Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NEW SEASON: BAGIAN 8 | MASIH..


Seketika Kanaya merosot ke lantai setelah Dika menutup telepon. Pikirannya mendadak ruwet bukan kepalang. Jadi selama setahun terakhir ini, dirinya tinggal di gedung yang sama dengan Kairo? Jadi, teori konspirasi alam itu.. bisa dibilang benar? Kanaya masih ingat betul apa alasan dirinya pindah ke gedung ini. Ia memilih untuk tidak mencari dan tidak ditemukan. Ia ingin memupuskan harapannya tentang Kairo. Dirinya ingin menghilang tapi ternyata ia sendiri justru sedang mendekatkan diri dengan laki-laki itu.

Sekarang apa yang harus Kanaya lakukan? Ia tidak yakin mampu bertemu dengan Kairo hari ini. Ia tidak yakin dirinya cukup kuat untuk menatap wajah itu. Dengan tangan yang masih lemas, ia men-dial nomor ponsel Kairo yang baru dikirimkan Dika. Setidaknya, Kanaya harus memastikan bahwa Kairo baik-baik saja. Kanaya sendiri pernah mengidap tipus. Dan berdasarkan pengalamannya, mengidap tipus, apalagi tidak ada yang merawat, tidak bisa dikatakan ringan.

Satu kali, hanya nada tunggu yang Kanaya dengar. Diliriknya jam kecil di sudut layar ponselnya. Sudah pukul delapan pagi. Mungkinkah Kairo belum bangun tidur? Kanaya men-dial nomor Kairo sekali lagi. Untuk kedua kalinya, telinga Kanaya kembali hanya menangkap nada tunggu.

Tut tut tut tut tut tut tut..Nomor yang anda tuju untuk sementara tidak bisa dihubungi.. bla bla bla. Tiga kali, empat kali, lima kali, semuanya nihil. Nada tunggu. Tidak dijawab. Kanaya sampai kesal mendengar suara operator provider itu. Deg! Jantung Kanaya mendadak berdegup kencang. Mungkinkah.. terjadi sesuatu pada Kairo?


Tanpa pikir panjang, dengan kepanikan maksimal, Kanaya segera berlari menuju lift. Sialnya, semua lift sedang digunakan. Kanaya, dengan kepanikan yang makin mengubun-ubun segera menuju tangga darurat. Ia naik sampai lima lantai dengan tergesa-gesa. Dua anak tangga sekali loncat.

Kanaya memencet bel dengan buru-buru begitu sampai di depan pintu pent house Kairo. Tidak puas dengan bel, ia menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil nama Kairo. Tapi tidak juga ada jawaban. Sekali lagi ia mengambil ponsel dan men-dial nomor ponsel Kairo. Terdengar ponsel Kairo berdering-dering namun tidak ada yang menjawab.

‘Astaga! Bagaimana ini?’ Kanaya mondar-mandir di depan pintu kondominium itu.

Makin panik, ia kembali turun melalui tangga darurat menuju lantai satu untuk memanggil petugas keamanan. Kanaya tidak mampu berpikir jernih. Ia dilanda panik sepanik-paniknya orang panik. Ditariknya seorang petugas untuk membantu dirinya membuka pintu apartemen Kairo dengan paksa.

‘Maaf, mbak. Tapi itu melanggar privasi penghuni..’

‘Saya yang bertanggung jawab! Ini darurat, Pak! Penghuni apartemen itu sedang sakit dan dia gak jawab telepon saya! Saya takut terjadi apa-apa dengan dia! Tolong, Pak! Saya mohon!’  ujar Kanaya sedikit berteriak.

‘Tapi ini menyalahi etika kerja saya, Mbak. Saya tidak bisa..’

‘PAK!’ Kanaya membentak, tangannya mencengkram erat lengan baju petugas itu. ‘INI MENYANGKUT NYAWA SESEORANG! GIMANA BISA BAPAK MASIH MENTINGIN ETIKA KERJA!’

Entah takut diserang atau pasrah, petugas keamanan itu akhirnya menuruti kemauan Kanaya. Bersama Kanaya, ia naik ke atas untuk membuka paksa pintu apartemen Kairo. Kanaya langsung menerobos masuk begitu pintu berhasil dibuka. Ia membuka satu per satu pintu yang ada di pent house itu untuk mencari keberadaan Kairo. Namun Kanaya tidak menemukan Kairo di lantai satu. Masih belum putus asa, Kanaya berlari naik ke lantai dua pent house tersebut dan berhasil menemukan Kairo sedang berbaring di atas tempat tidur.

‘Kairo! Bangun! Kamu bisa dengar aku? Kairo!’ Kanaya mengguncang-guncang tubuh Kairo. Tidak seperti Kairo yang Kanaya kenal, laki-laki yang tengah terbaring itu tampak begitu pucat dan lemah. Selang infus yang berjejalan di tangannya seperti mempertegas kondisi Kairo saat ini.

Terkejut dengan ribut-ribut itu, Kairo buru-buru bangkit dari posisinya berbaring. Hal itu tak urung membuat sentakan hebat di kepalanya. Ia meremas rambutnya sendiri sambil berusaha melihat dengan jelas apa yang terjadi. ‘Kanaya? Kamu..’

Gadis itu merosot di lantai. Ia sedikit lega meski nafasnya berhembus keras tak beraturan. Kaus dan wajahnya basah oleh keringat. Rambutnya berantakan, bahkan gadis itu tidak mengenakan alas kaki. Kairo kaget setengah mati begitu melihat darah berceceran di lantai kondominiumnya. ‘Astaga! Kaki kamu berdarah, Naya!’

‘Apa terjadi sesuatu?’ tanya petugas keamanan yang tadi mendobrak pintu apartemen Kairo.

Kairo masih belum ngeh dengan apa yang terjadi. Namun ia segera memastikan pada petugas itu kalau semuanya baik-baik saja. Ia mempersilakan petugas itu untuk meninggalkan apartemennya. Toh nanti ia bisa meminta penjelasan pada Kanaya. Kairo mengalihkan tatapannya ke Kanaya begitu petugas keamanan itu enyah. Gadis itu masih bergeming di lantai.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Kairo menurunkan botol infusnya lalu berjongkok di hadapan Kanaya. Ditariknya beberapa lembar tisu dan dibasahinya dengan air dalam gelas di sisi tempat tidurnya. Ia meraih kaki Kanaya dan membersihkan luka di telapak kaki gadis itu. Mulut Kairo sudah gatal ingin bertanya. Apa yang membawa gadis itu datang kemari?

‘Kamu baik-baik aja?’ tanya Kairo pelan. ‘Kaki kamu sampai berdarah-darah gini.’

Kanaya mengangguk lesu. Dengan cepat gadis itu menghapus air yang baru saja meluncur dari sudut matanya. ‘Kamu sendiri? Kudengar kamu sakit? Kenapa gak jawab teleponku?’

‘Aha, jadi kamu yang telepon. Maaf, ponselku tertinggal di lantai bawah. Tadi kepalaku pusing banget, makanya aku gak bisa jawab telepon.’ Tiba-tiba Kairo mengernyitkan alisnya. ‘Apa aku bikin kamu panik?’

Tangis Kanaya langsung pecah tanpa bisa ditahan lagi. Ia menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak bisa dipungkiri, tadi Kanaya panik sekali. Ia sampai lupa pakai alas kaki. Atau mungkin ia tadi sudah pakai namun terlepas saat berlari naik-turun tangga. Ia juga tidak tahu persis apa yang menyebabkan kakinya luka. Ia sungguh khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Kairo.

Sementara Kairo memandangi Kanaya dengan heran. Berkali-kali ia menggaruk bagian kepalanya yang tidak gatal. Ada apa sih ini? Tiba-tiba saja gadis itu muncul bak habis dikejar maling, merusak pintu apartemennya, lalu kini menangis tersedu-sedu di hadapannya. Kairo mencoba mengingat-ingat, apa ia melakukan sesuatu yang salah baru-baru ini? Seingat Kairo, terakhir kali berkomunikasi, memang hubungan mereka tidak terlalu baik. Tapi tidak bisa dikatakan buruk juga.

‘Naya, kamu kenapa?’ Kairo menyentuh pundak Kanaya takut-takut. ‘Aku bikin salah ya?’

‘Huhuhuhuhuhu,’ Kanaya masih menangis tersedu-sedu di balik telapak tangannya. Kairo memijat dagunya sendiri dengan bingung. Gue harus ngapain neeeeeeeeh? Dengan hati-hati, ia menarik pelan kepala gadis itu dan menyandarkannya di dadanya sendiri. Ditepuknya pelan punggung gadis itu untuk membuat tangisnya reda. Ia tahu jurus itu dari Adel. Dia bilang, memeluk bisa meredakan stres dan kesedihan seseorang.

‘Udah dong nangisnya,’ Kairo memejamkan mata menahan pusing di kepalanya yang makin menjadi-jadi. ‘Maaf deh udah bikin kamu panik. Yang penting kan aku gak kenapa-kenapa.’

Kanaya masih ngotot ingin menangis. Kali ini ia menangisi dirinya sendiri. Malu sekali ia saat ini. Kenapa aku sampai begitu panik siiiiiiiiih? Kenapa juga aku harus menangis di depan Kairo? Sekarang aku harus bagaimana menghadapi dia? Ya Tuhan! Tenggelamkan aku dalam banjir di bawah sana!

‘Kamu.. –kamu nangis karena malu ya?’

Hah? Kanaya kontan menyingkirkan tangan dari wajahnya. Bagaimana dia bisa tahu? Aduh, matilah aku!

Kairo tersenyum tipis. Dielusnya kepala gadis itu dengan gemas. ‘Naya.. Naya.. Ada-ada aja kamu ini.’

Laki-laki itu kembali menyandarkan kepala di tepi tempat tidurnya. Ia memejamkan mata untuk meredakan pusing di kepalanya yang makin gila.

Air mata Kanaya kembali menetes begitu melihat siluet di depannya ini. Ia pernah begitu mengagumi betapa indah bentuk hidung itu. Betapa dulu ia sangat memimpikan berada di sisi laki-laki ini. Ada semacam jarum yang menusuk hatinya begitu melihat wajah Kairo yang terpejam. Penuh kepedihan. ‘Maafkan aku, Kai..’

Alis Kairo berkerut mendengar suara Kanaya yang bergetar. Namun ia masih belum mampu membuka mata. ‘Untuk?’

Kanaya menarik napas panjang. Buru-buru ia menghapus tetes demi tetes air yang mengalir deras dari kedua sudut matanya. ‘Untuk semuanya. Untuk empat tahun lalu. Untuk telah masuk ke kehidupan kamu dulu. Untuk semua hal sulit yang kamu harus hadapi karena aku. Harusnya aku gak..’

‘Jadi Brazil atau Adellaide nih yang cerita-cerita ke kamu?’ Kairo memotong kata-kata Naya cepat. Suasana mendadak senyap. Hanya suara hujan yang terdengar sayup-sayup dari luar sana. Kairo tersenyum dingin, tidak suka.

Kanaya hanya diam. Mendadak ia merasa tidak nyaman. Kairo seperti enggan membahas masalah itu dengan dirinya. Laki-laki itu bahkan masih enggan membuka mata. Suasana jadi dingin dan menusuk.

‘Kamu udah minum obat pagi ini?’ Kanaya mencoba mencairkan suasana.

Kairo memijat keningnya. ‘Tunggu pusingku reda. Obatku harus diminum setelah makan. Kepalaku terlalu pusing bahkan untuk sekedar turun dari tempat tidur. Ah, kemana dokter pribadiku? Harusnya dia sudah datang.’

‘Kalau kamu tunggu dokter, mungkin kamu gak akan minum obat sampai sore nanti. Hujan deras sekali dari semalam. Di luar sudah macam Samudera Hindia. Aku aja sampai bolos kerja. Kubuatkan sarapan saja, oke?’

***

Kanaya tinggal menunggu cream soup buatannya selesai dihaluskan. Makanan standar untuk orang sakit. Setidaknya sup buatan rumah sakit tidak akan seenak sup buatannya ini.

Ia terpaksa membawa bahan makanan dari dapurnya sendiri. Tidak heran Kairo sampai jatuh sakit begini. Isi kulkas dan lemarinya hanya makanan instan, frozen food dan berbagai jenis  soft drink. Bahkan bungkus junk food memenuhi tempat sampah rumah Kairo. Bisa ditebak, laki-laki ini pelanggan tetap delivery service restoran junk food di kota ini.

‘Lihat ini? Gak heran kalau kamu sampai sakit.’ Tempat sampah itu diangkat Kanaya tinggi-tinggi. ‘Junk food, junk food, dan junk food. Bukankah di lantai dasar ada food court?’

Kairo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menelungkup di meja makan dengan lesu. Pusing di kepalanya belum hilang, tapi ia ngotot mengikuti Kanaya sampai dapur. ‘Kurasa kamu lebih cocok jadi adiknya Brazil. Bahkan kata-kata kalian sama persis. Hih!’

‘Kurasa semua orang yang lihat isi kulkas dan tempat sampah kamu bakal bilang hal yang sama.’

Aroma cream soup yang baru saja diletakkan Kanaya di hadapannya membuat Kairo menegakkan kepala. Ia menatap makanan kental berwarna kuning pastel itu dengan heran. ‘Apa ini?’

‘Makanan orang sakit gak pernah selezat ini. Habiskan!’

***

Deru mesin penghisap debu dan bunyi hujan berlomba-lomba memenuhi pent house itu. Kanaya tidak tahan melihat rumah itu penuh debu dan berantakan. Meskipun Kairo sudah bilang bahwa ia membayar petugas kebersihan setiap dua hari sekali.

Kairo menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya. Dari sofa bed di depan televisi, sesekali ia mencuri pandang, memerhatikan gadis yang tengah bergerak dengan luwes di sekitarnya. Wajahnya tampak begitu serius membersihkan setiap sudut berdebu di apartemen Kairo. Rambut depannya lepek dibasahi keringat. Matanya yang besar bergerak sana-sini meneliti apakah ada bagian kotor yang luput dari pandangannya. Dan.. Kairo hampir lupa bernafas karena pemandangan itu.

‘Kerjanya ditunda dulu, Businessman.’ Kanaya dengan tegas menutup laptop di hadapan Kairo. ‘Kamu harus bed rest, remember?’

Kairo pasrah saja begitu gadis itu membawa laptop dan berkas-berkas yang sedang ia kerjakan menjauh dari pandangan matanya. Ia tersenyum kecil, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pagi ini. Mimpi apa ia semalam? Bisa dikatakan, ini pertama kalinya mereka bertemu dengan benar-benar damai. Bahkan saat mereka backstreet dulu, Kanaya tidak pernah seperhatian ini padanya. Tunggu, apa mungkn aku justru sedang bermimpi?

Kanaya muncul kembali dengan sepiring melon di tangannya. Kairo masih berpikir ia sedang bermimpi saat Kanaya menyodorkan potongan melon itu ke mulutnya. Bahkan gadis itu tersenyum saat Kairo mulai mengunyah buah itu. Rasanya manis. Hei, aku bisa merasakannya! Berarti aku memang tidak sedang bermimpi.

