Ada lagi satu hal yang sampai saat ini masih menjadi pengganjal dalam
kenyamanan hidup saya. Perasaan yang saya pendam sekian lama karena saya tidak
tahu harus cerita ke siapa. Bukannya tidak punya teman cerita, hanya saja saya
tidak percaya orang-orang itu bisa merasakan apa yang saya rasakan.
Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah. Namun
jargon itu sepertinya tidak berlaku bagi saya. Masa SMA bagi saya justru sebuah masa yang
paling buruk yang tidak pantas untuk dikenang.
Di masa SMA, selain menerima ilmu Sekolah Menengah Atas, saya juga
menerima bully dari beberapa orang
(yang dulunya) teman-teman wanita saya. Tidak di-bully secara fisik, tapi secara psikis. Saya dibully secara verbal
dan gestur. Dan bagi saya itu jauh lebih buruk. Itu saya terima kira-kira
pertengahan kelas sebelas sampai lulus SMA.
Saat itu saya betul-betul tidak tahu letak kesalahan saya dimana. Apa
yang membuat mereka mem-bully saya.
Tahu-tahu saya dijauhi dan beberapa seperti menghindar dan berteriak jijik ketika
saya lewat seolah-olah saya ini penderita penyakit menular. Awalnya saya tidak
sadar sampai akhirnya saya merasa bahwa oh, saya sedang di-bully.
Sejak pertengahan kelas sebelas itu, setiap pagi saya harus memikirkan
betul bagaimana menghadapi hari ini. Cercaan seperti apa yang akan ditujukan ke
saya hari ini. Memang, orang-orang itu tidak pernah mencerca saya secara
langsung atau bilang: Hei Mayzar, kamu jelek! Kamu busuk! Kamu miskin! Tapi
bagi saya dimaki secara langsung akan jauh lebih baik daripada saya diteriaki
setiap kali lewat, dihina tiap kali berpenampilan, atau dibicarakan yang
tidak-tidak di belakang saya. Beberapa bahkan ada yang menyebar keburukan saya
sementara saya berusaha rapat-rapat menutup keburukan mereka. Karena beberapa dari orang-orang
itu DULUNYA teman baik saya.
Setiap kali saya diteriaki, orang-orang itu akan kompak tertawa
terbahak-bahak sementara saya harus merasakan sesak di dada mendengarnya.
Pernah suatu ketika, pada bulan ramadhan, saya mengenakan pakaian muslim
berwarna oranye, dan saya, dengan mulut besar mereka diteriaki, ‘Waw silau, man!’ Dan orang-orang itu tertawa seolah
itu lucu sekali sementara saya harus tetap berjalan menyebrangi lapangan,
berusaha menahan emosi hingga dada saya sesak, dengan mata orang-orang tertuju
pada saya. Entah kasihan, atau ingin ikut menertawakan.
Saya juga ingat beberapa orang teman sekelas mereka (bukan
wanita-wanita yang mem-bully saya)
setiap saya lewat bilang ke mereka, ‘Eh, temen lo tuh!’ dan orang-orang yang
mem-bully saya akan berteriak jijik,
‘Ih, sorry aja!’
Saya tidak tahu apa tujuan orang itu berkata demikian. Padahal mereka
tahu persis bahwa orang-orang itu TIDAK
BERTEMAN dengan saya. Entah apa maksud dan tujuan memancing hinaan
kepada saya. Mungkin bagi mereka, hinaan kepada saya adalah semacam hiburan
gratis sementara saya sama sekali tidak terhibur.
Tidak ada yang tahu bahwa saya mendapat tekanan yang besar karena itu.
Sedikit pun saya tidak pernah menceritakan hal itu kepada Ibu saya. Saya tahu
beban beliau sudah banyak. Saat itu ekonomi keluarga sedang buruk dan saya
tidak mau menambah beban Ibu dengan masalah saya yang ‘sepele’. Pernah suatu
ketika Ibu tanya ke saya, ‘Si itu musuhan sama kamu ya? Kok ketemu Mama mukanya
kayak benci banget sama Mama.’ Saya hanya jawab, ‘Memang mukanya begitu
barangkali.’
Saya juga tidak bisa bercerita ke teman. Tidak ada yang bisa saya
percaya. Karena teman saya ya teman orang-orang itu juga. Jadi di depan semua
orang saya bersikap seolah-olah saya tidak peduli dengan itu semua. Padahal di
dalam hati, saya merasakan tekanan hebat.
Pindah sekolah bukannya tidak sempat terlintas di benak saya. tapi kembali lagi seperti yang saya sudah bilang, saat itu ekonomi keluarga saya sedang sulit. jadi pilihan terakhirnya hanyalah bertahan sampai akhir.
Sampai saat ini saya masih mengingat setiap cercaan, hinaan, dan
ejekan yang mereka lemparkan ke saya berikut siapa yang mengucapkannya. Saya
ingat oknum-oknum yang ikut tertawa bersama mereka setiap kali ledekan ke saya
dilemparkan. Beberapa teman sekelas mereka, beberapa teman sekelas saya, dan
beberapa adik kelas yang akrab dengan mereka. Saya masih ingat. Dan mungkin
tidak bisa lupa. Saya harusnya berterimakasih. Kalau tidak ada hal itu, saya
mungkin tidak tahu yang mana yang teman, mana yang fake friends, dan mana yang bermuka dua.
Kenapa saya saat itu hanya diam? Ya, memang saat itu saya satu kalipun
tidak pernah balas meneriaki, balas menghina, atau mendatangi satu per satu
orang-orang itu. Saya bukan takut. Saya sama sekali tidak takut. Saya hanya
sadar siap saya, siapa orang tua saya. Saya hanya siswa tidak mampu yang ingin
sekolah. Dan orang tua saya bukanlah orang yang berpengaruh seperti orang tua
mereka. Ayah saya sudah tidak ada dan Ibu saya hanya seorang janda tidak mampu
yang beban hidupnya sangat banyak. Akan ditaruh mana muka Ibu saya kalau saya
sampai bermasalah di sekolah? Akan ditaruh mana muka Ibu saya kalau saya
kedapatan bertengkar dengan orang lain padahal saya wanita? Saya tidak mau Ibu
saya akan dicap sebagai Janda yang tidak becus mendidik anak. Makanya saya diam
dan menerima.
Kalau ada yang tanya: Apa hal yang paling menyenangkan saat SMA? Maka
jawaban saya adalah LULUS SMA (pernah dimuat di blog catatan si dongo). Saya senang akhirnya saya bisa menyelesaikan
pendidikan terakhir saya dengan baik. Akhirnya saya lulus juga dengan nilai
yang baik. Akhirnya saya bebas dari bully
verbal mereka. Akhirnya saya tidak perlu lagi memikirkan bully seperti apa yang akan saya terima
besok. Dan akhirnya saya tidak harus melihat wajah-wajah yang membuat saya
tertekan setiap hari.
Tiga tahun berlalu setelah saya lulus SMA, dan nyatanya saya masih
belum bisa melupakan satu setengah tahun masa-masa di-bully itu. Dada saya masih sesak tiap kali mengingatnya, darah saya
masih mendidih di kepala setiap kali teringat setiap kata hinaan, cercaan, dan
ejekan yang mereka lemparkan.
Coleen Rooney pernah bilang: Memaafkan bukan berarti melupakan. Sejuta
kata maaf sekalipun tidak akan mampu menghapus ingatan buruk itu dalam benak
saya. Sejuta maaf sekalipun tidak akan mengembalikan masa-masa SMA yang harus
saya lewati dalam tekanan. Dan sejuta maaf itu hanyalah kemungkinan-kemungkinan
yang tidak akan terjadi. Karena saya rasa tidak satu orang pun dari mereka yang
menyadari betapa satu hinaan yang keluar dari mulut mereka betul-betul mempengaruhi
keseluruhan hidup saya, merusak satu fase dalam hidup saya, dan meninggalkan
bekas luka yang tidak kunjung sembuh dalam hati saya.
Teman-teman, tertawa itu baik, tapi tertawa di atas penderitaaan orang
lain sungguh tidak bisa dikatakan baik. Saya tidak setuju, dan tidak akan
pernah setuju dengan segala macam bentuk bully.
Pada akhirnya, memiliki satu-dua orang teman sejati akan jauh lebih
baik dari punya seribu teman, tapi kesemuanya hanyalah teman-teman palsu.
Mengaku teman, tapi tidak berlaku seperti teman.
STOP BULLYING!