Raisa jadian dengan Glenn. Entah
bagaimana bisa, tiba-tiba cewek itu langsung bilang ‘Iya’ ketika Glenn ingin
menjadi kekasihnya. Entah ia memang benar tergila-gila dengan cowok itu, atau
karena sedang kebelet move on, seperti
yang pernah Mia bilang. Orang pertama yang senang
dengan kabar gembira itu tentu saja
Mia.
‘Demi apa lu udah jadian sama
Glenn?’ Mia nyaris berteriak kalau saja ia tidak buru-buru ingat kalau sedang
berada di perpustakaan.
Yang ditanya hanya mengangguk
mantap dari balik buku super tebal yang dibacanya. Tanpa mengalihkan pandangan
sedikit pun dari kalimat demi kalimat yang tertulis di buku itu.
‘Kapaaaaan?’
‘Setelah lu keracunan, besok
malamnya dia nembak gua dan gua langsung terima malam itu juga,’ ujar Raisa
datar. Tidak terlihat excited seperti
halnya cewek-cewek yang baru jadian; berbunga-bunga dan gak mau berhenti
nyeritain pacar baru mereka.
‘Gila lu!’ seru Mia pelan.
Raisa kontan menoleh dengan alis
berkerut, menuntut pejelasan.
Mia menyerah. Ia meletakkan buku
yang sedari tadi hanya pura-pura ia baca. ‘Maksud gua, oke, gua turut
berbahagia atas lepasnya masa jomblo elu sejak lahir. Tapi emang lu udah segitu
yakin dan cintanya-kah sama dia sampai-sampai lu langsung terima tanpa ngulur
basa-basi dulu?’
‘Gua gak suka basa-basi, lu tau
kan,’ Raisa sudah kembali menekuri buku bacaannya.
Mia menggaruk-garuk sisi
kepalanya yang tidak gatal. Empat tahun mereka sahabatan, baru kali ini Mia
rasanya gak mengenali siapa sohibnya ini. ‘Tapi.. lu jadian sama dia beneran
gak terpaksa karena ‘sesuatu’ kan, Ra?’
Raisa menutup bukunya sambil
menghela napas. Tak lema kedua tangannya terjulur meraih pipi sahabatnya itu,
mencubit pipi Mia dengan gemas. ‘Enggaaaaak, Ratu Sotoy. Mendingan udahan deh
mikirin yang enggak-enggak. Gua seneng kok jadian sama Glenn. Dan itu memang
maunya gua. So, no need to worry..’
‘Ya udah.’ Mia memeluk Raisa
dengan gerakan cepat. ‘BYE THE WAY,
CONGRATS YAAA UDAH JADIAN SAMA GLEEEEEENNNN,’ suara cempreng Mia
mengagetkan seisi perpustakaan yang tengah khusyu’ membaca. Mengundang umpatan
dan tatapan-tatapan risih dari sekelilingnya, termasuk Raisa. Tapi Mia tidak
peduli. Ia malah memeluk sahabatnya itu makin erat.
***
Raisa duduk di bangkunya dengan
muka ditekuk sempurna, memandangi daftar nama yang ditulis sekretaris kelas di
papan tulis. Pembagian kelompok untuk praktikum biologi minggu depan sudah
diumumkan. Apalagi yang membuat Raisa bete kalau bukan mendapati dirinya HARUS
satu kelompok dengan Kevin. Terlebih lagi cowok itulah ketua kelompoknya,
dan bukan dirinya.
Sejak kejadian malam itu, Kevin
benar-benar menyingkir dari hidupnya. Termasuk soal tempat duduknya di kelas. Masih
satu row dengan Raisa, namun jaraknya
empat bangku dari bangkunya yang lama. Mitha, si cewek yang kini sebangku
dengan Kevin menjadi tiga kali lebih semangat bersekolah dan enam kali lebih
betah di dalam kelas.
Dan sejak malam itu pula, Raisa
malah merasa ada yang kurang dari kesehariannya. Ia masih bangun pagi seperti
biasa, mandi, sarapan, pergi ke sekolah, pulang, makan, tidur siang, dan
seterusnya. Tapi terasa ada yang tidak pas. Ada yang hilang, tapi Raisa tidak
tahu pastinya apa.
‘Kevin, gue minta nomer elo ya!
Biar gampang tanya-tanya buat tugas kita minggu depan!’ Kezia datang dari
bangku belakang, berdiri persis di depan Kevin. Modus tuh, batin Raisa.
Mengingat cewek-cewek di kelasnya sangat histeris saat cowok itu untuk pertama
kalinya berdiri di depan kelas.
‘Boleh, catet ya!’ jawab Kevin
ringan. Raisa mendengus. Sekarang udah
doyan ngobral nomer hape rupanya.
Tak lama kemudian terdengar Kevin
samar-samar menyebutkan nomer ponselnya. Sementara si cewek mengulangi dengan
suara yang lebih lantang, seakan sengaja mengumumkan nomer ponsel cowok pujaan
satu kelas itu. Raisa melirik beberapa cewek di dekatnya diam-diam ikut mencatat
nomer ponsel Kevin di ponsel masing-masing. Jadi
dia masih pakai nomer yang lama.
Raisa masih sibuk dengan
pikiran-pikirannya sendiri ketika tanpa ia sadari, untuk pertama kalinya sejak
malam itu, Kevin menghampiri mejanya. Cowok itu duduk menghadap Raisa,
memandanginya dengan alis terangkat. ‘Kamu minta pindah kelompok sama Bu Erna?’
tanya Kevin sangat pelan, sehingga hanya mereka yang bisa dengar percakapan
ini.
‘Gua gak bakal nyaman satu
kelompok sama lu,’ tandas Raisa tak kalah pelannya. Menyadari bahwa di
sekelilingnya cewek-cewek itu tengah berharap memiliki telinga elf yang mampu mendengar suara semut
sekalipun.
Kevin bersandar santai. ‘Oke, aku
akui kamu vital di kelompok ini. Alasan itu juga yang bikin Bu Erna gak kasih
kamu pindah. Kalau kamu ngotot gak mau satu kelompok denganku, silakan gak ikut
praktikum. Resikonya kamu gak dapat nilai,’ ujar Kevin santai. ‘Tapi tenang
aja, aku bakal berbaik hati.’
Alis Raisa naik. ‘Maksudnya?’
‘Dua jam pelajaran terakhir nanti
kita ulangan Fisika. Seperti biasa, Bu Risma kan langsung menilai ulangan kita
di tempat, pas kita udah selesai. Kalau nanti nilaimu lebih besar, aku bersedia
gak ikut praktikum minggu depan. Aku serahin kelompok itu di tangan kamu. Aku
bisa bolos dan semacamnya. Tapi kalau nilaiku lebih besar, kamu harus nurut apa
yang aku mau.’
‘Apa itu?’
Dengan gerakan pelan yang
benar-benar dramatis, Kevin mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan
wajahnya dengan wajah Raisa, menatap cewek itu lamat-lamat. ‘Aku pengin kita
berdua ‘naik mesin waktu’ supaya semua perang dingin ini kelar. Kamu tahu jelas
apa maksudku.’
Raisa tersenyum kecut. Gak salah? Dia ngajak taruhan nilai Fisika?
Apa dia lupa kalau nilai Fisika dia gak pernah lebih gede dari gua? Apa dia
benar-benar gak niat taruhan?
‘Deal?’ tanya Kevin lagi. Alisnya terangkat, menuntut jawaban.
‘Oke. Deal.’
***
Raisa duduk tenang di bangkunya.
Lima belas butir soal fisika sudah selesai ia kerjakan dengan hasil, yang ia
yakin, amat bagus. Ia yakin akan memenangkan taruhan konyol ini. Hanya saja, Raisa sengaja belum menyerahkan kertas ulangan
itu ke Bu Risma. Raisa sengaja menunggu Kevin yang lebih dulu mengumpulkan
kertas miliknya.
Kevin nampak serius mengerjakan
soal ulangan. Ia tahu betul otak Raisa bersahabat karib dengan Fisika dan soal
eksakta lain. Ia juga belum lupa saat SMP nilainya selalu di bawah Raisa.
Walaupun bukan berarti Kevin sangat lemah dengan Fisika.
Lima menit kemudian, Kevin
meletakkan pulpen dan melemaskan jari-jemari juga lehernya. Sekilas ia melirik
Raisa, mendapati cewek itu tidak lagi menyentuh pulpen. Oke, Kevin langsung
paham apa maksudnya. Lima belas menit lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi.
Bu Risma terkenal tega menahan murid di kelas kalau mereka belum mengumpulkan
kertas ulangan sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Tidak butuh satu menit bagi
beliau untuk mengoreksi satu lembar kertas ulangan.
Kevin segera membereskan alat
tulisnya, kemudian maju mengumpulkan kertas itu di hadapan Bu Risma. Gumaman
kagum –sebagian mencela- tedengar ketika Kevin berdiri santai, dengan tangan
tersimpan di saku celana. Untuk pertama kalinya, bukan Raisa murid pertama yang
mengumpulkan hasil ulangan.
Sial bagi Raisa, posisi Kevin
benar-benar menutupi wajah Bu Risma dari pandangannya. Raisa tidak bisa
menangkap ekspresi Bu Risma dan mengira-ngira berapa nilai yang diperoleh oleh
Kevin. Tidak begitu lama sampai akhirnya Kevin menerima kembali kertas
ulangannya. Cowok itu melenggang keluar kelas, selintas melempar lirikan penuh
arti kepada Raisa. Muka Kevin flat banget. Semoga itu tanda kalau nilainya
kurang sempurna.
Dengan kepercayaan diri level
Ahmad Dhani, Raisa maju mengumpulkan hasil kerjanya di hadapan Bu Risma. Guru
itu menerima dengan senyum ramah. Selalu begitu perlakuan yang diterima Raisa
si murid pintar. Bahkan guru tergalak sekalipun luluh di hadapan keenceran
otaknya.
‘Kamu agak keliru di soal nomor
delapan, Raisa. Jadi Ibu kurangi setengah poin. Tapi nilai kamu nyaris
sempurna, sembilan puluh tujuh. Lain kali lebih teliti, ya, Nak. Kamu boleh
pulang,’ Bu Risma menyerahkan kertas ulangan Raisa, lengkap dengan senyuman
manis.
‘Terima kasih, Bu. Saya pulang
dulu,’ Raisa mengangguk, menerima kertas ulangan itu dengan lega. Nyaris
sempurna. Ia yakin menang taruhan ini. Karena setidaknya, nilai Kevin harus
seratus bulat kalau ingin menang. Raisa melangkah ke luar kelas dengan ringan.
Di ujung koridor, Kevin sudah
menunggu. Bersandar di pilar dengan tangan masih tersimpan di saku. Dengan satu
gerakan kecil, Kevin memberi isyarat dengan kepalanya, meminta Raisa mengikuti
langkahnya.
Raisa mengikuti langkah Kevin
sampai cowok itu melewati lorong panjang yang gelap dan sepi, di antara gudang
penyimpanan barang bekas milik sekolah. Tempat ini jarang diguyur sinar
matahari hingga suasananya suram dan bau apak menusuk-nusuk hidung. Hal itu
pula yang membuat jarang ada siswa yang mau kemari, kecuali mungkin untuk
tujuan negatif. Tapi tidak untuk itu tujuan Kevin membawa Raisa kemari. Kevin
tidak berhenti di sana. Ia terus berjalan hingga mereka berbelok ke bagian
belakang bangunan sekolah. Tempat itu amat sepi, hingga mereka berdua bisa
bicara sepuasnya, tanpa takut didengar orang lain. Kevin berbalik dan menatap
wajah Raisa lamat-lamat.
‘Mana hasil kamu?’ tembak Kevin
langsung.
Tanpa banyak bicara, Raisa
menyodorkan kertas ulangan yang sedari tadi dipegangnya. ‘Hanya dikurangi
setengah poin untuk soal nomor delapan. Sembilan puluh tujuh.’
Alis Kevin naik. Ia meraih kertas
itu dan meneliti tiap soal. Benar, hanya dikurangi setengah poin. Soal yang
satu itu pengerjaannya memang panjang dan berbelit-belit. Raisa keliru dengan
perhitungan angka di tengah-tengah pengerjaan sehingga keseluruhan hasilnya
salah, padahal semua rumusnya sudah benar. Kevin tersenyum kecut,
menggaruk-garuk dahinya yang tidak gatal. Menyerahkan kembali kertas itu kepada
Raisa.
Demi melihat itu, Raisa tersenyum
puas. ‘Jadi? Gua menang bukan?’
‘Duh, gimana nih,’ Kevin
mengeluarkan secarik lipatan kertas dari kantong bajunya. ‘Tapi nilaiku
seratus,’ Kevin menjerengkan kertas itu di depan hidung Raisa. Kini gantian
Kevin yang tersenyum puas. Sementara wajah Raisa merah padam.
Cewek itu segera menyerobot
kertas ulangan Kevin lalu membandingkan dengan kertas ulangan miliknya. Satu
kali dua kali mengecek, hasilnya memang benar. Nilai Kevin sempurna seratus.
Semua jawabannya benar, bahkan di soal nomor delapan. Soal paling sulit yang
membuat Raisa sedikit tergelincir. Raisa mengerjap-ngerjap panik.
‘Lu pasti curang!’ tuduh Raisa,
nyaris berteriak. ‘Gak mungkin banget gua kalah! Selama ini nilai Fisika elu
selalu di bawah gua. Ini pasti ada yang salah!’ Raisa, untuk kesekian kalinya
meneliti dari awal sampai akhir. Ia meracau, nyaris menangis tidak terima. Memang
ini untuk pertama kalinya sejak SMA, ada orang lain yang nilainya lebih tinggi
dari Raisa. Dan Raisa tidak suka itu. Cewek itu tidak suka nilainya dikalahkan.
Demi melihat Raisa tampak
frustasi, Kevin menelan ludah. ‘Ca, bukan itu poinnya. Di mataku kamu selau
nomer satu. Kamu cewek paling cerdas yang pernah aku kenal. Aku gak pernah
bermaksud merebut posisi kamu. Tapi maaf, hari ini aku HARUS menang dari kamu.
Aku masih pengin kita kayak dulu. Aku masih pengin kamu manggil namaku kayak
dulu. Aku gak terbiasa dengan perubahan kamu! Itu aja,’ tutur Kevin dengan
segenap perasaan yang ia pendam selama ini.
Raisa tak bergeming, menunduk
dengan tangan yang masih gemetar. Kevin menghentikan itu dengan meraih tangan
Raisa. Menggenggamnya, lalu melanjutkan, ‘I
miss who you used to be, Caca. I really do.’
‘Tapi ada Mia sekarang,’ Raisa
akhirnya bersuara, meskipun bergetar menahan emosi. ‘Sudah gua bilang kita gak
pernah bisa kayak dulu. Dan gua.. sekarang ada Glenn. Lagipula gua udah lupa
gimana ‘dulu’ yang elu maksud. Maksud gua, gua gak pengin ingat.’
Genggaman tangan Kevin melemah.
Di matanya kini tergambar kekecewaan yang amat jelas. Habis sudah harapannya
untuk kembali akur dengan cewek ini. Raisa yang dulu polos, baik, lembut, kini
sudah berubah menjadi gadis super duper keras kepala.
Kevin melepaskan tangan Raisa.
‘Aku bener-bener nyerah sekarang. Selain gak fair, kamu juga sangat keras kepala. Sekarang aku mengaku salah.
Aku salah karena masih menganggap kamu Caca-ku yang dulu. Aku salah besar.
Karena kamu bukan dia. Caca, sahabat paling baik yang aku kenal, ternyata bukan
kamu.’
Kevin melangkah pelan melewati
Raisa. Baru tiga langkah, kakinya terhenti. Tanpa berbalik, ia mengatakan,
‘Silakan kamu pegang kelompok itu. Aku gak akan ikut. Walaupun aku yang menang, aku tetap gak mau bikin kamu gak
nyaman.’