Di luar sana, entah berapa banyak rumah yang sudah terendam. Entah apa yang sedang ditangisi langit, tapi sepertinya hujan masih enggan berhenti.  

‘Gimana sekarang? Apa kamu merasa lebih baik?’ tanya Kanaya setelah mencuci piring.

‘Ya, sedikit lebih baik. Thanks, ya.’

‘Udah hampir siang nih. Aku harus balik ke flat-ku. Telepon aku kalau Dokter kamu belum datang. Biar aku bawain lunch. Aku pergi dulu.

Baru beberapa langkah Kanaya pergi, tiba-tiba ia terhenti oleh sentakan di tangannya. Kairo mencekal pergelangan tangan Kanaya dengan cepat. Sebelah alis Kanaya naik. Ia bingung dengan ekspresi wajah Kairo. Entah karena pusing di kepalanya atau hal lain, laki-laki itu tampak amat kesakitan.

‘Jangan pergi,’ ucap Kairo lirih. ‘Naya, kayaknya harus kuralat kata-kataku tempo hari. Sekarang aku gak bisa lagi merelakan kamu dengan laki-laki lain. Sekalipun itu Dika, sahabatku sendiri. Aku gak bisa sembunyikan ini lagi. Hidupku gak pernah baik-baik saja tanpa kamu. Aku butuh kamu, Kanaya.'

Kanaya mundur selangkah. Seketika ia menarik tangannya dari genggaman Kairo. Sungguh ia tidak menduga Kairo akan mengatakan itu. Yang lebih mengejutkan Kanaya, kata-kata Kairo mengantarnya pada kenyataan bahwa dirinya sekarang memiliki Dika. Beberapa jam terakhir ini, ia seakan lupa dengan kenyataan. Kanaya seakan sedang bermimpi. Dunia hanya miliknya dan Kairo. Ia lupa memikirkan Dika.

‘Nggak. Itu gak mungkin. Benar, aku sudah bersama Dika. Aku gak bisa. Aku tetap harus pergi. Benar,’ Kanaya meracau tidak karuan. Buru-buru ia berbalik meninggalkan Kairo.

‘Berhenti di situ, Kanaya. Atau..’ Kairo mengatupkan rahangnya, menahan rasa sakit di kepala yang muncul kembali. ‘Atau aku yang akan menghentikan kamu.’

Kanaya terus saja berjalan dengan limbung. Air matanya mulai menetes tanpa bisa dihentikan. Mendapati kata-katanya tidak digubris, Kairo segera mencabut selang infus di tangannya. Botol infus jatuh seiring mengalirnya darah dari tangan Kairo. Laki-laki itu mengejar Kanaya dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya dengan satu sentakan.

Inilah yang Kanaya takutkan. Inilah yang membuat Kanaya tidak siap bertemu dengan Kairo. Nyatanya satu sentakan itu berhasil membuat pertahanan Kanaya roboh. Kanaya bisa mendengar hatinya menjerit. Jeritannya mampu merobek dadanya jika terus ia redam sendiri. Yes, I’m still in love with him.

***

Kanaya berlari keluar dari apartemen Kairo bak orang kesetanan. Air matanya mengalir deras bagai hujan di luar sana. Sementara di belakangnya, terseok-seok, Kairo terus berusaha mengejarnya. Sakit di kepalanya makin menjadi-jadi. Berulang kali ia mengutuki diri sendiri yang lemah di saat genting seperti ini.

‘Kanaya!’ Kairo terus memanggil gadis itu. Meskipun ia tahu, sekeras apapun ia memanggil, gadis itu tidak akan berhenti.

Beberapa meter di depannya, Kanaya tinggal menunggu pintu lift terbuka. Kairo mengatupkan rahang keras-keras dan segera berlari menyusulnya. Terlambat, pintu lift sudah tertutup rapat. Kanaya sudah masuk ke dalam lift begitu Kairo hanya tinggal beberapa langkah lagi darinya. 

Tak lama dari itu, pintu lift kembali terbuka. Kanaya kembali naik ke atas saat hatinya merasakan sesuatu yang janggal. Dan benar saja, begitu pintu lift terbuka, Kairo tergeletak tak sadarkan diri di tempat ia meninggalkannya.

***

Dua hari setelahnya..

Pent house Kairo mendadak ramai. Bukan karena grup marawis sedang latihan di sana. Bukan pula karena supporter Manchester United sedang nonton bareng di pent house itu. Melainkan karena kehadiran Dika. Ada-ada saja hal gila yang ia lakukan. Dari mengajak Kairo membuat video lipsync lagu JKT48, menjodoh-jodohkan Kairo dengan sekretarisnya, sampai mengerjai petugas delivery service.

‘Halo, mekdi. Saya pesan dada ukuran gede. Harus betina ya. Soalnya buat temen saya nih. Kasihan, udah ngejomblo sekian tahun..’

‘Halo, mekdi. Pesan ayam ya… Dada atau paha? Ah, tangan aja deh, Mbak. Buat pukpuk-in temen saya yang lagi galau..’

‘Halo, mekdi. Saya yang tadi nih, Mbak. Mau nanya, Mbak jomblo apa enggak? Ya kali aja cocok buat jadi istri temen saya. Kasian..’

Tut! Telepon dimatikan.

Kairo cekikikan melihat tingkah sahabatnya itu. Dika selalu membawa kehebohan dimanapun ia berada. Sejak kecil, memang Dika penghibur yang ampuh jika hati Kairo sedang tidak enak. Fisik Kairo berangsur membaik, namun tidak dengan hatinya. Kanaya tidak lagi bicara dengan dirinya. Kini gadis itulah yang pandai membolak-balikkan hati orang.

‘Ikut gua latihan tembak aja. Daripada lu bengong kayak patung senayan gitu,’ ujar Dika akhirnya, setelah bosan membuat kehebohan.

‘Gak ah, suntuk. Males gerak.’

‘Yah. Pantes aja lu sakit-sakitan. Aktivitas lu padet, tapi jarang olahraga. Ayolah! You need some fun. Biar suntuk lu itu hilang.’

Kairo menghembuskan nafas berat. Debat dengan Dika tidak akan berhasil. Kairo tentu tidak lupa sifat Dika yang tidak akan suka dengan penolakan. ‘Oke deh, gua ganti baju dulu.’

Dika kemudian menyibukkan diri dengan acara tivi, sementara Kairo naik ke lantai dua untuk berganti pakaian. Tiba-tiba mata Dika menangkap sesuatu yang berkilauan di bawah meja. Tanpa pikir panjang, Dika segera memungut benda itu dan memerhatikannya.

Di kamarnya, Kairo panik begitu menyadari ia tidak lagi memakai kalung yang mengikat cincin titanium kesayangannya. Ia langsung mengobrak-abrik kamarnya mencari dimana kalung itu. Kalungnya tentu tidak penting. Tapi cincin itu tidak boleh hilang! Bagaimana ini? Kairo makin panik ketika tidak berhasil menemukan kalung itu di segala penjuru kamar. Otaknya tidak bisa mengingat kapan dan dimana kalung itu lepas dari lehernya. Atau mungkin terlepas saat ia mandi? Atau saat sedang bergulat dengan Dika tadi?

Buru-buru Kairo menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Dan langkahnya terhenti saat melihat Dika duduk diam di sofa. Cincin itu tergeletak begitu saja di atas meja. Mungkinkah Dika telah melihat tulisannya?

Belum sempat Kairo buka suara, tiba-tiba… BUK! Kairo limbung dihantam tinju keras dari Dika. ‘Anjrit lu, Yok!'



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar