gesit dari Dika.

‘Enak aja! Gak ada gua kasih lihat nama cewek gua ke elu!’

‘Yaelah pelit amat bos! Namanya doang!’ Dika memasang muka bete. Kebiasaan sejak kecil juga setiap kali Karyo berhasil mengalahkannya. ‘Lagian kenapa gak lu kasih ke cewek lu? Malah dipake sendiri!’

‘Sejak kejadian itu, gua gak pernah ketemu dia lagi.’

Dika paham dengan apa yang dimaksud Karyo dengan ‘kejadian itu’. Meskipun tidak pernah bertemu, keluarga mereka masih saling berkirim kabar satu sama lain. ‘Bukan main. Gak nyangka gua seorang Karyo udah insaf beneran. Jadi lu masih nunggu cewek lu itu? Kenapa gak lu samperin aja ke rumahnya?’

‘Gua cuma tau alamat lamanya. Dia udah pindah. Gak tau kenapa gua percaya aja kalo suatu saat gua bakal ketemu dia lagi. Makanya cincin ini selalu gua bawa. Dan ketika itu terjadi, gua bakal langsung pakein cincin ini ke dia.’

‘Tsaah. Omongan lu udah kayak orang bener aja! Eh, ngomong-ngomong gimana kabar Om Henry? Sehat dong?’

‘Alhamdulillah. Sekarang kan ikut Brazil, jadi dialah yang urus perawatan dan pengobatan bokap. Eh, by the way hari ini lu ultah kan?’

***

‘Surpriiiiisseeeeee!!!’ tau-tau pintu ruangan Dika dibuka. Seorang cewek muncul sambil berteriak heboh. Membawa sebuah kue ulang tahun di tangannya dengan lilin berangka tujuh belas. Dika dan Karyo serentak menoleh ke arah pintu. Dika langsung sumringah, tapi tidak dengan Karyo. Tidak pula dengan gadis yang membawa kue itu. Senyum sumrigah gadis itu hilang seketika ketika melihat bahwa pacarnya tidak sendirian. Ada orang lain di ruangan itu. Orang yang amat ia kenal.

Karyo langsung berdiri ketika menyadari siapa gadis yang berdiri di depan pintu itu. Tanpa butuh komando apapun, segenap sel di tubuhnya langsung bereaksi ketika melihat senyuman itu. Karyo hampir melompat memeluk gadis itu kalau saja ia tidak melihat Dika bangkit, lalu dengan leluasa lengannya melingkari pinggang gadis itu.

‘Ikan sayang! Katanya lembur! Udah pinter ngerjain aku ya si Ikan!’ Dika mendekati dan merangkul Kanaya. Sementara yang dirangkul hanya diam. Mengeras seperti tiang listrik. Namun sepertinya Dika tidak terlalu menyadari perubahan itu. Ia malah menarik-narik Karyo yang sama termanganya dengan Kanaya.

‘Nah Karyo, ini Ikan cewek gua. Eh maksud gua namanya..’

‘Kanaya,’ Karyo melanjutkan kalimat Dika yang menggantung.

‘Dan Ikan sayang, ini Karyo temenku yang pernah kuceritain. Eh salah, maksudku namanya..’

‘Kairo,’ gantian Kanaya yang melanjutkan kalimat Dika.

‘Sialan! Kalian udah saling kenal?’


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS