Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEVIN & RAISA: BAGIAN 9 | TARUHAN

Raisa jadian dengan Glenn. Entah bagaimana bisa, tiba-tiba cewek itu langsung bilang ‘Iya’ ketika Glenn ingin menjadi kekasihnya. Entah ia memang benar tergila-gila dengan cowok itu, atau karena sedang kebelet move on, seperti yang pernah Mia bilang. Orang pertama yang senang dengan kabar gembira itu tentu saja Mia.

‘Demi apa lu udah jadian sama Glenn?’ Mia nyaris berteriak kalau saja ia tidak buru-buru ingat kalau sedang berada di perpustakaan.

Yang ditanya hanya mengangguk mantap dari balik buku super tebal yang dibacanya. Tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari kalimat demi kalimat yang tertulis di buku itu.

‘Kapaaaaan?’

‘Setelah lu keracunan, besok malamnya dia nembak gua dan gua langsung terima malam itu juga,’ ujar Raisa datar. Tidak terlihat excited seperti halnya cewek-cewek yang baru jadian; berbunga-bunga dan gak mau berhenti nyeritain pacar baru mereka.


‘Gila lu!’ seru Mia pelan.

Raisa kontan menoleh dengan alis berkerut, menuntut pejelasan.

Mia menyerah. Ia meletakkan buku yang sedari tadi hanya pura-pura ia baca. ‘Maksud gua, oke, gua turut berbahagia atas lepasnya masa jomblo elu sejak lahir. Tapi emang lu udah segitu yakin dan cintanya-kah sama dia sampai-sampai lu langsung terima tanpa ngulur basa-basi dulu?’

‘Gua gak suka basa-basi, lu tau kan,’ Raisa sudah kembali menekuri buku bacaannya.

Mia menggaruk-garuk sisi kepalanya yang tidak gatal. Empat tahun mereka sahabatan, baru kali ini Mia rasanya gak mengenali siapa sohibnya ini. ‘Tapi.. lu jadian sama dia beneran gak terpaksa karena ‘sesuatu’ kan, Ra?’

Raisa menutup bukunya sambil menghela napas. Tak lema kedua tangannya terjulur meraih pipi sahabatnya itu, mencubit pipi Mia dengan gemas. ‘Enggaaaaak, Ratu Sotoy. Mendingan udahan deh mikirin yang enggak-enggak. Gua seneng kok jadian sama Glenn. Dan itu memang maunya gua. So, no need to worry..’

‘Ya udah.’ Mia memeluk Raisa dengan gerakan cepat. ‘BYE THE WAY, CONGRATS YAAA UDAH JADIAN SAMA GLEEEEEENNNN,’ suara cempreng Mia mengagetkan seisi perpustakaan yang tengah khusyu’ membaca. Mengundang umpatan dan tatapan-tatapan risih dari sekelilingnya, termasuk Raisa. Tapi Mia tidak peduli. Ia malah memeluk sahabatnya itu makin erat.

***

Raisa duduk di bangkunya dengan muka ditekuk sempurna, memandangi daftar nama yang ditulis sekretaris kelas di papan tulis. Pembagian kelompok untuk praktikum biologi minggu depan sudah diumumkan. Apalagi yang membuat Raisa bete kalau bukan mendapati dirinya HARUS satu kelompok dengan Kevin. Terlebih lagi cowok itulah ketua kelompoknya, dan  bukan dirinya.

Sejak kejadian malam itu, Kevin benar-benar menyingkir dari hidupnya. Termasuk soal tempat duduknya di kelas. Masih satu row dengan Raisa, namun jaraknya empat bangku dari bangkunya yang lama. Mitha, si cewek yang kini sebangku dengan Kevin menjadi tiga kali lebih semangat bersekolah dan enam kali lebih betah di dalam kelas.

Dan sejak malam itu pula, Raisa malah merasa ada yang kurang dari kesehariannya. Ia masih bangun pagi seperti biasa, mandi, sarapan, pergi ke sekolah, pulang, makan, tidur siang, dan seterusnya. Tapi terasa ada yang tidak pas. Ada yang hilang, tapi Raisa tidak tahu pastinya apa.

‘Kevin, gue minta nomer elo ya! Biar gampang tanya-tanya buat tugas kita minggu depan!’ Kezia datang dari bangku belakang, berdiri persis di depan Kevin. Modus tuh, batin Raisa. Mengingat cewek-cewek di kelasnya sangat histeris saat cowok itu untuk pertama kalinya berdiri di depan kelas.

‘Boleh, catet ya!’ jawab Kevin ringan. Raisa mendengus. Sekarang udah doyan ngobral nomer hape rupanya.

Tak lama kemudian terdengar Kevin samar-samar menyebutkan nomer ponselnya. Sementara si cewek mengulangi dengan suara yang lebih lantang, seakan sengaja mengumumkan nomer ponsel cowok pujaan satu kelas itu. Raisa melirik beberapa cewek di dekatnya diam-diam ikut mencatat nomer ponsel Kevin di ponsel masing-masing. Jadi dia masih pakai nomer yang lama.

Raisa masih sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri ketika tanpa ia sadari, untuk pertama kalinya sejak malam itu, Kevin menghampiri mejanya. Cowok itu duduk menghadap Raisa, memandanginya dengan alis terangkat. ‘Kamu minta pindah kelompok sama Bu Erna?’ tanya Kevin sangat pelan, sehingga hanya mereka yang bisa dengar percakapan ini.

‘Gua gak bakal nyaman satu kelompok sama lu,’ tandas Raisa tak kalah pelannya. Menyadari bahwa di sekelilingnya cewek-cewek itu tengah berharap memiliki telinga elf yang mampu mendengar suara semut sekalipun.

Kevin bersandar santai. ‘Oke, aku akui kamu vital di kelompok ini. Alasan itu juga yang bikin Bu Erna gak kasih kamu pindah. Kalau kamu ngotot gak mau satu kelompok denganku, silakan gak ikut praktikum. Resikonya kamu gak dapat nilai,’ ujar Kevin santai. ‘Tapi tenang aja, aku bakal berbaik hati.’

Alis Raisa naik. ‘Maksudnya?’

‘Dua jam pelajaran terakhir nanti kita ulangan Fisika. Seperti biasa, Bu Risma kan langsung menilai ulangan kita di tempat, pas kita udah selesai. Kalau nanti nilaimu lebih besar, aku bersedia gak ikut praktikum minggu depan. Aku serahin kelompok itu di tangan kamu. Aku bisa bolos dan semacamnya. Tapi kalau nilaiku lebih besar, kamu harus nurut apa yang aku mau.’

‘Apa itu?’

Dengan gerakan pelan yang benar-benar dramatis, Kevin mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan wajahnya dengan wajah Raisa, menatap cewek itu lamat-lamat. ‘Aku pengin kita berdua ‘naik mesin waktu’ supaya semua perang dingin ini kelar. Kamu tahu jelas apa maksudku.’

Raisa tersenyum kecut. Gak salah? Dia ngajak taruhan nilai Fisika? Apa dia lupa kalau nilai Fisika dia gak pernah lebih gede dari gua? Apa dia benar-benar gak niat taruhan?

Deal?’ tanya Kevin lagi. Alisnya terangkat, menuntut jawaban.

‘Oke. Deal.

***

Raisa duduk tenang di bangkunya. Lima belas butir soal fisika sudah selesai ia kerjakan dengan hasil, yang ia yakin, amat bagus. Ia yakin akan memenangkan taruhan konyol ini. Hanya saja, Raisa sengaja belum menyerahkan kertas ulangan itu ke Bu Risma. Raisa sengaja menunggu Kevin yang lebih dulu mengumpulkan kertas miliknya.

Kevin nampak serius mengerjakan soal ulangan. Ia tahu betul otak Raisa bersahabat karib dengan Fisika dan soal eksakta lain. Ia juga belum lupa saat SMP nilainya selalu di bawah Raisa. Walaupun bukan berarti Kevin sangat lemah dengan Fisika.

Lima menit kemudian, Kevin meletakkan pulpen dan melemaskan jari-jemari juga lehernya. Sekilas ia melirik Raisa, mendapati cewek itu tidak lagi menyentuh pulpen. Oke, Kevin langsung paham apa maksudnya. Lima belas menit lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi. Bu Risma terkenal tega menahan murid di kelas kalau mereka belum mengumpulkan kertas ulangan sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Tidak butuh satu menit bagi beliau untuk mengoreksi satu lembar kertas ulangan.

Kevin segera membereskan alat tulisnya, kemudian maju mengumpulkan kertas itu di hadapan Bu Risma. Gumaman kagum –sebagian mencela- tedengar ketika Kevin berdiri santai, dengan tangan tersimpan di saku celana. Untuk pertama kalinya, bukan Raisa murid pertama yang mengumpulkan hasil ulangan.

Sial bagi Raisa, posisi Kevin benar-benar menutupi wajah Bu Risma dari pandangannya. Raisa tidak bisa menangkap ekspresi Bu Risma dan mengira-ngira berapa nilai yang diperoleh oleh Kevin. Tidak begitu lama sampai akhirnya Kevin menerima kembali kertas ulangannya. Cowok itu melenggang keluar kelas, selintas melempar lirikan penuh arti kepada Raisa. Muka Kevin flat banget. Semoga itu tanda kalau nilainya kurang sempurna.

Dengan kepercayaan diri level Ahmad Dhani, Raisa maju mengumpulkan hasil kerjanya di hadapan Bu Risma. Guru itu menerima dengan senyum ramah. Selalu begitu perlakuan yang diterima Raisa si murid pintar. Bahkan guru tergalak sekalipun luluh di hadapan keenceran otaknya.

‘Kamu agak keliru di soal nomor delapan, Raisa. Jadi Ibu kurangi setengah poin. Tapi nilai kamu nyaris sempurna, sembilan puluh tujuh. Lain kali lebih teliti, ya, Nak. Kamu boleh pulang,’ Bu Risma menyerahkan kertas ulangan Raisa, lengkap dengan senyuman manis.

‘Terima kasih, Bu. Saya pulang dulu,’ Raisa mengangguk, menerima kertas ulangan itu dengan lega. Nyaris sempurna. Ia yakin menang taruhan ini. Karena setidaknya, nilai Kevin harus seratus bulat kalau ingin menang. Raisa melangkah ke luar kelas dengan ringan.

Di ujung koridor, Kevin sudah menunggu. Bersandar di pilar dengan tangan masih tersimpan di saku. Dengan satu gerakan kecil, Kevin memberi isyarat dengan kepalanya, meminta Raisa mengikuti langkahnya.

Raisa mengikuti langkah Kevin sampai cowok itu melewati lorong panjang yang gelap dan sepi, di antara gudang penyimpanan barang bekas milik sekolah. Tempat ini jarang diguyur sinar matahari hingga suasananya suram dan bau apak menusuk-nusuk hidung. Hal itu pula yang membuat jarang ada siswa yang mau kemari, kecuali mungkin untuk tujuan negatif. Tapi tidak untuk itu tujuan Kevin membawa Raisa kemari. Kevin tidak berhenti di sana. Ia terus berjalan hingga mereka berbelok ke bagian belakang bangunan sekolah. Tempat itu amat sepi, hingga mereka berdua bisa bicara sepuasnya, tanpa takut didengar orang lain. Kevin berbalik dan menatap wajah Raisa lamat-lamat.

‘Mana hasil kamu?’ tembak Kevin langsung.

Tanpa banyak bicara, Raisa menyodorkan kertas ulangan yang sedari tadi dipegangnya. ‘Hanya dikurangi setengah poin untuk soal nomor delapan. Sembilan puluh tujuh.’

Alis Kevin naik. Ia meraih kertas itu dan meneliti tiap soal. Benar, hanya dikurangi setengah poin. Soal yang satu itu pengerjaannya memang panjang dan berbelit-belit. Raisa keliru dengan perhitungan angka di tengah-tengah pengerjaan sehingga keseluruhan hasilnya salah, padahal semua rumusnya sudah benar. Kevin tersenyum kecut, menggaruk-garuk dahinya yang tidak gatal. Menyerahkan kembali kertas itu kepada Raisa.

Demi melihat itu, Raisa tersenyum puas. ‘Jadi? Gua menang bukan?’

‘Duh, gimana nih,’ Kevin mengeluarkan secarik lipatan kertas dari kantong bajunya. ‘Tapi nilaiku seratus,’ Kevin menjerengkan kertas itu di depan hidung Raisa. Kini gantian Kevin yang tersenyum puas. Sementara wajah Raisa merah padam.

Cewek itu segera menyerobot kertas ulangan Kevin lalu membandingkan dengan kertas ulangan miliknya. Satu kali dua kali mengecek, hasilnya memang benar. Nilai Kevin sempurna seratus. Semua jawabannya benar, bahkan di soal nomor delapan. Soal paling sulit yang membuat Raisa sedikit tergelincir. Raisa mengerjap-ngerjap panik.

‘Lu pasti curang!’ tuduh Raisa, nyaris berteriak. ‘Gak mungkin banget gua kalah! Selama ini nilai Fisika elu selalu di bawah gua. Ini pasti ada yang salah!’ Raisa, untuk kesekian kalinya meneliti dari awal sampai akhir. Ia meracau, nyaris menangis tidak terima. Memang ini untuk pertama kalinya sejak SMA, ada orang lain yang nilainya lebih tinggi dari Raisa. Dan Raisa tidak suka itu. Cewek itu tidak suka nilainya dikalahkan.

Demi melihat Raisa tampak frustasi, Kevin menelan ludah. ‘Ca, bukan itu poinnya. Di mataku kamu selau nomer satu. Kamu cewek paling cerdas yang pernah aku kenal. Aku gak pernah bermaksud merebut posisi kamu. Tapi maaf, hari ini aku HARUS menang dari kamu. Aku masih pengin kita kayak dulu. Aku masih pengin kamu manggil namaku kayak dulu. Aku gak terbiasa dengan perubahan kamu! Itu aja,’ tutur Kevin dengan segenap perasaan yang ia pendam selama ini.

Raisa tak bergeming, menunduk dengan tangan yang masih gemetar. Kevin menghentikan itu dengan meraih tangan Raisa. Menggenggamnya, lalu melanjutkan, ‘I miss who you used to be, Caca. I really do.’

‘Tapi ada Mia sekarang,’ Raisa akhirnya bersuara, meskipun bergetar menahan emosi. ‘Sudah gua bilang kita gak pernah bisa kayak dulu. Dan gua.. sekarang ada Glenn. Lagipula gua udah lupa gimana ‘dulu’ yang elu maksud. Maksud gua, gua gak pengin ingat.’

Genggaman tangan Kevin melemah. Di matanya kini tergambar kekecewaan yang amat jelas. Habis sudah harapannya untuk kembali akur dengan cewek ini. Raisa yang dulu polos, baik, lembut, kini sudah berubah menjadi gadis super duper keras kepala.

Kevin melepaskan tangan Raisa. ‘Aku bener-bener nyerah sekarang. Selain gak fair, kamu juga sangat keras kepala. Sekarang aku mengaku salah. Aku salah karena masih menganggap kamu Caca-ku yang dulu. Aku salah besar. Karena kamu bukan dia. Caca, sahabat paling baik yang aku kenal, ternyata bukan kamu.’

Kevin melangkah pelan melewati Raisa. Baru tiga langkah, kakinya terhenti. Tanpa berbalik, ia mengatakan, ‘Silakan kamu pegang kelompok itu. Aku gak akan ikut. Walaupun aku yang menang, aku tetap gak mau bikin kamu gak nyaman.’

***

Kali ini Raisa tidak menangis. Tidak seperempat mili pun air mengalir dari kedua matanya. Kadang saling menyakiti adalah hal terbaik untuk saling melupakan. Kadang membenci adalah cara termudah untuk melupakan. Akan lebih baik bagi Raisa kalau mereka berdua sama-sama membenci. Lebih mudah bagi Raisa untuk menerima semuanya. Menerima pertunangan Kevin dengan Mia. Menerima kalau ia dan Kevin tidak bisa bersahabat lagi. Menerima kalau perasaannya dulu memang hanya untuk disimpan sendiri.

Sebenarnya Raisa sudah cukup dibuat bimbang dengan pendirian Kevin yang berubah-ubah. Sebentar-sebentar Kevin ingin menjauh sampai benar-benar tidak ada. Namun hari berikutnya, cowok itu pula lah yang mengajak Raisa berdamai. Belum satu minggu sejak Kevin bilang ingin menyerah di taman rumah sakit. Dua jam yang lalu, cowok itu pula yang mengajak ‘taruhan’ demi berdamai dengan Raisa. Lalu tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu, cowok itu kembali bilang ingin menjauh.

Raisa menghela napas. Mengusap wajah letihnya lalu berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba ia terperanjat. Kevin kembali ke tempat itu dengan langkah cepat, dengan wajah penuh kekhawatiran. Padahal Raisa yakin Kevin telah meninggalkannya lima menit yang lalu.

‘Kamu jangan pulang dulu,’ ujarnya tegas.

‘Apalagi?’

‘Pokonya jangan.’

Raisa menghela napas. ‘Harusnya gua udah naik kendaraan umum sejak dua puluh menit yang lalu. Bahkan mungkin sekarang harusnya gua udah di rumah. Gua capek, pengin pulang. Lagipula pembicaraan kita udah selesai, Kevin. Ngapain gua harus di sini?’ Tanpa menunggu jawaban Kevin, cewek itu segera berlalu menuju lorong gelap yang tadi ia lewati.

Tiba-tiba langkah Raisa terhenti. Ada suara yang bergema di lorong itu. Harusnya sekolah sudah sepi sekarang. Harusnya tidak ada lagi siswa berkeliaran di sekolah, apalagi di lorong gelap dan sepi itu. Lamat-lamat terdengar suara dua orang, laki-laki dan perempuan, berbincang dengan intim.

‘... terus abis ini mau kamu apain si Raisa itu? Hebat juga kamu bisa naklukin si nerd itu, babe. Kirain aku yang bakal menang taruhan ini,’ ujar si cewek. Mendengar namanya disebut, jantung Raisa berdesir, lalu berdegup di atas normal. Cewek itu mempertajam pendengarannya.

‘Ya aku putusin lah. Buat apa lagi? Aku udah berhasil buktiin ke kamu kalo bahkan cewek nerd kayak dia pun bisa aku dapetin. Makanya kamu mau nerima aku kan, sayang. Gila, aku udah lama banget nunggu kesempatan ini. Akhirnya Fiola, cewek paling seksi di sekolah, jadi milik aku.’

Deg! Detak Jantung Raisa meningkat tiga kali lipatnya mendengar suara itu. Ia hafal siapa pemilik suara itu. Dan ia yakin benar bahwa Raisa yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya.

‘Iiihh, gombal banget kamu bilang aku seksi,’ si cewek cekikikan manja. ‘Tapi, babe, bukannya cowok lebih suka cewek yang pinter ya? Nanti kamu kepikiran dia terus lagi..’

‘Yang pasti cowok itu bukan aku. Lagian tu cewek gak asik banget. Apa-apa gak boleh Mama. Mau jalan aja mesti ngumpet-ngumpet. Aku kasih boneka Minnie Mouse murahan aja dia seneng banget kayak anak kecil. Norak kan?’

Entah kalimat-kalimat ejekan apa lagi yang akan dikeluarkan si cowok itu. Wajah Raisa merah padam. Darahnya seakan mendidih sampai ke ubun-ubun. Raisa melangkah gusar hendak melabrak dua orang itu. Tapi tiba-tiba seseorang menyentak tangannya. Membuatnya berbalik dan menubruk tubuh orang itu.

‘Jangan dilihat,’ bisik Kevin di telinganya.

Raisa memberontak hendak berbalik, tapi tangan Kevin bergerak lebih cepat. Mengunci Raisa dalam dekapannya. Satu tangannya membenamkan kepala Raisa di dadanya, sambil berusaha menutup telinga Raisa. Cewek itu tidak sanggup lagi melawan. Selain badannya memang kalah besar, tenaga cewek itu rasanya sudah habis dimakan emosi. Baju Kevin mulai basah tergenang air mata.

Kevin membuat posisi mereka tidak terlihat dari lorong, namun dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas keintiman dua orang yang sedang dibutakan oleh cinta itu. Wajah Kevin mengeras. Ia sama terbakarnya dengan Raisa melihat kelakuan Glenn dan Fiola. Momen kebahagiaan dua sejoli itu tidak luput dari kamera ponsel milik Kevin. Buru-buru cowok itu membawa Raisa bergeser, mencari jalan lain untuk menjauh dari tempat itu.

***

Kevin sengaja membiarkan Raisa tenang dengan sendirinya. Ia mengendurkan lengannya, membiarkan sampai gadis itu sendiri yang melepaskan diri dari pelukannya. Kevin tidak yakin apakah Raisa sedang menangis atau tidak. Gadis itu hanya membisu dan Kevin tidak berani untuk bertanya.

Kevin sendiri sedang berusaha keras meredakan emosinya. Jantungnya berdetak tidak kalah cepat dengan detak jantung Raisa. Ia ingat bagaimana Raisa pernah begitu sumringah ketika hendak pergi dengan Glenn. Ia ingat bagaimana cowok biadap itu terlihat begitu manis, memperlakukan Raisa bagai ratu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raisa menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan ia sudah begitu sial mendapat Glenn.

Lima menit berlalu, perlahan Raisa melepaskan diri dari Kevin. Ia hanya menunduk. Matanya sedikit basah. Dia menangis. Perut Kevin mencelos melihatnya. Ia mengatupkan rahang lebih keras, menahan emosinya yang makin jadi.

‘Gua pulang duluan,’ ujar Raisa pelan.

‘Aku antar ya?’ Kevin menawari, khawatir.

Raisa menggeleng pelan, berusaha menyunggingkan senyum. ‘Gua lagi pengin sendiri. Makasih, lu selalu baik sama gua.’

Kevin menatap wajah yang sedih itu lamat-lamat. Perutnya makin mencelos. ‘Jaga diri baik-baik,’ ujarnya, mengelus kepala Raisa, mengusap sisa air mata yang tertinggal di sudut matanya. Gadis itu hanya menggangguk samar. Kemudian berjalan dengan gontai, menjauh dari Kevin.

‘Ca,’ panggilan Kevin membuat Raisa berhenti dan berbalik. ‘Kalo butuh temen ngobrol, you know who to call.

Sekali lagi gadis itu mengangguk lalu meneruskan perjalanannya.

***

Hari sudah menjelang maghrib saat Kevin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah habis mandi. Seharian ia mengalihkan perhatian dengan bermain PES sendirian. Berkali-kali ia mengecek ponsel, menunggu telepon. Walau ia sendiri tidak yakin apakah orang yang ia tunggu benar-benar akan menghubunginya.

Baru hendak menyalakan kembali perangkat PC-nya, tiba-tiba ponsel Kevin berdering. Mengagetkan, hingga membuatnya terjengkang dari kursi. Raisa!!

‘Halo, Ca.’


‘Kekev..’ suara itu memanggilnya sambil menangis.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar