Beberapa hari setelah peristiwa spaghetti
naas itu, Kai jadi tambah sibuk. Dengar-dengar dari Kai juga, Navita sudah
dibolehkan pulang dari rumah sakit. Aku jadi sangat jarang sekali bertemu
Kairo. Dia memang tetap rajin ngampus, dan rajin juga bolak-balik kampus
dia-kampus navita. Sehingga waktu untuk sekedar ‘say hi’ padaku jadi lebih sedikit. Nongkrong bareng di cafe? Just dream of it!
Hari ini tiba-tiba saja dia mengirimkan BBM padaku. Ia mengajakku
makan di cafe saat mata kuliahku sudah selesai. Aku? Tentu saja senang dan
tidak akan menolak. Rasa-rasanya sudah berapa tahun aku tidak melihatnya.
Jadi begitu mata kuliah terakhir selesai, aku bergegas menuju cafe
kami. Iya, cafe kami. Tempat itu begitu bersejarah bagi kami berdua (re:
khususnya bagiku). Namun ketika membuka pintu cafe, aku tidak menemukannya di
meja sudut ‘kami’.
‘Nay, di sini..’ sebuah suara memanggilku dari sisi cafe yang lain. Di
sana Kairo rupanya. Di sudut cafe yang lain yang tempatnya agak di belakang.
Cukup tidak terlihat dari sisi cafe yang lain. Tumben dia tidak duduk di tempat
‘kami’. Aku segera menghampirinya.
‘Hey, kok gak duduk di..’ aku urung bertanya begitu melihat bahwa Kai
tidak sendirian. Dia bersama seorang wanita. Wanita cantik bertubuh mungil yang
berminggu-minggu lalu pernah kulihat bersama Kai di cafe ini. Salah satu wanita
yang ada dalam catatan sejarah percintaan Kai. Satu-satunya wanita yang amat
sangat dicintai Kai.
Navita.
Gadis itu tersenyum simpul padaku.
‘Kita di sini aja ya. Navita gak suka terlalu dilihat orang. Kamu fine kan? Lagian di sini enak juga,’
ujar Kai sambil membukakan kursi, mempersilakanku duduk.
Aku mengempaskan bokong setengah hati. Niatku menguap entah kemana.
Lagi-lagi aku terlalu mudah ge-er.
‘Kalian belum saling kenal kan? Nah, makanya aku ngajak kamu ke sini
buat ngenalin Navita sama kamu. Navita, ini Kanaya, sahabat aku. Nay, ini
Navita..’ Kai berhenti lalu menatap Navita sambil tersenyum. ‘..Who finally be my world again..’
Anjrit, ini benar-benar menjijikkan. Kanaya = sahabat Kairo, Navita =
Dunia Kairo. Apa belum jelas letak perbedaannya, Kanaya?
‘Halo, Kanaya.’ Navita mengulurkan tangannya.
‘Halo,’ aku menjabat tangannya sambil tersenyum seniat mungkin. Dan
nyatanya aku tidak berniat untuk senyum.
‘Surprisingly, ada cewek yang bisa sahabatan sama Kairo. Kupikir
setiap cewek yang dekat dengannya akan jatuh cinta, ‘ lanjut Navita, tersenyum
menatapku.
Kamu salah besar, Navita. Aku sahabat merangkap orang yang jatuh cinta
padanya.
‘Dia gak mungkin lah jatuh cinta sama aku. Busuk-busuknya aku sampai
yang terbusuk dia udah tau semua. Betul kan, Nay?’ Kairo mengatakan itu sambil
tertawa-tawa.
‘Betul banget.’
Salah besar, justru begitu aku sudah tau semua tentang kamu, aku jadi
seperti wanita gila yang makin mencintai kamu, Kairo.
‘Oh iya, honey.. Ayahnya Nay
ini penulis loh,’ lanjut Kai.
‘Yang benar? Wah, keren sekali. Aku boleh ya bertemu Ayah kamu..’
‘Boleh, asal jangan shock dengan
tingkah ajaib Ayahku.’
Begitulah seterusnya. Siang ini aku bercanda-canda bersama mereka
dengan penuh kebohongan. Berpura-pura sebagai sahabat wanita Kairo yang baik
hati, padahal hatiku sebagai wanita yang mencintainya sedang menjerit
kesakitan. Terbakar perlahan oleh api cemburu yang kubuat sendiri. Iya, cemburu
ini aku sendiri yang membuatnya. Akulah yang dengan bodoh memutuskan untuk
jatuh cinta dengan orang yang paling tidak mungkin balik mencintaiku.
Lihat Navita, lalu lihat dirimu, Kanaya. Navita is pefectly good. Kulit dan giginya putih bak porselen saudagar
Cina. Rambutnya hitam-panjang terawat. Parasnya indah bak malaikat. Kukunya
panjang, rapih berkuteks. Tutur katanya bak bangsawan Eropa Abad 19, halus dan
teratur. Tidak sepertiku. Aku apa? Ceking bak penderita anorexia nervousa, dekil, rambutku tidak terawat, ngomong seadanya
bahasa yang aku tahu. Semua orang akan menilai Kairo gila jika menyukai cewek
sepertiku.
Setelah pertemuan penuh kebohongan itu, aku jadi lumayan sering
dijadikan ‘obat nyamuk’ mereka. Aku tidak tahu apakah Kairo memang baik hati
atau sekedar tidak ingin aku merasa sendirian. Ia sering mengajakku ke acara
mereka. Sudah berapa kali dalam seminggu ini kami nonton dan makan bertiga. Setiap
kali nonton, ia selalu berada di antara kamu berdua. Memakan popcorn Navita,
dan meminum chocolate float punyaku.
Setiap kali makan dia selalu membukakan kursi untuk kami berdua. Memotongkan
steak Navita dan mengingatkanku untuk tidak terlalu banyak makan yang
pedas-pedas. Aku tidak paham apa namanya hubungan ini, apa artinya ini, tapi
anehnya aku tidak sedetikpun merasa keberatan. Tapi entah Kairo merasa atau
tidak, sepertinya Navita yang keberatan.
Dan.. ada yang berubah dari Kairo. Bukan hanya ada, melainkan BANYAK. Sebetulnya
perubahan yang terjadi pada dirinya adalah perubahan yang baik. Tapi aku, hanya
aku saja, merasa bahwa Kairo tidak menjadi dirinya. Dia jadi lebih ‘rapi’. Dia
meninggalkan kaus dan jins belelnya, juga sneakers
bututnya. Dia stop merokok dan sekarang jadi lebih sering memesan white coffe kalau sempat ‘ngafe’
bersamaku. Dan.. please, bahkan bau
parfumnya sekarang berubah. Aku sudah muak mendapat jawaban ‘Karena Navita
suka’ setiap kali berkomentar dan menanyakan kenapa.
‘Motor kamu mana, Kai?’ tanyaku ketika tiba-tiba suatu Senin Kairo
nongol di kampus dengan menggunakan Ford Ranger biru metalik.
‘Kemarin pas balik ke Bandung aku tuker sama mobil. Kasian Navita kalo
aku jemput pake motor terus. Apalagi musim hujan begini.’
Atau ketika beberapa hari berikutnya aku kembali bertemu dengannya,
dia muncul dengan penampilan baru.
‘Waw, gaya rambut baru nih..’ ujarku.
‘Iya nih, Navita bilang aku keren rambut kayak gini. Keren beneran
kan?’
Iya, dia memang keren. Aku setuju. Dan aku suka. Tapi justru aku jadi
tidak nyaman berada di dekatnya. Dia sekarang rapi, bersih, sementara aku... ah
sudahlah.
Mood-ku langsung berubah
jelek tiap kali dia menyebutkan nama Navita.
Dan pada akhirnya sesuatu itu berdampak buruk bagi hubunganku dengan
Kai. Ketika di suatu siang, saat kami secara tidak sengaja bertemu di cafe,
lalu dia bergabung di mejaku. Ya, aku terpaksa membiasakan mataku dengan
pemandangan Kairo, dengan jins bersih, kemeja dan jumper. Juga rambut yang di-gel habis-habisan. Dia sekarang lebih
mirip cowok metroseksual daripada Kairo Chandra Kinanta yang kukenal. Entah
kenapa, aku jauh jauh jauh lebih suka Kairo dengan kaus, jins yang tidak dicuci
seminggu, dengan rambut berantakan seperti Robert Pattinson baru bangun tidur.
Okelah, aku tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Asal Kairo merasa
nyaman aku akan memosisikan diriku sebagai orang yang suka dengan perubahannya.
Namun ada satu hal yang membuatku sangat-sangat terganggu. Bahkan sekarang
bahan pembicaraan Kai sudah mulai berubah. Bersamaku, dia biasanya bicara
tentang teknik, pengalamannya naik-turun gunung, atau kami berdebat awam
tentang musik. Sekarang dia mendadak jadi suka membahas Dewi Lestari,
roman-roman karya penulis A, merk parfum, dan cerpen buatan Navita. Aku bukan
orang yang suka membaca, jadi Dewi Lestari dan penulis lainnya tidak masuk
dalam daftar ‘sahabatku’. Yang paling dekat saja, aku bahkan tidak tahu apa
saja karya-karya Ayahku.
‘Kai, kamu nyadar gak sih kalo kamu itu berubah?’ aku mengutarakan
unek-unekku pada suatu siang, di sudut cafe.
‘Berubah gimana? Kayak power ranger merah gitu? Hahaha ada-ada aja
kamu.’ Dia menanggapinya dengan bercanda.
Aku memajukan posisi duduk. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang dalam
tahap bicara serius.
‘You don’t seem like Kairo at
all. Ini bukan diri kamu. Gaya berpakaian, selera, bahkan bahan obrolan
kamu jadi lain.’
Kairo menurunkan novel Dewi Lestari yang sedang dibacanya. ‘Maksud
kamu aku berubah sejak jadian lagi sama Navita,’ ujarnya to the point. Lebih kepada pernyataan bukan pertanyaan. Tersirat
jelas dalam nada suaranya bahwa ia tidak senang.
‘Kamu kenapa jadi suka ngomentarin aku sih? Huh? Kamu cewek paling
santai di dunia makanya aku nyaman temenan sama kamu. Kayaknya kamu deh yang
berubah.’ Buru-buru Kairo membereskan barang-barangnya yang terserak di atas
meja, lalu pergi meninggalkan aku dengan perasaan (yang bisa kusebut) marah.
Sejujurnya ini yang paling kutakutkan dari semuanya. But i can’t keep it anymore. Aku tidak
tahan lagi dengan Kairo yang rela berubah jadi orang lain demi Navita. Anggap
aku tidak tahu kalau cinta itu buta. Kalau cinta bisa membuat seseorang berubah
menjadi apa yang orang lain inginkan. Yang aku tahu, aku mencintai Kairo apa
adanya. Tidak perlu dia tuliskan aku sejuta puisi, tidak perlu aku mendiktenya
mengenai apa yang aku suka dan tidak suka. Dan sayangnya Kairo tidak melihat
itu. Bagaimana pula dia bisa melihat kalau aku saja tidak berani menampakkan
identitasku sebagai wanita yang mencintainya.
Dengan kegalauan mengubun-ubun, aku kembali login ke blogku. Mencoba
mengeluarkan semua unek-unek sebelum air mataku mengeksposisikannya lebih dulu.
Aku tidak tahu apakah cinta itu
buta, atau cinta bisa melihat dengan jelas..
Kalau cinta itu buta, mungkin
aku tidak akan jomblo..
Akan ada satu dari sekian ribu
orang buta yang mencintaiku..
Maka kusimpulkan bahwa cinta itu
melihat dengan jelas..
Sangat jelas..
Lalu apa yang terjadi dengan
dirinya?
Dia mencintai dengan buta,
sementara yang dicintai mencintainya dengan melihat jelas..
Dia buta, rela menjadi apa saja
demi gadis itu..
Tanpa bisa melihat, kalau gadis
itu tidak menerima apa adanya dia..
Sementara gadis itu, melihat
dengan jelas kalau yang mencintainya buta..
Gadis itu tahu persis bahwa pria
itu menyerahkan seluruh hidup untuknya..
Lalu aku?
Aku kembali jadi pihak yang
harus mereguk pahitnya sakit hati..
Mencoba membuka matanya namun
justru ia menutup telinganya..
Apa hanya aku di dunia ini yang
perasa?
Apa orang yang jatuh cinta seperti
memakai kacamata kuda?
Hanya melihat ke satu titik
tanpa bisa melihat sisi-sisi lain?
Sampai kapan aku harus jadi yang
begini..
Andai aku bisa, aku ingin
perasaan ini hilang saja..
Aku ingin jadi yang tidak peduli
tentang kamu..
Setidaknya aku tidak harus jadi
yang tersakiti melihat kau demikian bodoh..
Ataukah sebaiknya kau yang
menghilang saja dari kehidupanku?
Atau aku yang menghilang dari
kehidupanmu?
***
Sebuah kotak melayang di depan wajahku ketika aku baru akan keluar
dari pintu cafe. Aku memfokuskan mataku pada kotak itu. Sekotak coklat Delfi
yang terlihat begitu menggiurkan. Aku mendongakkan kepala menatap si empunya
kotak. Seorang cowok berwajah oriental sedang menatapku sambil tersenyum. Aku
harus betul-betul mendongak untuk menatap wajahnya. Orang itu tinggi sekali.
Matanya tidak terlalu sipit, cukup manis dengan lesung di kedua pipinya.
Aku merasa mengenal orang itu. Dimana? Astaga! Bukankah orang itu yang
kudamprat tempo hari? Yang dengan seenak hati kucap sebagai psikopat? Yang
duduk bersama anak-anak Fakultas Hukum itu?
‘Segitu lupanya ya kamu sama aku? Sama coklat ini juga? Yah, sayang
sekali. Aku bahkan masih ingat cara kamu memanggilku ‘Delfi Boy’’
Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan saking terkejutnya. Apa
dia bilang? Delfi Boy? Berarti dia..
‘Kamu..’
‘Baro,’ ujarnya mantap.
Tanpa sadar aku segera melompat memeluknya. Gila! Aku kangen berat
sama orang ini!
‘KAMU BAROOO?? ASTAGA!! GIMANA BISA SEKURUS INI???!!!!’ Aku
melompat-lompat dalam pelukannya. Kau masih ingat Baro? Cinta monyetku jaman
SMP. Ya dia ini. I’m shocked to find that
he’s very awesome right now. In front of my nose! Setelah dia pindah ke
Amerika, kami benar-benar loose contact.
Aku bahkan hampir lupa namanya.
‘Aku atlet basket sekarang. I
really miss you but i don’t think you miss me as i am.’
‘Aku kangen berat tau sama kamu. Seberat badan kamu dulu!’
‘Oh, please. Aku udah
sekeren ini sekarang. Anyway, masih
mau nemenin aku makan siang kayak dulu?’
‘With my most pleasure.’
***
Sementara itu di tempat yang lain, Kairo sedang ingin membuat sebuah entri blog tentang tips aman naik gunung berdasarkan pengalamannya. Baru masuk
ke blogger dashboard, tiba-tiba ia
teringat blog ahli ekonomi yang dikunjunginya beberapa waktu yang lalu. Kairo
segera membuka memopad ponselnya dan
mengetikkan alamat blog itu pada address
bar google chrome-nya. Tiga detik loading, halaman blog anonim itu sudah terbuka di hadapannya. Ada
posting baru. Kairo memperhatikan waktu postingnya. Baru beberapa menit yang
lalu. Judulnya lucu: LOVE IS... BLIND/NOT? Kairo membaca dengan
tumakninah kata demi kata yang tertulis di sana.
Ada beberapa kata yang menyentilnya:
Dia buta, rela menjadi apa saja
demi gadis itu..
Tanpa bisa melihat, kalau gadis
itu tidak menerima apa adanya dia..
Sementara gadis itu, melihat
dengan jelas kalau yang mencintainya buta..
Gadis itu tahu persis bahwa pria
itu menyerahkan seluruh hidup untuknya..
‘Sialan, kenapa rada pas gini.’
0 komentar:
Posting Komentar