Seketika Kanaya merosot ke lantai setelah Dika menutup telepon. Pikirannya
mendadak ruwet bukan kepalang. Jadi selama setahun terakhir ini, dirinya
tinggal di gedung yang sama dengan Kairo? Jadi, teori konspirasi alam itu.. bisa dibilang benar? Kanaya masih ingat betul apa alasan dirinya pindah ke gedung ini. Ia
memilih untuk tidak mencari dan tidak ditemukan. Ia ingin memupuskan harapannya
tentang Kairo. Dirinya ingin menghilang tapi ternyata ia sendiri justru sedang
mendekatkan diri dengan laki-laki itu.
Sekarang apa yang harus Kanaya lakukan? Ia tidak yakin mampu bertemu
dengan Kairo hari ini. Ia tidak yakin dirinya cukup kuat untuk menatap wajah
itu. Dengan tangan yang masih lemas, ia men-dial
nomor ponsel Kairo yang baru dikirimkan Dika. Setidaknya, Kanaya harus memastikan
bahwa Kairo baik-baik saja. Kanaya sendiri pernah mengidap tipus. Dan berdasarkan
pengalamannya, mengidap tipus, apalagi tidak ada yang merawat, tidak bisa dikatakan ringan.
Satu kali, hanya nada tunggu yang Kanaya dengar. Diliriknya jam kecil
di sudut layar ponselnya. Sudah pukul delapan pagi. Mungkinkah Kairo belum
bangun tidur? Kanaya men-dial nomor
Kairo sekali lagi. Untuk kedua kalinya, telinga Kanaya kembali hanya menangkap
nada tunggu.
Tut tut tut tut tut tut tut..Nomor yang anda tuju untuk
sementara tidak bisa dihubungi.. bla bla bla. Tiga kali, empat kali, lima
kali, semuanya nihil. Nada tunggu. Tidak dijawab. Kanaya sampai kesal mendengar
suara operator provider itu. Deg! Jantung Kanaya mendadak berdegup kencang. Mungkinkah.. terjadi sesuatu pada Kairo?
Tanpa pikir panjang, dengan kepanikan maksimal, Kanaya segera berlari
menuju lift. Sialnya, semua lift sedang digunakan. Kanaya, dengan kepanikan
yang makin mengubun-ubun segera menuju tangga darurat. Ia naik sampai lima
lantai dengan tergesa-gesa. Dua anak tangga sekali loncat.
Kanaya memencet bel dengan buru-buru begitu sampai di depan pintu pent house Kairo. Tidak puas dengan bel,
ia menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil nama Kairo. Tapi tidak juga ada
jawaban. Sekali lagi ia mengambil ponsel dan men-dial nomor ponsel Kairo. Terdengar ponsel Kairo berdering-dering
namun tidak ada yang menjawab.
‘Astaga! Bagaimana ini?’ Kanaya mondar-mandir di depan pintu
kondominium itu.
Makin panik, ia kembali turun melalui tangga darurat menuju lantai
satu untuk memanggil petugas keamanan. Kanaya
tidak mampu berpikir jernih. Ia dilanda panik sepanik-paniknya orang panik. Ditariknya
seorang petugas untuk membantu dirinya membuka pintu apartemen Kairo dengan
paksa.
‘Maaf, mbak. Tapi itu melanggar privasi penghuni..’
‘Saya yang bertanggung jawab! Ini darurat, Pak! Penghuni apartemen itu
sedang sakit dan dia gak jawab telepon saya! Saya takut terjadi apa-apa dengan
dia! Tolong, Pak! Saya mohon!’ ujar
Kanaya sedikit berteriak.
‘Tapi ini menyalahi etika kerja saya, Mbak. Saya tidak bisa..’
‘PAK!’ Kanaya membentak, tangannya mencengkram erat lengan baju petugas itu. ‘INI MENYANGKUT
NYAWA SESEORANG! GIMANA BISA BAPAK MASIH MENTINGIN ETIKA KERJA!’
Entah takut diserang atau pasrah, petugas keamanan itu akhirnya menuruti
kemauan Kanaya. Bersama Kanaya, ia naik ke atas untuk membuka paksa pintu
apartemen Kairo. Kanaya langsung menerobos masuk begitu pintu berhasil dibuka.
Ia membuka satu per satu pintu yang ada di pent
house itu untuk mencari keberadaan Kairo. Namun Kanaya tidak menemukan Kairo di
lantai satu. Masih belum putus asa, Kanaya berlari naik ke lantai dua pent house tersebut dan berhasil
menemukan Kairo sedang berbaring di atas tempat tidur.
‘Kairo! Bangun! Kamu bisa dengar aku? Kairo!’ Kanaya mengguncang-guncang
tubuh Kairo. Tidak seperti Kairo yang Kanaya kenal, laki-laki yang tengah
terbaring itu tampak begitu pucat dan lemah. Selang infus yang berjejalan di
tangannya seperti mempertegas kondisi Kairo saat ini.
Terkejut dengan ribut-ribut itu, Kairo buru-buru bangkit dari
posisinya berbaring. Hal itu tak urung membuat sentakan hebat di kepalanya. Ia
meremas rambutnya sendiri sambil berusaha melihat dengan jelas apa yang
terjadi. ‘Kanaya? Kamu..’
Gadis itu merosot di lantai. Ia sedikit lega meski nafasnya berhembus keras
tak beraturan. Kaus dan wajahnya basah oleh keringat. Rambutnya berantakan,
bahkan gadis itu tidak mengenakan alas kaki. Kairo kaget setengah mati begitu
melihat darah berceceran di lantai kondominiumnya. ‘Astaga! Kaki kamu berdarah,
Naya!’
‘Apa terjadi sesuatu?’ tanya petugas keamanan yang tadi mendobrak
pintu apartemen Kairo.
Kairo masih belum ngeh dengan apa yang terjadi. Namun ia segera
memastikan pada petugas itu kalau semuanya baik-baik saja. Ia mempersilakan
petugas itu untuk meninggalkan apartemennya. Toh nanti ia bisa meminta
penjelasan pada Kanaya. Kairo mengalihkan tatapannya ke Kanaya begitu petugas
keamanan itu enyah. Gadis itu masih bergeming di lantai.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Kairo menurunkan botol infusnya lalu
berjongkok di hadapan Kanaya. Ditariknya beberapa lembar tisu dan dibasahinya
dengan air dalam gelas di sisi tempat tidurnya. Ia meraih kaki Kanaya dan
membersihkan luka di telapak kaki gadis itu. Mulut Kairo sudah gatal ingin
bertanya. Apa yang membawa gadis itu datang kemari?
‘Kamu baik-baik aja?’ tanya Kairo pelan. ‘Kaki kamu sampai berdarah-darah
gini.’
Kanaya mengangguk lesu. Dengan cepat gadis itu menghapus air yang baru
saja meluncur dari sudut matanya. ‘Kamu sendiri? Kudengar kamu sakit? Kenapa
gak jawab teleponku?’
‘Aha, jadi kamu yang telepon. Maaf, ponselku tertinggal di lantai
bawah. Tadi kepalaku pusing banget, makanya aku gak bisa jawab telepon.’
Tiba-tiba Kairo mengernyitkan alisnya. ‘Apa aku bikin kamu panik?’
Tangis Kanaya langsung pecah tanpa bisa ditahan lagi. Ia menangis tersedu-sedu
sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak bisa dipungkiri, tadi
Kanaya panik sekali. Ia sampai lupa pakai alas kaki. Atau mungkin ia tadi sudah
pakai namun terlepas saat berlari naik-turun tangga. Ia juga tidak tahu
persis apa yang menyebabkan kakinya luka. Ia sungguh khawatir kalau-kalau terjadi
sesuatu yang buruk pada Kairo.
Sementara Kairo memandangi Kanaya dengan heran. Berkali-kali ia
menggaruk bagian kepalanya yang tidak gatal. Ada apa sih ini? Tiba-tiba saja gadis itu muncul bak habis dikejar
maling, merusak pintu apartemennya, lalu kini menangis tersedu-sedu di
hadapannya. Kairo mencoba mengingat-ingat, apa ia melakukan sesuatu yang salah
baru-baru ini? Seingat Kairo, terakhir kali berkomunikasi, memang hubungan mereka
tidak terlalu baik. Tapi tidak bisa dikatakan buruk juga.
‘Naya, kamu kenapa?’ Kairo menyentuh pundak Kanaya takut-takut. ‘Aku
bikin salah ya?’
‘Huhuhuhuhuhu,’ Kanaya masih menangis tersedu-sedu di balik telapak
tangannya. Kairo memijat dagunya sendiri dengan bingung. Gue harus ngapain neeeeeeeeh? Dengan hati-hati, ia menarik pelan
kepala gadis itu dan menyandarkannya di dadanya sendiri. Ditepuknya pelan
punggung gadis itu untuk membuat tangisnya reda. Ia tahu jurus itu dari Adel. Dia bilang, memeluk bisa meredakan stres dan kesedihan seseorang.
‘Udah dong nangisnya,’ Kairo memejamkan mata menahan pusing di
kepalanya yang makin menjadi-jadi. ‘Maaf deh udah bikin kamu panik. Yang
penting kan aku gak kenapa-kenapa.’
Kanaya masih ngotot ingin menangis. Kali ini ia menangisi dirinya
sendiri. Malu sekali ia saat ini. Kenapa
aku sampai begitu panik siiiiiiiiih? Kenapa juga aku harus menangis di depan Kairo?
Sekarang aku harus bagaimana menghadapi dia? Ya Tuhan! Tenggelamkan aku dalam
banjir di bawah sana!
‘Kamu.. –kamu nangis karena malu ya?’
Hah? Kanaya kontan menyingkirkan tangan dari wajahnya. Bagaimana dia bisa tahu? Aduh, matilah aku!
Kairo tersenyum tipis. Dielusnya kepala gadis itu dengan gemas.
‘Naya.. Naya.. Ada-ada aja kamu ini.’
Laki-laki itu kembali menyandarkan kepala di tepi tempat tidurnya. Ia
memejamkan mata untuk meredakan pusing di kepalanya yang makin gila.
Air mata Kanaya kembali menetes begitu melihat siluet di depannya ini.
Ia pernah begitu mengagumi betapa indah bentuk hidung itu. Betapa dulu ia
sangat memimpikan berada di sisi laki-laki ini. Ada semacam jarum yang menusuk
hatinya begitu melihat wajah Kairo yang terpejam. Penuh kepedihan. ‘Maafkan
aku, Kai..’
Alis Kairo berkerut mendengar suara Kanaya yang bergetar. Namun ia
masih belum mampu membuka mata. ‘Untuk?’
Kanaya menarik napas panjang. Buru-buru ia menghapus tetes demi tetes
air yang mengalir deras dari kedua sudut matanya. ‘Untuk semuanya. Untuk empat
tahun lalu. Untuk telah masuk ke kehidupan kamu dulu. Untuk semua hal sulit yang
kamu harus hadapi karena aku. Harusnya aku gak..’
‘Jadi Brazil atau Adellaide nih yang cerita-cerita ke kamu?’ Kairo
memotong kata-kata Naya cepat. Suasana mendadak senyap. Hanya suara hujan yang
terdengar sayup-sayup dari luar sana. Kairo tersenyum dingin, tidak suka.
Kanaya hanya diam. Mendadak ia merasa tidak nyaman. Kairo seperti
enggan membahas masalah itu dengan dirinya. Laki-laki itu bahkan masih enggan
membuka mata. Suasana jadi dingin dan menusuk.
‘Kamu udah minum obat pagi ini?’ Kanaya mencoba mencairkan suasana.
Kairo memijat keningnya. ‘Tunggu pusingku reda. Obatku harus diminum
setelah makan. Kepalaku terlalu pusing bahkan untuk sekedar turun dari tempat
tidur. Ah, kemana dokter pribadiku? Harusnya dia sudah datang.’
‘Kalau kamu tunggu dokter, mungkin kamu gak akan minum obat sampai
sore nanti. Hujan deras sekali dari semalam. Di luar sudah macam Samudera
Hindia. Aku aja sampai bolos kerja. Kubuatkan sarapan saja, oke?’
***
Kanaya tinggal menunggu cream
soup buatannya selesai dihaluskan. Makanan standar untuk orang sakit.
Setidaknya sup buatan rumah sakit tidak akan seenak sup buatannya ini.
Ia terpaksa membawa bahan makanan dari dapurnya sendiri. Tidak heran
Kairo sampai jatuh sakit begini. Isi kulkas dan lemarinya hanya makanan instan,
frozen food dan berbagai jenis soft
drink. Bahkan bungkus junk food
memenuhi tempat sampah rumah Kairo. Bisa ditebak, laki-laki ini pelanggan tetap
delivery service restoran junk food di kota ini.
‘Lihat ini? Gak heran kalau kamu sampai sakit.’ Tempat sampah itu
diangkat Kanaya tinggi-tinggi. ‘Junk
food, junk food, dan junk food. Bukankah
di lantai dasar ada food court?’
Kairo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menelungkup di meja makan
dengan lesu. Pusing di kepalanya belum hilang, tapi ia ngotot mengikuti Kanaya
sampai dapur. ‘Kurasa kamu lebih cocok jadi adiknya Brazil. Bahkan kata-kata
kalian sama persis. Hih!’
‘Kurasa semua orang yang lihat isi kulkas dan tempat sampah kamu bakal
bilang hal yang sama.’
Aroma cream soup yang baru
saja diletakkan Kanaya di hadapannya membuat Kairo menegakkan kepala. Ia
menatap makanan kental berwarna kuning pastel itu dengan heran. ‘Apa ini?’
‘Makanan orang sakit gak pernah selezat ini. Habiskan!’
***
Deru mesin penghisap debu dan bunyi hujan berlomba-lomba memenuhi pent house itu. Kanaya tidak tahan
melihat rumah itu penuh debu dan berantakan. Meskipun Kairo sudah bilang bahwa
ia membayar petugas kebersihan setiap dua hari sekali.
Kairo menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya. Dari sofa bed di
depan televisi, sesekali ia mencuri pandang, memerhatikan gadis yang tengah
bergerak dengan luwes di sekitarnya. Wajahnya tampak begitu serius membersihkan setiap sudut berdebu di apartemen Kairo. Rambut depannya lepek dibasahi keringat. Matanya
yang besar bergerak sana-sini meneliti apakah ada bagian kotor yang luput dari
pandangannya. Dan.. Kairo hampir lupa bernafas karena pemandangan itu.
‘Kerjanya ditunda dulu, Businessman.’
Kanaya dengan tegas menutup laptop di hadapan Kairo. ‘Kamu harus bed rest, remember?’
Kairo pasrah saja begitu gadis itu membawa laptop dan berkas-berkas yang
sedang ia kerjakan menjauh dari pandangan matanya. Ia tersenyum kecil, masih
tidak percaya dengan apa yang terjadi pagi ini. Mimpi apa ia semalam? Bisa dikatakan,
ini pertama kalinya mereka bertemu dengan benar-benar damai. Bahkan saat mereka
backstreet dulu, Kanaya tidak pernah
seperhatian ini padanya. Tunggu, apa
mungkn aku justru sedang bermimpi?
Kanaya muncul kembali dengan sepiring melon di tangannya. Kairo masih
berpikir ia sedang bermimpi saat Kanaya menyodorkan potongan melon itu ke mulutnya.
Bahkan gadis itu tersenyum saat Kairo mulai mengunyah buah itu. Rasanya manis. Hei, aku bisa merasakannya! Berarti
aku memang tidak sedang bermimpi.
Di luar sana, entah berapa banyak rumah yang sudah terendam. Entah apa
yang sedang ditangisi langit, tapi sepertinya hujan masih enggan berhenti.
‘Gimana sekarang? Apa kamu merasa lebih baik?’ tanya Kanaya setelah
mencuci piring.
‘Ya, sedikit lebih baik. Thanks,
ya.’
‘Udah hampir siang nih. Aku harus balik ke flat-ku. Telepon aku kalau Dokter kamu belum datang. Biar aku
bawain lunch. Aku pergi dulu.’
Baru beberapa langkah Kanaya pergi, tiba-tiba ia terhenti oleh
sentakan di tangannya. Kairo mencekal pergelangan tangan Kanaya dengan cepat.
Sebelah alis Kanaya naik. Ia bingung dengan ekspresi wajah Kairo. Entah karena
pusing di kepalanya atau hal lain, laki-laki itu tampak amat kesakitan.
‘Jangan pergi,’ ucap Kairo lirih. ‘Naya, kayaknya harus kuralat
kata-kataku tempo hari. Sekarang aku gak bisa lagi merelakan kamu dengan
laki-laki lain. Sekalipun itu Dika, sahabatku sendiri. Aku gak bisa sembunyikan
ini lagi. Hidupku gak pernah baik-baik saja tanpa kamu. Aku butuh kamu, Kanaya.'
Kanaya mundur selangkah. Seketika ia menarik tangannya dari genggaman
Kairo. Sungguh ia tidak menduga Kairo akan mengatakan itu. Yang lebih
mengejutkan Kanaya, kata-kata Kairo mengantarnya pada kenyataan bahwa dirinya
sekarang memiliki Dika. Beberapa jam terakhir ini, ia seakan lupa dengan
kenyataan. Kanaya seakan sedang bermimpi. Dunia hanya miliknya dan Kairo. Ia lupa
memikirkan Dika.
‘Nggak. Itu gak mungkin. Benar, aku sudah bersama Dika. Aku gak bisa. Aku
tetap harus pergi. Benar,’ Kanaya meracau tidak karuan. Buru-buru ia berbalik
meninggalkan Kairo.
‘Berhenti di situ, Kanaya. Atau..’ Kairo mengatupkan rahangnya,
menahan rasa sakit di kepala yang muncul kembali. ‘Atau aku yang akan
menghentikan kamu.’
Kanaya terus saja berjalan dengan limbung. Air matanya mulai menetes
tanpa bisa dihentikan. Mendapati kata-katanya tidak digubris, Kairo segera mencabut
selang infus di tangannya. Botol infus jatuh seiring mengalirnya darah dari
tangan Kairo. Laki-laki itu mengejar Kanaya dan menarik gadis itu ke dalam
pelukannya dengan satu sentakan.
Inilah yang Kanaya takutkan. Inilah yang membuat Kanaya tidak siap
bertemu dengan Kairo. Nyatanya satu sentakan itu berhasil membuat pertahanan
Kanaya roboh. Kanaya bisa mendengar hatinya menjerit. Jeritannya mampu merobek
dadanya jika terus ia redam sendiri. Yes, I’m
still in love with him.
***
Kanaya berlari keluar dari apartemen Kairo bak orang kesetanan. Air
matanya mengalir deras bagai hujan di luar sana. Sementara di belakangnya,
terseok-seok, Kairo terus berusaha mengejarnya. Sakit di kepalanya makin
menjadi-jadi. Berulang kali ia mengutuki diri sendiri yang lemah di saat
genting seperti ini.
‘Kanaya!’ Kairo terus memanggil gadis itu. Meskipun ia tahu, sekeras
apapun ia memanggil, gadis itu tidak akan berhenti.
Beberapa meter di depannya, Kanaya tinggal menunggu pintu lift
terbuka. Kairo mengatupkan rahang keras-keras dan segera berlari menyusulnya. Terlambat, pintu lift sudah tertutup rapat. Kanaya sudah masuk ke dalam lift begitu Kairo hanya tinggal beberapa langkah
lagi darinya.
