SYALALALA. Begitulah mungkin
nyanyian hati Raisa siang ini. Ia nampak mantap duduk di sebelah kursi kemudi
mobil Glenn. Mobil Ayah Glenn, tepatnya. Untuk kali ini, Raisa mensyukuri fakta
bahwa Mia, sahabatnya itu, sangat malas pulang ke rumah. Untuk pertama kalinya
pula Raisa mencintai Honda Jazz Mia yang bak kosan berjalan. Hampir setengah
isi lemari pakaian dan rak sepatu Mia sudah berpindah tempat ke mobilnya. Tak
sulit bagi Raisa untuk menggondol selembar kaos dan celana jins untuk dipakai
nge-date bareng Glenn siang ini.
Entah kenapa Raisa semakin yakin
bahwa Glenn lah the one. Tapi tidak
begitu dengan Mia. Raisa kembali mengingat percakapannya dengan Mia saat hendak
meminjam bajunya tadi.
‘Elu rela bohong ke nyokap demi
jalan sama Glenn? Seorang Raisa yang patuh Mama banget itu?’ teriak Mia syok,
lengkap dengan mata bulat membesar dan nada bicara naik satu oktaf.
‘Iyap! Hehehe abis gua kayaknya
gak bisa nolak gitu. Tau sendiri kalo gua bilang nyokap, gak bakal dibolehin, ‘
sahut Raisa santai sambil memilah-milah tumpukan baju milik Mia. ‘Yang ini
bagus, masih ada mereknya lagi. Gua pinjem yang ini ya? Ya? Ya?’ Raisa
menjerengkan blus polka dot biru muda di depan hidung Mia.
Mia menepis baju itu. Membuat
alis Raisa mengernyit. ‘Gua perhatiin belakangan ini lu mendadak ngebet banget
sama Glenn. Elu emang beneran naksiiiiirrr gobang gosir sama dia atau..’
‘Atau apa?’
‘Atau elu sebenernya lagi kebelet
move on dari seseorang, atau untuk
nunjukin ke seseorang kalo elu udah move
on, atau elu lagi cari pelarian untuk melupakan seseorang, atau..’
‘Ssssttt,’ buru-buru Raisa
membekap mulut Mia dengan kaus di tangannya. ‘Jangan mulai lagi dengan teori
sotoy elu yang gak pernah bener itu. Udah ah, gua pinjem baju sama jinsnya.
Raisa yang cantik ini mau jalan dulu sama Glenn,’ sambungnya dengan senyum
sumringah, seperti hendak dinikahi Pangeran Inggris.
‘Jalan ke mana?’
Raisa mendelik ke arah Mia. ‘Dih
kepo, mau tauuuuu aja.’
***
Raisa bengong, menatap kosong
layar besar itu sambil mendekap kantong popcorn karamel yang sisa seperempatnya
saja. Film baru berjalan tak kurang dari lima belas menit dan dirinya sudah
merasa terasingkan, terdampar di sebuah kursi empuk dan ‘terpaksa’ menonton
film action yang bukan favoritnya banget. Raisa benci film action. Tadinya ia
berharap Glenn mengajaknya nonton film berbau romansa, atau setidaknya komedi.
Bukan film pertumpahan darah seperti ini. Aktornya yang ganteng pun tidak
menolong kebosanan yang menghinggapi dirinya.
Sejak tadi ia dilema. Ia gak suka
filmnya, tapi kalau bilang gak suka sementara Glenn terlihat begitu antusias,
Raisa takut dicap sebagai cewek ‘cerewet’ dan mengacaukan first date mereka ini. Begitu pula ketika hendak membeli popcorn.
'Yang enak tuh popcorn karamel.
Kita pesen itu aja ya?’
‘Oh.. eh.. iya.’ Padahal favorit
Raisa adalah rasa keju.
Samar-samar hidung Raisa
menangkap sebuah aroma yang tidak asing. Makin lama aromanya makin jelas
seiring dengan grasak-grusuk dan cekakak-cekikik dari arah kiri. Hingga
akhirnya Raisa merasa mengenali sumber aroma ketika dua sejoli menghempaskan
bokong di dua bangku kosong persis di sebelah kiri Raisa.
Dua orang itu tampak cuek dengan
keributan yang mereka ciptakan, lengkap dengan seabreg makanan (dua kantong
popcorn yang mengeluarkan aroma keju) dan minuman di pangkuan masing-masing. Sedang
asyik memerhatikan, tau-tau si cowok mendapati Raisa.
Cowok itu terdiam sejenak, lalu
membuang muka, seperti tidak melihat apa-apa. Membuat si cewek pasangannya terlihat
keheranan dan ikut menoleh.
‘Raisa!!!’ ujarnya heboh. Sadar
seisi teater mendelik ke arahnya, si cewek memelankan suaranya. ‘Elu nonton di
sini juga?’
Raisa nyengir dengan tampang
‘menurut lo’ yang kentara sekali. Padahal tadi ia sudah merahasiakan akan pergi
ke mana dengan Glenn. Malang tak dapat ditolak, Untung adalah nama tukang
siomay keliling di komplek tempat tinggal Raisa. Ternyata Jakarta kurang cukup besar
hingga dirinya ‘accidentally’ ketemu
Mia yang sedang nge-date dengan
tunangannya.
‘Lho, Mia di sini juga?’ ujar
Glenn yang ternyata memerhatikan. ‘Elu sama.. si anak baru itu. Kalian pacaran
yaaa?’
‘Yeee.. orang nonton berdua
dibilang pacaran. Elu sama Raisa aja gak pacaran kan?’ tandas Mia cuek.
Glenn hanya menaikkan bahu, lalu
kembali fokus menonton film. Cuek sekali, pikir Raisa.
‘Mau popcorn?’ Mia menyodorkan
kantong popcorn miliknya persis di depan hidung Raisa. ‘Favorit elu nih.
‘Gue masih punya, ‘ Raisa
menggoyang-goyang kantong popcorn miliknya.
‘Itu kan yang karamel. Keju nih
favorit elu. Gak usah gengsi deh.’
‘Mia, kalo orangnya gak mau ya
udah,’ suara Kevin menyedot kembali perhatian Mia.
Perut Raisa terasa mencelos saat
mendengar kalimat Kevin. Untuk pertama kalinya Kevin memakai istilah ‘orangnya’
untuk menyebut dirinya. Bikin Raisa merasa benar-benar asing dengan orang itu. Tiba-tiba
Raisa ingin menampar diri sendiri. Kenapa
sekarang aku ngerasa aneh? Harusnya aku seneng kalo dia pura-pura asing! Kamu
aneh, Raisa!
***
Kacau sudah first date Raisa dengan Glenn kali ini. Tiba-tiba, tanpa meminta
pendapat Raisa, Glenn mengajak Mia dan Kevin gabung dengan mereka. Semacam double date gitu. Padahal tadinya Raisa
ingin dating kali ini, dia bisa
ngobrol banyak dengan Glenn, saling tahu lebih banyak tentang satu sama lain. Tapi,
dating mereka malah diisi dengan
suara cempreng Mia yang selalu bercerita dengan heboh, dan selalu doyan mendominasi
acara.
Wajah Raisa ditekuk sempurna
ketika mereka berempat sama-sama menuju tempat parkir. Mia dan Kevin berjalan
tiga meter di depannya. Si perempuan berjalan sambil berjingkrak-jingkrak,
seperti habis menang lotre. Sedangkan si lelaki tampak senang sekali melihat
pola tingkahnya.
Tau-tau dari arah depan, muncul
mobil yang disetir ugal-ugalan. Bannya berdecat-decit seperti sedang berada di
lintasan drifting. Dengan sigap Kevin
menarik Mia yang berjalan dengan sembrono, hingga tubuh cewek itu menempel
padanya.
‘Kamu hati-hati dong kalau jalan.
Kalau gak kutarik, bisa ketabrak kamu.’
‘Siap, Bos! Hehehe maaf deh,
jangan cemberut.’
Dan dua sejoli itu melanjutkan
perjalanan… dengan si cewek tak lepas lagi dari rangkulan si cowok.
***
Raisa kembali ke kamar mungilnya
dengan perut kenyang setelah menandaskan makan malam dan menuntaskan tugas
mulia mencuci piring dan membereskan meja makan. Resiko sebagai satu-satunya
anak yang tersisa di rumah ini. Pernak-pernik Belanda koleksinya yang ia
kumpulkan sejak sore masih berserakan di lantai. Raisa ingin membuang semuanya
kecuali satu, kotak musik kincir angin –hadiah ulang tahun dari Glenn. Karena
hanya benda itu yang tak ada kaitannya dengan Kevin.
Sekali lagi, Raisa membuka semua
laci di sisi tempat tidurnya. Ada satu benda yang belum ia temukan. Di laci, di
bawah tempat tidur, di atas lemari, semuanya tidak ada. Raisa lupa dimana ia
meletakkannya tiga tahun yang lalu. Ia lupa pernah memindahkannya atau mungkin
sudah membuangnya.
Ragu-ragu, Raisa membuka lemari
pakaian miliknya. Rasa-rasanya tidak mungkin benda itu disimpan di sini.
Kalaupun ada, pasti sudah terlihat ketika Raisa mengambil pakaian. Atau sudah
dibuang Mama ketika menyimpan pakaian Raisa yang sudah disetrika.
Mata Raisa meneliti rak yang
paling atas hingga yang paling bawah. Kemudian tatapannya tertumbuk pada
tumpukan kotak sepatu serta kantung-kantung berisi tas milik Raisa yang
diletakkan di rak paling bawah. Dengan sigap, Raisa mengeluarkan kotak dan
kantung itu satu per satu. Hingga akhirnya, hanya tersisa sebuah kotak pipih
berwarna pink.
Raisa meraihnya dengan tangan
sedikit gemetar, lalu membuka tutupnya. Isi kotak itu masih tersusun rapi,
tidak pernah disentuh. Warnanya masih cantik, walau samar terlihat
bintik-bintik putih, pertanda kedaluwarsa. Benda itu adalah cokelat pemberian
Kevin saat SMP. Cokelat yang tidak pernah Raisa sentuh sama sekali.
Ketukan di pintu kamarnya membuat
Raisa buru-buru menutup kotak cokelat itu. Kepala Mama muncul dari balik pintu.
‘Ya ampun, berantakannyaaaa! Abis ngapain kamu?’
‘Justru aku lagi beres-beres,
Mamaaa. Kamarku sumpek, kebanyakan barang. Mau aku buangin yang gak penting.’
‘Ya udah, ‘ Mama hendak menutup
pintu, tapi kemudian kembali menyembulkan kepalanya. ‘Hampir lupa kan. Di depan
ada temen kamu si Mia. Suruh masuk ke kamar aja atau..’
‘Suruh masuk aja deh.’
Belum sampai dua menit, kamar
Raisa sudah penuh dengan suara Mia. Cewek itu langsung menghambur ke kasur
Raisa tanpa permisi, karena kamar ini sudah semacam ‘kamar kedua’ baginya. Dari
pakaian yang ia kenakan, Raisa tau kalau Mia belum menginjakkan kaki di
rumahnya sendiri.
‘Bonyok lagi keluar negeri, gua
males pulang ke rumah.’
‘Like always,’ sahut Raisa cuek. Ia masih sedikit dongkol dengan
Mia, si pengacau first date.
‘By the way, tadi lu ngobrol banyak gak sama Glenn? Dia udah nembak?
Cerita dong!’ ujar Mia, tangannya menjamah kotak musik di sisi tempat tidur
Raisa. ‘Eh, ini kok gak ada tuasnya? Nyalainnya gimana?’
Raisa meraih kotak musik di tangan Mia, lalu
menunjukkan cara menyalakan musiknya. ‘Gak elu, gak nyokap gua, masa gak ada
yang ngerti sih nyalainnya, ‘ ujarnya sambil menyerahkan kembali kotak musik
itu ke tangan Mia. ‘Glenn nembak kata lu? Boro-boro mau nembak, I met a couple that didn’t give time for
just two of us.’
Mia menepuk jidatnya sendiri. ‘Oooooooh,
jadi elu tadi keganggu? Pantes muka lu bete gitu. Kirain karena masih laper.
Bilang kek sama gua. Jadinya kan tadi gua bisa enyah dari kalian. Hahaha,’
tutur Mia, merasa suci dari dosa.
Raisa menatap Mia dengan tampang
bete. ‘T-E-L-A-T!’
Mia cekikian melihat muka Raisa
begitu masam karena bete. ‘Nyokap lu masak apa? Gua laper nih. Masih ada
makanan gak?’ Mia sudah sangat terbiasa dengan keluarga Raisa yang sangat welcome padanya. Hingga sudah nyaman
bagai di rumah sendiri.
‘Nyokap tadi masak seafood enaaakkk banget dan sayangnya
gak bersisa. Kalo gue bikinin mie instan aja gimana?’
‘Boleh deh. Gua percaya lah sama
mi instan buatan elu,’ Mia menepuk-nepuk perutnya sendiri.
‘Dasar.. Ya udah, barang gua
jangan diganggu nih. Udah disortir!’
‘Siap Kakaaaak!’
***
Tidak sampai sepuluh menit, Raisa
kembali ke kamarnya dengan membawa nampan berisi sepiring indomi goreng dan dua
botol jus jambu.
‘Nih, dua bungkus gua masakin
buat elu,’ Raisa berkata sembari meletakkan nampan itu di meja dekat tempat
tidur.
‘Serius? Wih asik banget! Raisa
itu emang sohib gue paling spektakuler deh!’ Tanpa banyak bicara lagi, Mia
segera melahap ‘makanan spesial’ untuknya itu dengan sangat kalap. Raisa hanya
geleng-geleng kepala sembari meneguk jus jambu jatahnya.
Menit berikutnya hanya diisi
keheningan. Yang terdengar hanya dengung pendingin ruangan serta bunyi sendok
yang sesekali beradu dengan piring. Raisa hampir selesai mengepak barang-barang
yang ingin ia buang ketika Mia menandaskan makanan dan minumannya, kemudian
bersendawa keras diiringi cekikian khas Mia. Raisa mendelik ke arah Mia.
Sohibnya itu tau betul kalau Raisa paling sebal mendengar sendawa.
‘Jorok!’
‘Jorok apanya? Sendawa itu sehat,
tau!’ sahut Mia santai, masih diiringi cekikian puas. Tapi tidak sampai dua
menit kemudian, ekspresi wajah Mia mulai berubah. ‘AC lu kok tiba-tiba dingin
banget ya?’ ujarnya sambil mengusap-usap lengannya sendiri.
Raisa meraih remote AC yang
tergeletak di atas kasur. ’20 derajat kok. Gak dingin-dingin amat. Lu sakit
kali?’
‘Mungkin,’ kali ini Mia memijat
keningnya sendiri. ‘Tiba-tiba gua pusing dan perut gua gak enak banget. Rasanya
mual tapi bikin nyesek.’
Raisa beranjak mendekati Mia
ketika sohibnya itu mendadak lemas dan terlentang pasrah di kasur. Buru-buru ia
meraba kening Mia. Gak demam sama sekali, tapi telapak tangan Mia sangat
dingin.
‘Lu kenapa Mi? Jangan bikin gua
panik gini deh!’ Raisa mematikan AC lalu menggenggam tangan sohibnya itu. Badan
Mia jadi dingin, pusing, dan perutnya mual. Jangan-jangan dia.. ‘Ya ampun!
Jangan-jangan mi instan!’ Secepat kilat Raisa berlari ke dapur, membongkar
kotak sampah, dan membaca tanggal kedaluwarsa yang tertera di bungkus mi instan
yang tadi ia masak. Belum kedaluwarsa.
‘Kayaknya elu keracunan deh, Mi.
Elu makan apa aja sih tadi?’
Mia berusaha duduk sambil
memegangi kepalanya. Tangannya menunjuk sesuatu yang tergeletak di lantai.
Raisa mengikuti arah telunjuk Mia dan mendapati kotak cokelat berwarna pink itu
setengah terbuka. Dengan sigap Raisa meraih kotak cokelat itu dan syok ketika
melihat isi kotak telah raib setengah nya.
‘YA TUHAN! ELU MAKAN INI?’
Mia mengangguk pasrah.
‘INI UDAH KEDALUWARSA TIGA TAHUN
MIAAAAA! YA TUHAN! MAMAAAAAA PAPAAAA, KITA KE RUMAH SAKIT SEKARANG!’
***
Isi perut Mia sudah dikuras
ketika Kevin menerobos pintu UGD dengan wajah pucat karena panik. Mama dan Papa
Raisa segera keluar dari ruangan, mengurus administrasi. Tidak ada hal serius
sehingga Mia hanya butuh rawat jalan. Wajah Raisa kembali putih kemerahan
karena lega.
‘Kamu makan apa sampai jadi
begini?’ Kevin mendekati Mia ketika dokter dan orang tua Raisa meninggalkan
ruangan.
‘Salah aku sih, tadi kelewat
rakus di rumahnya Raisa. Niatnya pengin liat dia marah-marah karena cokelat di
kamarnya aku makan. Eh, ternyata cokelatnya kedaluwarsa,’ ujar Mia sambil
cengengesan.
Tatapan Kevin kini beralih pada
Raisa. Tatapan menghakimi. ‘Kamu -kenapa makanan kedaluwarsa disuguhin ke
tamu. Apa itu gak keterlaluan?’
Raisa melotot kaget dituduh
demikian. ‘Cokelat itu mau gua buang sebelum tunangan lu ini dengan jahil memakannya! Kenapa jadi gua yang
salah?’
‘Kenapa juga kamu nyimpen makanan
kedaluwarsa?’
‘Kevin,’ tangan Mia menyentuh
pelan lengan Kevin. ‘Udah, jangan nyalahin Raisa. Kan tadi aku udah jelasin
kalo aku yang salah. Abis itu cokelat kelihatan enak banget. Kotaknya pink,
isinya warna-warni gitu.’
‘Cokelat? Kotak.. pink?’ tanya
Kevin pelan. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan menutup dengan keras. Raisa
menghilang di baliknya.
***
Raisa duduk sendirian di sebuah
bangku taman rumah sakit. Udara malam yang dingin membuatnya harus meringkuk,
merapatkan jaket yang dikenakannya. Senyum tipis terulas di wajahnya begitu ia
menatap alas kaki yang ia kenakan. Saking paniknya, Raisa lupa kalau ia masih
memakai sandal rumah dengan kepala moo yang
jauh lebih besar dari kakinya sendiri. Tapi beberapa saat kemudian senyum tadi
hilang digantikan cemberut berkepanjangan.
‘Kenapa jadi gua yang disalahin?
Jelas-jelas tunangannya yang sembarangan makan cokelat orang! Memangnya gua
yang kasih itu cokelat ke dia? Memangnya dia pikir gua segila itu? HAH!’ Raisa
mengumpat-umpat kesal. Beberapa detik kemudian ia berteriak kesal seperti orang
gila. Berpikir bahwa tidak akan ada yang mendengarnya di sini, sebelum…
‘Aku minta maaf,’ suara itu
membuat Raisa spontan menoleh. Kevin berdiri tidak kurang dari dua meter di
belakangnya. Bersandar di sebuah pohon dengan tangan bersedekap di depan dada.
Raisa langsung buang muka begitu mendepati sosok itu bergerak mendekatinya.
Cewek itu menghembuskan napas keras begitu Kevin duduk di sebelahnya. Sengaja
menunjukkan ketidaksukaan. Harum aroma tubuh cowok itu berseliweran ketika
angin malam menerpa mereka.
‘Aku minta maaf karena udah nuduh
kamu tadi. Aku gak tau kenapa kamu masih nyimpen cokelat itu, tanpa dimakan.
Aku gak tau kenapa kamu selalu marah-marah tiap aku ajak bicara. Untuk semua
yang gak aku tau itu, aku minta maaf,’ ujar Kevin lagi. Untuk beberapa saat
mereka membiarkan diri mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kevin
masih berpikir, memilah-milah kata yang tepat untuk diucapkan. Sementara Raisa
hanya membisu. Sampai akhirnya Kevin kembali buka suara. ‘Tapi bisakah kamu
beritahu aku, kenapa cokelat itu masih kamu simpan?’
‘Lu gak perlu tahu,’ sahut Raisa
ketus.
Kevin menghela napas, kecewa.
Hampir putus asa menghadapi perempuan satu itu. ‘Memangnya kamu gak mau
hubungan kita asik kayak dulu?’
Raisa memainkan ujung-ujung
jaketnya sambil berpikir. Ia masih belum bisa mendapatkan apa yang membuatnya
begitu tidak ingin berbaikan dengan Kevin. Karena dia tunangan Mia-kah? Karena
pertengkaran mereka saat SMP-kah? Karena Kevin pergi tanpa pamit dan gak pernah
kasih kabar-kah?
‘Buat apa?’ ujar Raisa akhirnya.
‘Waktu, situasi, kamu, dan aku.. semuanya udah berubah. Gak ada yang bisa
kembali kayak dulu. Kecuali kalau kita punya mesin waktu,’ Raisa diam sejenak,
menelan ludah sebelum melanjutkan. ‘Dan aku juga gak mau kayak dulu.’
Kevin tersenyum getir
mendengarnya. Gadis di sisinya ini benar-benar keras kepala. ‘Waktu, situasi,
dan kamu mungkin memang sudah berubah. Tapi tidak denganku. Tapi kalo memang
itu yang kamu mau, oke. Mulai malam ini, Raisa Princessa Nirvana… aku nyerah
atas kamu.”
Tanpa menunggu jeda, Kevin segera
bangkit dan berjalan menjauh dari gadis yang kini tercenung menatap punggung
yang meninggalkannya seorang diri. Selesai. Semuanya sudah selesai, batin Raisa
senang. Tapi sedetik kemudian ia mulai bingung, apakah betul dirinya senang
akan hal itu? Kalau ia benar-benar senang, kenapa tiba-tiba air mata jatuh di
pelupuk matanya?
When someone is so sweet to you, don’t expect that they will be like
that all the time because even the sweetest chocolate expires..
0 komentar:
Posting Komentar