***
Kali ini Raisa tidak menangis.
Tidak seperempat mili pun air mengalir dari kedua matanya. Kadang saling
menyakiti adalah hal terbaik untuk saling melupakan. Kadang membenci adalah
cara termudah untuk melupakan. Akan lebih baik bagi Raisa kalau mereka berdua
sama-sama membenci. Lebih mudah bagi Raisa untuk menerima semuanya. Menerima
pertunangan Kevin dengan Mia. Menerima kalau ia dan Kevin tidak bisa bersahabat
lagi. Menerima kalau perasaannya dulu memang hanya untuk disimpan sendiri.
Sebenarnya Raisa sudah cukup
dibuat bimbang dengan pendirian Kevin yang berubah-ubah. Sebentar-sebentar Kevin
ingin menjauh sampai benar-benar tidak
ada. Namun hari berikutnya, cowok itu pula lah yang mengajak Raisa
berdamai. Belum satu minggu sejak Kevin bilang ingin menyerah di taman rumah
sakit. Dua jam yang lalu, cowok itu pula yang mengajak ‘taruhan’ demi berdamai
dengan Raisa. Lalu tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu, cowok itu kembali
bilang ingin menjauh.
Raisa menghela napas. Mengusap
wajah letihnya lalu berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba ia
terperanjat. Kevin kembali ke tempat itu dengan langkah cepat, dengan wajah
penuh kekhawatiran. Padahal Raisa yakin Kevin telah meninggalkannya lima menit
yang lalu.
‘Kamu jangan pulang dulu,’
ujarnya tegas.
‘Apalagi?’
‘Pokonya jangan.’
Raisa menghela napas. ‘Harusnya
gua udah naik kendaraan umum sejak dua puluh menit yang lalu. Bahkan mungkin
sekarang harusnya gua udah di rumah. Gua capek, pengin pulang. Lagipula
pembicaraan kita udah selesai, Kevin. Ngapain gua harus di sini?’ Tanpa
menunggu jawaban Kevin, cewek itu segera berlalu menuju lorong gelap yang tadi
ia lewati.
Tiba-tiba langkah Raisa terhenti.
Ada suara yang bergema di lorong itu. Harusnya sekolah sudah sepi sekarang.
Harusnya tidak ada lagi siswa berkeliaran di sekolah, apalagi di lorong gelap
dan sepi itu. Lamat-lamat terdengar suara dua orang, laki-laki dan perempuan,
berbincang dengan intim.
‘... terus abis ini mau kamu apain si
Raisa itu? Hebat juga kamu bisa naklukin si nerd
itu, babe. Kirain aku yang bakal
menang taruhan ini,’ ujar si cewek. Mendengar namanya disebut, jantung Raisa
berdesir, lalu berdegup di atas normal. Cewek itu mempertajam pendengarannya.
‘Ya aku putusin lah. Buat apa
lagi? Aku udah berhasil buktiin ke kamu kalo bahkan cewek nerd kayak dia pun bisa aku dapetin. Makanya kamu mau nerima aku
kan, sayang. Gila, aku udah lama banget nunggu kesempatan ini. Akhirnya Fiola,
cewek paling seksi di sekolah, jadi milik aku.’
Deg! Detak Jantung Raisa
meningkat tiga kali lipatnya mendengar suara itu. Ia hafal siapa pemilik suara
itu. Dan ia yakin benar bahwa Raisa yang sedang mereka bicarakan adalah
dirinya.
‘Iiihh, gombal banget kamu bilang
aku seksi,’ si cewek cekikikan manja. ‘Tapi, babe, bukannya cowok lebih suka cewek yang pinter ya? Nanti kamu
kepikiran dia terus lagi..’
‘Yang pasti cowok itu bukan aku. Lagian
tu cewek gak asik banget. Apa-apa gak boleh Mama. Mau jalan aja mesti
ngumpet-ngumpet. Aku kasih boneka Minnie Mouse murahan aja dia seneng banget
kayak anak kecil. Norak kan?’
Entah kalimat-kalimat ejekan apa
lagi yang akan dikeluarkan si cowok itu. Wajah Raisa merah padam. Darahnya
seakan mendidih sampai ke ubun-ubun. Raisa melangkah gusar hendak melabrak dua
orang itu. Tapi tiba-tiba seseorang menyentak tangannya. Membuatnya berbalik
dan menubruk tubuh orang itu.
‘Jangan dilihat,’ bisik Kevin di telinganya.
Raisa memberontak hendak
berbalik, tapi tangan Kevin bergerak lebih cepat. Mengunci Raisa dalam
dekapannya. Satu tangannya membenamkan kepala Raisa di dadanya, sambil berusaha
menutup telinga Raisa. Cewek itu tidak sanggup lagi melawan. Selain badannya
memang kalah besar, tenaga cewek itu rasanya sudah habis dimakan emosi. Baju
Kevin mulai basah tergenang air mata.
Kevin membuat posisi mereka tidak
terlihat dari lorong, namun dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan
jelas keintiman dua orang yang sedang dibutakan oleh cinta itu. Wajah Kevin
mengeras. Ia sama terbakarnya dengan Raisa melihat kelakuan Glenn dan Fiola. Momen
kebahagiaan dua sejoli itu tidak
luput dari kamera ponsel milik Kevin. Buru-buru cowok itu membawa Raisa bergeser,
mencari jalan lain untuk menjauh dari tempat itu.
***
Kevin sengaja membiarkan Raisa
tenang dengan sendirinya. Ia mengendurkan lengannya, membiarkan sampai gadis
itu sendiri yang melepaskan diri dari pelukannya. Kevin tidak yakin apakah
Raisa sedang menangis atau tidak. Gadis itu hanya membisu dan Kevin tidak
berani untuk bertanya.
Kevin sendiri sedang berusaha
keras meredakan emosinya. Jantungnya berdetak tidak kalah cepat dengan detak
jantung Raisa. Ia ingat bagaimana Raisa pernah begitu sumringah ketika hendak
pergi dengan Glenn. Ia ingat bagaimana cowok biadap itu terlihat begitu manis,
memperlakukan Raisa bagai ratu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raisa
menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan ia sudah begitu sial mendapat Glenn.
Lima menit berlalu, perlahan
Raisa melepaskan diri dari Kevin. Ia hanya menunduk. Matanya sedikit basah. Dia menangis. Perut Kevin mencelos
melihatnya. Ia mengatupkan rahang lebih keras, menahan emosinya yang makin
jadi.
‘Gua pulang duluan,’ ujar Raisa
pelan.
‘Aku antar ya?’ Kevin menawari,
khawatir.
Raisa menggeleng pelan, berusaha
menyunggingkan senyum. ‘Gua lagi pengin sendiri. Makasih, lu selalu baik sama
gua.’
Kevin menatap wajah yang sedih
itu lamat-lamat. Perutnya makin mencelos. ‘Jaga diri baik-baik,’ ujarnya,
mengelus kepala Raisa, mengusap sisa air mata yang tertinggal di sudut matanya.
Gadis itu hanya menggangguk samar. Kemudian berjalan dengan gontai, menjauh
dari Kevin.
‘Ca,’ panggilan Kevin membuat
Raisa berhenti dan berbalik. ‘Kalo butuh temen ngobrol, you know who to call.’
Sekali lagi gadis itu mengangguk
lalu meneruskan perjalanannya.
***
Hari sudah menjelang maghrib saat
Kevin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah habis mandi. Seharian ia
mengalihkan perhatian dengan bermain PES sendirian. Berkali-kali ia mengecek
ponsel, menunggu telepon. Walau ia sendiri tidak yakin apakah orang yang ia
tunggu benar-benar akan menghubunginya.
Baru hendak menyalakan kembali perangkat PC-nya, tiba-tiba ponsel Kevin berdering. Mengagetkan, hingga
membuatnya terjengkang dari kursi. Raisa!!
‘Halo, Ca.’
‘Kekev..’ suara itu memanggilnya
sambil menangis.
0 komentar:
Posting Komentar