Tak lama dari itu, pintu lift kembali terbuka. Kanaya kembali naik ke atas saat hatinya merasakan sesuatu yang janggal. Dan benar saja, begitu pintu lift terbuka, Kairo tergeletak tak sadarkan diri di tempat ia meninggalkannya.
***
Dua hari setelahnya..
Pent house Kairo mendadak
ramai. Bukan karena grup marawis sedang latihan di sana. Bukan pula karena supporter Manchester United sedang
nonton bareng di pent house itu. Melainkan
karena kehadiran Dika. Ada-ada saja hal gila yang ia lakukan. Dari mengajak
Kairo membuat video lipsync lagu JKT48,
menjodoh-jodohkan Kairo dengan sekretarisnya, sampai mengerjai petugas delivery service.
‘Halo, mekdi. Saya pesan dada ukuran gede. Harus betina ya. Soalnya buat
temen saya nih. Kasihan, udah ngejomblo sekian tahun..’
‘Halo, mekdi. Pesan ayam ya… Dada atau paha? Ah, tangan aja deh, Mbak.
Buat pukpuk-in temen saya yang lagi galau..’
‘Halo, mekdi. Saya yang tadi nih, Mbak. Mau nanya, Mbak jomblo apa
enggak? Ya kali aja cocok buat jadi istri temen saya. Kasian..’
Tut! Telepon dimatikan.
Kairo cekikikan melihat tingkah sahabatnya itu. Dika selalu membawa
kehebohan dimanapun ia berada. Sejak kecil, memang Dika penghibur yang ampuh
jika hati Kairo sedang tidak enak. Fisik Kairo berangsur membaik, namun tidak
dengan hatinya. Kanaya tidak lagi bicara dengan dirinya. Kini gadis itulah yang
pandai membolak-balikkan hati orang.
‘Ikut gua latihan tembak aja. Daripada lu bengong kayak patung senayan
gitu,’ ujar Dika akhirnya, setelah bosan membuat kehebohan.
‘Gak ah, suntuk. Males gerak.’
‘Yah. Pantes aja lu
sakit-sakitan. Aktivitas lu padet, tapi jarang olahraga. Ayolah! You need some fun. Biar suntuk lu itu
hilang.’
Kairo menghembuskan nafas berat. Debat dengan Dika tidak akan berhasil. Kairo tentu tidak lupa sifat Dika yang tidak akan suka dengan penolakan. ‘Oke deh, gua ganti baju dulu.’
Dika kemudian menyibukkan diri dengan acara tivi, sementara Kairo naik
ke lantai dua untuk berganti pakaian. Tiba-tiba mata Dika menangkap sesuatu
yang berkilauan di bawah meja. Tanpa pikir panjang, Dika segera memungut benda
itu dan memerhatikannya.
Di kamarnya, Kairo panik begitu menyadari ia tidak lagi memakai kalung
yang mengikat cincin titanium kesayangannya. Ia langsung mengobrak-abrik kamarnya
mencari dimana kalung itu. Kalungnya tentu tidak penting. Tapi cincin itu tidak
boleh hilang! Bagaimana ini? Kairo makin panik ketika tidak berhasil menemukan
kalung itu di segala penjuru kamar. Otaknya tidak bisa mengingat kapan dan
dimana kalung itu lepas dari lehernya. Atau mungkin terlepas
saat ia mandi? Atau saat sedang bergulat dengan Dika tadi?
Buru-buru Kairo menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Dan langkahnya
terhenti saat melihat Dika duduk diam di sofa. Cincin itu tergeletak begitu
saja di atas meja. Mungkinkah Dika telah melihat tulisannya?
Belum sempat Kairo buka suara, tiba-tiba… BUK! Kairo limbung dihantam
tinju keras dari Dika. ‘Anjrit lu, Yok!'
0 komentar:
Posting Komentar