Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Fase Terburuk Dalam Hidup Saya (Please Stop Any Kind of Bullying)


Ada lagi satu hal yang sampai saat ini masih menjadi pengganjal dalam kenyamanan hidup saya. Perasaan yang saya pendam sekian lama karena saya tidak tahu harus cerita ke siapa. Bukannya tidak punya teman cerita, hanya saja saya tidak percaya orang-orang itu bisa merasakan apa yang saya rasakan.

Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah. Namun jargon itu sepertinya tidak berlaku bagi saya. Masa SMA bagi saya justru sebuah masa yang paling buruk yang tidak pantas untuk dikenang.

Di masa SMA, selain menerima ilmu Sekolah Menengah Atas, saya juga menerima bully dari beberapa orang (yang dulunya) teman-teman wanita saya. Tidak di-bully secara fisik, tapi secara psikis. Saya dibully secara verbal dan gestur. Dan bagi saya itu jauh lebih buruk. Itu saya terima kira-kira pertengahan kelas sebelas sampai lulus SMA.

Saat itu saya betul-betul tidak tahu letak kesalahan saya dimana. Apa yang membuat mereka mem-bully saya. Tahu-tahu saya dijauhi dan beberapa seperti menghindar dan berteriak jijik ketika saya lewat seolah-olah saya ini penderita penyakit menular. Awalnya saya tidak sadar sampai akhirnya saya merasa bahwa oh, saya sedang di-bully.

Sejak pertengahan kelas sebelas itu, setiap pagi saya harus memikirkan betul bagaimana menghadapi hari ini. Cercaan seperti apa yang akan ditujukan ke saya hari ini. Memang, orang-orang itu tidak pernah mencerca saya secara langsung atau bilang: Hei Mayzar, kamu jelek! Kamu busuk! Kamu miskin! Tapi bagi saya dimaki secara langsung akan jauh lebih baik daripada saya diteriaki setiap kali lewat, dihina tiap kali berpenampilan, atau dibicarakan yang tidak-tidak di belakang saya. Beberapa bahkan ada yang menyebar keburukan saya sementara saya berusaha rapat-rapat menutup keburukan mereka. Karena beberapa dari orang-orang itu DULUNYA teman baik saya.

Setiap kali saya diteriaki, orang-orang itu akan kompak tertawa terbahak-bahak sementara saya harus merasakan sesak di dada mendengarnya. Pernah suatu ketika, pada bulan ramadhan, saya mengenakan pakaian muslim berwarna oranye, dan saya, dengan mulut besar mereka diteriaki, ‘Waw silau, man!’ Dan orang-orang itu tertawa seolah itu lucu sekali sementara saya harus tetap berjalan menyebrangi lapangan, berusaha menahan emosi hingga dada saya sesak, dengan mata orang-orang tertuju pada saya. Entah kasihan, atau ingin ikut menertawakan.

Saya juga ingat beberapa orang teman sekelas mereka (bukan wanita-wanita yang mem-bully saya) setiap saya lewat bilang ke mereka, ‘Eh, temen lo tuh!’ dan orang-orang yang mem­-bully saya akan berteriak jijik, ‘Ih, sorry aja!’

Saya tidak tahu apa tujuan orang itu berkata demikian. Padahal mereka tahu persis bahwa orang-orang itu TIDAK BERTEMAN dengan saya. Entah apa maksud dan tujuan memancing hinaan kepada saya. Mungkin bagi mereka, hinaan kepada saya adalah semacam hiburan gratis sementara saya sama sekali tidak terhibur.

Tidak ada yang tahu bahwa saya mendapat tekanan yang besar karena itu. Sedikit pun saya tidak pernah menceritakan hal itu kepada Ibu saya. Saya tahu beban beliau sudah banyak. Saat itu ekonomi keluarga sedang buruk dan saya tidak mau menambah beban Ibu dengan masalah saya yang ‘sepele’. Pernah suatu ketika Ibu tanya ke saya, ‘Si itu musuhan sama kamu ya? Kok ketemu Mama mukanya kayak benci banget sama Mama.’ Saya hanya jawab, ‘Memang mukanya begitu barangkali.’

Saya juga tidak bisa bercerita ke teman. Tidak ada yang bisa saya percaya. Karena teman saya ya teman orang-orang itu juga. Jadi di depan semua orang saya bersikap seolah-olah saya tidak peduli dengan itu semua. Padahal di dalam hati, saya merasakan tekanan hebat.

Pindah sekolah bukannya tidak sempat terlintas di benak saya. tapi kembali lagi seperti yang saya sudah bilang, saat itu ekonomi keluarga saya sedang sulit. jadi pilihan terakhirnya hanyalah bertahan sampai akhir.

Sampai saat ini saya masih mengingat setiap cercaan, hinaan, dan ejekan yang mereka lemparkan ke saya berikut siapa yang mengucapkannya. Saya ingat oknum-oknum yang ikut tertawa bersama mereka setiap kali ledekan ke saya dilemparkan. Beberapa teman sekelas mereka, beberapa teman sekelas saya, dan beberapa adik kelas yang akrab dengan mereka. Saya masih ingat. Dan mungkin tidak bisa lupa. Saya harusnya berterimakasih. Kalau tidak ada hal itu, saya mungkin tidak tahu yang mana yang teman, mana yang fake friends, dan mana yang bermuka dua.

Kenapa saya saat itu hanya diam? Ya, memang saat itu saya satu kalipun tidak pernah balas meneriaki, balas menghina, atau mendatangi satu per satu orang-orang itu. Saya bukan takut. Saya sama sekali tidak takut. Saya hanya sadar siap saya, siapa orang tua saya. Saya hanya siswa tidak mampu yang ingin sekolah. Dan orang tua saya bukanlah orang yang berpengaruh seperti orang tua mereka. Ayah saya sudah tidak ada dan Ibu saya hanya seorang janda tidak mampu yang beban hidupnya sangat banyak. Akan ditaruh mana muka Ibu saya kalau saya sampai bermasalah di sekolah? Akan ditaruh mana muka Ibu saya kalau saya kedapatan bertengkar dengan orang lain padahal saya wanita? Saya tidak mau Ibu saya akan dicap sebagai Janda yang tidak becus mendidik anak. Makanya saya diam dan menerima.

Kalau ada yang tanya: Apa hal yang paling menyenangkan saat SMA? Maka jawaban saya adalah LULUS SMA (pernah dimuat di blog catatan si dongo). Saya senang akhirnya saya bisa menyelesaikan pendidikan terakhir saya dengan baik. Akhirnya saya lulus juga dengan nilai yang baik. Akhirnya saya bebas dari bully verbal mereka. Akhirnya saya tidak perlu lagi memikirkan bully seperti apa yang akan saya terima besok. Dan akhirnya saya tidak harus melihat wajah-wajah yang membuat saya tertekan setiap hari.

Tiga tahun berlalu setelah saya lulus SMA, dan nyatanya saya masih belum bisa melupakan satu setengah tahun masa-masa di-bully itu. Dada saya masih sesak tiap kali mengingatnya, darah saya masih mendidih di kepala setiap kali teringat setiap kata hinaan, cercaan, dan ejekan yang mereka lemparkan.

Coleen Rooney pernah bilang: Memaafkan bukan berarti melupakan. Sejuta kata maaf sekalipun tidak akan mampu menghapus ingatan buruk itu dalam benak saya. Sejuta maaf sekalipun tidak akan mengembalikan masa-masa SMA yang harus saya lewati dalam tekanan. Dan sejuta maaf itu hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan terjadi. Karena saya rasa tidak satu orang pun dari mereka yang menyadari betapa satu hinaan yang keluar dari mulut mereka betul-betul mempengaruhi keseluruhan hidup saya, merusak satu fase dalam hidup saya, dan meninggalkan bekas luka yang tidak kunjung sembuh dalam hati saya.

Teman-teman, tertawa itu baik, tapi tertawa di atas penderitaaan orang lain sungguh tidak bisa dikatakan baik. Saya tidak setuju, dan tidak akan pernah setuju dengan segala macam bentuk bully.

Pada akhirnya, memiliki satu-dua orang teman sejati akan jauh lebih baik dari punya seribu teman, tapi kesemuanya hanyalah teman-teman palsu. Mengaku teman, tapi tidak berlaku seperti teman.

dan satu lagi..

STOP BULLYING!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN DUABELAS | Scene Paling Indah


Klakson mobil Kairo ber-tet-tet ria di depan rumahku keesokan paginya. Aku mengintip dari balik tirai dengan kegembiraan yang berlebihan dan norak. Aku bangun pagi ini dengan kurang tidur, tapi entah kenapa aku begitu semangat dan...bahagia. Rasanya baru semalam aku dilahirkan. Entah kenapa hari ini terasa begitu lain. Segalanya seperti baru; kebahagiaanku, semangatku, dan rasa percaya diriku seperti berbeda sekali.

Ada menit dimana aku merasa aku bukanlah diriku yang kemarin. Aku mandi dengan menggunakan sabun lebih banyak dari biasanya. Tadi juga sepertinya aku empat sampai lima kali bolak-balik berkaca hanya untuk memastikan bahwa aku sudah menyikat gigiku dengan cukup bersih. Yang lebih gila adalah aku menghabiskan setengah jam untuk sekedar memilih baju mana yang akan kukenakan ke kampus hari ini. Gila, ternyata adegan-adegan di sinetron itu terjadi juga di hidupku. Dan secara ajaib, mendadak lemariku berisi bertumpuk-tumpuk pakaian yang tak pantas aku kenakan.

Sempat terlintas ide untuk mengintip lemari pakaian Ibu. Namun terpaksa kuurungkan mengingat Ibu tidak menggunakan deterjen dengan merek seperti yang di iklan. Deterjen yang bisa membuat Naysilla Mirdad tetap cantik meski dengan memakai gaun Lidya Kandou waktu gadis. Dan aku yakin satu kampus akan syok kalau aku memakai pakaian Ibu yang ajaib. Dia pelukis, dan gaya busananya entah berkiblat ke edgy, gipsi, atau dukun beranak.  Dengan permsalahan kostum ini, aku baru benar-benar percaya betapa tidak masuk akalnya kekuatan cinta itu. Bukan main.

Akhirnya aku memilih blus polos berwarna abu-abu yang kupadankan dengan semi-jins hitam juga flatshoes berwarna hijau tua yang senada dengan tasku. Blus yang hampir tidak pernah kupakai sejak diberikan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Rambut pendekku kusisir dan kuikat jadi satu. Berusaha serapi mungkin namun apa daya beberapa bagian yang tidak terikat masih berjatuhan di tengkukku. Penampilanku tidak begitu spesial, tapi kurasa enak dilihat dan nyaman dikenakan. Dan tidak berlebihan. Dan sejujurnya memang hanya segitu kemampuan ‘wardrobe’-ku.

Setelah berpamitan pada Ibu, aku segera keluar dari rumah. Sejenak aku berhenti di depan pintu, menatap Kairo yang sedang duduk di atas kap mesin mobilnya, menungguku. Mengenakan sunglasses, ia membiarkan sinar matahari menerpa kulitnya yang warna aslinya mulai kembali; kuning langsat. Perlahan aku mendekatinya, menikmati siluetnya, betapa indah bentuk hidungnya. Dan aku masih tidak percaya bahwa hari ini, aku bertemu dengan lelaki itu sebagai dua orang yang saling jatuh cinta.

Kami telah mengakui bahwa kami berdua saling jatuh cinta. Tidak kusangka blog yang awalnya iseng kubuat karena kegalauanku akhirnya membuat kami membuka topeng masing-masing. Mungkin secara magis, tangan-tangan Tuhan membuat Kairo tanpa sengaja bertemu dengan blog itu. Dan secara licik, James berhasil membongkar siapa nama di balik blog tersebut. Sialan, kampret, dan terima kasih James.

Aku tahu ini dosa besar mengingat Kairo masih berstatus pacar resmi Navita. Ya, aku memang tidak pernah menyangka dan tidak juga mengharapkan akan menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Tapi seperti yang pernah kubilang, cinta adalah perasaan milik manusia yang manusia itu sendiri tidak bisa mengontrolnya.

Dari awal aku sudah tau resiko mencintai Kairo. Aku juga mengerti bahwa ia butuh waktu untuk berpisah dengan Navita secara baik-baik. Tidak mungkin ia meninggalkan Navita begitu saja setelah apa yang terjadi dengan Navita beberapa bulan yang lalu. Aku pun tidak ingin Kairo nantinya akan merasa bersalah kalau Navita sampai melakukan hal seperti setelah ditinggal Rein dulu. Jadi mau tidak mau, aku harus terima dengan posisi ‘orang ketiga’ ini. Lagipula aku tidak terlalu yakin kalau Kairo benar-benar tertarik padaku.

‘Hei,’ katanya sambil melompat turun dari kap mobil begitu aku berdiri di depan pagar. Dilepasnya kacamata hitam dengan bingkai lebar itu lalu ditatapnya aku sambil tersenyum. ‘Cantik sekali.’

Aku buang muka menyembunyikan senyum. ‘Hah, akhirnya aku tahu juga alasannya kenapa cewek-cewek segitu tergila-gilanya sama kamu. Kamu raja gombal.’

‘Lho kok gombal? Seriously, Naya, You’re so beautiful to me.’

Aku tersenyum kecil menatapnya. ‘Kairo, please deh. Kamu gak mau kan hari ini kita gagal kuliah karena kamu sibuk ngejer aku yang terbang gara-gara kamu puji terus.’ Gantian Kairo yang tertawa lepas mendengarnya.

Menghindari serangan gombal yang mungkin akan datang, aku segera membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Di luar, Kairo masih berdiri memandangiku dengan senyum yang tak bisa kujelaskan apa artinya. Aku segera memberi isyarat supaya ia segera masuk ke dalam mobil.

‘Sudah sarapan?’ tanyaku padanya setelah ia masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt.

‘Belum. Tadi mau beli nasi uduk deket kosan udah abis duluan.’

‘Ya udah, nanti sarapan sambil jalan aja,’ aku menunjukkan kotak bekal yang kubawa.

‘Untukku? Asyik! Dapet sarapan gratis dari pacar. Kenapa gak dari dulu aja ya aku macarin kamu. Bisa hemat duit bulanan ini sih.’

‘Sialan.’

***

Siang hari, setelah kuliah selesai, kami meninggalkan ritual 'ngafe' seperti biasa. Aku mengajaknya makan di kedai soto dekat kampusku yang selalu ramai pengunjung. Ini tempat makan teramai seantero kampus karena aneka sotonya yang enak dan supermurah. Sesuai dengan kasta mahasiswa yang isi kantong masih berbanding lurus dengan gaji orang tua.
               
‘Kamu yakin dua gelintir manusia masih bisa masuk ke sana?’ Kairo ragu begitu melihat tempat itu sudah disesaki bermacam manusia kelaparan.

‘Ya harus yakin dong. Ayo!’

Berdesakan, tergencet mahasiswa lain yang berbadan lebih besar, sebisa mungkin aku menyelinap di tengah kerumunan manusia kelaparan itu. Berbekal pengalaman dan keahlian memadai, akhirnya kami berhasil mencapai meja di sudut kedai dengan dua porsi nasi soto yang masih mengepul.

Kairo menatapku lekat. Bibirnya menyunggingkan senyum samar yang tak kumengerti apa artinya. Dan itu berhasil membuat wajahku terasa hangat. Ah, sudah dipastikan sekarang pipiku bersemburat kemerahan. Terlebih lagi begitu aku mengingat ketika berdesak-desakan tadi, tubuh tegap itu tak lepas memproteksi diriku, berdiri di belakangku, sigap mendorong siapa saja yang berusaha menggencetku. Itu lucu karena dia terlihat seperti abang yang sedang menjaga adiknya. Aku jadi teringat Kafka.

‘Dapetinnya susah lho. Mau dilihatin doang sotonya?’ aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

Kairo masih menatapku dengan tatapan yang sama. Anak itu betul-betul tau gimana caranya membuat wanita salah tingkah. Sialan. Aku menyendokkan satu suapan besar soto ke dalam mulut, menghindari rasa gugupku, mencoba terlihat sebiasa mungkin padahal jantungku sudah mau lari ke Komnas Perlindungan Organ Dalam Manusia saking terlalu sering deg-degan karenanya.

Aku sudah hampir menghabiskan sotoku ketika tak sengaja kulirik mangkuk soto milik Kairo masih penuh dan dia masih memandangiku seperti tadi.

‘Kamu gak suka soto ya?’

‘Suka.’

‘Terus kenapa gak dimakan?’

‘Lebih suka lihat kamu makan lahap banget kayak gak makan dua tahun gitu.’

Aku tertawa melengos. ‘Dasar! Playboy gitu ya. Mau makan aja pake ngegombal dulu.’

Tanpa diduga, dengan gerakan cepat Kairo mengulurkan tangannya dan mencubit pipiku dengan gemas. ‘Kan aku udah pensiun jadi playboy-nya.’

Aku mengelus pipiku yang pedas habis dicubit olehnya. Kupelototi dia sambil menghabiskan sisa-sisa soto di mangkukku. ‘Kamu serius gak mau makan? Aku masih laper, buat aku aja ya!’

Bukannya protes, Kairo malah tertawa sambil mendorong mangkuk sotonya ke arahku, ‘Makan banyak, tapi badan kurus kering begitu. Semua yang kamu makan numpuk di pipi deh kayaknya.’

Aku nyengir sebisanya.

***

Sunyi, diam, hanya suara burung dan hembusan angin yang terdengar. Bunyi-bunyian yang serba asing ini, sepertinya aku tidak sedang tertidur di kamarku. Perlahan aku membuka mata. Silau. Cahaya ini terlalu terang untuk lampu halogen kamarku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Langit. Awan. Atap-atap rumah. Buru-buru aku mengucek kedua mata. Astaga! Dimana ini? Aku melihat sekeliling. Sedikit bernafas lega begitu kusadari aku masih berada dalam mobil Kairo. Kupaksa otakku yang belum siap kerja seratus persen untuk mengingat-ingat. Tadi selesai makan di kedai soto, seingatku Kairo mengantarku pulang dan sepertinya aku ketiduran. Ah, aku jadi menyesal membudidayakan kebiasaan habis kenyang terbitlah iler.

Aku menatap jam tanganku dengan pandangan yang masih kabur. Pukul setengah empat sore. Artinya aku sudah tidur hampir dua jam. Gila! Kanaya! Memalukan sekali anda ini! Ini hari pertama anda pulang dianter seorang pacar dan anda ketiduran sampai dua jam! Apa tadi ada yang mencampur obat tidur ke dalam mangkuk sotoku? Kanaya, kamu harus benar-benar mengurangi dosis nonton sinetron.

Chill out. Aku mengatur napas mencoba sedikit rilek lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Rumput dan atap rumah sejauh mata memandang. Dimana ini? Rasa-rasanya ini bukan Jakarta. Kalaupun ini Jakarta, pasti tadi aku naik mesin waktu ke puluhan tahun yang lalu. Mana mungkin Jakarta punya padang rumput seluas perbukitan ini? Lalu, dimana Kairo?

Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Udaranya bisa dikatakan sejuk kalau dibandingkan dengan jam empat sore di Jakarta. Matahari mengintip di balik awan dan angin yang bertiup lumayan kencang.

Beberapa meter dari tempatku berdiri, sekelompok anak laki-laki sedang berlomba-lomba menerbangkan layang-layang. Beberapa berteriak-teriak, beberapa bersiul-siul memanggil angin, dan beberap lagi bersiap dengan tongkat kayu di tangan, siap mengejar kalau-kalau ada satu layang-layang yang putus. Dan aku mengenali satu bocah laki-laki yang sedang asyik menerbangkan layang-layang. Mudah dikenali, karena dia satu-satunya yang berbadan besar.

‘Hei, kirain besok pagi baru bangun,’ ujarnya ketika aku mendekat.

‘Kita dimana?’

‘Masih di tanah Jawa kok, Non. Tenang aja,’ Kairo tampak senang sekali bermain layang-layang. Seperti bocah yang masa kecilnya kurang bahagia.

Dan hatiku berdesir melihatnya. Matanya menyipit karena menantang matahari. Peluh mengalir melalui pelipis matanya. Dia tertawa-tawa bersama bocah-bocah dekil yang kulitnya gosong seharian terpanggang matahari. Sesekali ia ikut berteriak dan bersiul bersama anak-anak itu. Rasa-rasanya baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu.

Tahu-tahu Kairo menoleh. Aku sudah tidak sempat mengelak lagi saat ia menatapku sambil tersenyum. Ia menyerahkan gulungan senarnya pada seorang anak laki-laki yang sedari tadi hanya menunggui layang-layang putus, lalu bergerak mendekatiku.

‘Maaf ya, aku cuma bisa bawa kamu ke tempat ini.’ Kairo merebahkan diri di atas rumput.

No problem. Seenggaknya kamu gak ganggu tidur siangku,’ aku mengikutinya berbaring di rumput. ‘Ini tempat apa?’

Kairo diam sejenak kemudian tertawa sendiri. ‘Aku punya cerita lucu di tempat ini. Jadi dari kecil aku diasuh sama mbak-mbak cantik. Rumahnya di perkampungan gak jauh dari sini. Pas umurku lima tahun, mbak asuhku menikah dan aku marah. Aku ngambek pas acara nikahan si Mbak dan lari ke sini.’

‘Kamu pasti manja banget sama si Mbak. Sampe segitunya ditinggal kawin.’

Kairo geli sendiri. ‘Sebenernya dulu aku naksir sama si Mbak. Aku malah pernah bilang kalo si Mbak gak boleh nikah sebelum aku gede. Dulu sih aku belum ngeh kalo naksir si Mbak sama aja naksir tante-tante.’

‘Gak heran sih gedenya jadi playboy. Masih kecil aja naksirnya udah sama mbak-mbak,’ aku mengikik sendiri.

Kairo menjawil pipiku pertanda protes. Ekspresi wajahnya dibuat seolah dia ngambek betulan. ‘Kubilang kan aku udah pensiun.’

‘Pensiun darimana? Sekarang aja pacarmu dua.’

Seketika suasana jadi hening dan serba tidak enak. Kairo diam sambil menerawang entah apa yang ada di langit. Aku mengutuki mulut sendiri yang bicara tanpa disaring dulu. Aku tahu Kairo merasa tidak enak dengan situasi ini. Dia merasa bersalah padaku karena belum bisa meninggalkan Navita, juga merasa bersalah pada Navita karena tidak lagi cinta, namun tidak bisa meninggalkannya.

Akupun merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. ‘Kelamaan di sini aku bisa molor lagi nih. Pulang yuk!’ aku beranjak dari tempatku berbaring. Namun tiba-tiba Kairo mencekal tanganku, menariknya pelan agar kembali berbaring rapat di sisinya. Matanya dipejamkan, namun tangannya menggenggam erat jemariku.

‘Sebentar lagi. Aku mohon ijin untuk berbaring di sini dengan kamu sebentar lagi. Karena hanya dengan di sini aku merasa memiliki kamu dan kamu memiliki aku. Langit, angin, suara burung, rumput, layang-layang, genggaman tangan kamu, ini scene paling indah sepanjang film hidupku.’

‘Bonus teriakan girang bocah-bocah.’

‘Hadiah utamanya tetap kamu.’

Aku merasakan pandanganku mulai mengabur. Aku memejamkan mata, berusaha agar cairan yang tidak diinginkan itu tidak merebak memenuhi mataku. Dia benar, hanya di sini kami bisa merasa benar-benar saling memiliki secara bebas. Aku dan dia saja. Aku ingin menangis saking penuhnya bahagia dalam hatiku saat ini. Baru kali ini aku merasakannya.

Aku menyadari penuh bahwa kisahku dengannya bukanlah air yang pada akhirnya sudah pasti mengalir ke laut. Bukan pula hari yang pasti bertemu dengan senja. Kisahku mungkin bisa kuibaratkan sebagai pohon yang baru tumbuh. Sebatang pohon tidak pernah tahu apakah ia akan terus tumbuh besar, mati tergerus musim  atau musnah dijarah tangan manusia. Entah kemana dan bagaimana kisah ini akan bergulir, entah akan berakhir seperti apa, satu-satunya yang aku tahu adalah saat ini ingin kunikmati saja detik-detik yang merekam kebersamaanku dengan dia.  Aku balas menggenggam erat tangannya. Aku ingin dia merasakan apa yang sedang aku rasakan. Aku ingin waktu, menit, detik, rotasi bumi, berhenti saat ini juga. Mengabadikan bahagiaku bersamanya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN SEBELAS : PENGAKUAN (BAGIAN DUA)


KANAYA’S VIEW

Baring hadap kanan, lalu baring hadap kiri. Baring hadap kanan lagi, lalu baring hadap kiri lagi. Entah sudah berapa kali ‘ritual’ itu kujalani. Tapi mata ini tidak kunjung terpejam. Ini cukup mengherankan bagi aku yang biasanya jam sembilan malam saja sudah terkapar di atas kasur. Pikiranku tidak bisa kosong saat ini. Aku masih saja memikirkan kenapa Kairo harus selama itu pulang ke Bandung.

Aku duduk. Berbaring. Duduk lagi. Lalu berdiri, mencoba lari-lari kecil di tempat berharap capek bisa mengundang kantuk untuk datang. Tapi rasanya sia-sia saja. Lalu kuputuskan untuk beralih pada televisi di kamar tidurku. Kunyalakan, lalu mencari-cari saluran tivi yang menayangkan acara bagus. Biasanya aku selalu ketiduran kalau menonton tivi. Mungkin saja cara ini ampuh. Tapi, lagi-lagi mataku justru asyik menonton Posseidon yang entah sudah berapa kali ditayangkan oleh saluran tivi ini.

Sesekali aku mengalihkan pandangan pada layar BlackBerry-ku. Mengecek recent update(s), kalau-kalau saja ada tanda-tanda aktivitas dari kontak BBM milik Kairo. Tapi nihil. Bahkan kontaknya tidak aktif. Facebook  dan twitter-nya sama sekali tidak di-update.

Samar-samar di luar rumah, aku mendengar sebuah mobil berhenti. Sepertinya persis di depan pagar rumahku. Mungkin tamunya Pemilik agensi model yang tinggal persis depan rumahku. Tapi pikiran tentang tamu Bos Agensi Model itu sirna setelah kudengar gembok pagar rumahku bergelontang pelan. Aku menekan tombol mute pada remote. Kudengar langkah kakiknya semakin dekat dengan rumahku. Siapa yang bertamu dengan memanjat pagar malam-malam begini? Apa mungkin...pencuri?

Aku meraih tongkat baseball milik kakak yang kuletakkan di samping lemari pakaianku. Jaga-jaga saja kalu sampai benar yang datang adalah pencuri. Tak lama kemudian, kudengar pintu diketok dengan perlahan. Otakku kembali berpikir, mungkinkah pencuri mengetuk pintu dengan sopan? Ya, meskipun tamu juga tidak bisa dikatakan sopan kalau bertamu pada jam segini, hampir jam sepuluh malam.

Aku menyandarkan tongkat baseball pada sofa dan perlahan membuka pintu. Kosong. Tidak ada orang di depan pintu. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari tanda-tanda kehadiran seseorang namun hasilnya nihil. Siapa sih yang iseng tengah malam begini?

Tiba-tiba seonggok kotak kaca berisi kura-kura melayang di depan wajahku. Jantungku hampir copot dengan gerakan yang amat cepat itu. Berdiri di hadapanku, bocah sipit bertubuh tinggi itu mengikik melihat ekspresi wajahku.

‘Baro! Jahil amat sih! Kalo aku jantungan terus mati gimana?’ Aku mencubiti lengannya yang kokoh dengan kesal. Bukannya berhenti, Baro malah makin tertawa sampai membungkuk saking senangnya.

‘Iyaaaa iyaaa ampuuun Kanaaa! Ampuuun!’ Baro sampai tersengal-sengal ketika aku mencubiti, memukul, dan mencakar lengannya. ‘Coba ngelamar jadi bodyguard Obama deh, pasti kamu diterima,’ sungutnya sambil mengelus-elus lengan.

‘Kamu ngapain ngagetin orang malem-malem?’

Baro menunduk sambil tersenyum. Tangannya menyodorkan kotak kaca berisi kura-kura. Dari motifnya, seperti ini jenis kura-kura Brazil yang pernah kulihat di tivi. ‘Ini namanya kura-karo. Buat kamu.’

Aku meraih kotak-kaca yang diberi pita ungu itu dan mengangkatnya di udara. Memutar-mutar kotak itu dan memperhatikannya isinya bak menerawang uang palsu.

‘Kamu tau nggak kenapa namanya kura-karo? Kura karena dia kura-kura. Karo itu KAnaya dan baRO. Jadi kura-karo ini peliharaan kita berdua.’

‘Lucu deh kura-kurannya. Kayaknya ini hewan pertama yang aku suka deh.’

‘Oh ya? Aku senang kalu kamu suka.’

Aku menatapnya yang nampak canggung berdiri di hadapanku. Mulutku jadi gatal untuk bertanya. ‘Kamu kenapa? Kayak mau sidang skripsi deh, gugup bener.’

Baro terdiam cukup lama. Ia meremas-remas jemarinya lalu sesekali menggaruk bagian belakang kepalanya yang –aku tahu- sesungguhnya tidak gatal sama sekali.

‘Kana, sebelumnya aku minta maaf karena bilang ini ke kamu,’ Baro berhenti sejenak. Menarik nafas panjang, lalu melanjutkan, ‘Aku mau bilang kalo sejak SMP dulu dan sampai sekarang aku selalu suka kamu. Tidak pernah berubah.’

Aku tersenyum menatap laki-laki di hadapanku ini. Baro hampir satu dekade tinggal di New York, dan dia juga atlet basket dengan otot-otot yang kokoh, bagaimana bisa ia tetap jadi cowok sepolos ini? Kalau saja aku lebih dulu bertemu dengannya kembali daripada bertemu dengan Kairo, mungkin aku akan dengan sangat senang hati bilang kalau aku juga suka padanya. Tapi kenyataannya lain.

‘Baro..’

No, Kana. Malam ini aku cuman pengin mengungkapkan perasaanku. Waktuku di Jakarta tinggal kurang dari sebulan lagi dan aku gak cukup yakin bisa memendam ini lebih lama. Suatu hari nanti, kalau kamu merasakan hal yang sama, aku harap kamu gak akan sungkan untuk bilang.’

Mendengar itu, aku merentangkan tanganku lebar-lebar untuk lelaki tampan dengan hati yang luar biasa ini. Aku benar-benar salut padanya. Dia memang tidak pernah berubah. Hatinya tetap sebaik dulu, waktu ia dengan besar hati mau berteman denganku yang dianggap aneh dan tidak menarik. 

‘Terima kasih sudah mengungkapkan perasaan kamu, Baro,’ gumamku dalam dekapannya. Kubenamkan dalam-dalam wajahku di dadanya yang kokoh. Hal itu dibalasnya dengan dekapan yang semakin erat. Sungguh, nyaman dan hangat sekali berada dalam dekapan laki-laki ini. Mungkin karena aku berada sedikit lebih dekat dengan hati yang jadi sumber kebaikannya.

‘KANAYA!’ sentakan itu membuatku kaget untuk kedua kalinya malam ini. Sontak aku melepaskan diri dari Baro. Aku hafal suara itu. Itu suara Kairo. Di antara temaram lampu taman, Kairo melintasi halaman rumahku dengan langkah yang cepat. Ketika sudah berdiri di hadapanku, barulah aku melihat ekspresi wajah orang yang paling kucari seminggu terakhir ini; entah marah atau kesal, alisnya berkerut menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Tangannya memegang, mungkin bisa dibilang mencengkram beberapa lembar HVS.

‘Aku perlu bicara sama kamu BERDUA,’ ia menekan aksennya pada kata ‘berdua’. Kali ini tatapannya dialihkan ke Baro.

‘Baiklah. Kana, aku pulang dulu ya!’ Sekilas Baro menggosokan telapak tangannya ke puncak kepalaku. Membuat alis Kairo –menurut sudut pandangku- menjadi makin berkerut. Dia terus menatapku dengan ekspresi seperti itu.

Aku? Kau mau tanya bagaimana perasaanku? Ya aku sih... SENANG BUKAN MAIN! Sungguh, aku senang sekali melihatnya berdiri di hadapanku, sehat walafiat, sempurna, tidak kurang satu apapun. Dalam hati aku berulang kali mengucapkan syukur kepada Tuhan. Kecemasan, kekhawatiranku sirna sudah. Digantikan dengan senang, bahagia, girang, dan kalau saja aku tidak pandai menguasai diri, saat ini mungkin aku sudah melompat memeluk tubuhnya saking bahagianya aku melihat dirinya lagi.

‘Ngapain kamu pelukan sama orang itu?’ tanya Kairo setelah mobil Baro meninggalkan pagar rumahku.

‘Orang itu punya nama lho. Dan namanya Baro.’

‘Aku gak tanya namanya siapa. Yang aku tanya kenapa kamu peluk-pelukan sama orang itu tengah malam begini?!’

‘Lha kamu sendiri? Kenapa tiba-tiba tengah malam muncul depan rumahku dengan ekspresi gak ngenakin setelah seminggu menghilang gitu aja?’

Kairo diam. Tapi tangannya menyodorkan lembaran kertas yang sedari tadi ia pegang. Aku mengambil kertas itu sambil menatapnya bingung. Kulihat satu per satu apa yang kira-kira tertulis di lembaran kertas itu. Dan...astaga!!! Ternyata kertas itu berisi tulisan di blogku! Ya Tuhan! Bagaimana ini? Aku memang bodoh menuliskan namanya pada posting terakhir yang aku buat. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak mengira bahwa dia akan menemukan blog itu! Seingatku aku benar-benar menyembunyikan semua informasi mengenai admin blog itu. Bagaimana dia bisa tahu?

Aku menatap Kairo dengan canggung. Lidahku kelu bahkan untuk sekedar menyangkal. Kupaksakan diri untuk bersuara meski akhirnya terdengar seperti orang gagu belajar bicara. ‘Kairo..ini..’

‘Apa betul brokeneconomist.blogspot.com itu punya kamu?’

Aku tertunduk menatap jari-jari kakiku. ‘Kairo.. itu.. tidak begitu. anu.. aku..’

‘Kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak,’ tegasnya mantap.

‘Tidak.. maksudku iya.. eh tapi tidak begitu juga.’

Tidak sabar, dengan kedua tangannya ia meraih kepalaku dan memaksa mataku untuk bertemu dengan tatapannya. Aku menatap kedua bola mata itu dan sekejap saja aku merasa pertahananku akan runtuh.

‘Jawab aku dengan jelas dan jujur. Apa betul itu blog kamu?’

Aku menepis kedua tangannya lalu kembali tertunduk. ‘Iya betul. Dan maaf.’

‘Maaf?’ Nada bicaranya terdengar sedikit marah. ‘Untuk apa kamu minta maaf? Untuk tidak jujur? Untuk suka padaku dan tidak bilang? Atau untuk mengkhianati persahabatan kita?’

Aku hanya mampu berdiri mematung tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Untuk semuanyalah aku meminta maaf padamu. Untuk tidak jujur, untuk suka padamu dan tidak bilang, dan untuk mengkhianati statusku sebagai sahabat kamu! Mungkin juga atas kesalahan terbesarku yang telah berani-beraninya menyukai kamu!

‘Kamu tahu apa yang paling membuatku marah?’ Ia menurunkan intonasinya. Diangkatnya perlahan daguku dengan telunjuknya. Sorot matanya telah berubah. Meneduhkan. Membuatku yang sudah jatuh cinta, menjadi jatuh-tersungkur-terseok-seok cinta kepadanya.

‘Yang paling membuatku marah adalah aku sampai harus menghilang, membenci diriku sendiri karena kupikir.. I love my bestfriend while she doesn’t. And it pains me so much.’

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya sampai kukira akan meledak. Dadaku disesaki dengan berbagai macam perasaan; terkejut, senang, tidak percaya, dan takut. iya, aku takut. Ini seperti mimpi, namun terlalu nyata jika kusebut sebagai mimpi. Apa tadi aku benar-benar tertidur saat sedang menonton Posseidon?

Yes, Kanaya.. Definitely, I love you as a man. I’ve just realized that you mean the world to me. I’m sorry for letting you wait for me for so long.’

‘Kairo.. tanggal berapa ini?’ Bibirku sungguh bergetar saat mengucapkannya. Semua sendiku kini terasa kaku.

Mata Kairo membesar maksimal. Ia tampak begitu kaget dan terhina. ‘What?! Aku tengah malam nyetir sendirian dari Bandung untuk nyatain perasaan ke kamu dan kamu cuman nanya tanggal berapa?’

‘Nggak, bukan begitu. Aku hanya ingin memastikan bahwa ini bukan April mop.’

Sontak Kairo tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu meraih kepalaku dan mencium keningku dengan gemas. ‘I never deal with April Mop.’

Jantungku rasanya merosot ke mata kaki. Sungguh aku baru tahu rasanya ‘ditembak’ oleh orang yang sudah lama kau sukai itu seperti sedang naik wahana roller coaster. Terlebih lagi saat roller coaster meluncur dari ketinggian puluhan meter. Kalau biasanya kupu-kupu dalam perutku hanya menari-nari tiap kali aku menatapnya, kali ini ia jaipongan sambil salto dan mungkin maraton sepuluh putaran. Sungguh kontras dengan saat Baro menyatakan perasaannya padaku beberapa menit yang lalu. Tunggu dulu, hei, ada apa denganku malam ini? Hari apa ini? Zodiakku apa? Apa menurut ramalan zodiak hari ini adalah hari keberuntungan untuk zodiakku? Kenapa malam ini, dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempat yang sama pula, dua orang laki-laki yang berbeda menyatakan perasaannya padaku?

Tapi aku tidak bisa langsung senang. Sesuatu tiba-tiba muncul di pikiranku. Sesuatu yang bisa menghancurkan mood baikku malam ini. Sesungguhnya aku tak ingin merusak suasana dengan menanyakan ini, namun tanpa komando dari otak, seperti di luar kesadaran, mulutku langsung melontarkan pertanyaan begitu saja, ‘Lalu.. bagaimana dengan Navita?’

Kairo mengatupkan rahangnya. Ia maju satu langkah lebih dekat padaku, lalu memantapkan tatapannya pada bola mataku. Kedua tangannya memegangi lenganku dengan yakin. Dan kata-kata yang muncul berikutnya benar-benar kuprediksi akan membuatku mendadak lumpuh total. ‘Kanaya Alvira, aku cinta kamu sekarang. Untuk saat ini, apa kamu cukup dengan terus berada di sisiku saja?’

Aku sadar, ini bukanlah akhir dari penantianku, tapi justru awal dari perjalanan panjang kisah cintaku. Dan entah mengapa, Detik itu juga, saat Kairo mengucapkan kata termanis yang pernah kudengar sepanjang dua puluh tahun lewat beberapa bulan aku hidup, aku ingin dunia berhenti berputar.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN SEPULUH : RAHASIA YANG TERKUAK


KANAYA’S VIEW

Aku belum bertemu lagi dengan Kairo sejak makan siang di cafe waktu itu. Hampir seminggu ia tidak menampakkan diri di hadapanku. Kuhampiri ke kelasnya, James bilang dia sudah seminggu tidak masuk kuliah. Ada apa dengan anak itu? Apa dia sedang kena masalah? Atau jangan-jangan dia sedang buron? Ah, tidak. Jangan sembarang kamu, Kanaya! Gila saja.

Awalnya kupikir ia sengaja menjauh dariku. Tapi kenapa dia mendadak ingin menjauhiku? Seingatku saat pertemuan terakhir itu kami baik-baik saja. Bahkan dia mentraktirku steak. Aku benar-benar bingung sampai akhirnya siang ini Navita meneleponku. Iya, Navita. Pacarnya sendiripun tidak tahu dimana keberadaan anak itu. Aku kembali berpikir, jangan-jangan benar dia sedang buron.

Tapi setahuku Kairo tidak punya kriteria buronan polisi. Buronan wanita mungkin iya. Setahuku dia memang perokok berat tapi ia tidak pernah berurusan dengan minuman keras atau obat-obatan terlarang. Membunuh orang? Rasanya tidak mungkin. Berarti mungkin iya sedang mengalami kemungkinan kedua, jadi buronan wanita. Tapi wanita yang mana? Setahuku Kairo sudah insyaf sejak ditinggal Navita beberapa waktu yang lalu.

Seorang diri, aku memutuskan untuk mendatangi kos-kosannya sepulang kuliah. Aku pernah ke sana beberapa kali hanya untuk memenuhi permintaan Kairo dibuatkan mi instan. Anak itu manja sekali. Dia selalu lupa makan kalau tidak diingatkan. Bukan tidak sering aku melihatnya memberi uang secara cuma-cuma pada pemilik cafe langganan kami; memesan makanan mahal, tapi tidak disentuh sama sekali.

Aku tiba di depan kos-kosannya yang terletak tak jauh dari kampus. Kos-kosan itu berupa rumah berlantai dua, terlihat seperti rumah susun dengan pintu berjejer. Aku langsung menaiki tangga. Kamar kos Kairo terletak persis di sebelah tangga lantai dua. Lantai dua terlihat sepi. Aku sedikit bergidik mengingat  kos-kosan ini umumnya dihuni laki-laki. Tapi mengingat penampilanku yang sama sekali tidak menarik bagi pria katarak sekalipun, aku urung khawatir.

Aku mengetuk pintu kamarnya. Satu kali, tidak ada jawaban. Aku mengetuk pintu sambil memanggil-manggil si empunya kamar kos, tidak juga ada jawaban. Aku beralih ke jendela. Sial pula gordennya tertutup rapat.

‘Cari Kairo, Neng?’ Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku sedikit kaget dibuatnya. Terlebih lagi begitu aku membalikkan badan, melihat orang itu hanya mengenakan boxer dan bertelanjang dada, membawa seember pakaian basah di tangannya.

‘Aduh, maaf. Saya baru selesai mandi dan nyuci,’ ujarnya seperti tahu bahwa aku tidak nyaman dengan penampilannya. ‘Kairo teh pulang ke Bandung. Itu lihat sendiri mobilnya tidak ada.’

Aku melongokkan kepala ke arah yang ditunjuk cowok kurus kering setengah bugil itu. Benar, mobil double cabin-nya memang tidak nampak di halaman kos-kosan.

‘Mas tau kenapa dia pulang ke Bandung? Apa ada masalah?’

‘Waduh saya tidak tahu pastinya, Neng. Saya permisi dulu, mau jemur pakaian.’

Aku mempersilakan cowok kurus itu pergi. Kutatap pintu kamar itu sekali lagi. Berharap tiba-tiba si penghuni kamar keluar sambil teriak, ‘KETIPU!’ Tapi rasa-rasanya percuma saja. Lima menit aku memandanginya, pintu itu tetap bergeming.

Aku menuruni tangga dengan sejuta pertanyaan berseliweran di kepala. Dia pulang ke Bandung? Kenapa dia tiba-tiba pulang ke Bandung? Kenapa begitu lama? Apa keluarganya di sana sedang ada masalah? Kenapa pula dia tidak cerita padaku? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang akan menghabiskan energiku untuk dipikirkan. Ah anak itu, dia selalu sukses membuatku galau.

***

KAIRO’S VIEW

Masih dengan aroma kemarin sore alias belum mandi, aku duduk di pinggir jendela kamarku di Bandung. Jam di meja kecil dekat tempat tidurku menunjukkan pukul setengah dua siang. Artinya sudah hampir enam jam aku duduk di sini, tidak melakukan apa-apa, hanya bengong seperti ayam kena kelor.

Kudengar pintu kamarku dibuka dengan pelan. Aku hanya menoleh sekilas. Kulihat Ibu tersenyum dengan nampan penuh makanan di tangannya. Ibu selalu begitu kalau aku tidak kunjung turun dari kamar untuk makan siang. Beliau tipikal Ibu-ibu baik kalau di sinetron. Meskipun usianya kini sudah hampir mencapai separo abad, tapi Ibu tetap cantik dengan jilbabnya.

Kalau Ayah tokoh antagonis, bagiku Ibu adalah tokoh protagonis dalam ‘sinetron’ hidupku. Kalau Ayah diibaratkan sebagai Ibu Tirinya Cinderella, Ibu adalah Ibu Peri yang selalu menghibur dan membuat masalahku terasa mudah. Tunggu dulu, berarti aku Cinderella? Ah, tidak. Ganti saja perumpamaannya.

Ayahku tipikal orang berwatak keras. Berdasarkan cerita Ibu, Ayah sudah sangat kenyang makan asam garam kehidupan. Berangkat dari anak seorang Janda petani miskin, dengan ketangguhan yang didasari tekad yang besar, kini Ayah sudah menjadi salah seorang pengusaha yang cukup sukses. Kesimpulanku, kerasnya kehidupan yang ia jalani dahululah yang bertanggung jawab penuh atas watak keras yang dimiliki Ayah.

Biasanya, kalau Ayah marah, Ibulah yang akan jadi ‘pengacara’ yang akan selalu membela kami. Ah ralat, bukan ‘kami’, karena diantara empat orang anak Ayah, akulah yang paling bandel. Maklum saja, aku satu-satunya anak lelaki di keluargaku.

Kembali ke Ibu, ia sekarang duduk di hadapanku. Memandangiku dengan senyumnya yang mampu menenangkan macan ngamuk sekalipun. Tapi aku anaknya, aku tahu itu pandangan menyelidik. Dan dia Ibuku, sudah sangat dipastikan dia tahu bahwa aku sedang punya ‘masalah’. Ibu mana yang tidak ingin tahu jika anaknya yang sudah keasyikan dengan kehidupan Jakarta, tiba-tiba pulang dengan wajah murung dan berhari-hari sembunyi di kamar.

‘Abang belum mau cerita juga sama Ibu?’ Ibu menatapku sambil tersenyum. Abang, begitulah aku selalu dipanggil di rumah. Abang adalah panggilan bagi kakak laki-laki orang Sumatera Selatan, daerah asal Ibuku. Aneh memang, aku anak bungsu dan justru dipanggil ‘Abang’.
Tangan Ibu mulai menggerakkan sendok, bersiap menyuapiku. Iya, aku anak yang sangat dimanja. Ada masalah?

‘Cerita apa sih, Bu,’ ujarku asal. Mulutku langsung menyambar suapan Ibu. Enak.

‘Abang..Abang.. kayak ada gitu hal yang gak Ibu tahu dari kamu. Pasti masalah perempuan deh.’

Aku berhenti mengunyah. Curiga, jangan-jangan selama ini Ibu keturunan paranormal. Disekak begitu aku langsung nyeplos bicara. ‘Kayaknya aku kena karma deh, Bu.’

Ibu menurunkan sendok di tangannya. Ditatapnya mataku dalam-dalam. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya. ‘Kenapa Abang bisa bilang begitu?’

‘Ya abis, selama ini aku selalu gonta-ganti cewek, mutusin si A demi pacaran sama si B, dan mungkin menyakiti hati mereka. Dan sekarang, aku baru tau gimana rasanya jatuh cinta dan gak kesampaian. Mungkin aku kelihatan seperti kaum jahiliyah, memuja batu, dan batu itu hanya diam.’ Sial, aku benar-benar terdengar seperti ABG cewek setelah mengucapkan kalimat itu.

‘Memangnya Abang sudah menyatakan perasaan?’

Aku terdiam sejenak. ‘Justru itu, Bu. Untuk menyatakan perasaan aja aku gak punya keberanian. Masalahnya, yang kutaksir ini sahabatku. Syukur-syukur dia punya perasaan yang sama. Nah kalo enggak? Pacaran enggak jadi, persahabatan kami bisa hancur. Dan aku gak akan bisa sama-sama dia lagi.’

Ibu tersenyum sambil menyodorkan air minum kepadaku. ‘Sejak kapan anak Ibu yang paling ganteng ini takut ditolak cewek? Ibu kasih tau rahasia deh. Dulu, Ibu itu gak suka banget sama Ayahmu. Tentu kamu tahu gimana sifat Ayah. Dia gak kenal kata menyerah. Dia kerja terus dan terus demi bisa memenuhi ‘standar’ laki-laki yang menurut kakekmu pantas jadi suami Ibu. Melihat itu Ibu jadi tersanjung dan mulai simpati pada Ayah. Kamu tahu intinya apa?’

Aku menatap Ibu dengan penuh penasaran.

‘Intinya ketika kamu menyukai seseorang, tunjukkan bahwa kamu memang suka. Tunjukkan bahwa kamu pantas untuk diterima. Ditolak tidak masalah. Karena ditolak rasanya jauh lebih baik daripada menyimpan perasaan itu sendiri. Karena setidaknya kamu sudah berusaha untuk ‘menang’, bukannya sembunyi dan memilih untuk jadi pengecut.’

‘Wuidih, kata-kata Ibu keren deh. Nanti aku tulis di twitter ya.’

Ibu meraih kepalaku dan mencium puncaknya. Beruntungnya aku memiliki beliau. Aku tidak pernah malu diperlakukan Ibu seperti anak kecil begini. Karena tentu ada orang yang tidak seberuntung aku, merasakan kasih sayang yang begitu besar dari seorang Ibu. Dan pada dasarnya, seorang anak tidak akan pernah berhenti menjadi anak. Seorang anak tidak akan pernah dewasa di mata Ibunya. Dan hingga saat ini, aku masih begitu menikmati peranku menjadi anak Ibu.

I love you, Ibu,’ gumamku dalam pelukannya.

I love you too, Kairo, anak kesayangan Ibu.’

***

Setelah berbicara dengan Ibu, aku memutuskan besok akan kembali ke Jakarta. Bukan itu sih alasan utamanya, tapi karena Ayah sudah hampir kebakaran jenggot melihatku santai-santai di rumah sementara tanggung jawab pendidikan di Jakarta terlantarkan. Kalau mau Ford Ranger-ku di sita dan uang bulanan dipotong empat puluh persen, ya silakan saja memperpanjang masa bolos.

Di tepi jendela kamarku, aku duduk bersila di atas sebuah sofa empuk, menghadapi notebook yang sudah terhubung dengan jaringan wi fi rumahku. Iseng, tanganku mengetikkan alamat blog si ahli ekonomi yang sudah kuhafal betul pada address bar. Koneksinya sedikit lamban. Butuh beberapa detik untuk menampilkan halaman blog itu secara utuh. Ada sebuah posting baru yang dipublikasikan... beberapa jam yang lalu.

KEMBALI

Entah apa harus kusebut perasaan ini.. 
Galau? Sepertinya terlalu ‘anak muda’
Kosong? Tapi aku masih bisa bernafas..
Atau hampa? Sesak?
Menyedihkan?

Dia menghilang..
Tanpa pertanda, firasat, maupun pesan..
Dan aku, sistem kehidupanku jadi terganggu
Karena bagian dari ‘sistem’ tersebut hilang..

Kau bayangkan saja jika sebuah motor, businya hilang..
Apakah motor itu bisa berjalan?
Tidak.
Kau bayangkan saja jika aku Samson Betawi, dan dia bulu ketekku
Ketika bulu ketekku raib dibabat orang, apa Samson Betawi masih kuat?
Tidak.
Tidak.
Tidak.

Jangankan untuk menyebutkan apa perasaan ini..
Untuk merasakannya saja apakah aku pantas?

Aku merasa kehilangan atas apa yang sesungguhnya tidak pernah aku miliki..
Yang aku miliki hanya ragaku dan perasaanku padanya saja..
Raganya? Hatinya? Milik orang lain.
Miris sungguh..
Ketika manusia adalah pemilik sebuah cinta, namun ia sendiri tidak mampu menyetir, mengarahkan, dan menentukan kemana cinta ini akan menuju.
Kalau saja bisa, aku tentu akan memilih cinta ini kutujukan saja pada dia yang punya cinta padaku..
Aku ini.. bicara seperti ada orang yang mencintaiku saja..

Hei kamu..
Tidak cukupkah kamu tidak mencintaiku saja?
Jangan menghilang tanpa jejak dari hidupku seperti ini..
Aku cukup jika bisa melihat kau setiap hari, merasakan kehadiranmu, menyaksikan kau hidup, tertawa setiap hari..
Tidak peduli siapa di sisimu, asal aku bisa melihat kau ada, bagiku cukup..
Ya, cinta untuk seorang pengecut sepertiku adalah cukup dengan itu.
Memang aku akan selalu menelan sakit setiap kali melihat senyummu, bahagiamu, yang bukan karenaku melainkan karenanya..

Tapi aku lebih memilih untuk merasakan sakit
Asalkan kau kembali..

Kairo..

Aku mengucek kedua mata berulang-ulang kali. Zooming in lalu zooming out hingga berulang-ulang memastikan bahwa mataku memang tidak salah. Aku mengeja lima huruf pada kata terakhir pelan-pelan. K-A-I-R-O. Kairo. Benar, sepertinya memang tidak salah. Aku jadi sedikit bekeringat. Apa Kairo yang dimaksud dalam tulisan ini adalah.... Kairo Chandra Kinanta? Aku? Kalau benar Kairo yang dimaksud adalah betul aku, lalu... Siapa pemilik blog ini?

Aku meraba-raba saku celana mencari ponsel. Aku harus menghubungi James sekarang. Segera ku-dial nomor ponsel James yang sudah ku-setting di panggilan cepat. Kuketuk-ketukkan jari sambil menunggu telepon diangkat oleh James.

‘Halo..’ sapa James dengan malas.

‘Mes, lo harus bantuin gue.’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BAGIAN SEMBILAN : Pengakuan (Bagian Satu) *banyak banget bagiannya mbak?*


KANAYA’S VIEW

Ternyata selama ini aku salah. Sejak pertemuan pertama dengannya beberapa  bulan yang lalu, kukira aku orang yang paling mengerti Kairo. Kukira aku yang paling tau dia. Belakangan ini Kairo bener-bener jadi aneh. Pertama, dia jadi kehilangan jati diri hanya karena seorang cewek yang dicintainya setengah hidup. Kedua, kenapa dia harus marah-marah begitu aku tidak punya waktu untuknya? Toh, aku cuman SAHABATNYA, seperti yang selalu dia katakan! Selama ini aku yang selalu dia lupakan. Selama ini aku juga yang selalu dia tinggalkan. Tubuhnya, hatinya, bahkan waktunya semua untuk Navita. Lalu kenapa dia harus protes begitu kini aku sibuk dengan duniaku sendiri? Tidak bersamanya melainkan bersama Baro, cinta monyetku yang tiba-tiba muncul.

Ngomong-ngomong ‘delfy boy’-ku yang dulu gendut sekarang udah keren. Pipinya yang dulu chubby sekarang udah berubah jadi rahang kokoh yang dihiasi dua buah lesung pipi yang membuatnya manis saat senyum. Badan gempalnya berubah jadi tubuh tinggi proporsional yang atletis. Hasil olahraga rutin yang dijalaninya selama di Amerika. Dan dia atlet basket sekarang.

Beberapa hari ini aku selalu bersama Baro. Berjalan di sisinya membuatku merasa.. beruntung. Gimana tidak. Setiap kali jalan, aku bisa melihat cewek-cewek menatap mupeng padanya dan menatapku dengan tatapan ini-pembantu-ngapain-ikutan-jalan-sama-majikan. Meskipun udah berubah ganteng bin keren begitu, sifat Baro masih tetap manis terhadapku. Ah.. sweet sekali lah.

Kuakui, di satu sisi yang lain aku agak senang melihat Kairo marah begitu. Apa itu artinya dia merasa kehilanganku? Apa itu artinya dia mulai merasa kalau aku berarti di hidupnya? Begitukah? PLAK! Kanaya, jangan senang dulu kamu!

***

KAIRO’S VIEW

Sebagai sahabat yang baik, keesokan paginya kuhampiri Kanaya seusai kelasnya bubar. Aku seorang insomniak parah dan semalam suntuk aku tidak tidur memikirkan ini. Baiklah, aku mengakui selama ini memang benar akulah yang meninggalkannya duluan. Dan aku baru tahu bagaimana rasanya dilupakan sahabat sendiri. Aku sudah terlalu biasa dengan Kanya yang selalu ada setiap aku butuh. Dan ketika dia tidak ada, aku jadi seperti, entahlah, mungkin boleh kusebut kehilangan. Suatu kehilangan yang cukup besar.

‘Hai,’ kusapa dia yang tampak terkejut dengan kemunculanku di depan ruang kuliahnya.

‘Hai,’ balasnya tanpa ketertarikan. Terdengar seperti sekadar ucapan, sebuah ‘Hai’ yang hanya dieja, bukan sapaan. Berdasarkan riwayat ke-playboy-anku, ini pertanda bahwa ini cewek masih marah padaku.

Sorry.’

Sorry buat apa?’

‘Buat teleponku semalem yang gak ngenakin. Aku sadar kok selama ini aku yang gak sengaja lupain kamu duluan.’

Kutatap wajah Kanaya. Dia balas menatapku dengan tampang ini-anak-kesambet-apaan-tadi-pagi. ‘Oke, dimaafin.’

Nah, ini yang aku selalu suka dari Kanaya. Dia orang yang pemaaf banget. Dia paling tidak suka dengan masalah yang diperumit. Kalau satu kata ‘maaf’ udah keluar, tidak ada alasan baginya untuk tidak memaafkan. Belum ada satu kata maaf dariku yang tidak dia terima.

‘Cafe yuk?’ aku mengajaknya.

Kanaya tampak berpikir sejenak. Jangan-jangan dia sudah punya janji duluan dengan bule sipit itu. Tunggu dulu.. Ah, iya ini hari Sabtu.

‘Ayok deh. Udah lama juga gak ngafe bareng kamu.’ Dia mengatakannya sambil tersenyum dengan manis. Aih, sepertinya baru kali ini aku lihat dia senyum semanis ini. Langsung kurangkul saja bahunya dan berjalan menuju cafe.

Tapi tunggu deh, kenapa mendadak aku jadi gerogi jalan bareng Naya? Kenapa sekarang rasanya jadi gak nyaman gini?  Aku jadi sedikit gerah dan berkeringat. Dan jantungku juga sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya. Apa ini efek kopi hitam yang kuminum tadi pagi ya? Ah entahlah.

***

Aku mentrakir Kanaya sirloin steak favoritnya. Tahu kenapa dia lebih suka sirloin dari tenderloin? Karena sirloin lebih gede dari tenderloin. Dan di cafe ini, kentang gorengnya lebih banyak kalo pesen sirloin steak. Dasar cewek rakus!

Aku memperhatikannya mengiris daging dengan penuh semangat. Membawa potongan daging berlumur saus keemasan itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya dengan mata terpejam seolah menikmati setiap rasa dari makanan yang dikunyahnya. Lalu katanya, ‘Cintaaaa banget deh sama daging sapiiiii!’

Aku tertawa mendengarnya. Dia terlihat sangat berlebihan. Namun bagiku itu sangat.. sangat apa ya? Manis mungkin. Lalu mataku menangkap kilatan di matanya tiap kali dia bicara. Juga caranya menutup mulut dengan punggung tangan tiap kali dia tertawa. Dan hey, kenapa aku baru melihat kalau bulu matanya begitu panjang dan lentik?

‘Kamu pake mascara ya?’ tanyaku padanya.

Kanaya terlihat kaget. Diturunkannya pisau dan garpu lalu ia sendiri meraba-raba bulu matanya. ‘Ah, iya nih. Aku jadi korban make up barunya Fanya. Mereka bilang, ‘Kana, kamu itu harus dandan kalo mau jalan sama Baro.’ Gitu deh. Ngeselin ya? Baronya aja gak ribet.’

‘Jadi tadinya kamu mau pergi sama cowok kamu itu?’ aku mulai badmood.

‘Setengah jam lagi sih.’ Lalu dia meneruskan makan.

Sementara aku hanya bisa melampiaskan mood-ku yang jelek pada sirloin steak tidak berdosa di hadapanku. Ada apa sih denganku ini? Kenapa mood-ku jadi buruk tiap kali dengar Kanaya sebut-sebut nama orang itu? Apa aku masih kesal karena si Baro-Baro itu mengalahkanku di pertandingan basket lalu? Atau aku kesal karena Kanaya yang selalu sibuk dengan orang itu?

***

Pukul setengah tujuh malam aku menjemput Navita di rumahnya. Aku mencoba melupakan perasaan aneh yang kurasakan sepanjang siang dengan berada di dekat orang yang kucintai. Dan benar saja, mood-ku langsung berubah baik begitu melihatnya keluar dari pintu rumah. Cantik dan anggun dengan dress berpotongan simpel. Dia selalu cantik di mataku.

Aku mendaratkan kecupan ringan di puncak kepalanya. ‘Miss me?’
Not you, but every single thing about you.’
Aku tersenyum menatapnya. Ya, kali ini sepertinya dia bisa memperbaiki mood-ku. Aku meraih pundaknya lalu mengajaknya menuju mobil.

Sudah menjadi kebiasaan, seperti anak muda lainnya, setiap malam minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Sekadar nonton, makan, atau sesekali menemaninya belanja. Beruntungnya aku bahwa Navita bukan tipikal cewek yang gila belanja. Dompetku pernah menjerit saat aku berpacaran dengan Patricia. Dia ratunya orang gila belanja. Malah kadang aku dan Navita hanya menghabiskan malam minggu di rumahnya, DVD marathon atau membaca tulisannya.

Sebetulnya malam ini aku belum punya rencana mau menghabiskan malam minggu dimana dengan Navita. Tujuanku hanya menghabiskan malam minggu bersamanya. Setelah berputar-putar sebentar, akhirnya mobil berhenti di pelataran parkir sebuah cafe di sebuah kawasan yang ramai dikunjungi anak muda. Terlebih lagi malam minggu begini. Aku menyukai tempat ramai, apalagi dengan suasana hati yang sedikit mendung seperti ini.

Aku turun dari mobil. Mebukakan pintu untuk Navita, dan kurangkul bahunya sambil berjalan masuk ke dalam cafe. Kami duduk di sebuah meja dekat dinding. Dari tempat ini, kami bisa melihat seluruh penjuru ruangan cafe. Tak lama duduk, seorang pelayan datang. Aku mengikuti saja menu yang dipesan Navita, chicken schnitzel with fresh salad.

Kami mulai mengobrol apa saja sambil menunggu pesanan datang. Aku dengan santai mendengarkannya bercerita tentang bindernya yang berisi kumpulan puisi tiba-tiba hilang dua hari yang lalu. Ya, dia sudah menceritakannya padaku dengan berurai air mata. Bukannya berlebihan, tapi kau tahu, Navita sangat mencintai sastra. Dan yang paling dia gilai adalah puisi. Aku pernah membaca puisi-puisi itu. Ditulis dan dikumpulkannya sejak ia masih SMP. Wajar saja kalau Navita sedih bukan main.

‘Dan kamu tahu gak? Ternyata kumpulan puisiku itu ditemukan oleh dosenku! Dan coba tebak apa reaksinya,’ ujarnya padaku dengan mata berbinar-binar.

Aku pura-pura berpikir sejenak. ‘Dia bilang puisi kamu bagus dan nyaranin kamu buat nawarin kumpulan puisi itu ke penerbit.’

Navita menutup mulutnya dengan telapak tangan. ‘Honey, kok kamu tahu sih?’ Dia terlihat sangat excited.
‘Lho kamu gak tau kalo aku dukun?’

Navita memajukan bibirnya pertanda sebal. Aku mencubit dagunya dengan gemas. ‘Bercanda. Gini deh, semua orang yang baca puisi kamu pasti tau kalo kamu berbakat.’

Navita kembali tersenyum. ‘Hehehe. Eh, tapi masa terus dosenku nyuruh aku nemuin temennya yang kerja di penerbitan.’

‘Ya, bagus dong. Kamu temuin aja. Nanti aku temenin deh.’ Bersamaan dengan itu, pesanan kami sudah datang. Kami melanjutkan pembicaraan sambil menikmati makanan masing-masing.

Navita terlihat bersemangat dengan wacana ‘pembukuan’ kumpulan puisi miliknya. Aku terus mendengarkannya bicara sambil mengunyah chicken schnitzel­-ku.

‘Kuliah kamu gimana? Masih sering bolos?’

‘Duh, gak usah bahas kuliahku deh. Kacau banget.’

‘Lho kenapa? Pak Bambang lagi?’ tanyanya sambil mengunyah potongan besar daging ayam. Pak Bambang itu adalah dosen yang sentimennya paling tinggi terhadapku.

‘Iya, masa iya Pak Bambang...’ tiba-tiba kalimat yang akan kuucapkan menggantung di lidahku begitu mataku menangkap sesosok perempuan yang terlihat begitu manis dengan gaun coklat muda. Rambut pendeknya yang dibiarkan jatuh di bahunya. Duduk di salah satu meja cafe dengan seorang laki-laki. Tiba-tiba perasaanku menjadi aneh. Perutku mencelos dan jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Ada rasa sakit di sekitar dadaku yang tidak bisa kugambarkan letak persisnya dimana.

Perempuan itu Kanaya. Dia terlihat sedang berbincang asyik dengan bule sipit yang amat kubenci itu. Sesekali si bule itu mengulurkan garpunya. Mungkin bermaksud menyuapi Kanaya. Dan itu membuatku benar-benar... jijik dan marah.

‘...Kairo? haloo..’ Aku segera menyadari bahwa Navita sedang melambai-lambaikan tangannya persis di depan wajahku. Wajahnya memandangiku dengan penuh ingin tahu. ‘Kamu kenapa sih?’

‘Oh.. ng.. nggak, aku gak kenapa-kenapa. Kamu habisin cepet makanannya. Mendadak aku sulit bernafas.’

‘Astaga! Kamu sakit?’ Navita mengulurkan tangannya bermaksud menyentuh dahiku.

Aku menepisnya pelan. ‘Hanya sulit bernafas kok.’

‘Ya udah kita ke rumah sakit sekarang.’

‘Nggak usah. Aku cuman butuh istirahat aja kok. Kamu jangan kuatir.’ Kupaksakan bibirku untuk menarik senyum.

Navita memandangiku dengan kekhawatiran penuh. Jujur, aku senang melihat betapa khawatirnya dia akan keadaanku. Tapi di sisi lain, perasaan tidak enak di dadaku ini lebih besar. Aku tidak mengerti kenapa.

‘Baiklah, kita pulang.’

***

Entah sudah berapa batang atau mungkin bungkus rokok yang sudah kuhabiskan malam ini. Pikiranku ruwet memikirkan perasaan aneh dalam diriku beberapa hari ini. Orang-orang yang mengenalku mungkin akan tertawa melihatku nampak seperti ABG labil begini. Kairo, Cassanova yang sekali menjentikkan tangan bisa mendapatkan perempuan manapun yang ia mau, kini galau hanya karena seorang perempuan yang mungkin menurut orang tidak seberapa.

Satu bulan yang lalu mungkin aku masih berpikir bahwa Kanaya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Navita. Navita cantik, tutur katanya manis, dan ia wanita cerdas. Sementara Kanaya adalah perempuan yang membedakan bedak dengan tepung saja ia mungkin tidak tahu, tidak pandai bertutur kata dan cuek setengah mati. Kalau Navita bisa menangis begitu melihat anak kucing ekornya terjepit, Kanaya tidak akan peduli sekalipun badak Sumatera mati ditabrak persis di depan biji matanya.

Aku mungkin baru mengenalnya beberapa bulan saja. Tapi aku tahu dan yakin bahwa dia teman yang baik. Dan tanpa kusadari dia sudah jadi bagian terpenting dalam hidupku. Dia yang cuek rela mengomeliku habis-habisan karena selalu bolos kuliah. Dia rela tidak tidur untuk menemaniku yang insomnia. Dia mendengar semua curhatku bahkan mungkin di saat ia sendiri ingin didengar.

Beberapa hari terakhir aku selalu merasa aneh bila bersamanya. Aku merasa kurang nyaman. Jantungku selalu berdegup lebih kencang dari biasanya. Terlebih lagi jika melihat caranya menutup mulut dengan punggung tangan ketika tertawa.

Beberapa hari terakhir, aku juga merasa marah tiap kali mendengar Kanaya menyebutkan nama mantan cinta monyetnya itu. Terlebih lagi jika melihat mereka bersama-sama seperti beberapa jam yang lalu. Aku merasa seperti tidak rela melihat tawa renyah Kanaya ia perlihatkan pada pria itu.

Dan beberapa hari terakhir juga aku mulai berpikir, sepertinya Kanaya menjadi lebih segala-galanya dibanding Navita. Dia terlihat begitu manis di mataku.

Sepertinya aku baru sadar sekarang. Aku sadar kenapa selama ini aku sangat tidak menyukai Baro. Aku sadar kenapa selama ini aku tidak suka melihat Kanaya bersama dengan bule sipit itu. Aku baru sadar kalau sepertinya... aku..cemburu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS